Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SONTAK Imam tersedak. Snack penuh penyedap yang baru saja ia makan dimuntahkannya. Didorongnya Rana yang ada di depannya hingga mau terjatuh.
“Jaga mulutmu kalau ngomong sama abang tertuamu!”
Rana melongo. “Astaghfirullah. Bang Imam kalau nggak percaya ayo pulang. Sudah banyak orang di rumah.”
Imam memang tidak percaya apa yang baru saja dikabarkan Rana, adiknya. Ibu wafat? Tidak mungkin. Tadi pagi masih segar bugar waktu berangkat kerja.
“Tadi siang pulang dari kerja, Ibu kecapaian. Hari ini kami bekerja di enam rumah,” Rana bertutur sambil melap air matanya. “Terus, tanpa mandi dulu, Ibu tidur di dipan. Tapi sampai jam 3 belum bangun juga. Rana coba bangunin karena Ibu belum makan, tapi Ibu diam saja. Tubuhnya dingin banget, dan... dan Ibu... nggak... bernapas.”
Tanpa berpikir panjang lagi Imam berlari kencang meninggalkan Rana yang tergopoh-gopoh mengikutinya di belakang.
Imam benar-benar panik. Bagaimana tidak, Imam (13 tahun) adalah anak yang pemalas. Padahal sebagai anak sulung, ia seharusnya membantu Ibu bekerja demi dua adiknya, Rana (8 tahun), dan Inti (6 tahun). Imam masih beruntung pernah mengenyam bangku sekolah, meski harus berhenti di kelas 5 SD, sedangkan kedua adiknya sama sekali tidak pernah sekolah.
Ayah Imam sudah lebih dulu meninggal dunia dua tahun lalu karena entah sakit apa yang dideritanya sejak lama. Ia tak punya biaya untuk berobat.
Ditinggal wafat suaminya, ibu Imam membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan menjadi buruh cuci-setrika dibantu adik-adik Imam. Setiap hari, sementara Ibu dan dua adiknya berangkat kerja, Imam masih terlelap. Dan begitu mereka pulang, Imam minta uang untuk jajan. Jadi, Rana dan Inti membantu Ibu mencari uang, sedangkan Imam membantu menghambur-hamburkannya. Imam punya tempat nongkrong favorit bersama teman-temannya, di perempatan lampu merah. Berbekal tepuk tangan dan suara yang asal-asalan, Imam berharap imbalan seribu-dua ribu rupiah dari para pemilik mobil. Jelas, ia tidak menjual suara, tapi hanya meminta-minta. Hasilnya, buat jajan, tentu saja....
DI RUMAH Imam kini sudah penuh dengan pelayat. Jasad Ibu sudah selesai dimandikan. Perasaan Imam campur aduk. Sedih karena ibunya wafat, marah karena Ibu meninggalkannya begitu saja, dan bingung bagaimana menjaga adik-adiknya nanti.
Rana dan Inti menghampiri Imam. Mereka berpelukan. Air mata Imam menetes. Ini pertama kali dalam hidupnya ia menangis.
“Imam,” tiba-tiba seseorang memegang pundaknya. Imam menengadah. Dilihatnya Ustaz Hidayat berdiri di sampingnya. Imam cepat-cepat menghapus air matanya.
“Tidak apa-apa, menangislah,” kata Ustaz. “Itu akan menghilangkan kesedihanmu.”
Ustaz sok tau, pikir Imam. Yang bisa membuat sedihku hilang adalah Ibu hidup lagi.
Imam memang tidak suka pada Ustaz Hidayat. Pria ini sering sekali datang ke rumah dan ngobrol dengan almarhumah Ibu. Tak jarang ia mengajak Ibu dan adik-adiknya pergi ke masjid dan mengajarinya mengaji. Kadang-kadang ia mengajak mereka berkunjung ke pesantrennya, Pesantren Griya Takwa, di desa sebelah. Di sana Ustaz Hidayat menjadi salah satu pemimpin.
Kalau Ustaz Hidayat datang ke rumah dan membawakan makanan, Imam tak pernah mau mencicipinya. Ia berpikir, sang ustaz pasti punya mau. Aku nggak akan pernah sudi kalau dia menjadi bapakku.
Ustaz Hidayat kini sedang mengelus-elus kepala Rana dan Inti. Keduanya menyandarkan kepala di tubuh ustaz. Melihat kejadian itu Imam mencibir, lalu masuk ke dalam kamar Ibu. Ustaz Hidayat melirik dari sudut matanya.
Di kamar Ibu, Imam merenung sambal meringkuk di atas dipan. Ia merasa tidak siap menghadapi situasi ini. Imam kini mau tak mau harus menggantikan posisi ibunya. Ia harus membersihkan dan merapikan rumah, mencuci baju, mencari uang untuk bertahan hidup, menjaga adik-adiknya, dan mengajak mereka salat dan mengaji. Sungguh berat.
Eh, sebentar. Salat dan mengaji? Mana mungkin? Dua hal itu sungguh membosankan bagi Imam. Beberapa kali ikut ke masjid bersama ibu dan adik-adiknya, Imam tidak tertarik dan memutuskan untuk tidak ikut lagi. Lebih enak ngamen dan minta-minta di jalanan. Ajakan dan bujukan Ibu untuk kembali ke masjid tak mampu menggoyahkannya.
“Bagaimana nasibku, Rana, dan Inti tanpa Ibu nanti?” Imam mengeluh dalam hati. “Makan apa? Yang masak siapa? Cari uang di mana? Aku bisa apa…?”
Tanpa sadar, Imam tertidur. Ia memimpikan Ibu yang mengenakan baju putih, wajahnya bersih, sedang berjalan meninggalkan rumah. Imam yang baru terbangun dari tidur mencoba mengejar. Tapi sampai di halaman rumah larinya tertahan sesuatu. Rasanya berat sekali untuk melangkah. Imam berteriak memanggil-manggil Ibu, tapi Ibu semakin menjauh dan kemudian menghilang di kegelapan.
Rana dan Inti datang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.
“Rana, Inti, Ibu meninggalkan kita! Kalian kejar Ibu sana! Minta dia untuk pulang! Ayo kejar!” Imam panik.
“Memang Ibu ke mana?” tanya Rana tersenyum penuh arti. Inti malah tertawa terbahak-bahak.
Imam bengong. “Kenapa kalian?”
Rana dan Inti tertawa makin keras dan berlari masuk ke dalam rumah. Imam mengikuti mereka. Rana dan Inti masuk ke dalam kamar Ibu. Imam menyusul. Kedua adiknya kini dipangku oleh Ibu yang duduk di tepi dipan.
Imam mendekati mereka, tapi begitu tinggal selangkah, mereka bertiga terbang ke atas dan tubuhnya menembus genteng. Tapi baju Ibu tidak. Baju itu tertahan oleh genteng dan melayang jatuh. Semakin ke bawah, baju itu mengecil dan berubah menjadi sapu tangan, dan terus melayang turun, lalu menghilang menembus bantal.
Imam tertegun. Ia mendekat, bermaksud mengambil sapu tangan itu di balik bantal. Tapi tiba-tiba seseorang memanggilnya dan membuatnya terjaga dari tidur.
“Imam! Ah, di situ kamu rupanya,” Ustaz Hidayat masuk ke dalam kamar. “Ibu mau dimakamkan. Kamu mau mengantar Ibu, kan?”
Imam hanya mengangguk ke Ustaz Hidayat yang mengajaknya keluar. Sebelum beranjak, Imam mengangkat bantal yang tadi dijatuhi sapu tangan Ibu dalam mimpinya. Imam melongo. Sebuah buku catatan kecil tergeletak di baliknya.
“Imam, ayo!” Ustaz Hidayat mengulang ajakannya.
Imam cepat-cepat mengambil buku itu dan menyimpan di saku celananya.
Di pemakaman semua orang berdoa untuk almarhumah Ibu. Imam membuka buku catatan Ibu yang ditemukannya. Rupanya semacam buku harian. Ada nama-nama bulan dan angka-angka di bawahnya. Sepertinya itu catatan pengelolaan uang harian. Ada juga ungkapan hatinya tentang anak-anaknya. Ia menyebut keinginannya untuk menyekolahkan Inti, Rana, dan Imam. “Agar hidup mereka lebih terang, tidak seperti aku.” Ibu melingkari kalimat itu.
Perlahan, muncul rasa simpati di hati Imam.
Ia terus membuka lembar demi lembar buku kecil itu. Tiba di halaman-halaman belakang, ia tertegun membaca sebuah tulisan tangan Ibu. Sepertinya Ibu sedang menulis surat kepada seseorang.
NURSALIMKU, kaulah idolaku. Aku yakin lima macam kekayaanmu itu akan mampu menjaga hidup keluargaku. Anak-anakku masih kecil, tapi justru inilah saat yang tepat memperkenalkanmu pada mereka. Lebih cepat lebih bagus. Dan aku berharap Imam yang akan memulainya. Dia anak pintar, tapi tidak sadar. Semoga Allah menurunkan Hidayah kepadanya dan menuntunnya menemukanmu.
“Ibu punya teman orang kaya, dan dialah yang akan menyelamatkan keluarga kami, menjadi bapak kami.” pikir Imam. “Bukan ustaz Hidayat.”
SORE harinya, masih banyak orang melayat di rumah. Ustaz Hidayat yang mewakili keluarga menerima para tetangga yang masih berdatangan.
Imam mengendap-endap keluar rumah. Di dalam surat Ibu yang ia baca tadi, Ibu mengharapkan Imam mencari Nursalim, teman ibu yang kaya. Tapi, ke mana?
Tujuan pertama Imam adalah ke masjid. Dari namanya, Nursalim itu pasti orang alim, rajin ke masjid. Imam pun mendatangi salah seorang pengurus masjid.
“Pak Syaiful, apakah Bapak kenal orang bernama Nursalim?”
“Assalamualaikum, Imam,” Pak Syaiful sedikit menyindir. Tapi Imam tidak merasa tersindir. “Rasanya nggak ada yang namanya Nursalim di kampung kita. Bagaimana ciri-cirinya?”
“Mmm… orangnya kaya.”
Pak Syaiful mengernyitkan dahi. “Ada tiga orang kaya di kampung kita. Pak Mahmud, Pak Hendra, dan Om Liem. Nggak ada Nursalim.”
Imam terdiam sesaat, lalu bergegas pergi meninggalkan masjid, lupa berterima kasih.
“Sama-sama, Imam,” Pak Syaiful tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Orang kaya pastilah kenal dengan sesama orang kaya. Maka, tujuan Imam berikutnya adalah orang-orang kaya di kampungnya. Imam mendatangi rumah mereka satu per satu—Pak Mahmud, Pak Hendra, dan Om Liem. Tapi sama seperti Pak Syaiful, ketiganya juga menyatakan tidak mengenal nama Nursalim.
“Saranku, coba kau pergi ke warnet dan mencari nama itu di internet,” kata Om Liem. “Kau punya uang?” Imam hanya tersenyum dan berlalu dari situ.
Ia memang sering mendengar kalau internet itu serbatahu. Tapi selain tak punya uang, Imam juga sama sekali tidak paham bagaimana menggunakan internet. Ia akhirnya duduk-duduk di tempat ia biasa nongkrong. Di sana sudah sepi, tidak ada satu pun temannya.
Imam kembali membuka-buka buku Ibu sambil berharap menemukan petunjuk. Namun hingga halaman terakhir pun Imam tidak menemukan apa yang dicarinya. Imam termenung, tidak tahu apa yang mau dilakukan. Sementara hari sudah mulai gelap. Ia baru sadar perutnya terasa lapar.
“Imam!” Dari kejauhan, Ustaz Hidayat berlari menghampirinya. Imam hanya menengok sebentar ke arah datangnya suara, lalu kembali melamun.
“Imam, ayo pulang. Adik-adikmu membutuhkan dirimu,” ujar Ustaz Hidayat. “Jangan takut, kalian tidak akan sendirian. Mulai sekarang aku akan menemani kalian, seperti yang dipesankan almarhumah Ibu.”
Imam menatap ustaz Hidayat. Benar dugaannya selama ini bahwa ustaz ini memang ada maunya dengan Ibu.
“Bukan Ustaz Hidayat yang diharapkan Ibu!” teriak Imam. “Ibu sudah punya pria lain!”
Ustaz Hidayat tertegun. Ia tidak menduga Imam berkata begitu.
Imam menyodorkan buku Ibu kepada Ustaz Hidayat. “Empat halaman dari belakang,” katanya. Biar dia tahu yang sesungguhnya.
Ustaz Hidayat membaca surat itu. Raut wajahnya menunjukkan ia tidak percaya dengan apa yang sedang dibacanya. Lama ia membaca berulang-ulang tulisan Ibu itu dan akhirnya tersenyum. “Imam, ayo kita pulang dulu. Setelah makan nanti kita bicarakan soal surat ini. Aku janji kamu akan mendapatkan jawabannya.”
Imam yang memang sudah merasa lapar akhirnya mau menuruti ajakan Ustaz Hidayat.
SELEPAS salat Magrib berjamaah, mereka duduk berempat di dalam rumah. Imam, Rana, Inti, dan Ustaz Hidayat.
“Anak-anakku,” Ustaz Hidayat membuka pembicaraan. “Ketahuilah, jauh-jauh hari sebelum Ibu kalian wafat, beliau sudah berpesan kepadaku untuk menjaga kalian menggantikan almarhum Bapak.”
Imam mendengus sambil melihat ke arah lain.
“Itulah mengapa aku selalu terlihat akrab dengan Ibu, dan juga kamu Rana dan Inti,” ustaz mengatakan ini sambil melirik ke arah Imam.
“Waktu itu sebetulnya Ibu kalian sudah merasakan penyakitnya. Kata dokter, Ibu punya kelainan jantung. Beliau tidak boleh terlalu lelah atau stres. Aku sudah memperingatkannya untuk berhenti bekerja, tapi beliau tetap bersikeras. Dan rupanya Allah-lah yang bisa menghentikannya melalui kuasa-Nya. Innalillaahi wa innaa ilaihi raajiun.
“Nah, sekarang kalian tidak perlu cemas. Aku akan menjalankan pesan almarhumah Ibu dengan menjadi ayah angkat kalian.”
“Tapi yang Ibu tulis di buku itu tidak begitu maunya,” Imam menyela.
Ustaz Hidayat tersenyum.
“Imam, di antara ketiga anak Ibu, kamu memang paling jauh denganku. Wajar kalau kamu tidak mengenalku. Bahkan sebetulnya kamu juga tidak mengenal Ibu dengan baik. Rana dan Inti tahu betul bahwa Ibu punya penyakit serius. Ibu juga memberi tahu mereka berdua untuk menganggapku sebagai saudara sendiri. Betul kan, Rana, Inti?”
Imam memandang kedua adiknya. Mereka mengangguk-angguk.
“Satu lagi yang kamu tidak tahu, Imam. Ibu suka mengungkapkan perasaan dengan menulis. Itulah sebabnya Ibu punya semacam buku harian. Dan Ibu juga suka teka-teki atau tebak-tebakan. Rana dan Inti sudah kenyang dengan tebak-tebakan Ibu, kan?”
Rana dan Inti mengangguk tersenyum. Imam ingat sesekali mendengar Ibu bermain tebak-tebakan dengan adik-adiknya. Mereka tertawa-tawa dengan lepas. Imam tak pernah mau bergabung meskipun diajak. Kini Imam merasa menyesal. Kenapa baru sekarang aku merasa membutuhkan Ibu?
“Nah, catatan yang kamu temukan itu bukanlah surat untuk seorang bernama Nursalim. Itu adalah surat untukmu, Imam,” ustaz Hidayat melanjutkan.
“Kok bisa?” Imam keheranan. “Kan jelas tertulis nama Nursalim.”
“Tepatnya, NURSALIMKU. Kata itu adalah kunci dari isi surat ini. Karenanya Ibu menulisnya dengan huruf kapital. Kalau kamu bolak-balik susunan huruf-huruf itu, kamu akan menemukan kata yang diinginkan.” Ustaz Hidayat mengambil selembar kertas dan menyusun ulang huruf-huruf tersebut, sehingga menjadi RUKUN ISLAM.
Imam masih belum mengerti. Dibacanya surat itu lagi. NURSALIMKU, kaulah idolaku. Aku yakin kekayaanmu yang lima macam itu akan mampu menjaga hidup keluargaku. Mengapa Ibu mengidolakan Rukun Islam, dan kekayaan apa yang dimilikinya? Imam menunggu penjelasan lebih lanjut dari ustaz Hidayat.
“Kalau kita sering mengaji, pastilah tahu bahwa Rukun Islam itu terdiri dari lima hal yang wajib kita pahami sebagai dasar untuk menjalani hidup kita sebagai seorang Muslim. Lima dasar itu adalah membaca dua kalimat Syahadat, mendirikan salat lima waktu, membayar zakat, menjalankan puasa Ramadan, dan menunaikan ibadah haji bila mampu. Itulah yang dimaksud Ibu dengan lima kekayaan.
“Kalau semua ini dijalankan, insya Allah hidup kita akan menjadi lebih kaya dengan segala pahala dan kebaikan sehingga kita akan selamat di akhirat. Rukun Islam memang layak untuk diidolakan semua umat Muslim. NURSALIMKU, kaulah idolaku. ”
“Di surat itu Ibu berharap aku yang memulai. Maksudnya apa?” tanya Imam.
“Kamu anak tertua, Imam. Ibumu berharap kamu menjadi imam atau pemimpin untuk adik-adikmu. Tapi sebelum memimpin mereka, kamu harus memulai dengan memimpin dirimu sendiri. Nah, selama ini sudahkah kamu begitu? Kamu sendiri yang tahu.”
Imam termenung. Memimpin dirinya sendiri saja tidak mampu, apalagi memimpin adik-adiknya.
“Jangan khawatir, Imam,” kata Ustaz Hidayat seolah mengerti apa yang dirisaukan Imam. Ia melanjutkan membaca surat Ibu. “Semoga Allah menurunkan hidayah kepadanya dan menuntunnya menemukanmu. ‘Hidayah’ itu maksudnya adalah Hidayat—namaku. Nah, maksud Ibumu, akulah yang diminta untuk membimbingmu dalam ‘menemukan Nursalimku’ atau dengan kata lain, mempelajari Rukun Islam.”
Imam kembali terdiam. Matanya basah. Ditatapnya Ustaz Hidayat.
“Kalau mau, kalian aku ajak belajar di pesantrenku. Kita akan mengumpulkan bekal untuk menjalani kehidupan sesuai petunjuk dan tuntunan Allah. Agar kalian semua menjadi penerus bangsa yang pintar, tangguh, dan bertakwa.”
Imam dan kedua adiknya mendengarkan dengan saksama.
“Aku siap kalau kau sudah siap, Imam.”
Imam sesenggukan. “Ustaz,” katanya sambil melap air mata. “Besok mau, kan, mengantarkan aku ke makam Ibu?”
“Siap. Kamu mau apa?”
Sambil berjalan masuk ke dalam kamar, Imam menjawab, “Mau minta maaf.”
* * *