Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Mengadili Sengkuni
12
Suka
83
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pernahkah kamu mendengar, kalau ingatan fotografis adalah sebuah anugerah?

Rasanya aku ingin memercayai itu, tak menganggap apa yang kumiliki saat ini sebagai sebuah kutukan, dan hidup tenang tanpa mengingat mimpi buruk lagi. Namun, terkadang kenyataan berkata lain. Setiap tengah malam, ingatan buruk mengunjungiku dan memangkung kepalaku dengan godam hingga menjelang pagi. Aku mengingat kisah bapakku yang direnggut paksa dari sisi kami —di malam jahanam itu— dengan sangat terperinci.

Malam tenang, gelap turun dari langit perlahan-lahan dan menyusupi mereka yang terlelap. Bunyi keok burung kakak tua di pekarangan membuatku kembali terjaga. Di antara kesiur angin, yang melantunkan selamat istirahat —laiknya kidung para Darwis— beberapa bayangan mengendap-endap, menyusuri tembok kokoh rumah kami yang lebih besar di antara deretan rumah tetangga. Namun aku tetap terjaga dan mendengar, meski dersik dedaunan menyamarkan langkah mereka.

Selimut flanel bau ompolku sama sekali tak berfungsi menenangkan lagi, karena derap langkah kian dekat ke kamar Bapak dan Ibu, menggedor pintu mereka dengan amat gaduh. Aku ingat dengan sangat rinci, ketika sebelah mataku mengintip di balik celah pintu. Seorang lelaki tinggi besar menyeret tangan Ibu dan menghempaskannya ke lantai, sementara beberapa orang lainnya menelikung tubuh Bapak. Mengumpat dengan suara geram, lantas menggarit lehernya dengan sebilah mata parang yang tampak tajam. Darah menciprati kaus putih Bapak, merembes mewarnai lantai dengan semburat merah segar menyerupai pulau besar.

Mbak Arum, kakak perempuanku membekap mulutku, dan mendiamkan tubuhku yang gemetar hebat, menyaksikan tubuh Bapak yang seketika terkulai bersimbah darah, diiringi jeritan pilu Ibu yang melengking seperti lolongan anjing malam.

Ingatan malam itu menjadi isi mimpiku setiap hari, yang menemaniku hingga terlelap dan terbangun kembali saat tengah malam, di waktu yang sama bapakku direnggut dengan nahasnya.

***

“Tiwi!”

Aku menoleh, dan hampir terhuyung. Jemariku cepat-cepat memegangi pilar, dan memeluknya agar tubuhku tak terhempas ke tanah.

“Apa-apaan? Kenapa kamu berdiri di atas tembok begitu? Nanti jatuh!” Ibu menghentikan ulahku, yang menurutnya mengundang bahaya. Tangannya masih memegangi kain pel. “Lekas turun!”

Perintah Ibu adalah sebuah titah. Aku tak berani menentangnya, demi sebuah tantangan konyol yang diucap Baskara, yang sedari pagi mengganggu waktu belajarku. Baskara yang angkuh —tentu saja gara-gara dia— membuatku berani memanjat tembok rumah megah ini, dan berjalan di sisi balkon dengan tangan merentang seperti seorang pemain sirkus. Baskara anak si pemilik rumah, selalu berhasil mengisi kepalaku dengan umpatan-umpatan konyol, kalau Bapak mati membusuk di neraka karena ulah jahatnya.

Usiaku kini beranjak dewasa, memasuki penghujung masa kanak-kanak sungguh bukan hal yang menyenangkan. Tujuh belas tahun usiaku sungguh tak terasa, yang tiga perempatnya dihabiskan dengan letupan kemarahan dan wajah murung Ibu. Malam itu tak hanya mencuri masa depan dan mimpi indahku saja, tetapi juga turut mencuri senyum dari wajah Ibu sepanjang hidupnya. Wajahnya yang masam, bicaranya yang putus asa, adalah hal yang kuhindari setiap hari karena Ibu begitu pesimisnya. Begitupun dengan Mbak Arum, meski telah menikah dengan Mas Irawan, sopir di rumah keluarga ini, ia juga kehilangan keramahannya padaku sebagai adik satu-satunya.

“Kamu tahu, kenapa bapakmu lehernya digorok orang? Itu karena dia mencuri lahan warga sini dan pantas dimatikan. Bapakmu itu mencuri hak warga kampung kita, Wi. Dia pantas mati!” Baskara kembali meleletkan lidahnya, bicaranya tanpa tedeng aling-aling.

Aku cuma diam, meremas kertas ulanganku yang menyembulkan angka 100 dengan cukup pantas. Aku tahu Baskara dengan sengaja menggangguku, setelah ia menerima nilai 30 pada mata pelajaran matematika. Dan ia tahu, hanya dengan bicara tentang Bapak, kesetimbangan emosiku kan terganggu.

“Sudah, Wi. Jangan didengarkan, ia cuma iri,” ucap Rima. “Kamu pasti bisa ikut ujian dengan nilai tertinggi. Insyaa Allah, beasiswa perguruan tinggi yang kamu mau itu bisa kamu dapatkan.”

Berangkat ke ibu kota, menanggalkan mimpi buruk dan tanda yang melabeli keluargaku, tentu menjadi satu-satunya pilihan yang bisa menjaga kewarasanku. Namun aku tak pernah tahu bahaya apa yang mengintai di depan mata, untuk keluarga yang akan kutinggalkan. Bahaya bagi ibu dan kakak perempuanku, bahaya bagi warga kampungku yang dulu sempat dibela almarhum Bapak.

Sayur sawi yang dimasak ibu biasanya jadi satu-satunya pelepas penat sehabis pulang sekolah. Namun sore ini, sayur sawiku terasa hambar, karena Ibu sudah melipat wajahnya sedari pulang kerja tadi. Aku memijiti bahunya agar ketegangannya luruh. “Capek, ya, Bu?”

Ibu tak mengangguk, apalagi menjawab. Ia diam seperti batu, matanya memicing melihat jendela yang mengarah ke rumah besar itu.

“Ibu mau kubuatkan teh tubruk pakai nipis?”

Kini ia menggeleng, napasnya terdengar pelan sekali. Kalau saja kami punya biaya untuk periksa ke dokter ahli jiwa, ibuku ini terkena gangguan paska-trauma yang tak bisa kupahami, bagaimana cara mengobatinya. Ia terpaksa bekerja tanpa mengenal lelah, demi melupakan pemandangan buruk yang menghantui diri kami semua.

“Kenapa kamu tidak membiarkan Baskara mencontek jawabanmu saja, Wi?”

Aku mengangkat alis, menghentikan pijitanku di bahu ibu. “Baskara?”

Ia mengangguk. “Iya, Baskara.” Ibu berbisik. “Anak itu sudah cukup merepotkan kita semua. Kamu harus belajar memenuhi keinginannya.”

“Dengan kasih ia contekan, Bu?”

Ibu mengangguk lagi. “Belajar untuk memenuhi keinginan orang lain, tak perlu banyak melawan.” Tatapannya berubah nanar. “Kamu harus belajar dari masa lalu kita. Apa yang terlihat benar di mata kita, akan selalu salah di mata orang lain. Akhirnya yang repot, ya, kita juga.”

Aku mengerjap. Belajar dari masa lalu kita, kalimat itu aku ulang-ulang di kepala.

***

Waktu kecil, Bapak membuatkan wayang dari daun singkong. Dengan memilin batang-batang kecilnya, mematahkan bagian-bagian menyerupai sendi tangan dan kaki, membentuk kepala dan pakaian si wayang. Bapak lantas akan berkisah tentang perang Bharatayudha yang termasyhur itu, bagaimana cetak biru peperangan besar itu ia terangkan dengan sangat rinci.

Dari semua tokoh Kurawa dan Pandawa, entah kenapa, Sengkunilah yang paling menarik perhatianku. Patih Sengkuni adalah pangeran dari Negeri Gandhara, saat Subala memerintah. Ia kakak dari Gandari, istri Drestarastra, raja Astinapura setelah Pandu Dewanata. Sengkuni selalu digambarkan Bapak sebagai tokoh yang paling licik, karena kelihaiannya mengadu domba dan menghasut kubu Pandawa dan Kurawa.

Di ingatanku, setiap kali Bapak menyebutkan nama Sengkuni, aku langsung menggambarkannya sebagai tokoh yang pandai berstrategi dan selalu menang, hingga berjatuhan korban dari pihak yang ia tak suka. Bahkan, ia akan tega mengorbankan orang yang disayanginya sekalipun, demi memudahkan jalannya menuju kejayaan.

Dalam kisah perang Bharatayudha yang Bapak ceritakan, ia lupa mengemukakan kalau strategi orang seperti Sengkunilah yang harus diwaspadai, bukan semata-mata mempersenjatai diri kita agar semakin gagah perkasa, tetapi juga harus berhati-hati. Karena orang sakti mandraguna, akan kalah dengan orang yang licik dan pandai menghasut. Bapak lupa mengajari kami sekeluarga ilmu itu, ilmu untuk memindai kelicikan dan membaui hasutan orang.

Suatu hari, ketika aku masih duduk di bangku kelas 3 SD, aku ingat Bapak mengurus masalah beberapa orang tetangga. Kata Bapak, mereka perlu dibantu karena masalah tanah tempat mereka tinggal, dicatut orang hingga berbuntut sengketa. Sebagai kepala desa, tentu Bapak punya kewajiban untuk menengahi urusan warganya itu. Tanah mereka diakui oleh seorang pengusaha tambak udang, yang membuka lahannya hingga meluas ke batas kampung.

Aku yang waktu itu masih kecil, tentu belum paham kalau ada oknum yang mempermainkan Bapak, dan menyudutkannya. Sehingga berujung pada sengketa tanah. Bapakku memperjuangkan setiap kepala keluarga, agar bisa merebut tanah mereka kembali. Entah bagaimana, sertifikat kepemilikan atas beberapa tanah itupun terbit, dan seseorang menggunakan nama Bapak untuk memberi izin.

Kisah Bapak ini, kembali mengingatkanku akan tokoh Sengkuni. Lagi-lagi Bapak lupa, bahwa Sengkuni itu benar-benar ada. Ia bahkan mengendap-endap dalam kehidupan kita, menceritakan rahasia-rahasia yang tak seharusnya sampai ke telinga orang lain, dan memutar-balikkannya menjadi asumsi yang seolah nyata, tetapi jauh dari fakta.

Perang Bharatayudha ini hanya sepenggal cerita umat manusia, yang bisa kita ambil maknanya. Tengok Bima yang sakti mandraguna, ia terlampau menyepelekan Patih Sengkuni, meski Semar sudah mengingatkannya agar berhati-hati, kalau Sengkuni ini sakti dan digdaya. Semar tahu, kalau Sengkuni melumuri tubuhnya dengan minyak tala yang dibawa oleh Pandita Durna menggunakan suket kolonjono, setetes minyak sakti hadiah dari para dewa untuk Pandu Dewanata, yang berhasil mengalahkan raksasa di kahyangan. Akhirnya, keseluruhan tubuh Sengkuni meski dipukul atau ditusukkan senjata sekalipun, tidak sanggup terluka.

Meski Sengkuni pada akhirnya mati, ia telah memorak-porandakan Astinapura, dan memecah belah persaudaraan Kurawa dan Pandawa, hingga menyebabkan peperangan besar. Kisah yang diceritakan Bapak, tertanam di kepalaku seperti sebuah sendra tari dengan alur yang aku hapal setiap lakonnya. Setiap lakon ini mewakili orang-orang yang kini hadir dalam kehidupan kami sesungguhnya. Aku masih mengingat dengan sangat rinci apa yang terjadi, apa yang kemudian diceritakan di hadapan orang-orang, yang tak sesuai dengan apa yang aku lihat.

***

“Mbak Arum, kenapa Ibu harus bekerja di rumah bapaknya Baskara?”

Mbakku sedang membantu suaminya mencuci mobil dinas Pak Mardoyo. Ia diam sejenak. “Kamu kalau tanya hal-hal yang aneh, di rumah saja Wi, jangan di sini.” Ia berbisik-bisik, seperti maling habis ketahuan mengutil.

Aku mengamati tingkah mbakku, setiap kali rumah kepala desa baru ini disinggahi tamu. Kepalanya akan terjulur, pandangannya menyusuri setiap wajah tamu yang datang, dan menelaahnya satu persatu. Ada satu wajah, yang aku ingat betul di memori kepalaku. Wajah yang tak akan pernah kulupa sepanjang hidup.

“Siapa mereka, Mbak?”

“Hus!” Mbak Arum menempelkan telunjuknya di bibir, lantas menyeretku menjauh. “Aku sudah bilang Wi, jangan di sini.”

“Tapi Mbak—”

Mbak Arum semakin membawaku jauh dari selingkung rumah besar itu, seolah-olah mereka akan mengejar ke manapun kita menjauh. “Kasihan Ibu, Wi. Jangan sampai kita membahas lagi masalah ini. Urusan Bapak sudah membuatnya cukup terluka.”

“Tapi Bapak, nggak salah Mbak—” Aku kembali bungkam setelah Mbak Arum membekapku. Mas Irawan memperhatikan gerak-gerik kami.

Ono opo, toh, Rum?”

Mbak Arum menggeleng, masih dengan muka masamnya, ia mendelik ke arahku. “Sudah, sana! Bantu Ibu cuci piring di dapur. Baskara mau kedatangan teman-temannya.”

“Teman-temanku juga, Mbak,” dengkusku sambil menjauh dari keduanya.

Siang hari di rumah besar itu, selalu membuatku merasa gerah dan tak betah. Terutama ketika terpaksa harus melayani Baskara, sang tuan muda yang rewelnya bukan main. Selalu saja ada kesempatannya untuk menghina dan mencaci almarhum bapakku.

“Sejarah itu tidak bisa hilang, Rima. Mengakar sampai keturunannya. Kalau orang jahat dibiarkan berkeliaran tak dihukum, maka hukum alamlah yang membuatnya binasa.” Baskara terkekeh sambil melirikku. “Orang jahat, ya menurunkan sifat jahatnya juga sama anak-anaknya.”

“Bersalah atau tidaknya seseorang, hanya bisa dibuktikan di mata hukum, Bas. Aku ndak percaya dengan hukum rimba.” Rima membalasnya dengan sengit. Ia tak perlu melirik, untuk tahu kehadiranku yang sedang membawakan mereka minuman. Kerja kelompok mata pelajaran sejarah ini, adalah sesuatu yang kubenci.

“Aku yo percaya, kalau orang jahat dijahati oleh orang lain, itu sebagai hukuman, Rim. Mereka layak mati.”

“Bas!” Rima memelototkan matanya. “Jangan begitu.”

“Sejarah itu kan dibuat oleh orang yang berkuasa,” ucapku sambil berlalu. “Bersalah atau tidak, kalau tanpa melewati proses hukum, ya tetap hukum rimba namanya.”

Baskara lantas berdiri di hadapanku, dengan tubuh menjulang ia meremas lengan kemeja seragam, yang belum sempat kuganti. “Siapa yang minta pendapatmu?”

Aku mendengkus, tak takut akan sikapnya yang semakin sini semakin menyebalkan. Mentang-mentang ibu dan kakakku diberi pekerjaan oleh bapaknya, ia bebas untuk merajalela. “Aku sendiri yang kasih pendapat.”

“Orang seperti kamu dan keluargamu itu, ndak pantas bicara soal kebenaran dan sejarah, Wi. Pada akhirnya, orang sejahat bapakmu itu, kalau tidak mati dibunuh karena ndak bagi-bagi keuntungan sama kelompoknya, ya mati membusuk di penjara.”

Pandanganku mengabur, bola mataku memanas. Aku tahu, dalam sekejap air mataku hendak tumpah ruah. Namun Rima seketika melerai pertengkaranku dan Baskara. Ia datang menengahi, dan membawaku kembali ke gubuk reyotku di belakang rumah Baskara.

“Jangan kamu dengarkan celoteh kejinya itu ya, Wi.” Rima menoleh, menatap ibuku yang diam di sisi jendela sambil mengamati rumah besar Pak Mardoyo dari kejauhan. “Baskara cuma iri, pada kehebatan memori di kepalamu itu. Setiap rumus matematika, bisa kamu hapalkan dengan sempurna.”

“Aku benci pelajaran sejarah, Rim,” ungkapku padanya. “Pelajaran sejarah itu banyak membelokkan apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang harusnya terungkap banyak yang ditutup-tutupi. Sejarah itu, cuma milik mereka yang berkuasa.”

Ibu berdeham, lantas memiringkan lehernya menatapku. “Tiwi!”

Aku hanya bisa memejamkan mata, menahan apa yang menggelegak di dadaku. Lagi-lagi Ibu melarangku bicara. Untuk apa ingatan yang kuat, jika aku hanya bisa menyimpannya di kepala?

Rima memegangi lenganku. “Ada yang kamu tahu tentang kematian bapakmu, Wi?”

Aku lekas menggeleng, sebelum Ibu kembali mengguyurku dengan air dingin. Seperti penyakit, kadang memiliki ingatan kuat pun adalah sebuah kutukan.

***

Kamu masih ingat, bagimana liciknya Sengkuni memperdaya seluruh penghuni Astinapura agar mengikuti kehendaknya, hingga pecahnya perang saudara?

Aku tentu masih ingat. Ketika Bapak bilang, bahwa Sengkuni pernah menjadi pihak yang tertindas. Di masa lalunya Sengkuni dan keluarganya pernah mengalami penderitaan luar biasa. Mereka sekeluarga dipenjarakan Destarata, hanya diberi sebutir nasi untuk makan setiap harinya. Bahkan untuk bertahan hidup, Sengkuni terpaksa memakan orangtua dan saudaranya sendiri. Lalu, aku bertanya pada Bapak, apakah penderitaan lantas membenarkan sikap jahatnya? Bapak tak menjawab. Ia hanya bilang, tak ada yang benar-benar hitam, dan tak ada yang benar-benar putih, kita hanya melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.

Lakon-lakon yang bapakku ceritakan dalam perang Bharatayudha, seolah menakhlikkan kondisi nyata di desaku. Kekuasaan akan melahirkan pihak yang dimenangkan, dan kekalahan akan meninggalkan rasa sakit hati dan dendam. Sudah dua kali Bapak terpilih menjadi kepala desa yang dinilai amanah di kampungku. Berkat kedekatannya dengan beberapa kepala keluarga yang di-sepuh-kan, Bapak selalu dapat menampung aspirasi banyak pihak. Namun, kekalahan pihak lawan di setiap pemilihan, akan menimbulkan perpecahan dan rasa iri, yang berujung pada dendam.. Apalagi dengan kedatangan orang-orang berduit, yang hendak membuka usaha tambak udang, yang begitu menggiurkan.

Satu persatu, warga direkrut oleh mereka. Beberapa setuju dijanjikan uang pengganti cukup besar, yang tak setuju karena berusaha menjaga tanah warisan nenek moyang mereka pun tak sedikit. Akhirnya muncul perpecahan di antawa warga kami sendiri. Pak Mardoyo, sebagai orang yang dua kali dikalahkan Bapak dalam pemilihan kepala desa, turut berperan dalam perpecahan ini. Usut punya usut, ternyata kedatangan para pengusaha tambak udang ini, difasilitasi oleh kelompok beliau.

Suatu malam menjelang tidur, Bapak pernah memanggilku —aku masih kelas 3 SD— ketika kerap mendengar pertengkarannya dengan Ibu, karena ia tak setuju, kalau Bapak kembali mencalonkan diri untuk membela warga sekitar, yang rumahnya digusur dan dialihfungsikan.

 “Wi, kamu ingat ini. Bapak tahu kepalamu seperti Sadewa yang cerdas dan mudah mengingat,” ujar Bapak dengan wajahnya yang serius. “Akan ada satu masa, semua yang kita rasakan saat ini akan berbalik menjadi derita. Bapak ingin kamu selalu bicara dengan kata hati dan nuranimu.”

Aku mengernyitkan dahi, tetapi semua yang meluncur dari mulutnya kurekam dalam ingatan. Seperti yang telah kuceritakan, aku memiliki ketertarikan pada kisah mereka yang berstrategi, dan punya kemampuan untuk memecah belah. “Pak, jika aku Sadewa. Siapakah yang menjadi Sengkuni?”

Bapak lantas terkekeh, lalu matanya nyalang menatap gelapnya langit di kejauhan. “Ia yang bicara tak sama dengan apa yang nyata, ia yang dekat dengan kekuasaan dan mampu memutarbalikkan cerita, percayalah kalau dirinya adalah Sengkuni yang sesungguhnya.”

Aku cuma manggut-manggut, ketika Bapak menepuk puncak kepalaku. “Sekolah yang benar, Wi. Salat lima waktu jangan kamu tinggalkan.” Pesannya terngiang dalam rekaman di kepalaku. Tetapi bapakku lupa, tak memberitahuku ilmu bagaimana mengenali para penghasut.

Malam nahas itu, ketika semua kembali ke peraduan. Aku masih terjaga, mendengar setiap bunyi derap langkah kaki, yang diakhiri dengan jeritan tangis Ibu. Aku melihatnya, aku memandang tepat di bola matanya yang menatapku lurus. Ia adalah Sengkuni yang dimaksud Bapak.

***

Kisah kematian bapakku, larut di telinga setiap warga, diyakini sebagai satu-satunya kebenaran yang terjadi, ketika disuarakan oleh Pak Mardoyo sebagai saksi. Ia diculik oleh sekelompok orang yang sakit hati pada Bapak, tetapi Pak Mardoyo adalah pihak tak bersalah dan tak tahu apa-apa.

Beberapa warga yang diorganisir Bapak untuk mengancam keberadaan tambak udang itu, dianggap telah membuat rusuh. Dan bapakku menjadi korban dari kawanannya sendiri, yang dengan sengaja menghasut warga agar tak menjual tanahnya ke pengusaha tambak yang mereka maksud. Sedangkan bapak dengan sangat lalim, mengancam dan meminta uang pada pengusaha tambak yang dimaksud, bahkan menyunat uang ganti rugi tanah yang dialihfugsikan. Pak Mardoyolah yang seharusnya menjadi kepala desa terpilih. Namun, karena kelicikan bapakku, Pak Mardoyo lantas tersisihkan saat pemilihan kepala desa. Semua terbahasakan, terkisahkan dengan sangat apik dari telinga ke telinga. Namun mereka lupa, ingatanku tak sama seperti manusia lainnya.

Setiap aku membantu Mbak Arum mencuci mobilnya, Pak Mardoyo melangkah dan menatapku, memastikan aku tak ingat akan kejadian itu. Ia menyeringai, mempertontonkan senyum licik layaknya Patih Sengkuni yang Bapak ceritakan.

Dalam mimpiku, berkali-kali ia diadili karena kejahatannya. Aku yakin, mengadili Sengkuni seperti Pak Mardoyo, hanya ada dalam mimpi, karena sejarah milik mereka yang berkuasa. Bapakku hanya bagian dari kerak paling dasar kehidupan manusia. Seperti kata Baskara, bapakku akan mati terbunuh atau membusuk di penjara.

Namun, aku tak percaya itu. Allah menganugerahiku ingatan yang luar biasa, melebihi manusia lainnya. Jika anugerah itu ada, maka pengadilan Allah adalah sesuatu yang niscaya. Saat Allah berkehendak, tentu Sengkuni dan kroni-kroninya akan hancur lebur bersama siasat dan tipu dayanya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Ooh iya...pernah baca juga kasus org2 yg menerima donor organ, jd bisa merasakan perasaan pendonornya, dan juga jd suka/ngga suka yg disukai/tdk disukai pendonornya itu, kumaha atuh urang cobian wae? Xixixi
@darmalooooo : 🤍🤍🤍
@carsun18106 : Ya sih, sebetulnya potensi kejahatan mah ada di setiap orang ya Teh. Cuma karena Sengkuni tuh pandai membaca peta politik, dan siapa yang paling potensial jadi tumbuhan induk dia sebagai benalu, maka dia playing evil sama potential victim ini. Betul apa yang dikatakan Si Bapak, nggak ada yang betul-betul hitam dan nggak ada yang betul-betul putih, kita pindah berdiri aja dan liatnya dari sudut pandang berbeda, berubah langsung penilaian
@carsun18106 : Betul Teh, sebetulnya (katanya) salah satu metode yang bisa dipakai untuk meningkatkan kemampuan mengingat itu lewat pelatihan imageri, melalui dongeng atau cerita yang dibacakan dari kecil. Yang lebih "edyaan" lagi Teh, lewat seluler sindrom memori. Cenah lamun urang ngadonorkeun anggota tubuh nya Teh, sama keluarga kita, ingatan dia teh kebawa 😁 (bade nyobian ka abi Teh?)
Hmm sengkuni ini memang tokoh terculas dan terlicik, ngga salah sih dia diangkat jd penasihat kurawa, pandawa kalah main dadu sehingga hrs mengasingkan diri ke hutan kamiyaka pun sbnrny krn kejelian sengkuni melihat kelemahan mereka dan play tricks on their mind gitu ngga sih, jd sbnrny ngga semata2 akibat kelicikan sengkuni
Pernah baca kalau org2 yg merasa punya ingatan fotografis itu sebenarnya mengidap hyperthymesia, kondisi yg jauh lbh hebat dr so-called photographic memory
Brilliant
❤️❤️❤️❤️❤️
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Rain (The Past; Painful)
Rayi Rahmawan
Novel
Bronze
Si Cantik
Hermawan
Flash
Bocah Besar
Zusfani
Cerpen
Mengadili Sengkuni
Foggy F F
Novel
Bronze
Menatap Awan Menggapai Bintang
Rival Ardiles
Novel
Biru Kelabu
Putri Zulikha
Flash
Payung
Miley Ann Hasneni
Novel
Di bawah Standar
Era Chori Christina
Novel
Bronze
Diary Seorang Gadis Tunarungu
winda aprillia
Novel
Bronze
About Time
Sartika Wulandari
Cerpen
Bronze
SOP AYAM AYAH
Ani Hamida
Novel
Bronze
Yasmin (Gandoriah Love Story)
Halimah tusakdiah
Novel
Gold
PBC Journey In Japan
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Ular Tangga Pernikahan
Iena_Mansur
Novel
Bronze
Thin Is My Love
Diena Mzr
Rekomendasi
Cerpen
Mengadili Sengkuni
Foggy F F
Cerpen
Jingga dan Pelangi di Manik Matanya
Foggy F F
Flash
Bronze
Laju Lari
Foggy F F
Cerpen
Bronze
CINTA SAJA SEHARUSNYA CUKUP
Foggy F F
Novel
Bronze
Kue Lumpur Kayu Manis dan Rancang Bangun
Foggy F F
Cerpen
Save the Last Dance
Foggy F F
Flash
Bronze
Merindu di Safarwadi
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Cikgu Cleo
Foggy F F
Flash
Bronze
Aku, Dirimu, dan Palung Mariana
Foggy F F
Novel
Bronze
Sulur Waktu
Foggy F F
Cerpen
Bronze
The Legacy
Foggy F F
Cerpen
Rawallangi, Si Gadis Angin
Foggy F F
Flash
Putra
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Ohrwurm
Foggy F F
Cerpen
Pesawat Kertas
Foggy F F