Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seperti biasa, tembakan cahaya matahari pagi itu menembus kamar kecilku, yang berusaha masuk menyelinap lewat celah jendela dan membuatku terbangun dari nyenyaknya tidurku. Cahaya itu seperti sebuah pengingat bisu bahwa hari kembali datang meski aku belum siap menyambutnya. Aku terbangun di antara tumpukan baju dan buku-buku yang sudah lama menjadi bantalku seperti saksi bisu atas malam-malam penuh kecemasan dan tanya. Dengan tubuh yang masih terasa berat, aku duduk di teras rumah, ditemani secangkir kopi hitam yang mulai dingin dan sisa rokok yang kubeli semalam.
Tanpa sadar usiaku ini sudah 22 tahun, tapi pertanyaan tentang masa depan terus saja menggerogoti pikiranku. Rasanya seperti detak jam dinding yang tak pernah berhenti, yang terus berpacu dengan waktu, meninggalkanku yang diam di tempat. Ada luka sunyi di dalam dada, yang tak terlihat namun terasa nyaring setiap kali aku bertanya akan jadi apa aku nanti?
Dulu, masa depan kukira hamparan rumput hijau tempatku bermain, seperti ladang yang luas tak berbatas, tempat segala mimpi bisa ditanam. Sebuah taman impian yang tak pernah layu. Atau barangkali seperti langit biru yang tak memiliki batas, tanpa tiang penyangga hanya kehampaan yang menenangkan. Tapi kini, gambaran itu perlahan mulai buram, harapan yang dulu membara kini redup seperti sumbu yang basah.
Semua mulai berubah menjadi teka-teki yang membingungkan. Jurusan kuliah, karier, bos muda, pengangguran, atau bahkan apakah aku akan menjadi seseorang yang berarti? Aku pun tidak tahu. Aku hanya berdiri di persimpangan jalan, menggenggam angin, mencoba membaca arah kompas kehiupan. Ayahku seorang petani. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya membajak sawah di bawah terik matahari. Tangannya yang sudah mengeras, punggungnya yang mulai bungkuk, tapi semangatnya tak pernah runtuh. Ia melakukannya seorang diri tanpa sedikit mengenal kata mengeluh. Sementara aku, anaknya hanya bisa melihat dari jauh. Tak begitu banyak yang bisa kuberikan padanya bahkan ucapan terima kasih pun kadang lupa kusampaikan.
Tapi aku masih mengingat satu kalimat yang pernah ia lontarkan padaku. Katanya, “Masa depan itu seperti membajak sawah dengan cangkul, cangkulnya ada di tanganmu, tapi menyelesaikan pekerjaannya adalah di pilihanmu. ”Kalimat itu yang selalu datang mengetuk pikiranku saat kegelisahan melanda menghampiriku, menampar kesadaran dalam diriku, namun sekaligus memberikan sedikit ketenangan diatas kegelisahanku. Suara ayah kini sering muncul di kepalaku seperti gema dari masa lalu yang belum sempat kupahami.
Teman-temanku kini sudah mulai menemukan arah hidup mereka. Mawardi sejak kecil ingin menjadi arsitek. Ia ingin sekali merancang bangunan megah yang tetap ramah lingkungan. Sedangkan Anshor ingin menjadi ilmuwan, yang mau meneliti dan menciptakan obat-obatan untuk penyakit yang belum ditemukan.
Lalu aku? Aku masih meraba-raba sawahku sendiri. Aku belum menggenggam cangkul, belum juga memulai apa pun. Entah mengapa aku menjadi patung yang hanya berdiam saja, membiarkan waktu berjalan melewatiku. Aku layaknya seperti benih yang takut tumbuh, takut menghadapi badai dan panas yang akan datang. Diamku bukan karena tak ingin bergerak, tapi karena tak tahu harus ke mana.
Suatu malam, ketika aku tak bisa tidur, aku berjalan ke gudang tua di belakang rumah. Di sana, aku menemukan sebuah kotak kayu tua yang diletakkan di sudut lemari, terselimuti jaring laba-laba. Campuran bau dan debu juga kenangan menyatu di udara. Aku membuka kotak itu, dan di dalamnya terdapat foto-foto lama ayah dan ibu saat muda. Di bawah tumpukan foto-foto itu, aku menemukan sebuah buku kecil. Sampulnya sudah lapuk, dan kertasnya sudah menguning. Itu adalah milik ayahku, dengan rasa penasaran aku membukanya.
Lembar demi lembar berisi catatan hidup ayahku, tulisan tangannya yang indah, seperti kaligrafi yang berjalan. Aku terpukau, namun di halaman pertama ada satu kutipan yang menghentikan nafasku sejenak. Katanya: “Hidup kalau tidak diuji, tidak layak untuk dijalani.”
Kata-kata itu menghantamku memberikan sedikit rasa sakit di dadaku. Aku merenung dalam-dalam, barangkali inilah sebab aku belum mulai membajak sawah kehidupanku karena aku terlalu takut pada ujian yang akan datang. Aku takut memulai karena takut gagal. Mungkin aku adalah pecundang yang terlalu ragu untuk jatuh, hingga lupa cara berdiri sungguh luka bukan untuk dihindari. Luka adalah hujan yang menyuburkan ladang keberanian, dan selama ini aku hanya berteduh bukan bertumbuh.
Namun sejak malam itu, sebuah keputusan tumbuh pelan-pelan di dalam diriku. Aku tak ingin terus diam, maka dengan sisa keberanian yang kupunya aku mencoba keluar dari zona nyaman. Aku mulai mengikuti kegiatan kelompok belajar di desa, berkumpul dengan teman-teman yang ingin memperbaiki hidupnya lewat pendidikan. Aku belajar menulis cerita pendek, mencoba mengekspresikan isi hatiku lewat kata-kata. Aku juga belajar bermain gitar, walaupun bunyinya masih sering fals. Tapi dari situ, aku merasakan kebanggaan kecil yang sebelumnya tak pernah hadir. Seolah jiwaku yang lama tertidur kini mulai menggeliat.
Di kelompok pendidikan itu aku belajar menyuarakan pendapat, aku belajar bagaimana beragumen dengan logis. Dalam dunia tulis-menulis, aku belajar menyelami emosi dan imajinasi yang selama ini terkubur dalam keraguan. Walaupun petikan gitarku belum harmonis tetapi tiap nada yang muncul memberiku harapan bahwa aku sedang membangun sesuatu, pelan namun pasti. Seperti memahat langit dengan bunyi walau belum sempurna. Aku mulai memahami bahwa masa depan bukan hanya soal jabatan, ijazah, atau pekerjaan bergengsi, tetapi tentang menjadi manusia yang bermanfaat Kini aku tahu manusia bisa saja gagal jadi hebat tapi tdiak boleh gagal jadi baik.
Aku pun teringat pada artikel yang pernah kubaca tentang seorang relawan muda yang peduli pada lingkungan. Ia tak punya gelar tinggi, tetapi punya hati besar. Namanya Pandawara Group. Mereka adalah sekelompok konten kreator yang terkenal di TikTok karena aksi nyata mereka membersihkan lingkungan. Mereka tak membangun gedung mewah atau menciptakan penemuan canggih, tapi mereka memberikan perubahan yang nyata. Dari sanalah aku belajar, masa depan tak selalu harus megah. Terkadang, masa depan hadir dalam bentuk kepedulian kecil yang memberi dampak besar. Seperti bunga liar di antara puing-puing: sederhana, namun memberi harapan baru.
Kini aku mulai menanam bibit-bibit kecil di ladang kehidupanku. Meski ladang ini masih dipenuhi rumput dan tanaman liar di dalamnya, tapi aku mulai menggenggam cangkul itu seerat-eratnya. Aku melangkah pelan ke tengah ladang, mencoba membersihkannya sedikit demi sedikit. Setiap langkahku terasa berat, tapi setiap jejaknya adalah bukti bahwa aku sedang mencoba. Aku tahu, hasil panen tak akan datang besok pagi. Tapi aku percaya, setiap usaha akan memberi hasil pada waktunya. Masa depan itu memang tak datang begitu saja. Ia harus dirancang, ditanam, dirawat, dan dijaga.
Dan kini aku sedang berusaha. Barangkali aku belum jadi siapa-siapa hari ini. Tapi tak apa, karena setiap benih juga butuh waktu untuk tumbuh, butuh gelap untuk mengenal cahaya, dan aku sedang tumbuh dari luka dan harapan. Di antara takut dan harap, aku terus melangkah meski langit masih kelabu aku percaya akan tiba saatnya fajar menyingsing dan ladang itu akan penuh panen impian.