Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pengantar
Terdapat dua cerpen di sini Papamu Sayang dan Menjadi Tua, Lalu Luka. Dua karakter utama yg berbeda dan disatukan oleh satu masalah sama: "luka" menjadi orang tua. Tingkat luka yang berbeda menurut kita, tetapi bisa disikapi berbeda-beda.
Terpaksa saya satukan kedua cerpen ini guna memenuhi syarat minimal 1000kata.
Selamat menikmati.
-------
Papamu Sayang
Kamu masih kelas tiga SMP tetapi hubungan kita sebagai ayah dan anak telah berjarak. Kita bicara kini pendek dan kaku. Tatapanmu menerjang. Tatapan lelaki bergejolak luka dan amarah. Kamu tak lagi bisa bersahabat dengan Papa.
Sejak Papa dipindahtugaskan dan jarang bersamamu, Papa melihat gelagat perubahanmu. Tak banyak lagi cerita tentang hari-harimu yang penuh petualang, tawa, dan kesal itu. Terlebih, sejak persoalan minta motor itu, kamu sama sekali tak mau lagi bicara dengan Papa.
Mengendarai motor belum waktunya bagimu. Tapi kamu terus merengek. Terus menelepon Papa. Papa yang lagi rapat menjadi terganggu oleh maumu. Kamu membuat Papa marah. Papa bentak kamu, sempat memakimu, dan mengancam tak memberi jajan dan jalan-jalan.
Sejak itu kamu diamkan Papa. Ketika Papa pulang, (menghabiskan Sabtu dan Minggu di rumah, bersamamu dan Mamamu), kamu beku pada Papa. Papa terus mencoba mencairkanmu dengan bercanda. Papa coba mengusir marahmu dengan mengajakmu nonton bioskop, atau menghiburmu dengan jalan-jalan bersama Mama, tapi kamu kukuh beku. Kamu ada saja alasan menolak.
Mamamu yang sedang berkutat dengan kertas-kertas perusahaan di mejanya, telah Papa minta tolong mendamaikan kita tetapi kamu tetap marah pada Papa. Papa merasa sedih dan bersalah. Kata-kata Papa di telepon itu telah begitu dalam dan lebar mengoyak hatimu.
Papa cari cara lain demi mendapat maafmu. Papa membeli sepatu futsal dan kaos bola tim favoritmu. Kamu menerima saja dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Suka 'kan?" Papa menjelajahi sinar matamu yang patah. Papa begitu sedih melihat tatapanmu begitu. Mata yang sakit dan kecewa. Mata yang tak lagi mengagumi Papa sebagai ayahmu. Kamu menatap Papa seperti menatap orang yang tak memberimu kenyamanan.
Tak sanggup menahan kerenggangan hubungan kita ini, Papa langgar aturan. Papa penuhi permintaanmu, membelikanmu motor.
Mamamu protes keras. KTP-mu saja belum cukup umur dibuat, bagaimana nanti mendapatkan SIM motor. Akan tetapi, demi melihat matamu bangga dan menganggap Papa sebagai ayahmu lagi, KTP dan SIM itu bisa Papa olah.
Saat motor itu tepat di hadapanmu sebagai kejutan, kamu sama sekali tak berubah raut wajah. Tak terkejut apalagi senang. Responmu sungguh membuat Papa ingin menangis.
"Aku gak butuh motor lagi, Pa. Lebih asik naik angkot sama teman-teman." Sepatah kalimat itu saja yang terlontar. Kamu berlalu masuk kamarmu. Tak lagi berarti Papa di matamu.
Ketika Papa pergi dinas lagi, Senin-Jumat, Papa gelisah dan rindu padamu. Rindu senyummu. Rindu tawamu. Rindu akan percakapan lepas kita. Rindu tatapanmu yang bangga dan kagum pada Papa. Rindu mendengar perubahan suaramu yang mulai serak; tanda usiamu menuju akil balig.
Saking resah dan rindunya, saat masih jam kerja Papa curi waktu meneleponmu. Kamu mengangkatnya. Kamu sedang jam istirahat sekolah.
"Bagaimana kabarmu, Mister?" Sapa Papa dengan julukanmu.
"Dodi habis dihukum, Pa. Dijemur beramai-ramai tadi. Terus dicubit tiga kali. Sakit sekali," katamu seperti merintih.
Mendengar suaramu; mendengar kembali sapaan "Papa"; mendengarmu mengiba bantuan, berdesir darah Papa ke ubuh-ubun. Haru dan marah berbaur dalam diri Papa.
Kamu disakiti. Sebagai anak kamu butuh perlindungan. Kamu sedang dalam kesakitan selama ini, maka tak seorang pun Papa izinkan menambah kesakitanmu.
Papa segera minta izin kantor. Pulang melihat keadaanmu. Di rumah, untuk pertama kali sejak hubungan kita retak, kamu mau bercerita panjang lebar mengenai yang telah terjadi padamu di sekolah. Kamu tunjukkan lenganmu yang terdapat tiga bekas cubitan membiru dengan muka meringis.
Papa memelukmu haru dan marah. Haru karena kamu telah menganggap Papa sebagai ayahmu lagi. Seorang ayah yang bisa kamu harapkan mampu menjaga dan melindungi jiwa dan ragamu yang masih rapuh dan sedang tumbuh kembang.
Papa juga marah. Marah atas perlakuan gurumu padamu. Baiklah, akan Papa tunjukkan, buktikan padamu bahwa Papa pantas kamu banggakan dan kagumi. Papa tak akan mengecewakanmu lagi.
"Ayo, ikut Papa. Kita polisikan guru yang telah menyakitimu itu! ***
________
Menjadi Tua, Lalu Luka
Lelaki itu mengelap keringat di tengkuk dan muka Nenek dengan kasar dan menekan-nekan. Kepala nenek ikut tergerak ke belakang mengikuti tekanan tangan lelaki itu.
“Le (Nak), Nenek lelah. Pingin pulang."
“Ngemis aja, lelah! Kumpulin duit dulu. Baru nanti sore pulang!” Lelaki itu menghardiknya sambil melempar handuk ke mukanya.
Lelaki itu kesal mendengar permintaan Nenek. Sudah dilihatnya di kantong kresek, uang hasil mengemis si Nenek masih dua puluh ribuan. Ia juga kesal pada orang-orang kenapa tak banyak memberi sedekah pada Nenek. Dalam kesimpulannya, zaman kini orang-orang menjadi pelit, egois. Ya, egois. Maka, ia pun begitu.
Lelaki itu segera pergi. Tak berlama-lama. Takut diperhatikan orang.
Siang sudah terik. Nenek itu duduk di kursi kayu. Tertunduk wajahnya. Matanya sayu. Handuk di genggamannya, merosot jatuh ke tanah.
“Oh, Gusti. Nasibku elek tenan (buruk sekali). Menjadi tua, tak berdaya, dan tak diperhatikan anak dan cucu. Kini dimanfaatkan. Apa yang bisa kuperbuat, Gusti, selain menerima. Kulo nrimo, Gusti, atas semua apa saja yang diperlakukan orang.” Suaranya begitu lirih.
Tangannya bergerak lemah mengusap kelopak matanya. Tak ada air mata. Produksi air matanya telah menurun seiring bertambahnya usia. Matanya sering perih, dada juga perih. Kering kini.
Kering hatinya menjalani hari tua. Semua yang diterima kini atasnya tak lagi sejuk. Anak satu-satunya, sudah enam tahun meninggalkannya dan entah di mana. Ia dititipkan di panti jompo.
Di panti itu, ia melihat sesamanya yang tua yang selalu bercerita masa muda yang telah berlalu. Masa lalu membawa ingatan yang melukai. Masa lalu adalah mimpi tidur. Kini adalah jaga.
Setiap hari ia harus menghadapi sesamanya yang beremosi tak lagi terkontrol. Ada yang menangis tiba-tiba. Ada yang berteriak kecewa. Ada yang merepet terus. Lalu sesekali menerima perlakuan perawat tak ramah. Hati dan tubuh tuanya sudah sangat sensitif merasakan ketaknyamanan.
Semua yang dilihat, didengar, dan dirasa di panti sangat mudah mengusiknya. Membawanya dalam dunia kesepian yang hampa. Membangkitkan perasaan-perasaan tersakiti, tak berdaya, tersia-siakan. Menjadi tua, ia terluka.
Tak tahan di panti jompo, diam-diam ia keluar dari panti jompo. Berharap di luar sana menemukan kesejukan. Entah di mana itu.
Awal mula bertemu anak-anak berseragam sekolah SD. Anak-anak itu menyapa dan bertanya penuh penasaran padanya. Nenek mau ke mana, tinggal di mana, anak cucu Nenek di mana?
Begitu ribut pertanyaan itu. Tapi ia senang dan tersenyum. Ia tak bisa menjawab. Suaranya lemah. Lagi pula ia tak tega merobek keindahan, mimpi, dan harapan di jiwa anak-anak yang polos dan mata-mata yang penuh binar itu, dengan menceritakan dunia hati orang dewasa, dan kisah menjadi tua adalah luka.
Hanya sesaat dengan anak-anak itu. Sebenarnya ingin ia berlama-lama. Tertawa bahagia. Melupakan segala, menganggap derita tak pernah ada. Ia sempat merasakan kembali hidup membuncah dalam dadanya.
Lalu, di malam tak tahu tidur di mana, lelaki itu mendapatinya tertidur di pinggir toko. Ia dibawa ke rumah lelaki itu. Sangat senang dan bahagia ia mulanya. Diperlakukannya dengan kasih. Ia betah. Tetapi hanya beberapa hari.
Lalu kini, di sini ia. Di pinggir jalan, di bawah terik, deru debu, dan bisingnya lalu-lalang manusia, ia masih tertunduk. Kedua telapak tangannya terbuka di atas kedua paha.
“Ya Gusti, ampuni kulo (hamba). Aku mengemis demi lelaki itu. Demi meredam bentak dan marah lelaki itu. Agar dia mau membersihkan kotoran melekat di tubuhku di saat aku tak berdaya. Hanya dia yang kini memperhatikanku.”
Sebuah sedan berhenti di depannya. Saat kaca mobil terbuka, pengendara di dalamnya melempar uang ke arahnya. Lalu segera sedan pergi dengan debu meruah di udara menimpa wajahnya.***