Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
9 Oktober 2017, New York Citi. Ruangan Kelas Hukum 1.4
Mentari pagi bersinar cerah, menyebarkan kehangatan yang menyentuh tubuhku. Tanpa sadar, sinarnya mengikuti langkahku yang semakin cepat, bergegas menuju kampus tercinta yang telah aku perjuangkan dengan segala usaha. Terdengar berlebihan, memang, tapi itulah kenyataannya. Aku selalu teringat pesan Ibu: “Usaha tidak akan mengkhianati hasil.” Inilah yang kurasakan. Dulu, aku belajar dengan keras, sampai-sampai lupa makan dan terkena gejala tifus, hingga akhirnya aku tiba di New York, tempat yang penuh dengan harapan dan cita-cita yang aku gantungkan. Sekarang, aku sudah memasuki semester kedua, semester yang penuh dengan tugas-tugas aneh dan mata kuliah yang luar biasa.
“Selamat pagi, Indri!” Reza menyapaku, sambil duduk di sebelahku.
Reza Ananta, mahasiswa asal Indonesia, teman seangkatanku yang aku kenal sejak masa orientasi. Memiliki senyum manis, pandai berdebat, dan tentu saja, pandai menggombal.
“Selamat pagi,” jawabku sambil tersenyum.
Jika boleh jujur, aku sangat mengagumi Reza. Selain baik hati, dia memiliki sikap yang kritis dan berbeda dari laki-laki lain. Kami masuk di tahun yang sama dan berasal dari daerah yang sama, Bandung.
Setiap hari di kampus, aku dan Reza selalu menghabiskan waktu bersama—makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, mengerjakan tugas, bahkan bolos kelas untuk menonton film baru.
“Reza, setelah mata kuliah ini ada lagi nggak?” tanyaku dengan nada lesu, berharap hari ini tidak ada kelas lagi.
“Ada, Dri. Pukul 16.00. Kenapa? Wajahmu pucat, sakit?” tanya Reza dengan penuh perhatian.
“Gak apa-apa, cuma lemas aja,” jawabku, berusaha menenangkan agar dia tidak khawatir.
Tubuhku terasa lemas dan sakit. Rasanya aku tidak tahan lagi, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingat sedang berbincang dengan Reza di kelas. Lalu, apa yang terjadi?
“Reza, kamu di mana?” aku mencoba bangun dari tempat tidur dan melepaskan infus yang terpasang di tanganku.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang perawat masuk.
“What's wrong with my nurse?” tanyaku heran.
“You were unconscious, and brought here by your friends. You have typhoid, and your body is still weak. You need a few weeks to recover in the hospital,” jawab perawat itu.
“Where’s my friend?” tanyaku lagi, cemas mencari Reza.
“Your friend went to class. Later, he will come here again,” jawab perawat itu.
Aku terdiam, merasa terkurung di ruangan ini, dikelilingi aroma obat yang tidak aku sukai dan infus yang menetes perlahan. Tanpa Reza, rasanya tidak ada yang bisa membangkitkan semangatku lagi.
Satu jam kemudian, dokter datang untuk memeriksa keadaanku.
“Excuse me, I’ll take your blood sample for the check,” ujar dokter Dr. Drandgill Davidson.
“Okay, Doctor,” jawabku lemas.
Setelah dokter mengambil sampel darahku, Reza datang dengan wajah cemas.
“Indri, aku khawatir sama kamu. Kamu kenapa?” tanyanya, terlihat sangat khawatir.
“Reza, syukurlah kamu datang. Aku cuma kena tifus,” jawabku dengan suara lemas.
“Okay, I’ll check the blood sample. And I’ve also written a prescription for the drugs to be redeemed later at the pharmacy,” kata dokter, sambil memberikan resep obat.
“Okay, Doctor. Thank you. I’ll go to the pharmacy later,” jawab Reza.
Dokter dan perawat meninggalkan ruangan. Reza pun duduk di sampingku, masih terlihat khawatir.
“Tuh kan, kamu kecapean pasti. Kalau aku bilang, kamu harus jaga kesehatan, jangan begadang sampai nggak tidur!” ujar Reza, sedikit marah.
“Iya, Za. Jangan marah-marah gitu dong. Nanti aku pasti dengerin apa kata kamu. Terima kasih ya, sudah jadi sahabat yang luar biasa,” jawabku lemas.
“Iya, Dri. Kita kan sama-sama merantau di sini. Kita nggak punya siapa-siapa, jadi kita harus saling menjaga dan saling membantu,” kata Reza dengan lembut.
Sejak sakit, aku terpaksa tidak mengikuti perkuliahan. Reza setiap hari datang menemaniku di rumah sakit setelah dia selesai aktivitas di kampus.
Dua minggu kemudian.
Aku sudah tidak sabar untuk kembali ke kampus. Sudah dua minggu aku terbaring di ruangan ini, dikelilingi aroma obat yang aku tidak suka. Reza, ke mana dia? Tidak biasanya dia tidak datang setiap pagi untuk menemuiku sebelum berangkat ke kampus.
Namun, hingga hari ini, dia tak kunjung datang. Aku khawatir. Apakah dia ada tugas kampus? Kenapa dia tidak menjengukku? Hari ini, dia bahkan tidak mengirim pesan apapun.
Tiba-tiba pintu terbuka.
“Akhirnya kamu datang juga, Za!” kataku, mengira itu Reza. Tapi ternyata bukan. “Sorry, nurse, I thought Reza came,” ucapku, sedikit malu.
“It’s okay. Today you can go home. You’ve been declared cured from typhoid,” jawab perawat itu dengan senyum.
“Thank you,” kataku, merasa lega.
Keesokan harinya, di kampus, ruang kelas.
Aku masih bingung dengan sikap Reza yang tak kunjung menghubungiku. Aku merasa khawatir. Namun, dari kejauhan, aku melihat Reza berjalan menuju kelas. Aku segera menghampirinya.
“Selamat pagi, Reza. Kamu ke mana aja? Kenapa kemarin nggak jenguk aku?” tanyaku dengan khawatir.
“Hai Indri, aku nggak apa-apa,” jawabnya dengan nada lembut. “Maaf ya, kemarin aku nggak sempat jenguk kamu dan nganterin kamu pulang. Syukurlah kalau kamu sudah sehat.”
“Iya, nggak apa-apa. Kamu udah makan?” tanyaku.
Semenjak aku pulang dari rumah sakit, aku merasa ada yang aneh dengan Reza. Dia terlihat pucat dan lemas. Aku coba mengajaknya untuk ke rumah sakit, tapi dia selalu menolaknya dengan alasan, “Aku nggak apa-apa, Indri.”
Beberapa jam kemudian, setelah selesai mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, aku mengajak Reza ke kantin. Aku memesan makanan favorit kami, namun anehnya, Reza tidak ikut memesannya. Aku makan sendirian.
Saat kami ngobrol, aku merasa ada yang berbeda. Reza terlihat lebih ceria, senyum manisnya kembali muncul.
“Kamu percaya dengan adanya hantu?” tanya Reza tiba-tiba.
“Tidak percaya,” jawabku singkat.
“Kenapa nggak percaya?” tanya Reza penasaran.
“Karena aku belum pernah melihatnya,” jawabku meyakinkan.
“Kalau kamu diberi kesempatan untuk melihat hantu, apa kamu akan percaya?” tanyanya lagi.
“Mungkin, tapi aku nggak mau. Ibuku bilang, hantu itu menyeramkan, jahat, dan suka mengganggu manusia. Aku nggak mau punya kemampuan melihat hantu seperti ibu,” jawabku.
Kami terus berbicara hingga makanan datang. Aku merasa nyaman berada di dekat Reza, bahkan dia bisa membuatku marah dan tertawa dalam waktu yang bersamaan. Sepertinya, aku mulai jatuh cinta padanya.
Pagi ini, sebelum perkuliahan dimulai, aku sempatkan diri untuk menyelesaikan tugas di perpustakaan. Seperti biasa, aku dan Reza pergi ke perpustakaan bersama. Tugas yang menumpuk selalu ada, dan aku cenderung mengerjakannya sehari sebelum deadline karena menurutku, cara ini lebih efektif—meski Reza bilang itu adalah pemalasan.
Di perpustakaan, aku mencari buku yang sulit ditemukan. Terpaksa aku naik ke lantai dua.
“Za, tolong cariin buku Criminal Law karya Glanville Williams, susah banget nyarinya,” kataku lewat WhatsApp.
“Baiklah, Dri. Kamu tunggu di sana ya, sebentar lagi aku naik,” balasnya.
Aku mencari di rak buku dari nomor 230 hingga 455. “Criminal... Law... Aduuuh,” kataku kaget saat aku menabrak seseorang.
“Maaf,” ucapku terburu-buru, dan ternyata itu Reza.
“Ya Tuhan, Reza! Kamu sengaja ya bikin jantung aku deg-degan?” kataku kesal.
“Ya gitu aja marah, eh tapi kamu cantik kalau marah,” kata Reza sambil tertawa.
Aku tidak bisa menahan senyum. Entah kenapa, setiap hari Reza selalu membuatku merasa bahagia, bahkan saat dia membuatku marah. Mungkin ini yang disebut cinta, meski terasa rumit untuk dimengerti.
“Udah, jangan marah lagi ya. Aku berhasil temuin buku yang kamu cari,” kata Reza sambil menyodorkan buku itu.
“Terima kasih, Reza. Kamu sahabatku yang paling ngerti dan baik banget,” jawabku, berlebihan.
“Ah, kamu berlebihan deh,” kata Reza, tersipu malu. “Makanya, kerjain tugasnya lebih awal, biar ada waktu untuk cari referensinya,” tambahnya.
“Kayak kamu yang nggak pernah!” jawabku kesal.
“Ya nggak sehari sebelum deadline lah, Dri,” jawabnya ketus.
“Ust... Diam deh, daripada ngoceh terus, mending bantuin aku cari penjelasan soal delik dan analisis kasus pidana yang baru-baru ini terjadi,” kataku sambil tersenyum.
“Iya, hehe,” jawabnya.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi.
“Reza, sebentar, handphone aku bergetar,” kataku, lalu membuka pesan dari Indonesia.
Isi pesan:
Ka, Ibu sakit. Kakak bisa pulang besok?
Aku terkejut dan syok. Ibu sakit, dan aku harus segera pulang.
“Reza, besok aku harus ke Indonesia, Ibu aku sakit,” kataku dengan cemas.
“Ya sudah, hati-hati di jalan. Nanti sore aku carikan tiket untuk kamu,” jawab Reza, selalu ada saat aku membutuhkan.
“Terima kasih, Reza. Kamu jaga kesehatan ya! Nanti aku bawakan oleh-oleh,” jawabku.
“Gak usah repot-repot,” kata Reza sambil tersenyum.
Namun, itu adalah senyuman terakhir yang aku lihat dari Reza. Sejak aku pulang ke Indonesia karena Ibu sakit, kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Aku khawatir, tapi tidak ada kabar dari Reza.
Dua bulan setelah Ibu sembuh, aku kembali ke New York. Aku sangat merindukan Reza dan ingin segera bertemu dengannya. Sesampainya di sana, aku mencari-cari dia, namun tidak ada jejaknya. Aku pergi ke asrama, mengirim pesan, namun tidak ada balasan. Aku semakin khawatir.
Keesokan harinya, aku pergi ke kampus, berharap bertemu dengan Reza, namun dia tidak ada. Aku bertanya kepada Prof. Dr. Ansell Cadlwell, wali dosen Reza.
“Reza passed away 3 months ago, when you were sick and undergoing intensive care in the hospital. Reza also left a letter for you,” jawab Prof. Ansell.
Hatiku hancur. Aku membuka surat yang ditinggalkan Reza untukku.
Isi Surat:
Assalamualaikum Aurelie Indriani, mungkin aku tak berani untuk mengungkapkan semua ini langsung, tapi aku ingin berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengenalkan aku dengan kamu, gadis baik, tangguh, pemberani, dan kuat. Sejak kita bertemu di masa orientasi kampus, aku merasa kita ditakdirkan untuk bersahabat. Tapi entah mengapa aku ingin lebih dari sekadar sahabat. Aku memendam perasaan ini karena aku tak ingin kamu menjauh setelah aku mengungkapkan semua ini.
Indri, aku akan pergi ke Indonesia. Ibuku meminta aku membawa Alisa, karena ibu harus menyelesaikan kasus ayah. Aku tidak sempat menjengukmu ke rumah sakit, karena pesawatku berangkat pukul 07.30. Aku sayang kamu, Indri. Semoga kita bertemu lagi suatu saat nanti.
Aku terisak membaca surat itu. Tuhan, aku tidak pernah menyadari betapa dalam perasaan Reza padaku.
Tuhan, kenapa baru sekarang aku mengerti cinta? Kenapa kau ambil dia begitu cepat? Terima kasih, New York, telah menjadi tempat penuh kenangan. Terima kasih, Reza, aku akan selalu mengikhlaskanmu. Tunggu aku di surga, Reza Ananta.