Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Banyak orang menjadi bertaubat, atau mendadak taubat. Masjid-maasjid yang dulu kosong sekarang menjadi penuh sesak akan para pencari berkah. Dan orang yang menjengkelkan tiba-tiba menjadi baik, termasuk penagih hutang sialan itu, yang menagih dengan sopan santun dan lemah lembut, pret! Lihat saja kalau sudah hari biasa. Saat ini dikontrakanku sedang terjadi perdebatan serius.
“Waduh! Gimana ya? Temen saya lagi keluar pak.” Ujarku memelas.
“Nggak apa-apa mas, pake uang mas aja, dan ini hari terakhir mas.”
“Berapa?”
“Empat ratus satu ribu.”
“Ha? Kok ada seribunya?”
“Emang gitu kok.”
Terpaksa aku mengeluarkan dompetku dan mengambil uang, hanya tersisa lima ratus ribu saja, nggak ada pecahan.
“Adanya limaratus ribu, ada kembaliannya pak?”
“Nggak ada mas, kalo mau, yang sembilan puluh sembilan buat saya aja, kan nggak repot, itung-itung sedekah.”
Plak! Duak!
“Gundulmu!!!”
Lalu aku mengusirnya.
“Saya emang gundul mas! Tapi saya harus dapat tagihannya!”
“Persetan lu! Pergi! Pergi!”
“Tapi..”
“Alahh..”
Buagh! Buagh!
Dan saat itu pula, temenku yang nggak tahu diri itu muncul.
“Woyy!! Stop! Stop!” serunya, “apaan sih ribut-ribut?”
“Pake nanya lagi! Dept Collector lu tuh!” seruku.
“Gue kan nggak punya utang.” Ujarnya watados.
“Terus ini kenapa nagih-nagih? Untung aja gue ngak ngasih duitnya. Masih selamat lu!” seruku menunjuk penagih yang botak itu.
“Emang bapak nagih siapa?” tanya temenku.
“Disini tertulis atas nama Bapak Randi Heriyanto.”
“Tu kan nama lo!” seruku.
“Heriyanto? Nama saya RENndi HARIyanto, bukan RANdi HERIyanto, dan jangan panggil saya bapak.”
Dan jelaslah semuanya. Ternyata cuma salah nama.
“Jadi gue salah denger?” tanyaku.
“Yaiyalah! Minta maaf sana!” serunya.
“Maaf pak..” ujarku.
“Nggak apa-apa, hari ini saya baik hati, kalau tidak sudah saya laporin kalian!” seru penagih botak itu.
Setelah semua masalah selesai, penagih botak yang babak belur itu langsung tancap gas menuju rumah orang yang di maksud.
“Soriiee Ren..” aku pun nyengir kuda.
“Nahan amarah bro, eh, mending lo ikut gue nyari takjil.”
“Buat buka?”
“Tarawih! Ya buat buka lah!”
“Katanya nahan amarah.”
“Astaghfirullahaladzim.”
Singkat cerita, pada sore itu kami berdua sampai di alun-alun yang ramai akan penjual takjil dan para pembeli yang berdesakan.
“Lo mau takjil apa?” tanya Rendi.
“Terserah, tapi jangan gandeng tangan gue!”
Sejenak semua orang ber-ehem ria.
“Puasa dek.”
“Kak masih normal gak sih?”
Sejak saat itu kami memisah dan mencari takjil masing-masing.
“Enaknya apa ya?” tanyaku.
Banyak sekali takjil-takjil penggoda lidah di sini. Kalo aku sih terserah tapi jangan pake gula merah, tapi khususon Bima Kusuma yang hobi majekin itu, kayaknya dia bisa makan apa aja, sialan banget dia nitip tapi ngasih duitnya nanti kalo udah ada takjilnya. Dan aku terus pergi menyusuri kios ke kios. Dan akhirnya..
“Lu lagi Ren?”
“Eh, Gilang lagi.”
“Kayaknya kita emang jodoh deh.” Kata-kata Rendi barusan membuatku berpikir untuk memukulinya setelah lebaran nanti, hiy!
Kami berpisah lagi dan berpisah lagi. tapi apa boleh buat, kami selalu berjumpa lagi. oke, kami memutuskan untuk pergi bersama.
“Kebiasaan!” seruku sambil menepis tangannya yang mulai menggandengku.
“Maklum lah bro, gue kagak pernah gandeng cewek.”
“Tapi gue bukan cewek tau! Gandeng aja mak lo!”
“Jauh bro, mak gue di kampung.”
Ya Allah, mimpi apa aku semalam? Tetap kami bersama lagi dengan dibumbui pandangan manusia-manusia suuzdon itu. Astaghfirulahaladzim. Dan setelah capek berjalan kaki, sampailah kami di penjual es buah di pojokan.
“Pak, saya..”
Bruk! Bapak-bapak itu pingsan.
“Lang kok pingsan?” Rendi bertanya dengan wajah panik.
“Yaelah tolongin! Lu panggil warga biar gue yang urus ni bapak!”
Akhirnya si Rendi pun pergi memanggil warga. Sementara itu, aku memberi pertolongan pertama pada bapak itu. Akhirnya pelajaran dari PMR berguna juga, nggak sia-sia walau awalnya tujuanku gabung sama mereka cuma biar bisa ngadem pas upacara.
“Nak?”
“Alhamdulillah, akhirnya bapak sadar juga.” Kami berdua bernapas lega.
“Biasa penyakit orang tua.”
“Bisa berdiri pak?” Tanyaku.
“Kalo kayak gini susah berdirinya.”
“Lang!”
Kulihat Rendi membawa banyak warga di belakangnya. Salah seorang mas-mas pun menaikkan bapak itu ke motornya dan pergi ke puskesmas.
“Nak, tolong gantiin saya ya.”
“Ee..”
“Siap pak!” seru Rendi.
Bapak-bapak itupun akhirnya pergi, dan aku disini dengan makhluk ini. Dan aku sama sekali tak tahu harga takjil-takjil ini, dengan mudahnya si munyuk ini mengatakan “iya” tanpa tahu akibatnya. Yah, nikmati saja, palingan gak terlalu rame yang beli, habis posisinya mojok gini sih.
“Kak beli es degan dua.”
Dugaan kami salah besar.
“Mas cepetan dong.”
“Ss..sabar bu.”
“Es buahnya tiga.”
“Saya dulu dong bang! Saya udah ngantri!”
Dan bla..bla..bla..
Satu jam kami melayani sampai peluh bercucuran yang gak sengaja jatoh ke es serutnya, moga aja rasanya gak asin. Untung saja si munyuk menemukan daftar harganya, kalau tidak matilah kita. Dan selesai. Lelah. Kami terduduk di kursi sambil menyeka keringat.
“Capek!” seru Rendi.
“Alah capek-capek! Lu sih nyuk pake bilang iya!”
“Ya gimana? Orangnya pingsan masa kita gak bantu? Itung-itung pahala cuy! Masih mending gue diem, coba kalo ama si Fandi yang darah tinggi, lo kena marah lagi!”
Aku diam. Benar juga kata si munyuk ini, daripada sama Fandi dia nanti protes melulu. Itu Kuntet seenak udel pulang kampung ga bilang-bilang, mana rumahku tetanggaan lagi sama dia. Aseemmm..
“Lang!”
“Paan sih nyuk?”
“Sembunyiin gue!” Rendi mendadak panik.
“Kenapa? Dept collector lagi?”
“Bukaaann...”
“Terus?”
Ia menunjuk sosok cantik yang sedang berjalan ke arah kami. Langsung saja dia sembunyi di bawah meja. Namanya Rahayu, gebetan si munyuk.
“Takjil yu?” Tanyaku menawarkan takjil.
“Iya, eh tadi kayaknya gue liat si Rendi.”
Aku melirik licik kebawah meja sambil tersenyum evil. Sementara dia cuma menempelkan telunjuk di bibir.
“Tu anak lagi ketoilet.”
“Oh gitu, eh es buah lima ya.”
“Oke yu!”
Sementara aku melayani pesanannya, sengaja aku menginjak jari si munyuk.
“Ugh!”
“Suara apa tuh?” Rahayu celingak-celinguk.
“Kayak si suara mun..eh Rendi maksud gue.” Aku melirik kebawah sambil tersenyum licik. “si Rendi kapan baliknya ya? Kayaknya lagi boker, terus sembelit.”
Ia mencubit betisku dengan keras.
“Kenapa Lang?”
“Ah gapapa. Nih yu. Kembalinya limaratus ya ehh..” aku sengaja menjatuhkan uang koin itu kebawah.
“Biar gue ambil lang.”
Tamatlah kau munyuk...
“Makasih lang, salam sama si Rendi.”
“Beres yuu..”
Setelah Rahayu menjauh, munyuk keluar dari bawah meja dengan ekspresi aneh, makssudku campuran marah, senang, dan malu.
“Lu kenapa nyuk? Itu kan cuma ayang Rahayu..”
Rendi melotot ke arahku, “ kampret lu! Pake nginjek jari segala lagi! sakit coeg!”
“Makanya jangan malu-malu.”
“Lang, Ren.”
Kami berbalik dan melihat Rahayu lagi.
“Tadi lupa, es degan satu, buat mama.”
“Eh gue capek banget nyuk.” Ujarku bohong, “lu yang bikin ya?”
“Ee..”
Jadilah si munyuk melayani pesanan gebetannya, saking groginya esnya sampai jatuh. Ia menatapku jengkel sekaligus senang.
“Nn..nih yu.”
“Makasih ya Ren, eh udah minum obat belum?”
“Obat?”
Aku menendang kakinya.
“Oh, iya-iya.”
“Makanya Ren jangan sampe kurang minum, jadi sembelit kan?”
“Iya-iya, makasih yu.”
“Pergi dulu ya.”
“Iya yu.. ati-ati” balasku.
Rahayu pun pergi. Munyuk langsung lemas di kursi tanpa ngomong apa-apa.
“Yaelah nyuk, gitu aja lemes, gimana mau lamaran?”
“Lulus kuliah aja belom dah mikir lamaran, sialan lu! Ngatain orang sembelit di depan gebetan!.”
Aku tertawa. Sialan ngomong-ngomong soal gebetan, sebenarnya aku udah punya pacar tapi putus gara-gara si Fandi. Sialan, dia ngebocorin rahasiaku.
“Lang liat deh tuh siapa?”
“Paan? Hah?!”
Seseorang gadis juga.
“Tu kan mantan lu lang. Jalan sama siapa tuh? Si Damar kan? Cowok paling tajir dan keren satu sekolah.” Rendi menunjuk ke arah mereka.
“Plis gue gak kuat nyuk.. sembunyiin gue..”
“Helehh..udah sana mereka nyamperin kesini tuh, layanin gih.”
Akhirnya aku yang melayani mereka. Sial, mana mesra-mesraan lagi.
“Eh lu mantannya pacar gue kan?” tanya Damar.
“Kalo iya kenapa?” aku menyerut es setengah gak ikhlas.
“Gapapa.”
Ingin ku berkata kasar.
“Katanya lu suka ngaduk semen di gelas buat eksperimen ya? Aneh banget."
Mendengar kata-kata itu aku jadi panas. Tapi es yang aku pegang ini membuatku berpikir lebih dingin.
"Ya, mending lah daripada suka makan bubur pakai sedotan, lebih aneh mana." Sindirku pada Damar, aku tahu karena pernah melihat postingannya sebelum dihapus.
Brak! Damar menggebrak meja dengan marah.
“Sabar Mar, nih pesanan kalian, lu jangan gebrak-gebrak ini kios bukan punya gue, paham?” Kataku dengan dingin.
Ia melempar uang duapuluh ribu padaku lalu pergi tanpa sepatah kata.
“Gila lu lang, sabar-sabar.” Rendi melihat kedua sejoli gila itu menjauh.
“Kalo bukan bulan puasa gue udah banting tuh orang!” seruku. “mana kurang sepuluh ribu lagi.”
Aku terduduk kembali sambil istighfar berkali-kali, sementara Rendi terus mengelus punggungku sambil berkata sabar-sabar. Jam menunjukkan pukul setengah enam, tapi bapak itu belum kembali juga.
“Nyuk, lu gak mikir apa yang terjadi sama bapak itu?” tanyaku.
“Mikir sih, seberapa parah sakitnya dia kok sampe pingsan gitu, moga aja sehat.”
“Aamiin..”
“Eh lang, ini takjil udah abis semua kah?”
Aku menatap si munyuk lalu menatap meja. Benar. Tanpa kami sadari seluruh dagangan telah habis. Entah perasaan apa ini, tapi rasanya bahagia sekali.
“Nyuk gue jadi pengen nangis bahagia.” Kataku sambil menitikkan air mata.
“Sama, katanya lu tadi gamau gantiin jualan.”
“Awalnya sih kagak mau nyuk, tapi berhubung gue udah bantu orang rasanya seneng aja.”
Munyuk pun tersenyum sambil menatapku dengan aneh.
“Udahlah senyumnya. Gue takut lu emang belok beneran lagi.” Kataku sedikit bergeser.
“Kagak lah, gue always forever dengan Rahayu.”
“Taiikk.. tadi aja lu sembunyi.”
“Malu tau!”
“Alaahh..”
“Allahuakbar..Allahuakbar..”
“Lah? Udah adzan aja nih?” Rendi tersenyum lepas.
“Udahlah nyuk ayo ke masjid, buka disana, kan ada takjil gratis.”
“Kiosnya?”
“Kasih uangnya nanti aja.”
Kami berjalan ke masjid dan menunaikan shalat magrib di sana. Setelah itu kami berbuka dengan takjil gratis dari pengurus masjid. Setelah itu kami kembali ke kios dan mendapati bapak itu telah di sana, dan dari ekspresinya ia nampak senang melihat kami.
“Ini pak hasil penjualan tadi.” Ucapku sambil menyerahkan uangnya.
“Wah, kalian emang baik, hehe saya kira takjilnya habis gara-gara diambil orang, taunya dijagaain, habis lagi, alhamdulillah. Oh ya ini upah kalian, saya bener-bener berterima kasih sama kalian.”
“Ndak usah pak kami ikhlas kok.” Coba tebak, ini perkataan si munyuk.
“Ayo terima, anggep aja ini takjil tapi berbentuk uang, malah saya yang nggak enak.”
“Beneran itu pak?” tanyanya.
“Iya ambil aja.”
“Yaudah deh kalo bapak memaksa.” Ia mengambil uang itu, belum ada lima menit udah berubah aja pendiriannya.
Kami pun berpamitan pulang. Uang itu kami bagi dua, cukuplah nambah uang kiriman yang mulai menipis.
Tamat