Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Mengapa Aku Belum Ingin Mati?
0
Suka
72
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kamar bercat putih ini pasti sudah hafal kalau aku sedang gulana pasti makin nyaring bunyi ketikan dari laptopku

"Yaa Allah, aku lelah" batinku.

Asal kalian tahu, akhir-akhir ini aku kembali banyak menangis tak pandang tempat, bahkan sabtu siang kemarin aku menangis di dalam Trans Padang dari Binuang Kampung Dalam hingga Pasar Raya. Saat itu aku merasakan sakit di seluruh badan, ironinya aku menyimpan sendiri rasa sakit itu. Sejujurnya aku tidak mau memendam sakit itu sendiri, tapi nyatanya memang aku tidak bisa berharap banyak dengan manusia, teman yang sudah ku anggap keluarga sekalipun tak bersedia menemaniku untuk berobat sabtu siang itu.

Aku takut rumah sakit.

Mungkin karena aku bilang padanya minta diantar ke tempat pijat refleksi, itu sebabnya ia menolak mengantarku, mungkin dikiranya aku bukan mau berobat namun hanya melepas penat. Di mataku ia terlihat cukup menyepelekan sakit yang ku rasakan. Itu buruk sangka ku padanya, jika aku salah berprasangka maafkan aku Tuhan.

“Haaaahhh…” hela napasku berat sekali detik ini, teramat berat hingga dadaku sesak, mataku yang hanya segaris tipis ini juga sembab. Lalu, agar lebih terdramatisir tulisan ini, jangan lewatkan juga dengan hidungku yang basah dan sedikit mengeluarkan bunyi isakan.

Sederhananya aku menangis sedih.

Rumit sekali bukan aku menyampaikan perasaanku, itu karena aku terlalu sering memendam perasaan dan sialnya aku rasa aku hanya bisa jujur apa adanya hanya ditulisanku. Aku tiba-tiba teringat Dila, sahabatku di Jogja yang pernah bertanya ‘apakah aku pernah merasa ingin mati?’

Waktu Dila bertanya demikian padaku dengan penuh keyakinan aku membantah bilang tak pernah, 'masa iya mau mati?' dosaku masih banyak dan amal baikku belum tau yang mana saja yang diterima untuk seleksi masuk surga. Tapi, beda cerita kalau Dila melemparkanku pertanyaan itu sabtu lalu. Pasti dengan penuh keyakinan pula aku akan menjawab, “Pernah, Di... Sekarang!”

 Kalau kalian melihat aku yang berdiri di tengah kerumunan penumpang Trans Padang sabtu lalu, kalian akan menemukan sosok perempuan kesepian yang menangis sesegukan karena merasakan sakit hebat, di kepala, tulang belakang hingga pinggang, nyeri otot lengan, paha dan betis kaku, dan tokoh utamanya hati yang remuk dan sangat lebam.

Aku ingin meminta penumpang lain untuk bergantian memberikan tempat duduk padaku, tapi untuk bicara saja aku sudah gemetar, tak sanggup. Sepertinya semua orang yang sempat melihatku pasti langsung sadar bahwa aku menangis, karena air mataku sangat candu terjun bebas ke wajahku yang agak kering karena tak sempat ku oles pelembab. Bahkan sudah terbuat lintasan sungai air mata di kedua pipiku saking derasnya air mata itu mengalirkan marah dan rasa sakit dalam jiwaku.

 Setelah berdiri lama mencengkram pegangan tangan yang tergantung di bagian atas Trans Padang, akhirnya ada penumpang yang turun, aku bergegas duduk.

Aku pikir sakit yang mendera tubuhku akan mereda, ternyata lebih terasa bagian tubuhku mana saja yang cidera. Novel “Manusia Silver” yang dikirim oleh salah satu relasiku di dunia kepenulisan menjadi tamengku menutupi isak tangis yang terlanjur dilihat oleh banyak mata di kendaraan umum itu, bahkan kernet yang semula begitu cerewet menanyaiku ingin membayar dengan metode apa itu pun membisu, tak berani bertemu mata denganku apalagi menanyaiku lagi. Mungkin kalau aku langsung turun tanpa membayar, kernet itu tak akan berani memarahiku.

Mungkin...

Agaknya sakit yang menyerang tubuhku ini sudah mencapai puncak tertingginya, sampai-sampai aku tak peduli dengan tatapan aneh yang dilempar orang-orang padaku, aku hanya ingin menangis dan sudah tak sanggup lagi menahannya, itu saja sebetulnya ku tahan agar tak berteriak atau meraung kesakitan. Barulah saat kendaraan yang ku tumpangi sabtu itu berhenti—tepat setelah aku menyelesaikan pembayaran, sakit yang ku rasakan mau tak mau harus ku lawan agar bisa turun dari kendaraan itu.

Hup!

Bingung adalah perasaan yang mendominasi diriku saat turun di trotoar seberang bioskop. Aku tak mau ada di tengah keramaian, lebih tepatnya aku cemas berada di tempat ini sendiri. Bukan kehendakku demikian, ini adalah dampak dari agorafobia yang terlanjur bersarang di jiwaku. Hampir saja badan perempuan ramping ini terhuyung di halte pemberhentian terakhir Trans Padang koridor 6. Lututku lemas berada dikeramaian yang jarang ku lalui, tiba-tiba saat itu aku merasa wajah orang seperti menunjukkan ekspresi jahat yang membuatku harus selalu waspada.

Aku sadar itu hanya halusinasiku saja, tetapi aku tak mampu mengontrol perasaan takutku bertemu dengan orang-orang asing itu. Rasa cemasku itu membuatku makin lemas. Sudahlah sedang sakit, lemas, cemas, sendirian pula. Menyedihkan sekali untuk diceritakan sebetulnya.

Tetapi, aku membuat tulisan ini bukan untuk dikasihani atau menjual cerita sedihku. Aku hanya ingin mengabadikan salah satu perjuanganku untuk sembuh, juga ingin menceritakan bahwa aku bukanlah perempuan yang gampang menyerah dan menyalahkan orang lain dari kesulitan yang ku alami.

Kembali ke cerita sabtu lalu, saat kecemasan berlebihan melandaku yang baru turun dari transportasi publik, dengan langkah tertatih aku berusaha mencari tempat duduk yang sepi. Cemasku saat itu harus ku redakan dulu, sebab aku kesulitan bernapas dibuatnya. Untung saat aku menoleh ke kiri ada bangku pinggir jalan yang kosong, mungkin jaraknya sekitar 100 meter dari tempat aku berdiri. Usai menempuh jarak yang sebetulnya dekat itu, aku mencoba mengatur napas agar lebih teratur, 'agar bisa lebih tenang'

Hahaha..

Mau ku begitu.

Tapi bukannya tenang aku malah menangis sesegukan, sebab telingaku terasa sangat sakit karena bisingnya jalan raya. Aku rasa kepalaku bisa saja pecah jika aku tidak menutupinya dengan headpone milik temanku yang sengaja ku bawa. Aku sudah memprediksi situasi ini, selain agorafobia aku punya riwayat PTSD yang mana traumaku itu salah satunya bisa kambuh saat berada di sekitar jalan raya sendirian. Setelah berkonsultasi dengan psikiater beberapa bulan yang lalu, sekarang aku sedikit lebih tahu bagaimana cara mengontrol kecemasan berlebihanku saat berada di sekitar jalan raya.

“Haaaahhh…” hela napasku berat sekali detik itu.

Bangku trotoar kala itu menjadi saksi bisu tentang aku yang beralibi membaca novel, agar bila ditanya ‘mengapa aku menangis?’ akan ku jadikan alur novel ini sebagai alasan. Aku harap Tuhan tak menghukumku jika aku bohong demikian. Karena sudah berniat seperti itu benar adanya bahwa tak berguna ku tatap halaman novel saat itu, sebab tulisannya makin mengabur oleh air mataku yang makin berdesakan seakan tak paham caranya antri untuk membebaskan diri dari kelopak mataku yang kecil.

Itu sebabnya aku memilih untuk berhenti berusaha mengalihkan emosiku yang memang masih ingin menangis. Saat itu aku betul-betul menangis sampai mengeluarkan suara, barangkali kalau kalian mendengarnya akan tertangkap oleh gendang telinga kalian irama pilu yang bersumber dari pita suaraku,

Siang itu…

Di pinggir jalan Pasar Raya, seberang bioskop.

Masih segar di ingatanku bahwa detik itu aku begitu termotivasi untuk berdiri di tengah jalan untuk menghentikan laju kendaraan yang amat bising. Pasti kalau tindakan itu benar-benar ku lakukan aku hampir saja terbunuh, ditabrak kendaraan yang melaju kencang dari persimpangan. Aku ingin melakukan itu bukan karena mau “cari mati” bahkan sebenarnya aku ingin melakukan itu karena masih ingin merasakan hidup yang tenang.

Syukur, ponselku berdering saat aku baru saja tenang dari sesegukan di seberang jalan menuju bioskop di Kota Padang. Ternyata Kak Cap menghubungiku. Perempuan yang ku kenal saat KKN di Nagari Suayan itu sudah ku hubungi sebelum naik Trans Padang. Nasib baik Kak Cap bersedia mengantarku terapi siang itu, kalau tidak aku akan benar-benar merasa sendiri dan tak mendapat dukungan teman untuk sembuh dari sakit yang 'kembali' menyiksaku beberapa hari ini.

Sakit yang aku sendiri masih takut untuk memeriksakannya kepada ahli medis di rumah sakit.

Sudah ku katakan di awal kan?

“Aku takut rumah sakit.”

Kembali ke cerita ku yang baru saja mengangkat telepon dari Kak Cap. Setelah bertukar informasi tentang lokasi bertemu, aku berusaha berdiri dari bangku trotoar itu, walau sebetulnya setiap pergerakan tubuhku seperti menyuruh tulang-tulang tajam menusuk otot tubuhku, tak apa, aku yakin betul aku lebih kuat dari apa yang aku bayangkan saat itu. Maka, walau harus berjalan dengan tertunduk kesakitan pun akan ku lakukan untuk sampai pada tujuan.

Tujuanku kali ini menghampiri Kak Cap yang tampak celingukan mencariku. Jika saja saat itu aku sedang ‘baik-baik saja’ mungkin aku akan meneriaki namanya dari kejauhan dan melambai kegirangan, sebab bertemu Kak Cap adalah suatu hal yang membuatku bahagia. Ia pandai sekali menghadapi perempuan yang penuh gemuruh dan badai sepertiku. Itu sebabnya saat aku tepat sampai di samping Kak Cap, badanku langsung gontai dan tumbang di pundaknya. Tangisku pecah, kala itu aku seperti anak kecil yang baru saja hilang lalu bertemu lagi dengan keluargaku.

Sejauh ini aku tidak suka ‘physical touch’ atau menghindari sentuhan fisik dengan orang lain. Namun bersama Kak Cap di tengah keramaian Pasar Raya Kota Padang, aku menangis sejadi-jadinya di pundak Kak Cap. Perempuan penuh kasih itu menyambutku dengan lembut tutur yang begitu sopan mengusap laraku. Tampak betul ia berusaha membuatku nyaman menumpahkan emosi yang entah sejak kapan selalu ku tahan.

Maaf ya Kak Cap, jarang bertemu denganmu tapi sekalinya bertemu kau malah ku jadikan gelas dari 'anggur merah' yang memabukkan jiwaku. Aku tak berdaya sekali saat itu, tapi berkat Kak Cap ketidakberdayaanku dilindunginya, bukan dicecar dangan pertayaan yang mungkin akan makin membuatku tak bisa berkata-kata. Perlahan, perasaan berat yang membebani hatiku makin lama makin terasa ringan, hingga otot wajahku mampu menertawakan tragedi 'kecemasan berlebihan' yang sebelumnya terjadi.

Bersama orang yang tepat tragedi dalam hidup akan mudah berubah jadi komedi yang siap ditertawakan tanpa beban. Saat itu Kak Cap adalah orangnya. Aku tahu betul Kak Cap bingung ingin membawaku kemana, sebab aku bilang padanya, “Kak, hati mamak kayaknya lebih sakit dari badan mamak, apa gak usah terapi aja ya?”

Mamak adalah panggilan yang diberi Kak Cap padaku, kapan-kapan saja aku ceritakan asal-usulnya. Kita kembali fokus pada kelabilanku siang itu. Pikiranku masih terjebak dengan ‘penolakan’ yang ku terima dari teman-teman dekatku sebelum berangkat dari kos, aku rasa aku belum bisa membawa kenangan itu dalam tulisan ini, terlalu sakit menceritakan pahitnya, aku takut akan terlihat jelas nanti sedang memperhitungkan kebaikan-kebaikan yang sudah ku lakukan untuk teman yang menolak mengantarku pergi berobat.

Sudah.

Lupakan saja, jangan ditulis secara rinci agar aku bisa mudah lupa dengan rasa sakit hati atas perlakuan temanku yang itu. Aku masih tak siap jika harus asing dengan orang yang ku sayangi walau aku tak tahu seberapa rasa sayang temanku itu padaku. Aku tak mau ambil pusing dengan hal-hal diluar kendaliku, menyayangi ciptaan Allah adalah tanggungjawabku, sedangkan disayangi kembali oleh ciptaan-Nya itu bukan hal yang bisa ku kendalikan semauku.

People change, it’s okay!

Aku akan kembali ke mode ‘independent women’ itu sementara waktu, sebentar saja. sendiri berkelana menaiku transportasi umum walau sedang sakit dan tak mendapat kursi prioritas, tak apa, tak masalah. Akan ku hadapi kerasnya dunia dengan tangisan yang menghiasi perjalananku untuk sembuh. Harapanku air mata kemarin mampu melembakan kembali hatiku yang mungkin sudah tandus sebab begitu banyak merusak diri dengan hal yang menjauhkanku dari Penciptaku. Aku berharap tangisku saat itu mampu merayu tuhan untuk menggugurkan dosa yang tumbuh dijiwaku secara sadar mau pun tak sadar.

Baiklah, kembali lagi dengan aku yang dibawa oleh Kak Cap berkelana dengan motornya. Lalu, berhenti di tenda pejual minuman di tepi jalan. Kak Cap memesan Es The Hijau dan kami pun duduk di kursi pembeli.

Meledaklah amarah yang selama ini ku penjarakan dalam kepalaku sendiri. Dengan penuh antusias Kak Cap terus memberi umpan agar aku betul-betul membeberkan emosi yang selama ini ku rahasiakan seorang diri. Sekarang amarahku itu sudah bukan jadi rahasia lagi, Kak cap atau bahkan kakak-kakak penjual Es Teh itu sudah tahu seberapa rapuhnya aku yang mencoba kuat selama ini. Mencoba mencari dukungan sekitar, tapi malah dipandang mengiba. Jika bisa memilih, aku pun tak sudi terlihat mengiba dihadapan manusia.

Sudahlah, aku berjanji tidak ingin menyalahkan orang lain diceritaku ini. Sebab, aku ternyata belum paham betul tentang cara menyayagi diri ini seutuhnya, mungkin karena takut kehilangan lagi aku jadi sulit memutuskan kapan harus mendahulukan teman dan kapan harus memprioritaskan diri sendiri. Begitulah rumitnya mempertahankan hubungan. Beberapa orang boleh jadi melihat pembawaanku cukup tenang bak air laut, padahal sebetulnya laut yang tenang itu juga bisa memuntahkan amukan badai.

Hahaha…

Sudah sampai mana pembahasan tulisan ini?

Intinya sabtu lalu usai curhat dengan Kak Cap, sakit pinggangku yang sempat mati rasa terasa kembali. Aku pun memutuskan untuk meminta Kak Cap mengantarkan ku ke tempat terapi. Terapi tuina sabtu lalu menjadi salah satu usahaku untuk meredakan nyeri-nyeri yang kerap menyerangku dan kemarin aku sudah tak sanggup lagi menahan sakitnya. Usai terapi aku memberanikan diri mengajak Kak Cap menemaniku membeli pelembab wajah. Beberapa waktu lalu kulitku secara bergantian mengelupas dan meradang.

Kalau dipikir-pikir, aneh orang yang merasa iri denganku. Mereka hanya iri dengan secuil kebahagian yang aku ceritakan, kalau saja aku tampilkan semua kepahitan dalam hidupku mereka pasti akan lebih banyak bersyukur tidak dilahirkan menjadi aku. Bahkan cerita pendek ini pun bermula karena aku sudah sangat lelah, bukan?

Aku memang sempat lelah tadinya, atau bahkan besok, lusa atau kapan pun lelah itu akan singgah dan pergi semaunya sampai aku mati. Tetapi, jika aku masih bisa menulis itu artinya aku masih bisa lahir kembali setelah mati beribu-ribu kali. Bila sewaktu-waktu sahabatku si Dila itu menanyaiku lagi ‘apakah aku pernah merasa ingin mati?’ jawabanku akan berubah, “Pernah, Dil… itu terjadi saat aku tak bisa lagi menulis.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Mengapa Aku Belum Ingin Mati?
Firlia Prames Widari
Novel
Dunia Kecil; panggung & omongkosong
Syauqi Sumbawi
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Cerpen
Hadiah Dari Nirwana
Sucayono
Flash
Hidupku
winda aprillia
Cerpen
Bantu Aku Mengeja "Tuhan"
dari Lalu
Cerpen
menyelam ke dalam senja
natasya angelita
Flash
ROOFTOP HATI
Hans Wysiwyg
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Cerpen
Sang Guru
Anjrah Lelono Broto
Flash
Ku usahakan yang Terbaik untuk mu
Smith
Flash
Kuasa Uang
Adam Nazar Yasin
Flash
Bronze
Sang Penulis
AndikaP
Cerpen
Alasan Orang Indonesia Beremigrasi Keluar Negeri
Yovinus
Cerpen
Bronze
FOCUS GROUP DISCUSSION
Ardian Agil Waskito
Rekomendasi
Cerpen
Mengapa Aku Belum Ingin Mati?
Firlia Prames Widari
Novel
Bronze
Selamat Ulang Tahun
Firlia Prames Widari
Cerpen
Merayakan Nuha
Firlia Prames Widari