Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di tanah rayuan pulau kelapa yang indah ini semerbak harumnya tercium hingga negeri seberang terbawa anginnya. Terselubung kota kecil yang ramai siang hingga malam menuju pagi kembali. Elok katanya, gadis-gadis dengan riasan polos mencari cuan kesana kemari demi menetap di tanah bumi ini.
Di kala surga menantiku, tibalah seorang lelaki membawa beberapa kotak rokok kemudian menawarkanku. Dia hanya mencoba melirikku dan menggodaku dengan tatapan maut senyum bual yang sudah tak asing lagi. Siapa lagi kalau bukan lelaki penggoda perempuan-perempuan yang bermain dari malam hingga pagi kembali.
“Pergilah mencari wanita lain, kau pikir aku sama seperti mereka yang munafik menjual tubuhku demi kau?! Dasar lelaki bodoh!” Lekas aku pergi dengan lirikan sinis ke arah lelaki bodoh itu.
Pekerjaan ini cukup rumit buatku. Belum punya pengalaman magang bahkan aku hanya lulusan SMA. Kuliah memang sempat kujalani, nyatanya tak berjalan sesuai keadaan. Aku harus berhenti bahkan belum menginjak semester 2. Kehidupanku berbeda dengan yang lainnya. Di saat semua orang punya uang, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk keperluan kuliah. Tentu saja bisnis dari keluarga mereka. Sedangkan aku tidak punya uang, tapi mencoba untuk melanjutkan pendidikan.
“Dasar aku, terus saja membayangkan uang banyak. Kerja saja belum, udah mikir dapat gaji berapa.” Duduk sembari menunggu antrian wawancara.
Perasaan lega menyelimuti kekhawatiran yang sudah tak tertahankan tiga jam yang lalu. Di tengah keramaian kota ini, aroma surga tercium olehku. Tanpa kusadari perut mulai mengangguku dan mencoba memberhentikannku untuk mampir ke salah satu warung yang ada di depan mataku.
“Sesekali aku harus menyenangkan diriku.” Segera aku memasuki salah satu warung seafood yang ramai pengunjung.
Penjaga warung menawarkan sebuah menu kepadaku. Aku terima dan mulai menggila melihat makanan yang nantinya akan disajikan tepat dihadapanku.
“Mujaer bakar satu sama cumi saos mentega satu. Untuk minumnya tidak perlu.”
Suara mendesis panasnya makanan, dinginnya air disajikan, piring dan gelas diantarkan, wajan panci dengan api dibawahnya. Suasana seperti ini yang aku inginkan selama ini. Memang bukan rugi kalau harga makanan yang mahal bisa mengenyangkan perutku yang lapar ini.
Makanan tepat disajikan dihadapanku. Pupil bolah mataku seolah-olah membesar. Seperti orang yang belum makan satu bulan. Di saat orang lain makan bersama satu dua orang bahkan lebih. Sedangkan aku bahagia sendiri memikirkan besok harus makan apa sesuai kantong uangku saat ini.
“Makanan sebanyak itu membuatku perlu banyak minum.”
Tiba-tiba alarm pagi membangunkanku membuatku tersadar lupa bahwa hari ini aku harus bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Segera aku mandi dan mencari baju yang akan ku pakai sebagai hari pertama aku bekerja menjadi seorang pembantu. Tentu sebagai pekerjaan pendamping jika hasil wawancara di perusahaan diterima.
Selesai beres-beres rumah, tentu disambut suara-suara keras perkelahian rumah tangga yang hampir bahkan setiap pagi mengumpat telingaku. “Bu Mer, untuk uang kontrakan besok bisa saya bayar.”
“Besok-besok kalau cari uang yang gajinya banyak, biar saya gak nagih-nagih seperti peminta-minta.”
Merti Agus, orang yang punya banyak kontrakan sekaligus ibu RT yang suka memamerkan barang belanjaan dihadapan orang miskin sepertiku. Suaminya yang suka pulang pagi selalu digosipkan tetangga sering bermain bersama wanita pelacur. Tetangga hanya bisa bergosip, bahkan mengatakan dihadapan ibu RT jarang bahkan tidak pernah.
“Sial, pagiku dihadapkan dengan gosip-gosip yang mulai menghantuiku.
Tok.. tok..tok.. suara ketuk pintuku hampir terdengar oleh tetangga. Terbukalah pintu dan disambut oleh lelaki tua berkumis.
“Permisi pak, disini saya dimintai bekerja oleh istri bapak mulai hari ini.”
“Baik, kalau begitu bisa duduk disini dulu. Saya belum bisa bawa anda ke ruang tamu. Karena istri saya masih diluar.”
“Baik, Pak. Tidak apa-apa jika saya menunggu disini.
Tidak lama kemudian datanglah wanita berusia 50 tahun menggunakan jubbah panjang dan memberi salam kepadaku.
“Maaf sudah menunggu, silahkan masuk!”
Ada kalanya aku berpikir jika mereka ini orang-orang baik yang sengaja didatangkan Tuhan kepadaku. Mereka memberikan aku jamuan makan dan minum. Padahal disini aku harus cepat bekerja membereskan rumah ini. Tulisan kaligrafi yang terpampang besar, tak sengaja kulihat. Sedikit ku terenyuh betapa dosanya aku.
“Hari ini kau bisa bekerja. Untuk jam bekerja lebih baik dimulai dari siang saja. Karena pagi saya harus ke tempat pesantren kampung sebelah.”
“Begini Ibu, saya sangat senang sekali bisa diterima bekerja di rumah Ibu. Tetapi sebelumya saya mendaftar di perusahaan. Jika saya diterima, apakah saya boleh untuk mengundurkan diri?”
“Kalau begitu saya lihat cara kerjamu hari ini. Kalau memang bagus tentu saya lanjutkan. Tapi kalau belum saya mohon maaf.”
Sebuah telepon bordering menyadarkanku dari perasaan bertanya tadi. Intan, saudara kandung yang sudah jauh tidak lama tinggal denganku. Memberiku kabar bahagianya tentang kembalinya suami dari perantauan daerah yang jauh. Aku belum bisa mengirimnya uang selama dia menyendiri. Bahkan aku berdosa sebagai kakak yang tidak pernah meneleponnya untuk memberikan kabar kepada Intan.
Dua minggu sudah berlalu. Tidak diterima di tempat perusahaan aku melamar, berhenti bekerja sebagai pembantu, bayar uang kontrakan untuk bulan depan. Semua list ku selalu terpampang nyata di mataku.
Malam ini hanya ada nasi dan tahu yang dihidangkan dihadapanku. Sambil menelepon saudaraku satu-satunya yang aku harapkan. Menanyakan kabarnya jika malam ini dia sedang mengantarkan minuman untuk dijual di beberapa toko-toko dekat daerah dia tinggal. Diana Prameswati, nama yang tertulis di salah satu surat penolakan lamaran pekerjaan. Betapa kejamnya dunia ini kepadaku.
Aku kembali menceritakan kisahku yang nantinya akan dibacakan oleh beberapa orang. Pagi menyambutku dengan tenang. Jarang sekali suara itu mengusikku. Kini aku bisa bekerja dengan perasaan campur aduk. Bekerja di sebuah kafe di tengah perkotaan dengan kemewahan yang drastis. Cukup menahan diri untuk memikirkan bahwa aku ini tidak bisa menjadi seseorang yang seperti mereka nantinya.
Perasaan lega kembali menyambutku. Pulang dengan membawa beberapa uang yang perlu aku gunakan utuk membayar kontrakan. Kali ini aku disambut oleh Bu Mer yang sangat bahagia mukanya melihatku muka datar tanpa tersenyum.
“Mbak Diana, Intan Prameswati itu adikmu, bukan?”
“Kenapa Bu Mer?"
“Enggak baru saja suami saya bilang kalau ada kecelakaan dan ada tanda nama Intan Prameswati. Saya juga lihat di fotokopi kk mu. Namanya sama, jadi saya pikir bisa saja itu keluargamu.”
Segera aku meneleponnya. Perasaan campur aduk terbayang wajahnya tepat dihadapanku. Rasa gelisah menyelimuti. Tidak diam, aku kembali ke rumah Bu Mer dan menanyakan tempat ditemukan saudara saya.
Suasana semakin gaduh, ketika aku bertanya tentang tempat tersebut. Bu Mer tiba-tiba merasa aneh dan bertanya kepada suami tentang info tersebut. Tentu saja suami Bu Mer, selalu bermain di belakang. Bersenang-senang dengan wanita pelacur yang juga tidak tahu latar belakang mereka.
Bear Bar, sebuah tempat dimana Intan ditemukan tidak bernyawa. Kini banyak koran yang menuliskan tentang Intan sebagai penjual minuman keras. Bekerja keras menghidupi keluarganya yang telah bangkrut beberapa bulan sebelumnya. Suaminya hilang entah kemana. Kini namanya dipandang jelek dan dianggap sebagai wanita pelacur oleh beberapa masyarakat. Serta aku yang ingin memastikan kejadian sebenarnya mengapa perempuan itu bisa mati begitu saja. Seperti tubuhnya hilang dan namanya terbawa oleh angin terdengar di penjuru tanah air.