Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tamu-tamu undangan satu dua datang bersama anak kecil, biasanya adalah putra-putri mereka. Namun, ada satu di antara mereka, seorang wanita pertengahan usia dua puluhan, tegas, agak kaku, tetapi dengan mata tajam yang sedikit-sedikit menunjukkan tanda kelembutan yang kesulitan untuk dia ungkapkan. Lelaki kecil yang mengekor ke mana pun dia melangkah untuk menyapa singkat rekan-rekan, bukanlah putranya.
“Master, mengapa orang dewasa menikah?” katanya, sambil mendongak, saat wanita itu berdiri di sisi agak belakang aula besar, selesai dengan basa-basi para orang dewasa, memandang panggung dengan dekorasi putih megah, kursi panjang, juga sepasang wanita dan pria yang tersenyum berbinar-binar.
“Karena mereka ingin hidup bersama selamanya.” Hanya itu yang diucapkan wanita tersebut, toh definisi tentang pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dimengerti oleh anak kecil dengan mudah.
Namun, agaknya bagi lelaki kecil itu, bayang-bayang tentang bersama selamanya, tidak henti memenuhi pikirannya. Selepas dari menghadiri undangan hari ini, mereka kembali.
Mansion besar berbentuk persegi dengan tanah lapang luas di tengah, sebagai area latihan. Tempat pelatihan ini sepi sejak menjelang petang, hanya lelaki kecil itu yang tak tidak pulang ke rumah selepas pelajaran, justru menetap di sana bersama wanita muda, sang master yang bukan hanya sekali dua kali dibuat sakit kepala olehnya. Bahkan dengan perawakan tegas dan dingin, lelaki kecil itu seakan-akan tidak melihat jarak di antara mereka. Mungkin karena dia satu-satunya yang dipungut oleh wanita itu dari jalan.
“Master!” Hingga langit telah gelap sekali pun, anak lelaki mungil itu masih tak terlihat berkurang sedikit pun tenaganya. Dia menyusul sang wanita di balkon lantai dua bangunan utama tempat pelatihan selepas mandi dan mengenakan pakaian santai. Dia merangkak, agak kesulitan menaiki kursi di pinggir balkon, sedangkan seseorang yang dihampiri berdiri menyandar pagar.
Wanita itu meliriknya sebentar. Angin di bawah bintang-bintang malam terasa dingin bercampur sunyi, agak-agak menusuk kulit, tetapi seperti membawa ketenangan.
“Bila aku nanti sudah tumbuh dewasa, aku mau menikahi Master!”
Wanita itu tertawa tipis, tetapi jelas sekali dia terkejut dan tergelitik di saat bersamaan. “Mengapa? Memangnya kau tahu apa itu menikah?”
“Tahu! Kita akan hidup bersama, seperti kata Master tadi.” Dia keras kepala seperti biasa. “Aku ingin melindungi Master setiap waktu!”
Wanita itu sudah hendak tertawa lagi, bahkan lebih keras, saat menoleh untuk menatap anak lelaki itu. Namun, dia kemudian terdiam, begitu mendapati tatapan berbinar yang polos, tetapi begitu tulus—yang agaknya tak bisa dilakukan oleh orang dewasa dengan segala tipu daya yang menempel di punggung mereka seiring dunia menampar dengan segala luka sepanjang tahun-tahun berlalu.
“Aku akan selalu berada di sisi Master! Aku akan menjaga Master dari setiap orang jahat! Aku akan menjadi seseorang yang selalu dan paling bisa Master andalkan! Percayalah kepadaku, Master!” Dia sama sekali tidak tertawa. Ucapannya mungkin terdengar seperti omong kosong bodoh, tetapi kesungguhannya mengakar.
Beberapa saat tertegun, wanita itu akhirnya terkekeh juga. “Kau masih anak kecil. Lagi pula, aku tak membutuhkan perlindungan dari muridku sendiri.”
Anak lelaki kecil itu cemberut, agaknya sudah muak diremehkan oleh gurunya, mentang-mentang dia hanyalah salah satu siswa biasa, bahkan yang paling belia di tempat pelatihan. Dia bukanlah kebanggaan jendral seperti kakak tingkatnya. “Namun, aku benar-benar ingin melindungi Master! Aku…,” dia mendekatkan tubuh sedikit, persis seperti anak kecil yang merengek, “aku tak ingin Master sampai terluka! Nanti aku akan sedih.”
“Kau masih terlalu belia untuk membicarakan pernikahan.” Wanita itu menghela napas tipis.
“Kalau begitu, saat nanti aku telah dewasa…,” anak lelaki itu tersenyum lebar, “berjanjilah untuk menikah denganku, Master!”
Wanita itu terkejut—kali ini kentara dengan cukup jelas. Siapa sangka murid belianya pintar memutar kata-kata. Sekali lagi dia tertawa kecil, sambil menggeleng. “Iya, iya….” Dia menyerah, bukan serius menanggapi, tetapi hanya ingin anak kecil itu diam.
Tawa kegirangan anak itu meledak seketika, membuat wanita di sebelahnya sakit kepala sambil tergelitik. Ada-ada saja omongan anak kecil.
“Master dapat percaya padaku. Saat aku dewasa, Master akan selaluuu bisa mengandalkanku. Aku berjanji!”
Sementara janji anak kecil, adalah sebuah janji—sungguh-sungguh janji.
“Baiklah, kupegang kata-katamu. Pastikan kau benar-benar tumbuh menjadi pria yang tangguh dan bisa diandalkan. Aku akan mengawasimu, lho,” kata masternya, hanya menakuti-nakuti seperti biasa.
Namun, bagi si anak lelaki kecil yang memang sejak awal bukan takut kepada masternya, melainkan patuh dan menghargai, kalimat itu tidak menjadi apa pun selain sebuah pondasi kokoh dan tinggi yang memegangnya erat.
Bersama janjinya.
Anak itu benar-benar menjadi jauh lebih menempel dengan masternya. Batu kecil, lebah, bahkan nyamuk, tak ada yang boleh melukai wanita itu. Dia akan tanggap membereskan semuanya.
Tak jarang, saat berusaha selalu melindungi, anak itu berujung gagal dan melakukan hal bodoh sendiri. Tawa kecil masternya sambil menggeleng-geleng kepala, membuatnya cemberut. Namun, anak lelaki kecil itu belum kunjung berhenti.
Semua itu terasa seperti sebuah omong kosong. Setidaknya sampai dia dengan berani berdiri menghadang seorang pria dewasa dari masternya, dengan pose kuda-kuda dan sebuah pedang—asli, bukan pedang kayu yang biasa digunakan latihan. Hanya sesaat setelah obrolan mereka berdua yang menurut anak itu sulit dimengerti, berujung dengan setetes air mata di pipi wanita itu.
“Tak ada yang boleh membuat Master menangis!”
Malam telah turun. Pepohonan tinggi dengan bunyi-bunyi ranting bergesekan terdengar lebih kencang. Anak lelaki itu datang membawa teh hangat, menyusul masternya yang duduk di kursi ruang tengah yang sunyi. “Minumlah pelan-pelan, Master.”
Anak itu beruntung karena pria yang dihadapinya bukanlah salah satu garda terdepan, atau bahkan seorang letnan seperti masternya, benar-benar orang biasa. Namun, satu hal yang pasti—dan agaknya hanya bisa dilakukan oleh anak lelaki itu—dia memegang ucapannya untuk selalu melindungi, bahkan menjaga masternya.
Dia menunduk sedikit untuk menatap wajah wanita itu yang agak menunduk. “Bolehkah aku menghapus air matamu?”
“Aku bisa sendiri.”
“Aku yang akan melakukannya!” Anak itu bersikeras, lalu tiba-tiba telah menempelkan sebuah sapu tangan bersih di pipi masternya. Tangannya lembut, meski terlihat sembrono.
Wanita itu akhirnya tak bisa menahan sebuah senyuman tipis.
“Oh, Master tertawa!” Anak lelaki kecil itu girang. “Sekarang, Master sudah tidak sedih lagi, ya?”
Janjinya, juga setiap caranya untuk menetapi, seharusnya semesta tidaklah kejam. Seharusnya semesta tak memisahkan mereka, berulang-ulang, bertubi-tubi, dengan segala cara paling kejam sekali pun.
Anak itu masih pandai dalam memegang janjinya, bahkan hingga dewasa sekali pun. Dia benar-benar telah tumbuh menjadi seorang pemuda usia awal dua puluhan. Tinggi, tegap, bukan lagi memegang pedang kayu, melainkan yang asli.
Dia telah lama meninggalkan tempat pelatihan. Namun, tidak dengan kata-katanya. Dia masih mengingatnya, meski seorang masternya kemudian menikah dengan pria lain—kali ini benar-benar baik—hanya beberapa tahun setelahnya.
Anak itu bisa apa saat Masternya benar-benar bertemu pria yang terbaik. Yang sama baiknya, atau mungkin sesungguh anak itu lebih lebih baik, hanya saja pria itu lahir lebih awal, atau dia yang lahir terlambat.
Saat ini, dia berdiri di tengah hamparan luas bukit. Senja mulai menyelinap, membuat batu-batu dengan tulisan nama orang-orang, berkiauan sedikit, seperti warna duka, air mata, penyesalan, dan kebanggaan.
Aku telah dewasa, Master. Sekarang, semua orang benar-benar telah bisa mengandalkanku. Jenderal yang baru bahkan mengangkatku sebagai tangan kanannya. Andai saja, kata-kata itu masih ada maknanya.
Tiga hari lalu, dia dipanggil datang memperingati upacara pemakaman beberapa petinggi yang gugur. Foto-foto mereka terpampang, termasuk seorang wanita dengan sebuah senyuman tipis yang dulu dia ingat pernah begitu dingin dan tegas.
Master.
Juga seorang pria di sebelahnya, sang suami.
“Tuan, dingin….” Jemari mungil dan cantik yang sejak menggenggamnya, kini terasa makin erat.
“Ayo kita pulang. Minggu depan, mari berkunjung ke papa dan mamamu lagi, bagaimana?”
Gadis kecil itu mengangguk.
“Sebelum kita kembali.” Pemuda itu berjongkok, menyamakan pandangan dengan anak itu. Dia tersenyum lebar, menyapu habis seluruh pucat dan duka di mukanya sekian detik lalu. “Coba panggil aku Papi!”
Gadis kecil itu tersenyum tipis—sebuah senyuman yang rasanya pemuda itu begitu familiar. “Papi….”
Dia tertawa kecil, kegirangan sedikit. “Benar begitu….” Rasanya campur aduk. Lebih ke miris, agaknya. Pasalnya, seharusnya dialah yang sejak awal memang dipanggil demikian.
Andai semesta tak pernah memberikan jarak.
“Hei, jangan mengajari adikku yang aneh-aneh!” sahut seorang gadis remaja yang berdiri di belakang, tak jauh dari mereka.
Pemuda itu mendengus. “Diamlah! Bagaimana dengan segala sesuatu di rumah? Pasti berantakan setelah Master dan Tuan tiada, bukan? Aku akan membantu.”
“Aku tak butuh bantuan—”
“Sudah kubilang aku akan membantu!” Keras kepalanya pemuda itu masih tak berubah sejak dia kecil. Dia melingkarkan lengan pada gadis kecil itu, sebelum mengangkat dan menggendongnya, membawanya sambil beranjak pergi dari bukit.
“Hei! Apa-apaan kau ini?!” Gadis remaja itu ikut menyusul, masih terus mengomel.
Angin di tepi bukit perlahan menjadi makin dingin. Sore sudah mulai bercampur kebiruan gelap khas langit malam. Angin menjadi lebih kencang, tetapi bintang-bintang menyala terang seperti sebuah kotak musik dengan alunan lagu selamat tidur.
“Lagi pula, aku sudah berjanji….”