Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gelap dan terasa sakit di sekujur tubuh. Perlahan-lahan kubuka kedua mataku, mencoba menyesuaikan tangkapan cahaya di pupil. Belum malam tapi cahaya langit meredup, pertanda gelap akan segera datang.
Kupaksakan tubuhku untuk bangun. Tidak langsung berdiri, tubuhku masih perlu penyesuaian setelah pingsan. Kuamati sekitarku dengan perasaan tak menentu.
Ada bongkahan pesawat yang hancur dan beberapa bagian badan pesawat menjadi serpihan yang berhamburan di mana-mana. Sekelilingku banyak pohon-pohon tinggi dengan dedaunan yang lebat dan tanaman lain yang tumbuh begitu rapat, hingga itu semua terlihat seperti pagar bagiku.
Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Ada apa denganku? Kenapa aku ada di sini? Kenapa dengan pesawat itu?
Semakin banyak bertanya, kepalaku semakin pusing, dan aku tidak mendapatkan jawabannya. Tidak ada yang bisa aku ingat sebagai jawaban, bahkan namaku pun tidak mampu kuingat. Sepertinya, aku sudah hilang ingatan.
Kuamati bangkai pesawat itu, berharap ada ingatan yang kembali. Sepertinya aku adalah bagian dari pesawat yang hancur itu. Entah ke mana tujuanku, tapi aku pasti pernah ada di dalam pesawat itu, karena tidak mungkin aku berada di sini, di hutan antah-berantah tanpa alat transportasi.
“Tolong! Tolong aku! Tolong!” Dari dalam pesawat yang hancur, terdengar suara seseorang.
Aku terkejut hingga napasku sempat berhenti. Ternyata aku tidak sendirian. Segera aku berdiri, tapi kemudian duduk lagi, karena rasa sakit yang mendera. Banyak luka di tubuhku. Kakiku sepertinya cedera ringan, tapi masih bisa digerakkan, asal pelan-pelan. Sepertinya tangan kiriku yang mendapat cedera berat. Seain luka yang dalam, tangan kiriku juga sulit untuk digerakkan.
“Tolong! Apa hanya aku yang hidup?” teriak orang itu dibarengi dengan tangisan yang memilukan.
Aku mencoba lagi bangun. Kali ini aku melakukannya dengan pelan-pelan, lalu aku berjalan menuju ke pesawat hancur.
Aku sudah berdiri di depan pintu pesawat yang daun pintunya sudah tidak utuh lagi. Posisinya miring dengan banyak engsel yang lepas. Aku berusaha menarik daun pintu. Itu susah, tapi aku yakin bisa.
‘Bugh!’
Akhirnya daun pintu itu terlepas dan jatuh begitu saja. Aku pun melangkah masuk.
Aku terhenyak melihat keadaan di dalam pesawat. Banyak korban yang masih duduk terikat sabuk pengaman, dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Aku tidak tega melihat, tapi aku juga tidak mungkin berpaling.
Aku melangkah dengan sangat hati-hati, sembari mengamati sekitar. Darah-darah yang mengering atau masih basah, berceceran di banyak tempat, membuat dalam pesawat seolah-olah berubah warna menjadi merah.
Aku harus melangkah hati-hati. Beberapa bangku pesawat ada yang terlepas dan bergeser ke mana-mana. Barang-barang bawaan penumpang juga berhamburan jatuh dari kabin, bererakan, beberapanya menumpuk.
Sempat aku terdiam saat melihat ada lubang kecil, mungkin seukuran lingkar ibu jari tangan, di badan pesawat. Sangat mengherankan di pesawat ada lubang. Apakah mungkin itu lubang peluru?
Aku tidak ada waktu untuk memastikannya. Rasa penasaranku adalah pada orang yang berteriak. Dia hidup dan butuh pertolongan.
Semakin masuk ke dalam, semakin jelas suara rintihan dan tangisan itu. Aku sudah melewati toilet dan masuk ke galley pesawat. Ini adalah ruang di mana pramugari atau pramugara menyiapkan makanan atau minuman bagi penumpang. Pencahayannya lebih minim, aku perlu penyesuaian lagi.
Tidak banyak barang bertebaran di galley. Kerusakannya pun tidak separah di bagian penumpang.
“Tolong aku ….”
Aku menemukan seorang anak kecil, yang mungkin berusia 10 tahun, yang bagian tubuh dan kakinya, tertimpa kursi yang biasa dipakai pramugari atau pramugara duduk. Bergegas aku menghampiri.
“Sakit … tolong …!” Suara anak kecil itu melemah, wajahnya semakin pucat.
“Hei, jangan menangis, ya. Aku akan menolongmu.”
Anak kecil itu mengangguk lemah sebagai jawaban. Dengan satu tangan yang masih kuat, aku berusaha keras memindahkan kursi–kursi yang menimpa si anak kecil.
Setelah beberapa waktu, akhirnya aku bisa menyingkirkan kursi-kursi itu dari tubuh mungil si anak kecil. Aku berjongkok di sisinya dan membelai kepalanya yang basah karena keringat dan mengusap air matanya.
“Kamu sudah tidak apa-apa. Ada aku.” Kalimat pernyataan yang aku harap bisa menjadi penenang bagi anak kecil itu.
“Mama …? Papa …?”
Pertanyaan yang tidak sanggup kujawab. Aku tidak tahu siapa orang tuanya, tapi melihat korban-korban yang diam mengenaskan di kursinya, aku yakin kalau orang tuanya ada di antaranya.
Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil yang bergerak mendekat ke pesawat ini. Bunyi roda-rodanya membuatku cemas. Aku tidak tahu apakah mereka orang baik ataukah orang jahat. Aku kemudian teringat dengan lubang di badan pesawat tadi. Perasaanku semakin khawatir.
“Kita harus segera keluar dari pesawat,” ucapku berbisik.
“Mama sama papa?”
“Nanti kita cari,” jawabku tidak yakin.
Aku membantu anak kecil itu untuk duduk. Dia meringis dan mengeluh sakit di dada. Tidak banyak waktu, aku memutuskan untuk menggendongnya dengan satu tangan.
Melewati toilet, langkahku mulai hati-hati. Aku harus berjalan setengah membungkuk. Itu agak kesulitan dengan anak kecil yang kugendong.
Aku teringat kalau anak kecil ini mengeluh sakit di dada, berarti kakinya aman. Aku menurunkannya perlahan, memberi isyarat dengan dua jari, seolah berjalan. Beruntungnya anak kecil ini paham, dia menjawab dengan anggukan yang artinya dida bisa berjalan.
“Berjalan di belakangku, ya,” ucapku berbisik pada si anak kecil.
“Siapa di sana?” Seseorang berteriak dari luar pesawat.
Refleks aku berjongkok, pun anak kecil ini. Kurasa cukup tenang, aku melanjutkan langkahku dengan merangkak.
Langkah-langkah kaki terdengar berderap mendekati pesawat. Perasaanku semakin yakin kalau mereka adalah orang jahat. Aku harus bergegas mencari jalan keluar yang berlawanan dari arah kedatangan mereka.
Aku terus merangkak sembari tetap berdoa kalau mereka tidak segera mereka, kalau aku bisa meloloskan diri dari mereka bersama anak kecil ini.
Aku melihat lubang besar di sisi kiri badan pesawat. Itu berlawanan dari arah mereka yang akan masuk melalui pintu pesawat yang rusak.
Itu ternyata cukup tinggi, aku merasa yakin masih bisa loncat dan mendarat aman. Tapi, untuk anak kecil di belakangku, ada keraguan dia berani meloncat. Pastinya anak kecil ini akan ketakutan karena jaraknya akan terasa terlalu tinggi baginya yang kecil.
“Kita akan loncat. Kamu berani?” tanyaku berbisik.
Anak kecil itu tidak menjawab, tapi getaran lembut dari tubuhnya sudah menjawab kalau dia tidak berani.
“Aku akan turun duluan, baru setelahnya kamu. Aku akan menangkapmu dan aku janji kalau kamu akan baik–baik saja. Kamu harus berani, demi mama dan papamu. Oke?”
Anak kecil itu mengangguk pelan. Aku sedikit lega karena meskipun takut, anak kecil ini cukup tegar dan berani. Aku pun melompat, mendarat aman di rerumputan tebal, juga tinggi, cukup untuk melindungiku.
Segera aku mendongak dan membentangkan tangan. Aku menghitung sampai tiga dengan jari. Tepat di jari ketiga, anak kecil itu melompat ke arahku.
Bukan pendaratan yang mulus. Tubuhku oleng dan jatuh ke belakang dengan anak kecil itu aman di atas tubuhku. Meskipun sakit, aku lega karena dengan begitu, si anak kecil ini tidak meraung kesakitan.
‘Srek … srek … srek ….’
Aku mentap ke arah sumber suara itu. Ilalang tinggi dan rapat di hadapanku bergerak-gerak. Anak kecil ini meringsek, memelukku erat. Aku merasakan firasat bahaya nyata. Tapi, aku penasaran, itu apa? Aku melempar batu kecil ke ilalang itu.
Seketika, dua ekor serigala muncul dengan suara menggeram yang menakutkan. Aku terhenyak sekaligus terpaku takut. Seluruh persendian di tubuhku menjadi macet, tidak mampu bergerak.
Kedua serigala itu menatapku marah. Dari moncongnya menetes air liur yang deras, tanda mereka lapar atau mungkin tanda bahwa hidangan makan malam sudah tersedia.
Aku benar-benar panik ketika kedua serigala itu mulai melangkah perlahan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kupeluk erat anak kecil ini yang tubuhnya sudah menggigil karena takut dan aku berdoa dalam hati, memohon pertolongan juga keajaiban untuk nyawa kami berdua.
‘Wush … Ziiing ….”
Benda kecil serupa kelereng, mendarat di hadapan kedua serigala lapar itu. Belum juga aku menelaah benda apa itu, tiba-tiba benda itu meletup dengan suara yang kecil. Kilatan cahaya menyilaukan dibarengi asap putih. Kedua serigala itu meraung dan berbalik lari menjauhi kami berdua.
“Hai, apakah kalian baik-baik saja?” Suara berat seorang pria terdengar dari arah belakangku.
Aku menoleh dan dua orang pria tegap, berjalan mendekati kami berdua. Keduanya menggunakan senjata yang membuatku merinding. Aku tidak yakin apakah mereka adalah kumpulan dari orang-orang bersenjata tadi, ataukah kubu yang lain, tapi anehnya, aku merasa sedikit aman bersama mereka ini.
Seorang yang tadi bertanya, berjongkok di hadapanku, mengamati aku dan akan kecil ini dengan seksama.
“Apa ada yang terluka?” tanya lagi.
“Nggg…, entahlah. Tapi, kami baik-baik saja,” jawabku.
Pria itu tersenyum dan berkata, “Baiklah. Kami akan membawa kalian berdua ke tempat yang lebih aman.”
Teman pria itu mendekat, mengulurkan tangan untuk si anak kecil. Sekarang si anak kecil dalam gendongannya. Sedangkan pria yang mengajakku bicara, membantuku berdiri. Tanganku merangkul di lehernya, sedangkan tangannya merangkul pingangku.
‘Dar! Dar!’
Langkahku terhenti. Itu suara tembakan, berasal dari arah belakangku. Aku menoleh, mengira-ngira mungkinkah tembakan itu untuk kedua serigala itu? Ataukah untukku?
***
Perlahan-lahan aku membuka mata. Masih mengantuk membuatku menguap lebar. Mulutku terbuka dan aku sengaja tidak menutup mulut saat menguap karena itu melegakan.
Untuk sesaat, aku bingung dengan keberadaanku. Aku menoleh ke kanan, di dinding tergantung jam yang menunjukkan pukul 05.50 pagi.
“Aaakh! Awww”
Rasa sakit menusuk saat aku mencoba menggerakkan tubuh. Kulihat diriku sendiri yang penuh dengan perban yang dibalut di bagian-bagin luka juga sakit. Pergerakan tubuhku terbatas karena gips di tangan.
Dalam diam aku mencoba mengingat yang sudah terjadi, setelah bunyi tembakan itu.
Aku dan dua tentara, juga anak kecil itu, bergerak cepat. Di hadapan kami sudah ada 2 tentara lainnya, berdiri di dekat mobil besar berwarna hijau.
Salah seorangnya segera masuk di bagian kemudi, sedangkan seorang lainnya membuka pintu, lalu membantu kami masuk. Mobil pun melaju kencang dan gesit di tengah hutan. Tubuhku terlonjak-lonjak, membuatku kesakitan bukan kepalang.
Beruntungnya, suara tmbakan tak terdengar lagi, mobil pun sudah keluar dari hutan dan melaju di jalan yang sedikit mulus, sampai di rumah sakit.
Akhir yang melegakan dan aku selamat, juga anak kecil itu.
***