Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu hujan turun sangat lebat. Sebuah bola cahaya terlihat melayang-layang menembus tetesan air hujan. Kemudian cahaya tersebut menembus masuk ke dalam sebuah rumah, berputar-putar seperti mencari sesuatu. Tak lama ia diam disalah satu anak tangga sebuah rumah dan menunggu.
Hujan deras disertai angin kencang yang bertiup menggerakkan dahan-dahan pohon. Mengetuk-ngetuk jendela kamar lantai dua sebuah rumah. Dibalik kaca yang terkena tempias tetes hujan, seorang gadis bernama Zivania Anantari (15) terlihat sedang membaca sebuah buku. Horor. Ia duduk santai di kursi malasnya. Wajahnya fokus meniti kata demi kata yang tertulis dalam buku itu, namun sesekali terlihat tegang ketika kata-kata itu terangkai menjadi kalimat yang sangat menyeramkan. Ia tak bergeming dan terus asyik dengan bacaannya, meski suara gemuruh menggelegar dan menggetarkan kaca jendela. Tidak peduli.
Begitulah gadis yang akrab disapa Ziva ini, entah apa yang membuatnya begitu tertarik pada kisah-kisah menyeramkan dan mistis. ketika libur sekolah ia lebih memilih membaca buku atau menonton film horor ketimbang keluyuran diluar. Apalagi hari ini hujan turun begitu deras, tidak mungkin gadis manis itu akan bepergian. Pilihan terbaiknya adalah menuntaskan hobi yang selama ini ia minati, terjun ke dunia tak kasat mata melalui buku-buku atau film koleksinya.
Lagi pula Ziva tidak begitu punya banyak teman. Ia diasingkan karena hobi anehnya itu. Teman di sekolahnya menjauhinya. Ia selalu membahas atau bercerita tentang hal yang menyeramkan setiap kali berkumpul dengan teman-temannya. Meski ia tidak bisa melihat secara langsung, penggambaran situasi dan deskripsi sosok yang Ziva ceritakan pada teman-temannya sukses membuat mereka bergidik ketakutan. Hal inilah yang membuatnya tidak memiliki banyak teman.
Tapi jangan khawatir, di sekolah masih ada yang mau berteman dengannya. Ningsih (16) teman satu frekuensi yang memiliki hobi sama dengan Ziva. Namun Ningsih lebih ekstrem lagi, ia mengaku bisa melihat makhluk astral. Ia menyebut dirinya anak indigo. Hal ini membuat Ziva tertarik berteman dengan Ningsih. Menurut Ziva itu adalah hal yang keren, ia pun berharap memiliki kemampuan yang sama seperti apa yang dimiliki Ningsih. Itulah mengapa kemana pun Ziva dan Ningsih berjalan akan selalu diiringi tatapan aneh dari teman-teman sekolah mereka. 'Duo paranormal gadungan' julukan yang tersemat pada keduanya.
"Ziva, sudah!. Hentikan kebiasaanmu!."
"membaca hal-hal seperti itu bisa mempengaruhi alam bawah sadar kamu." Ucap mama ketika melihat Ziva sedang asik membaca buku yang memiliki sampul menyeramkan.
"Baca tuh, bacaan yang bermanfaat!."
"Ziva, Ziva!." mama mulai teriak di ambang pintu karena melihat Ziva tidak ada reaksi.
"Nanti nyesel kamu kalau tiba-tiba bisa lihat setan." Celetuk mama sambil berlalu pergi meninggalkan putri sulungnya itu dengan wajah kesal.
Jgeeerrrrr!
Gemuruh langit kali ini membuat Ziva terperanjat. Ia mengusap-usap dada berharap dapat mengurangi rasa kagetnya. Ia tak sadar dengan kehadiran mama beberapa menit lalu.
Kedua orangtua Ziva tak henti-hentinya mengingatkan agar Ziva dapat meninggalkan hobi anehnya itu, tapi ia tak memperdulikan dan terus mengikuti rasa penasarannya untuk memahami dunia yang seharusnya tak perlu ia ketahui lebih jauh. Dan hari itu pun terjadi,
Kring…kring…kring
Suara telpon rumah dari lantai satu terdengar jelas. Ziva menutup telinga karena merasa terganggu dengan suara dering telepon yang semakin lama, semakin terdengar sangat keras. Hingga seperti hendak memekakkan telinganya.
Kring…kring…kring
"Ck!, orang-orang pada kemana sih?." Keluh Gadis berambut lurus sebahu itu. Hari ini hari libur, jelas semua orang; mama dan adiknya bernama Syilvia Garwita (12) sudah dipastikan berada dirumah. Kecuali ayahnya yang sedang berlayar. Ayah Ziva adalah seorang Nahkoda, ia akan menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk berlayar sebelum akhirnya kembali ke rumah.
Suara dering telepon masih terdengar, itu artinya tak ada satu orang pun yang mengangkatnya. Suara dering itu mengganggu konsentrasi Ziva yang sedang asik membaca buku kesukaannya itu. Mau tak mau, Ziva bergegas bangkit dari kursi malasnya dengan masih menggenggam buku horor menuju sumber suara.
Buku itu seperti tidak ingin lepas dan memaksa Ziva untuk terus membacanya. Hanya sesekali Ziva menoleh untuk memastikan langkah kakinya, lalu pandangannya kembali menatap buku. Langkahnya pun menjadi lambat karena hal itu.
Kring...kring...kring!
Ziva terperanjat, "Ihh.. sebentar dong, gak sabaran banget sih." Gerutu Ziva yang mulai mempercepat langkahnya saat menuruni anak-anak tangga. Suara panggilan telepon itu seakan sengaja menunggu kedatangan Ziva, namun ia tak menyadarinya.
"Ahh!!" Pekik Ziva, sesuatu telah menabraknya. Bahu kanannya sedikit menjorok kebelakang. Hampir saja ia terjerembab, untungnya ia refleks menggenggam selusur dan mampu menahan beban tubuhnya agar tidak jatuh. Ziva pun menoleh ke arah belakang, tapi tak ada siapa-siapa.
'Tadi itu apa?' Batin Ziva, sambil mengusap-usap bahu yang beberapa detik lalu terasa ada sesuatu yang membenturnya.
Kring…kring…kring!
Lagi- lagi suara telpon itu berdering, membuat Ziva menghentikan penelusurannya terhadap apa yang telah ia alami di tangga tadi. Ia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti untuk menghampiri telepon yang dari tadi seperti tak sabaran dan semakin memekakkan telinga.
"Assalamualaikum Halo— halo." Ziva mengangkat gagang telepon rumah berwarna hitam dan sudah usang.
Tak ada suara yang menyahuti salamnya. Ia memandang aneh speaker telpon. 'Sejak kapan telepon rumah dipasang lagi?'. Gumam Ziva. Benar saja, bukankah telepon rumah itu kini hanya menjadi pajangan?.
"Kamu sedang apa?" Tanya Mama. Mama keluar dari arah dapur dan terlihat membawa cangkir dengan asap tipis mengepul di permukaan cangkir. Mama pun melangkah menuju sofa ruang tengah.
"Ini tadi bunyi, mama dengar gak?" Tanya Ziva sambil menggaruk-garuk kepalanya, heran. Ia yakin sekali suara telpon rumah itu berdering, bahkan bunyinya saja mengalahkan deru gemuruh yang menggelegar diluar.
Mama menggelengkan kepala, "Ngarang kamu, kabel nya aja gak ada. Gimana mau bunyi." Sanggah mama. Ziva segera membalikkan telepon untuk mengecek. Telepon tanpa kabel. Mama tersenyum tipis melihat tingkah anak gadisnya itu.
"Tuh kan, aneh lagi kan." Sambung mama.
ini bukan pertama kalinya Ziva bersikap Aneh. Mama tidak menghiraukan putrinya yang sedang terpaku keheranan. Mama yang sudah duduk di sofa, mengambil remote dan mengganti siaran televisi.
Ziva terdiam dan masih tak percaya dengan apa yang barusan ia alami. Suara telepon itu, sangat jelas terdengar. Bahkan sebelum mengangkatnya, ia sempat melihat gagang telepon itu bergetar. 'Apa aku tadi sedang berhalusinasi?.' Batin Ziva.
Meninggalkan kebingungannya, Ziva memilih untuk melangkah ke teras depan rumah. Sekedar menikmati hujan sambil membaca buku yang telah ia bawa sedari tadi. Buku itu berjudul Pengalaman Mistis, berisi tentang kumpulan pengalaman orang-orang yang pernah mengalami kejadian spiritual. Buku ini menjelaskan bahwa hal-hal gaib bisa muncul dimana saja dan kapanpun tanpa memandang siapapun menjadi targetnya.
Hujan terlihat sedikit reda, Ziva menoleh sebentar memperhatikan air hujan yang menetes dari kanopi teras. Mencoba sedikit memulihkan matanya yang sudah lelah karena terlalu lama membaca. Ia memperhatikan kanopi yang lumayan lebar ke arah depan, membuat lantai teras tetap terlindungi dari percikan air hujan.
Tak lama, dari kejauhan terlihat seorang lelaki berpakaian batik yang didominasi warna putih dan biru serta mengenakan celana panjang berwarna hitam, lelaki itu berlari mendekat ke arah rumah Ziva. Seperti orang yang sedang mencari tempat berteduh. Wajahnya tertunduk, hingga Ziva tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria ini.
Teras rumah Ziva memang terbuka, tidak ada pagar atau pembatas apapun dari teras ke jalan, teras yang rendah membuat orang yang lewat dengan mudah duduk dilantai berwarna merah hati itu. Lelaki yang berlari tadi segera mengambil posisi. Ia duduk di lantai dekat dengan pintu masuk. Tepatnya satu setengah meter dari pintu masuk. Ia duduk begitu saja tanpa izin pada Ziva yang juga tengah bersantai diatas bangku kayu jati, letaknya di ujung teras dekat dengan jejeran pot yang berisi tanaman-tanaman hias mama. Ziva Mengernyitkan dahi.
Ziva memperhatikan Lelaki yang terlihat dari sisi samping wajahnya saja. Dari sana, Ziva dapat melihat dengan jelas pria itu sudah basah kuyup. Air menetes dari ujung baju dan rambutnya. Lelaki itu masih menundukan wajahnya. Entah dari mana asalnya lelaki ini, Ziva tak pernah melihat sebelumnya. Sudah pasti dia bukan dari desa tempat Ziva tinggal. Ditambah pemuda di desa Kemuning jumlahnya hanya ada sedikit, sangat mudah bagi Ziva mengenal satu persatu pemuda yang tinggal di sana.
Kreekek!
Suara pergerakan sendi leher pria itu bisa Ziva dengar, seketika pria itu menengok ke arah Ziva. Namun Cepat-cepat Ziva menutup wajahnya dengan buku. Berpura-pura untuk tidak menyadari keberadaan pria berpakaian batik itu. Dibalik bukunya Ziva bertanya-tanya, 'bagaimana suara sendi bisa begitu keras terdengar?'.
Setelah agak lama, Ziva mengintip lelaki itu dari balik bukunya. Menurunkan sedikit badan buku, hingga diameter matanya sejajar dengan garis horizontal bagian atas buku. Ketika Ziva berhasil mengintip, ternyata lelaki itu sudah mengarahkan pandangannya ke jalan.
Tak lama lelaki itu berdiri, seperti hendak melangkahkan kakinya untuk meninggalkan teras rumah Ziva. Padahal hujan terlihat kembali deras. Ziva merasakan ada keanehan pada lelaki tersebut. Karena mengapa ketika hujan mulai reda ia berteduh, namun saat hujan kembali deras ia malah hendak beranjak dan seperti ingin menerobos hujan.
"Eh, mau kemana?"
" hujan makin deras. Apa mau ku pinjamkan payung?." Tegur Ziva menghentikan langkah pria tersebut. Pria yang berdiri membelakangi Ziva itu diam saja tak menjawab. Ia kembali melangkah keluar pekarangan rumah. Hingga hujan terlihat mulai membasahi tubuhnya. Namun, setelah beberapa meter ia pun menoleh ke arah Ziva. Lelaki ini senang ternyata Ziva sadar akan kehadirannya.
Seketika terlihat senyum menyeringai dari wajah yang begitu pucat dengan urat-urat berwarna kehijauan. kantung matanya keriput dan kulit bibirnya mengelupas. dan yang paling membuat Ziva terkejut adalah ketika Ziva melihat mata pria itu. Hitam seluruhnya, seperti tak memiliki bola mata. Ziva tak bisa bergerak. Tubuhnya terasa kaku, wajah pria itu membuat bulu kuduknya merinding. Kemudian pria itu membalikan badannya dan menghilang di ujung persimpangan.
"Dari mana asal pria menyeramkan itu, aku tidak pernah melihatnya." Ucap Ziva lirih, Ziva masih belum menyadari apa yang baru saja ia lihat.
Ziva bangkit dari tempat duduknya. Berniat menuju pintu masuk, dimana baru saja pria misterius itu duduk didekat situ.
Brukk!
Buku dalam genggamannya terjatuh, Ziva membungkukkan badan untuk segera meraih bukunya yang terjatuh tadi. Sorot matanya seketika mengarah ke lantai, matanya terbelalak. Ia sangat terkejut, karena tak sedikitpun air membasahi lantai. Padahal jelas ia melihat pria itu duduk disitu dengan keadaan sangat basah. Bahkan air dari baju dan rambutnya terlihat menetes-netes, tetapi lantai teras terlihat masih kering. 'Bagaimana bisa?' Batin Ziva.