Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam telah larut, telponku tiba-tiba saja mendeking-dengking. Nada panggilan masuk mengalun menggangu ketenanganku. Ah, siapa yang telpon selarut ini, batinku. Aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja kerjaku. Tertulis di sana, di layar ponselku.
“Gadis bodoh.”
Buru-buru aku menjawab panggilan itu, aku takut dia kenapa-kenapa.
“Halo, Kamu kenapa?” Aku tau ia sedang tidak baik-baik saja. Tidak biasanya ia menelpon selarut ini.
Aku hanya mendengar isaknya di seberang sana. Hatiku semakin tidak karuan.
“Aku ke rumahmu. Tunggu aku!”
Tanpa berpikir panjang aku langsung mematikan telepon itu. Bergegas mengambil jaket yang aku gantungkan di tempat biasanya. Aku pacu motorku menuju rumah dia. Hatiku kalut, sepanjang perjalanan aku tidak henti-hentinya memikirkan dia, pikiranku ikut kalut. Ada apa gerangan yang membuatnya menangis terisak.
Aku sampai di rumahnya. Sepi, memang dia tinggal sendiri. Keluarganya tinggal di luar kota. Bisa dibilang akulah keluarganya satu-satunya. Lebih tepatnya akulah teman dekatnya di kota ini. Tidak ada siapa-siapa lagi. Aku mengetok pintu rumah, tidak ada sahutan sama sekali. Ke mana anak ini? kenapa tak menjawab, fikirku gusar. Aku mencoba kembali menghubunginya, tidak dapat terhubung. Aku sangat khawatir, aku takut terjadi apa-apa padanya. Aku menghela nafas sejenak. Kemudian entah dari mana inisiatif itu muncul. Akhirnya aku lewat samping rumah langsung menuju taman. Aku tahu tempat favoritnya.
Benar saja kutemui dia sedang duduk terpaku memandang bulan. Ia duduk di rumput yang berpendar disirami cahaya bulan. Aku berjalan perlahan mendekatinya.
“Hey,” sapaku lirih.
Ia menoleh dengan muka yang masam. Lalu dia menyuruhku duduk di sampingnya. dia masih saja menatap bulan di langit penuh bintang. Aku tidak ingin mencecarnya, aku tahu dia tidak ingin menjawab banyak pertanyaan yang sebenarnya sudah berderet di otakku, lidahku kelu.
“Cantik ya,” celetuknya.
“Siapa?”
Ah, aku bodoh sekali untuk apa aku bertanya. Bukankah dia sedang menatap bulan. Dia menoleh lalu tersenyum tipis tapi manis sekali. Sisa isaknya masih jelas terlihat. Batinku makin teriris. Ingin ku peluk dia dan berkata semua akan baik-baik saja. Tentu saja niatku aku urungkan.
Dia masih saja menatap bulan. Belum mau berbicara perihal sedihnya. Tiga menit aku dan dia masih saja diam membisu. Lima menit, enam menit, masih saja tetap sama. Ia hanya diam membisu menatap bulan di atas sana. Aku mulai resah.
“Cinta itu rumit ya?” Katanya pelan.
Aku masih diam saja menunggu ia bercerita lebih rinci.
“Dia pergi.”
Aku ingin bertanya kenapa tapi niatku kuurungkan. Tidak baik jika aku menanyakan itu, terlalu sensitif. Matanya mulai berkaca-kaca. Menahan tangis yang mungkin saja sudah seperti air bah yang membendung di pelupuk matanya.
“Dia memilih kembali pada istrinya. Dari awal ini memang salahku. Benar katamu, aku memang bodoh.” Ia kembali terisak, kali ini air mata itu mulai menggenang.
“Aku memang bodoh, tapi apa aku salah mencintainya? Apakah perasaanku tidak wajar?” Air mata itu sukses meleleh di pipinya.
Aku menggegam tangannya. Mencoba memberikan ketenangan. Aku tau kisahnya. Aku tau siapa laki-laki yang ia maksud. Aku tau hubungan terlarang itu, tapi apalah aku. Selama dia bahagia dengan pilihanya, aku harus tetap mendukungnya. Aku tahu aku menjadi bodoh dengan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku tak mau dia tergores. Aku amat menyayanginya. Apa aku tidak sakit? Rasanya lebih sakit menghujam. Tapi untuk apa, untuk apa kurasa. Selama perempuan di sampingku bahagia, lukaku tak seberapa.
“Menurutmu apa aku harus kembali mengejarnya? Ah, tapi tidak mungkin, aku terlalu egois jika seperti itu.”
Ingin aku menjawab bukankah selama ini kamu sudah egois menjalin hubungan dengan laki-laki itu, tanpa memikirkan perasaanku dan perasaan istri dari lelakimu. Ingin aku memakinya agar dia menyadari semua yang dia lakukan. Ah dia sahabatku, orang yang paling aku sayangi, mana mungkin aku mengatakan suatu hal yang membuat hatinya terluka. Aku tak bisa melakukannya.
Dia bercerita panjang lebar, bercerita tentang kenangan indahnya bersama lelakinya, segalanya yang telah mereka lewati. Hingga tiba di titik ini, ia terluka, terjatuh bersama serpihan-serpihan kenangan yang ia ciptakan. Mimpi yang ia reka setiap hari, janji yang ia ucap bersama lelakinya atas kehidupan mereka kelak harus pupus begitu saja. Segalanya hancur baginya. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Akhirnya kuberanikan membuka mulut.
“Bolehkah aku memberimu saran?”
Dia mengangguk tanda menerima, isaknya mulai reda.
“Menurutku lupakan dia, mulailah kehidupan baru yang lebih bahagia.” Perkataanku seperti menguap begitu saja ke udara.
“Mana mungkin? Mana mungkin aku bisa lupakan dia? Ini terlalu sulit.” Ia tidak yakin dengan kalimat yang barusan aku utarakan.
Baginya dunianya berhenti saat lelakinya memilih pergi meninggalkan dia. Ia berdiri kosong di tengah-tengah luasnya ruang kehidupan. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku yakin ia lelah.
Ah,,! egoismu mulai lagi, kamu akan bisa melupakannya. Kamu belum mencobanya. Ingin aku berkata begitu. Sekali lagi urung ku katakan. Semua itu hanya terhenti di kerongkongan. Terkunci rapat tak akan aku keluarkan. Tak akan pernah. Batinku sebenarnya tersiksa melihatnya jadi seperti ini. Jika aku bertemu lelakinya ingin sekali aku layangkan pukulan kepadanya. Tapi di sisi lain aku amat bersyukur karena dia meninggalkan sahabatku dan kembali kepada istri sahnya. Bukankah itu lebih baik?
Dia begitu amat terluka malam ini. Aku hanya perlu menemaninya dan mendengarkannya, hanya itu yang dia butuhkan saat ini. Aku hanya sebatas pendengarnya yang setia. Aku percaya ia akan mampu menemukan kembali kebahagiaannya. Aku yakin itu akan terjadi. Meskipun nantinya dia terseok-seok, aku akan tetap berada di sampingnya seperti yang aku lakukan biasanya. Aku tidak ingin dia jatuh berkubang dengan segala kesedihannya. Apalagi sampai melakukan hal-hal di luar nalar. Aku tidak ingin itu terjadi pada dirinya.
Kuusap perlahan punggung wanita di sampingku. Aku mencoba mentransfer kekuatan agar dia tidak merasa sediri. Ada aku yang selalu ada dan akan tetap menemaninya. Dia menghela napas mencoba menguatkan dirinya sendiri. Mencoba merasa baik-baik saja setelah badai menerjangnya. Aku tahu tidak mudah untuknya melewati ini. Semilir angin menerpa wajahnya yang basah oleh bekas air mata. Aku yakin kamu bisa melewati ini, batinku.
Lama kami berdiam, hanya mendengar kerik jangkrik. Bulan di atas masih saja ayu memandang kami berdua. Ia memberi senyum hangat seolah menguatkan perempuan di sampingku yang patah sayapnya.
“Katamu mungkin benar. Aku harus mencobanya.” Ia berkata perlahan.
Aku tersenyum, itu yang aku harapkan.
Ia masih menatap bulan purnama serasa tak mau melepaskannya, dan aku menatap purnama yang indah yang sulit tergapai di sampingku.