Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
MENDEKAP MARAPI
0
Suka
1,575
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jakarta, 2024.

Sean duduk di sisi tanah pekuburan yang masih basah. Air matanya seketika turun membasahi wajahnya yang begitu mendung. Ada rasa menyesal saat menyaksikan tiga sahabatnya harus dikubur dalam-dalam.

Dua Minggu yang lalu.

Mereka tertawa-tawa di dalam mobil Innova yang mereka sewa dari Bandara Internasional Minangkabau. Mobil hitam itu membawa mereka dari bandara menuju ke Pos BKSDA, Pulau Agam, Sumatera Barat.

 Sean, Bastian, Nadya, dan Sarah, empat remaja berusia kurang lebih delapan belas tahun ini nekat pergi ke Sumatera Barat untuk mendaki Gunung Marapi.

Bastian, biasa dipanggil Abang ini asli keturunan Sumatera, tetapi lahir dan menetap lama di Jakarta. Sean, laki-laki berkulit putih dengan rambut ikal ini bercita-cita ingin sekali naik gunung saat kelulusan SMA. Nadya dan Sarah, teman sekelas Sean dan juga Bastian ini memang sudah dekat sejak SMP.

Pukul lima pagi. Mereka telah sampai di lokasi pos registrasi Gunung Marapi, Sumatera Barat dari jalur Batu Palano.

"Akhirnya kita sampai!" Sarah, gadis berambut panjang itu berseru girang sambil mendekap erat ransel miliknya saat ia baru saja turun dari mobil.

"Bang, kita perlu registrasi ulang dulu kan?" tanya Sean, tangannya merangkul bahu Bastian.

Bastian mengangguk seraya menurunkan satu per satu barang bawaannya. Setelah selesai menurunkan semua barang, mereka kemudian berjalan menuju pos dan melakukan registrasi ulang.

"Ayo mulai nanjak! Aku sudah nggak sabar," seru Nadya, gadis cantik berkemeja kotak warna senada dengan celana yang ia pakai itu sangat bersemangat.

"Sabar Nad, kita isi perut dulu,” protes Bastian, tangannya mengusap-usap perutnya.

Nadya menoleh dengan wajah kecut. “Masih terlalu pagi untuk sarapan Bang.”

Sean menyaut, “Mendaki butuh energi yang besar Nad.”

“Kita makan dulu ya,” sambung Sean kemudian sembari berjalan mendekati sebuah warung tenda. Nadya dan Sarah menurut.

Sekitar sepuluh menit kemudian, masing-masing dari mereka sudah menghabiskan sebungkus nasi, bakwan hangat, dan kopi panas yang mereka beli di warung. Selesai sarapan, Bastian meminta sahabatnya untuk mengecek kembali barang-barangnya sebelum kemudian mereka berdoa agar perjalanan menuju Puncak Merpati berjalan lancar.

Setelah semua dirasa siap, mereka mulai berjalan saling mengekor. Bastian di depan, ia bertugas sebagai pembuka jalur karena sudah berpengalaman mendaki Gunung Marapi dibanding ketiga sahabatnya. Di belakang Bastian, ada Sarah, Nadya, dan terakhir Sean. Mereka berjalan perlahan sembari berbincang banyak hal.

Tak butuh waktu lama, mereka telah sampai di Kawasan Pasanggrahan. Kawasan dengan kontur tanah yang masih datar tak begitu menghambat perjalanan mereka.

"Di hutan ini ada hewan buas nggak Bang?" tanya Sarah saat mereka mulai memasuki hutan.

"Ada dong. Ada singa, gajah, ular, buaya darat juga ada tuh di belakang kamu Sar," jawab Bastian sembari terus berjalan.

Sarah dan Nadya terkekeh mendengar ucapan Bastian yang terkadang konyol. Bastian, laki-laki berperawakan tinggi dan berkulit putih ini sedikit bicara, tetapi sekalinya bicara sering kali membuat sahabatnya tak habis pikir.

Rintik hujan mulai turun.

“Bang, hujan!” Sean berteriak pelan dari belakang. Sesekali matanya memandang ke atas untuk memastikan.

“Iya, lanjut atau istirahat dulu?” Nadya ikut menyaut dan menghentikan langkahnya.

“Kita pakai jas hujan sajo. Hujannya kecil. Kalau kita berhenti, nanti kita terlambat,” timpal Bastian seraya menurunkan ransel dan mengambil jas hujan miliknya.

Mereka menurut, memakai jas hujan dan kembali melakukan perjalanan. Menyeret kedua kaki di jalan setapak yang licin. Cuaca yang cerah seketika berubah gelap saat mereka memasuki hutan lebih dalam. Cahaya yang mengintip dari sela-sela dedaunan pohon trembesi yang tinggi telah beranjak meninggalkan mereka. Di setiap sisi mata memandang, hanya ada pohon-pohon besar seperti trembesi, akasia, dan johar yang diperkisaran usianya ratusan tahun.

Ada juga suara serangga yang sesekali menyeruak di telinga mereka. Membentuk barisan nada yang indah hingga menggema di dalam hutan. Gerimis kecil menemani perjalanan mereka dari Pasanggarahan sampai kawasan Petualang Gunung.

Empat puluh menit berlalu. Hujan telah reda, mereka menghentikan perjalanannya sejenak. Sean melepaskan jas hujan merah dan beani hat dari kepalanya, duduk bertekuk lutut sembari kesulitan mengatur napas. Di sebelahnya, Bastian berjongkok. Ia turut menguraikan jas hujan dari tubuhnya kemudian melipatnya hingga menjadi kecil dan memasukkannya ke dalam ransel. Begitu juga dengan Nadya dan Sarah.

Sean kembali berdiri tegap. “Ayo, kita jalan lagi!”

“Masih kuat kan?” Sean mencerling ke arah Nadya dan Sarah yang terlihat kepayahan.

Bastian menghela napasnya yang pendek. “Aku di sini sajo,” keluh Bastian dengan wajah memucat.

“Ayo Bang, pos dua nggak jauh dari sini kan?” sela Nadya pada Bastian setelah ia membetulkan tali sepatunya yang terlepas sembari matanya menelisik peta jalur pendakian yang ia simpan di sampingnya.

“Aku demam. Sakit badanku. Kalian sajo yang lanjut. Aku tunggu di sini sajo ya!”

“Di atas kita istirahat dan obati luka kamu Bang,” Sarah memungut topi Bastian dan meletakkannya tepat di kepala pria yang akrab disapa abang ini.

Bastian bergeming. Ia terlihat benar-benar tak mampu lagi berjalan. Ia merasa tubuhnya demam juga area pelipis membengkak karena sengatan lebah hutan yang tak sengaja sarangnya terinjak olehnya.

“Sebelum sore kita harus sudah sampai,” lanjut Sean seraya menyandangkan kembali ransel hitam di punggungnya.

“Iya, enggak mungkin kita tinggalin Abang di sini,” Nadya menambahkan.

“Nanti kita istirahat dan bermalam di Pintu Angin.” Sean mengulurkan tangannya pada Bastian.

Bastian masih bergeming. Bahunya terlihat naik turun karena napasnya tersengal.

“Ayo!” seru Sean, kali ini ia menarik lengan Bastian dan mau tak mau Bastian bangkit, mencoba kembali berdiri.

Mereka lalu melanjutkan langkah, menyeretkan kedua kaki dengan sangat hati-hati. Menjejaki jalan setapak berliku yang licin dan berlumpur tidaklah mudah. Sesekali mereka saling berpegangan agar tidak tergelincir. Di sepanjang jalan dari Pasanggrahan, mereka bertemu banyak pendaki yang mulai turun dan saling menyapa dengan ramah.

Dari kawasan Pasanggrahan, mereka melalui beberapa titik perhentian. Area itu biasa dijadikan tempat bersinggah para pendaki sebelum kemudian mereka melanjutkan perjalanannya menuju sumber mata air kedua di kawasan Pintu Angin.

Pukul sebelas siang. Mereka telah sampai di Kawasan Paninjauan.

“Bang!"

Terdengar teriakan Nadya lalu disusul dengan rintihan bercampur dengan suara napas terengah. Bastian menghentikan langkahnya tiba-tiba. Memutar tubuhnya dan bergegas menghampiri Nadya di belakang. Begitu juga dengan Sean dan Sarah. Terlihat Nadya sudah terduduk dengan tangan yang memegangi kakinya.

"Kenapa?"

“Terkilir.” Nadya meringis.

“Tadi aku melihat ada ular melintas di depanku,” imbuhnya masih dengan wajah menahan sakit.

"Ya ampun Nad, untung nggak digigit,” lontar Sarah sembari membantu Nadya melepaskan sepatunya.

"Kamu kuat nggak Nad? Kalau nggak kuat mending turun lagi. Sampai biru begini kakimu,” ungkap Bastian memeriksa kondisi kaki gadis berambut panjang itu.

"Kuat ko Bang. Aku nggak apa-apa. Sebentar lagi kita sampai kan?” Nadia memastikan setelah Sean memijat dan mengolesi kakinya dengan krim pereda nyeri.

“Masa kita sudah jauh-jauh dari Jakarta ke sini nggak jadi muncak," sambung Nadya dengan suara tegas.

"Jangan dipaksa kalau masih sakit Nad," sahut Sarah. Gadis berkulit putih langsat itu merasa tak yakin dengan kondisi Nadya.

“Aku kuat ko! Sudah diolesi krim juga. Nanti juga sembuh.” Nadya bersikeras setelah ia memakai kembali sepatunya dan mencoba berdiri.

"Kita beristirahat dulu di sini sebentar,” usul Sean, pria berkaus Eiger lengan panjang itu menurunkan ranselnya lalu duduk bersandar pada pohon akasia.

“Kurang lebih lima ratus meter lagi kita sampai di Pintu Angin,” sambungnya kemudian seraya menggulung lengan bajunya.

“Kalian bisa melanjutkan perjalanan,” tandas Bastian setelah ia meneguk minumannya.

“Aku tunggu di sini sajo,” imbuhnya dengan napas mengap-mengap.

“Bang, jangan begitu. Kita datang bersama dan pulang pun harus bersama Bang,” timpal Sean sambil tangannya menepuk bahu Bastian.

“Iya Bang, aku yakin Abang kuat!” Nadya tak kalah memberi semangat.

Bastian mengangguk meski tak sepenuhnya yakin. Sepuluh menit kemudian, mereka kembali bergerak. Tata barisan berubah, Sean berada di depan, disusul Sarah yang memapah Nadya, dan Bastian di bagian belakang. Sean melangkah lebih cepat. Sementara itu, Bastian, Sarah, dan Nadya tertinggal beberapa meter di belakang. Mereka berusaha, memaksakan diri untuk terus berjalan menyusuri jalan dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki. Tangan mereka mengempas, mencoba meraih apapun yang bisa mereka pegangi.

Jalanan semakin terjal. Kaki melamban dan langkah mereka mulai gontai. Bahu memburu seirama dengan napas yang terasa seperti tercekik. Apalagi Nadya, dengan kaki kanan yang bengkak membiru, ia harus terus memaksakan diri berjalan dengan sempoyongan.

Sepuluh menit kemudian, mereka mulai kewalahan. Jalan setapak kini mengarah lebih tinggi delapan puluh derajat ke atas gunung. Sejauh mata memindai, hanya ada bebatuan besar, pasir, kerikil, dan sedikit pepohonan. Meskipun mereka begitu kepayahan, tetapi mereka terus bergerak, memaksakan diri untuk terus menarik langkah perlahan, menyusuri Lembah Agam hingga sampai pada tujuan.

“Lihat itu! Lihat itu!” Sarah bersorak takjub melihat Gunung Singgalang dan Kota Bukittinggi dari bibir Lembah Agam.

Pukul dua siang, mereka telah sampai di Pintu Angin. Kawasan yang terletak di ketinggian 2.400 mdpl ini menjadi tempat para pendaki bermalam sebelum mereka melanjutkan ke kawasan Cadas dan berakhir di Puncak Merpati.

Letak kawasan Pintu Angin tak begitu jauh dengan Tugu Abel. Jaraknya hanya dua ratus meter saja, tetapi Bastian, Nadya, Sarah, dan Sean memilih mendirikan tenda di sini. 

“Kita bermalam di sini Bang?” tanya Sean.

“Iya, kita istirahat di sini. Besok kita mendaki ke Cadas,” seru Bastian sembari meloloskan ransel dari punggungnya.

Bastian dan Sean mendirikan tenda, sedangkan Sarah memasak perbekalan untuk mereka makan. Hari sudah semakin rembang. Suasana sudah gelap meskipun malam belum benar-benar menyapa. Bastian memilih untuk tidur di tenda setelah ia meminum obat pereda demam. Nadya pun sama. Ia memilih berisitirahat setelah Sean kembali memijat kakinya yang sakit.

Kini tinggal Sean dan Sarah. Mereka berdua masih duduk di depan tenda. Menyesap secangkir kopi panas sedikit demi sedikit sambil berbincang dengan pendaki lainnya. Malam semakin meninggi. Udara semakin terasa dingin. Sean dan Sarah merapatkan jaketnya dan memutuskan untuk masuk ke tenda untuk beristirahat.

Pukul lima pagi. Suasana Pintu Angin cukup ramai dengan para pendaki yang tengah bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Ada juga para pedagang dengan topi kupluk dan jaket yang tebal menenteng termos dan lampu pijar. Mereka menjajakan minuman hangat dan pop mie.

Setelah selesai sarapan, mereka kembali melanjutkan pendakian. Perjalanan kali ini melintasi rute yang tak mudah. Mereka kembali meniti jalan setapak yang terjal dengan susah payah kemudian turun ke dasar sungai yang kering. Beberapa kali mereka harus berhenti untuk beristirahat sebelum kemudian menyeretkan kedua kaki mengikuti jalan berkelok-kelok yang sempit dan curam dengan pemandangan di sisi kanan kiri berupa lereng gunung berapi yang berbatu dan jurang.

Setelah menempuh kurang lebih tiga ratus meter di atas permukaan laut, akhirnya mereka telah sampai di tepi area kawah.

“Lihat! Itu Tugu Abel!” Nadya melompat kegirangan memeluk Sarah.

“Kita berhasil Nad!” timpal Sarah dengan hati membuncah.

Mereka berjalan cepat ke arah Tugu Abel dengan bibir yang tak henti-hentinya tersenyum. Sebuah rasa puas menggelayuti hati mereka. Mereka lalu mengambil beberapa foto untuk dijadikan kenang-kenangan. Mereka juga beristirahat sejenak untuk melepas lelah dan menikmati indahnya kawah gunung.

“Berapa lama lagi kita sampai Puncak Merpati Bang?” tanya Sean saat ia duduk berdampingan dengan Bastian.

“Perkiraan tiga puluh menit sajo, tapi jalanan di depan berpasir dan berbatu. Harus lebih hati-hati!”

Sean mengangguk dan melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Jam menunjukkan pukul sepuluh. Sean segera memanggil Nadya dan Sarah yang masih mengambil gambar untuk segera melanjutkan perjalanan ke Puncak Merpati.

Hampir pukul sebelas siang, akhirnya mereka sampai di Puncak Merpati meski dengan susah payah. Puncak Merpati terlihat sangat indah, gumpalan awan begitu dekat.

"Aku nggak nyangka kita bisa sampai puncak,” Nadya berseru, air matanya luruh.

“Akhirnya kita berhasil!” Suara Sean terdengar kemudian.

Bastian, Sean, Nadya, dan Sarah terlihat sangat bahagia. Mereka berpelukan untuk melepaskan semua lelah. Mereka berfoto bersama dan memotret kenampakan alam yang ada sebelum kemudian mereka memutuskan turun dan akan membangun tenda di area Tugu Abel.

Sekitar pukul dua siang.

"Ayo kita turun dulu ke Tugu Abel,” ujar Bastian setelah menatap ke arah langit yang terlihat sudah abu-abu seperti akan menumpahkan air hujan.

“Sebentar lagi Bang,” Nadya protes sembari memainkan alisnya yang lebat meminta tambahan waktu.

“Mendung Nad. Besok pagi kita balik lagi ke sini sebelum pulang,” putus Bastian seraya berjalan menjauh dari Puncak Merpati.

“Jarak dari Tugu Abel ke Puncak Merpati kan dekat Nad.” Sean menambahkan.

Nadya mengangguk tanda setuju meskipun ia merasa masih ingin berada di Puncak Merpati.

Sean, Nadya, dan Sarah berjalan menyulur di belakang Bastian. Menuruni lembah curam berkerikil dan berpasir dengan sangat hati-hati. Baru sejauh lima belas meter berjalan, mereka dikejutkan dengan suara deruman yang kuat seperti bunyi pesawat yang hendak lepas landas. Suara itu tak hanya datang satu kali, tetapi kembali datang sepersekian detik kemudian. Sean dan Bastian saling beradu pandang dengan wajah penuh kecemasan.

"Bang! ERUPSI!" Sarah menjerit diikuti dengan teriakan Nadya.

Bastian dan Sean menoleh ke belakang. Kedua matanya seketika membelalak melihat kepulan asap hitam dan muntahan abu yang menyembul ke langit. Disusul dengan bebatuan panas bertebaran ke udara. Hawa dingin berubah menjadi panas.

“Tinggalin tasnya! Tinggalin tasnya!” pekik Bastian kepada sahabatnya.

Abu panas menghabur, bercampur dengan udara dan masuk ke dalam pernapasan mereka. Panas, sangat terasa panas. Seketika, pandangan menjadi gelap.

“Ayo cepat lari! Ayo cepat lari!” Bastian berteriak kencang seraya berlari dengan cepat. Tangannya melingkari kepalanya agar tak terkena batu.

Bastian berlindung di balik batu besar. Kemudian tak lama, Sean datang mendekat.

“Bang, tolong kepalaku Bang!” Sean panik melihat tangannya berlumur darah.

Bastian menangkup kepala Sean dengan tubuhnya. “Menunduk! Tutup mata dan hidung!” seru Bastian dengan wajah sudah berlumuran abu.

“Nadya dan Sarah Bang! Tolong Nadya dan Sarah!” Sean menyebut nama sahabatnya berkali-kali.

Bastian seperti hilang akal. Tanpa pikir panjang, ia bangkit, merangkak dengan sisa tenaga meninggalkan Sean untuk mencari Nadya dan Sarah. Dari jarak lima puluh meter dengan segala keterbatasan penglihatan, Bastian melihat Nadya tergolek dengan paras hampir tak dapat dikenali karena abu tebal menempel pada seluruh tubuh dan wajahnya.

“Sarah,” seru Nadya pada Bastian. Suaranya nyaris tak terdengar karena mulutnya begitu kaku.

“Sarah, tolong Sarah Bang,” ulang Nadya kedua kalinya dengan tenggorokan tercekat karena abu sudah memenuhi paru-parunya.

Bastian memeluk Nadya lalu membopongnya ke tempat yang aman. Hujan batu mulai reda. Di balik batu besar bersama Sean, Nadya ia titipkan. Bastian meminta Sean dan Nadya untuk segera turun terlebih dahulu karena Bastian ingin mencari Sarah. Namun, mereka menolak. Bastian lalu kembali merangkak berusaha menyeretkan kakinya dan menajamkan pandangannya dari sisa-sisa abu vulkanik panas yang memenuhi kawasan.

Di turunan lereng gunung, Bastian melihat Sarah menggelepar. Matanya terpejam kuat dengan luka di kaki karena terhantam batu panas dari muntahan Gunung Marapi.

"Sarah, ayo naik ke punggung Abang. Kita turun sama-sama." Bastian berjongkok di depan Sarah.

Hujan abu kembali mencuat. Sesak napas membuat Bastian dan Sarah limbung. Mereka terguling beberapa meter. Pakaian yang mereka kenakan beberapa bagiannya sobek karena terjatuh tadi.

"Sarah, bertahan Sarah! Kita harus bisa turun!" Bastian menepuk-nepuk pipi Sarah, tetapi Sarah tak merespon. Hanya bulir air mata yang keluar dari celah ujung kelompak matanya yang terpejam.

Bastian mencoba kembali menggendong Sarah. Dengan kepayahan, ia berjalan tertatih, menyeretkan kakinya, menapaki lintasan terjal dengan luka di sekujur tubuh dan kepala yang terasa begitu berat. Gerimis mulai turun. Bastian dan Sarah mencari tempat yang aman untuk berteduh. Melanjutkan perjalanan dengan kondisi hujan hanya akan menambah risiko. Buru-buru mereka berdua mendekat dan berlindung di bawah pohon besar yang ada.

Hujan tak berhenti turun, justeru semakin deras dan berakhir badai. Angin kencang membuat pohon-pohon di sekeliling seperti mengamuk. Udara yang tadi panas kini dengan cepat berubah menjadi begitu dingin.

"Sarah, tahan sebentar lagi ya?" Bastian membawa Sarah ke dekapannya. Tidak ada cara lain untuk menghangatkan tubuh gadis dengan kaki berdarah itu.

Sudah satu jam berlalu, badai mulai reda. Bastian kembali menggendong Sarah. Kedua tangannya dililitkan ke lehernya agar tidak terjatuh.

"Tolong! Siapapun tolong!" Bastian berteriak dengan sisa tenaga yang ia miliki. Semakin lama, langkah kakinya semakin terasa berat. Ia terduduk lemas. Napasnya memburu tak karuan.

Dari kejauhan Bastian melihat cahaya lampu pijar. Tak lama kemudian tim SAR datang menghampiri. Salah satu di antara mereka membawa Sarah turun.

“Pak, di atas masih ada teman-temanku,” ucap Bastian dengan sisa tenaga.

"Bang, Abang turun bareng saya ya. Masih kuat Bang?" ucap salah satu tim SAR.

"Aku masih ku—"

Brug!

Tubuh Bastian limbung ke tanah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Setelah Kehilanganmu
Dila Fahira
Novel
Bad Twins
Asriani
Novel
Menanti Hujan Teduh
Isti Anindya
Skrip Film
Retak Yang Mengutuh (Skrip)
Dzalabu
Cerpen
MENDEKAP MARAPI
Shinta Puspita Sari
Novel
Bronze
Maret dan rahasia
haniifa_
Novel
Irama Bulan
Ilestavan
Novel
Sayangku, Rena
Yusrina Imaniar
Novel
Ketika Ibu (Tak Lagi) Dirindukan
Wulansaf
Flash
Mendadak Terbang
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bintang Berkelip dengan Jenaka
Henry
Novel
Gold
NY Over Heels
Bentang Pustaka
Novel
JENDELA KACA
Meria Agustiana
Novel
Bhanuresmi
Foggy F F
Novel
Anak Ibu
Delfianty
Rekomendasi
Cerpen
MENDEKAP MARAPI
Shinta Puspita Sari
Flash
HANUM
Shinta Puspita Sari
Flash
MANTAN PER*K
Shinta Puspita Sari
Cerpen
Jadi, Boleh Aku Mencintaimu?
Shinta Puspita Sari
Novel
Unfair Marriage
Shinta Puspita Sari
Novel
Jadi, Boleh Aku Mencintaimu?
Shinta Puspita Sari