Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Menjemput Hidayah
Malam ini wanita paruh baya itu tidur sendirian, tidak ada gadis yang selalu menemaninya. Setelah gadis itu memilih untuk meninggalkannya, kini ia sebatang kara. Satu hal yang tertanam dalam hatinya, gadis kesayangannya tak akan tega meninggalkannya tanpa sebuah alasan. Setiap kali tangannya mengadah, memohon gadis kesayangannya segara kembali dan menemaninya. Malam-malam terus berganti, wanita paruh baya itu tak henti-henti, terus mengucapkan permohonan yang sama, dengan tatapan nanar yang sama, rasa rindu yang kian hari semakin membara, satu keinginannya kembali memeluk gadis kesayangannya.
~~~
“Woii, dapat banyak ni, cepatan!” teriak gadis berwajah garang sambil menenteng barang hasil curiannya. Tas itu berisi macam-macam varian rasa roti, hitungan detik roti itu ludes, “Wah, kamu hebat Fir, bisa dapat roti sebanyak ini, ini mah bisa buat makan kita 2 hari.” ucap salah satu berandalan, tawa sahut menyahut, menandakan atas kebanggaan mereka yang berhasil mendapatkan banyak barang curian. Dengan bangga gadis itu mengucapkan, “Fira gitu lohh”. Gadis itu baru bergabung dengan geng berandalan Ibu Kota. Sekarang ia berleha-leha dengan apa yang ia lakukan, merasa hebat atas apa yang ia dapatkan, bergabung dengan geng berandalan Ibu Kota. Tanpa ia ketahui bahwa harta satu-satunya sedang menunggunya untuk kembali pulang. Gadis itu sedah genap satu bulan menjadi anggota geng berandalan, membuat onar, meresahkan, dan merugikan banyak orang. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah cara yang benar untuk bertahan hidup, tanpa berfikir bagaimana dengan orang-orang yang mereka dzalimi.
“Fir, kamu betah banget disini, kamukan masih punya rumah?” tanya Ridwan, bos geng.
“Maksud kamu, aku harus pulang? Apa untungnya tinggal sama orang tua yang hidupnya miskin terus. Mendingan di sini, tiap hari makan enak, bisa ambil uang dimana aja, bebaskan?!”. Ridwan hanya tertawa lebar dan mengacak bebas rambut Fira. Kehidupan mereka tak lepas dari kejar-kejaran warga setempat, tempat tinggalpun tak punya, tidur disembarang tempat, mencari tempat persembunyian, sesekali menyewa kontrakan, dan tinggal bersama. Jumlahnya tak cukup banyak hanya 8 orang, 5 laki-laki 3 perempuan, karena sudah jelas mana ada anak jalanan yang betah dan mau bergabung dengan geng bengis seperti mereka.
Hingga suatu saat kejadian yang mereka takutkan benar-benar terjadi, DORR! DORR! DORR!!!
Geng itu berhamburan pergi, lari, hendak meloloskan diri. Lainnya berpencar, hanya Fira dan Ridwan yang lari bersama, “Aduh Wan.., aku udah capek banget, haus banget, sembunyi yuk, mau minum dulu.” ucap Fira tanpa berhenti berlari, “Masa gitu aja udah capek sih!” jawab Ridwan. Mereka berdua berlari tanpa henti, hingga kaki mereka benar-benar lemas, tak sanggup untuk melanjutkan pelarian mereka. “Kita sembunyi di sini dulu, itu ada kran, nanti kita minum di sana.” tangan Ridwan menunjuk salah satu kran tempat wudlu. Tak sia-sia mereka lari tanpa henti, meraka lolos dari kejaran Satpol PP.
“Wan, ini masjid.” ucap Fira dengan suara lirih, “Terus kenapa? Kamu malu?” jawab Ridwan. Fira melihat penampilannya dari atas ke bawah setelah itu beralih memandang penampilan Ridwan, ”Ayo kita pergi dari sini, ini bukan temat kita.” ucap Fira, Ridwan tak menggubris perkataan Fira, ia pergi ketempat wudlu dan meminum air dari sana, Fira diam menoleh kana kiri, takut kalau ada orang yang menegur mereka, sampai matanya tertuju pada kotak amal di samping pintu masjid, matanya terbalak bak melihat sebuah bongkahan berlian di depan matanya. Kakinya melangkah, hendak menuju kotak amal, semakin cepat, menoleh kanan kiri, mengawasi apakah ada oarng di sekitar masjid, “Fir, mau apa kamu?” langkahnya terhenti setelah Ridwan menahan tangannya, “Mau nyurilah, lihat tu ada kotak amal.” jawab Fira, Ridwan langsung menggandeng Fira pergi dari masjid tersebut, Fira tak tau apa yang sedang Ridwan pikirkan, kenapa ia melarang Fira mencuri? Bukankah ini pekerjaaan mereka?. Mereka berhenti di salah satu bangku taman dekan masjid, “Itu rumah Allah, jangan sampai kamu mencuri di rumah Allah, dimanapun itu, inget Fir!” ucap Ridwan tegas, Fira hanya melongo mendengar perkataan Ridwan, setelah itu Ridwan tertunduk lesu, Fira hanya tak percaya mendengar perkataan Ridwan, bukankah selama ini ia memakan makanan haram? Hasil curian? Merebut hak orang lain, menyakiti, dan bahkan hampir membunuh orang lain? Ridwan, apa yang menahanmu untuk tidak mencuri di masjid?. Pertanyaan terus muncul dalam benak Fira, meraka hanya diam satu sama lain. Fira ingat, Ridwan tidak pernah menargetkan masjid sebagai sasaran untuk mencuri, tapi bukankah sama saja, mencuri di masjid atau selain masjid, tetap perbuatan mencuri?.
Setelah beberapa hari tinggal ditempat persembunyian, Ridwan dan Fira tidak pernah mencuri, Ridwan melarangnya, meraka bekerja menjadi buruh cuci piring di warung.
“Kamu pulang aja Fir, kita selesai disini. Lupakan atas geng kita, semua yang pernah kita lalui.” ucap Ridwan membuat Fira semakin bingung, “Terus yang lain gimana? Maksudmu apa sih Wan?!” Fira frustasi dengan keptusan Ridwan.
“Entah dari kapan dan sampai kapan aku akan seperti ini, selama ini kita salah Fir, aku tau itu, tapi aku tidak ada pilihan lain. Sama, kamu, dan yang lainnya sama. Kita ini sedang dan dalam penghianatan, penghianatan hidup, ini salah Fir. Aku sudah ingin berhenti sejak dulu, tapi bagaimana dengan yang lain tanpa diriku?”
“Kita salah jalan Fir, kita harus pulang.”
“Jangan munafik ya kamu Wan, kita bisa berjuang hidup dengan cara mencuri, seperti dulu lagi, kita bisa makan enak, duit ban..”,
“Stop Fir!”
“Setiap malam aku memikirkan, masih saja Dia memberi kita makan, padahal apa, apa Fir? Kita sama sekali tidak meminta, kita tidak pernah menjalankan kewajiban, kita tidak pernah pergi ke masjid, dan sekali kita berada di masjid, apa yang kita lakukan, mencuri? Dan satu lagi Fir, kita tidak meminta Dia menyelamtkan kita dari kejaran Satpol PP tempo hari, tapi nyatanya, kita masih disini, padahal bisa saja kita menjadi buronan, bisa saja kita tertembak dan kita mati.”
Fira mengepalkan kedua tangannya, menahan amarahnya. “Wan, kamu kenapa sih? Aneh tau, terus kita mau makan apa? Tiap hari jadi babunya orang? Haa?!”
“Jujur Fir, setelah kejadian itu, apalagi saat melihat kamu hendak mencuri kotak amal, rasanya hatiku teriris, sakit sekali.”
“Dan anehnya, tangganku enggan untuk mencuri lagi, ketika aku hendak mencuri seperti ada sesuatu yang menahanku.” lanjut Ridwan, menatap dalam Fira. Fira masih kacau dengan apa yang dikatakan Ridwan, apakah Ridwan hendak merubah hidupnya, bertaubat? Batin Fira.
“Sekarang, aku akan pergi, merenungi segalanya. Tiga hari lagi, kita akan bertemu di disini, dan kamu harus membawa keputusanmu, dan aku akan memutuskan keputusanku di sini. Ingat Fir, aku tunggu kamu di sini, di sudut kecil warung ini.” ucap Ridwan, sambil berjalan pelan meninggalkan Fira.
Fira masih tak percaya dengan semua yang terjadi, bergabung dengan geng berandalan Ibu Kota, satu geng dengan orang yang amat ia kagumi, Ridwan, dan sekarang Ridwan hendak bertaubat? Seorang ketua geng bengis ibu kota hendak bertaubat? Fira masih belum menemukan keputusannya, ia terus terngiang-ngiang perkataan Ridwan, menyuruhnya untuk pulang, “Aishhh dasar si Ridwan itu, ia berhasil mempengaruhiku.”
~~~
Wanita parubaya itu masih setia menunggu anak gadisnya, bersenandung lagu kesukaan anaknya, merawat barang-barang anak gadisnya, seolah-olah ia akan segera pulang.
~~~
Gadis itu berdiri tegak di depan sebuah rumah, sederhana. “Pasti Ibu menungguku.” Gumam gadis itu, saat melihat wanita peruh baya tertidur di kursi depan rumah. “Teduh sekali, aku ingin pulang.”
Gadis itu tersenyum dan berbalik badan, berjalan, menyusuri gang-gang kecil, ia harus menepati janjinya, bertemu dengan seseorang yang berhasil merubah arah kehidupannya. Setelah sampai diamana temat janji itu dibuat dan janji itu juga harus selesai di tempat ini.
“Wan..” sapa Fira. Ridwan spontan menoleh ke arah Fira, tersenyum lebar.
“Lama banget, hampir aja aku mau pergi.” balas Ridwan. Beberapa menit mereka hanya saling lirik dan diam. Tidak ada percakapan di antara mereka.
“Gimana Fir, betah di rumah?” tanya Ridwan, “Aku belum pulang, rasanya kotor sekali untuk aku pulang dan bertemu Ibu.” jawab Fira.
“Sama, aku juga tidak berani pulang, tapi aku sudah memutuskan, dan ini akan membayar semuanya.”
Fira mengerutkan kedua alisnya, “Apa keputusanmu?” Fira menyelidik,
“Aku akan menyerahkan diri ke polisi.” jawab Ridwan. Seketika Fira menutup mulunya sendiri, kegat dengan keputusan Ridwan,
“Kamu serius?”
“Iya Fir, aku harus membayar semuanya. Dan kamu aku harap.. pulanglah, bukannya kamu masih punya Ibu, bahagiakan dia, dengan cara yang baik.”
Fira menangis mendengar perkataan Ridwan, “Kamu serius Wan? Di penjara itu siksaan Wan, kita mulai hidup yang baru dan.. jangan menyerahkan diri..” Fira terus meneteskan air matanya.
“Tidak Fir, ini sudah keputusanku. Ini adil. “
“Adil? Kalau gitu aku juga akan menyerahkan diri.”
“Jangan Fir, bukankan Ibumu begitu teduh bagimu? Kamu tega meninggalkannya lagi, dan menyiksanya dengan rasa rindu terhadapmu?” mendengar perkataan Ridwan, Fira semakin menangis, merasa bersalah akan keduanya, terhadap Ibu dan temannya, Ridwan.
“Aku harap kamu medengarkan perkataanku Fir, tebuslah semua kesalahan-kesalahan dengan berbakti pada Ibumu, dan aku juga akan menebusnya dengan caraku sendri. Aku sudah tidak punya orang tua, di kampung hanya ada saudara, dan aku, tidak punya siapa-siapa lagi. Mungkin ini sudah waktunya akau menebus semua kesalahan masa lalu.”
“Oh iyaa, aku sudah mencari informasi tentang teman-teman kita, mereka selamat, dan aku sudah mengirim mereka surat agar mereka hidup lebih baik lagi, dan kamu, khusus untuk kamu, aku harap kamu tetap menjengukku di penjara nanti.” ucap Ridwan, tersenyum lebar pada Fira.
Fira tidak menjawab apapun, mendengarkan dan terus menangis.
Setelah pertemuan itu, Fira memutuskan pulang, kembali ke rumah, memohon ampun pada sang Ibu. Ibu Fira tak sanggup menahan bahagia yang meluap-luap.
~~~
Pelarian Ridwan dan Fira adalah perjalanan menjemput hidayah yang diturunkan oleh Allah SWT. Rahman RahimNya Allah kepada seluruh makhluqnya.