Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Menatap dan Menetap
0
Suka
6
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Kenapa nggak jadi nikah dengan yang sebelumnya, bang?” tanyaku, beberapa saat setelah melirik perempuan yang sejak tadi duduk di sebelahnya beranjak untuk membeli minuman. Sengaja kuberi penekanan pada kata "sebelumnya" yang kuucapkan.

Tatapanku beralih kepada mesin pengeras suara yang menempel di sudut langit-langit, mencoba menutupi rasa gugupku sembari menyimak lagu sendu yang mulai mengalun pelan. Lagu sendu pelengkap malam yang dinginnya terasa menusuk hingga ke tulang setelah rintik hujan berangsur menghilang.

Laki-laki yang duduk di hadapanku menyulut sebatang rokok di bibirnya, lalu menggeleng sambil berkata, “Waktu itu aku masih ragu ....”

Mataku menangkap gerakannya barusan. Ah, baru kusadari kalau rambutnya yang sekarang sudah dipotong lebih rapi. Biasanya—saat rambut ikalnya itu masih gondrong, pasti akan ikut mengayun ketika kepalanya bergerak. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, mengembuskannya asapnya perlahan, lalu menenggak botol bir di tangannya sekali lagi.

“Ragu? Tapi kalian kan udah lama pacarannya?” tanyaku lagi.

Ia mengangguk. “Ya, tiga tahun. Dan kami tinggal dalam satu atap.”

Terkejut seharusnya menjadi reaksi normal yang bisa kutunjukkan padanya saat ini. Namun urung, aku lebih memilih untuk menegakkan posisi duduk sambil memikirkan pertanyaan susulan.

Ia menyulut lagi rokoknya yang mati tertiup angin dingin, seperti mempersiapkan diri untuk pertanyaanku yang berikutnya.

“Terus, kenapa ragu? Bukannya nanti kalau udah nikah bakalan tinggal bareng selamanya?” cecarku, sok tahu. Maksudku, tinggal serumah dalam waktu yang cukup lama bukankah terdengar seperti kehidupan pasanngan yang sudah menikah?

Sialan.

Mengapa aku mendadak merasa tidak nyaman dengan pertanyaanku sendiri?

Entah mengapa aku malah ikut menenggak botol bir di tanganku. Ah, mungkin botol ini bisa kujadikan alasan untuk membela diri kalau saja ia malah marah kepadaku.

Namun, tidak.

Laki-laki di depanku justru tertawa.

"Kok ketawa?" tentu saja aku bertanya. Mempertanyakan maksud tertawanya itu ingin mengejekku atau tidak, lebih tepatnya. Kunyalakan juga sebatang rokok supaya gerak-gerikku tampak lebih wajar.

Sial, sial!

"Begini," laki-laki di depanku membenarkan posisi duduknya. "Semakin lama aku hidup dengannya, aku jadi semakin tau sifat dan sikap aslinya,” ia menjawab setelah mengisap rokoknya sekali lagi, dan terdengar ada penekanan ketika ia mengucapkan kata "tau" barusan.

Setelah menemukan posisi yang cukup nyaman, ia kembali melanjutkan, “Mungkin orang luar sepertimu menganggap hubungan kami baik-baik aja. Tapi aku dan dia—mantanku yang dulu itu, udah jarang ngobrol banyak kayak dulu. Kami cuma bertatap muka pagi-pagi sebelum berangkat dan malam setelah pulang kerja. Kalau lagi bareng, kami nggak ngapa-ngapain. Begitu sibuk dengan dunia masing-masing. Kadang dia main game, sedangkan aku di depan laptop. Atau sebaliknya. Ada hal-hal kecil yang kucermati dari tingkah lakunya, kebiasaannya, dan pola hidupnya. Lalu aku sampai pada kesimpulan kalau nggak mungkin aku bakalan hidup bahagia kalau sampai nikah dengan dia.”

Aku mengembuskan asap sambil menganguk pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja ia katakan. Kutenggak lagi botol di depanku sampai habis seolah-olah hali itu bisa membantuku mencernanya.

“Terus, perempuan yang tadi itu pacar yang baru?” tanyaku, dengan segenap rasa ingin tahuku.

Laki-laki di depanku mengangguk pelan.

“Abang yakin dengan yang sekarang?”

“Aku malah nggak sabar ingin cepat menikah dengannya.”

“Maaf, tapi kelihatannya usianya jauh lebih muda dari Abang.”

“Usia bukan halangan," ia mengatakan hal itu dengan intonasi yang begitu tenang. "Setidaknya, pemikirannya jauh lebih dewasa untuk perempuan seumurannya. Yang paling mengejutkan, dia mampu mengimbangi cara berpikirku.”

Suasana mendadak hening, aku tidak tahu kapan tepatnya lagu yang sejak tadi mengalun terhenti. Laki-laki di hadapanku menjentikkan abu rokok pada pinggiran asbak, lalu mengisapnya lagi secara perlahan. Sedetik kemudian, lagu It’s Gonna Rain dari Bonnie Pink mengalun dari pengeras suara yang ada di sudut ruangan, menemani percakapan canggung ini.

“Abang bahagia dengan yang sekarang?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.

Ia melirik ke arah belakangku, lalu tersenyum. “Kau tanyakan aja sama orangnya.”

Aku sedikit tersentak, lalu mendadak jadi salah tingkah.

Sialan!

Botol yang kugenggam hampir saja meluncur dari telapak tanganku sendiri saat akan kuletakkan kembali ke atas meja.

“Apa yang kulewatkan?” perempuan itu langsung bertanya dengan lembut setelah duduk dan meletakkan tiga botol bir dingin di atas meja.

Dalam remang-remang lampu di tempat ini, wajahnya masih tampak begitu menenangkan. Kedua matanya sedikit sayu, bibir tipis yang selalu menyunggingkan senyum. Tipikal wajah perempuan yang mudah diingat dengan cepat.

“Temanku ini barusan nanya, aku bahagia nggak kalau bareng kamu?” laki-laki di depanku menggodanya.

Perempuan itu tertawa, sedangkan aku ingin segera bersembunyi saja di bawah kolong meja. Atau setidaknya—siapa pun juga, tolong hantam kepalaku dengan botol sampai aku tidak sadarkan diri.

Tolong!

“Oh, ya?” perempuan itu balik bertanya kepadaku.

Aku berusaha sebaik mungkin untuk tersenyum, dan hampir saja enggan kujawab pertanyaannya. Tapi, ya, sudahlah. Bodohnya aku mengapa menanyakan hal itu dalam situasi seperti ini. Aku memilih mengangguk pelan sambil membenarkan posisi duduk yang sebenarnya tidak salah.

“Nggak perlu sungkan. Aku tau kalau pacarku ini belum lama putus dengan mantannya yang terakhir itu. Meski hubungan kami masih baru, tapi dia udah ceritain gimana hubungannya yang dulu. Aku bisa ngerti, kok ....”

Cengengesan adalah respon terbaik yang bisa kuberikan sekarang. Cepat-cepat kembali kuraih botol bir baru yang masih dingin di atas meja. Kutenggak lagi sedikit demi sedikit sambil menunggu kelanjutan percakapannya. Sekarang botol ini sedang kujadikan “senjata” untuk menutupi kebodohanku sendiri.

“Kalau laki-lakiku ini udah ngambil keputusan, biasanya itu hasil dari pemikiran panjang dan mendalam. Usianya ini nggak mungkin lagi bersumbu pendek, karena dirinya sendiri yang paling tahu apa yang hatinya inginkan.”

Aku mengerling ke arah temanku, dan tentu saja ia tersenyum congkak.

Sialan.

“Katanya kamu bahagia bareng aku. Yang bener?” perempuan itu balas menggodanya, lalu mencubit pipi temanku. Dan dalam sesaat mereka sudah tenggelam dalam nostalgia, lalu mendebat soal siapa yang pertama kali mengungkapkan rasa cinta.

Laki-laki di depanku tersenyum. “Aku bahagia banget.”

“Harus! Kalau nggak bahagia, kamu ke laut aja!” senyum perempuan itu merekah, pipinya kian memerah.

Bisa kuperhatikan kalau mereka berdua adalah pasangan yang benar-benar bahagia. Maksudku, terlepas dari segala masa lalu yang masing-masing mereka miliki, perempuan itu tampak tidak memedulikan hal-hal yang sudah mereka tinggalkan jauh di belakang.

Sungguh perempuan itu memiliki hati yang luar biasa. Rasanya ingin kutanyakan pada temanku itu, di mana aku bisa menemukan lagi satu perempuan yang seperti itu. Tapi urung, aku malah akan semakin terlihat menyedihkan.

"Mas, mau tambah birnya lagi, dong," suara itu datang dari belakangku.

Aku seketika menoleh ke arah pemilik suara.

"Boleh minta tolong diambilkan?" pemuda itu berkata lagi sambil mengangkat sejumlah jarinya, mengisyaratkan jumlah botol yang ingin dipesan. Ketika kuperhatikan, ketiga orang teman perempuan di sebelahnya sudah terduduk dalam posisi menopang dagu.

Ah, mengapa salah satu perempuan itu tidak dikenalkan saja padaku?

Oke, oke. Aku memang mulai terdengar menyedihkan.

Aku mengangguk pada pemuda itu, lalu kembali menatap temanku sebagai isyarat jika harus melakukan tugasku. Temanku dan kekasihnya yang manis itu memberiku seulas senyum pertanda mengerti. Aku bahkan tidak ingat sudah berapa lama duduk di meja ini hanya karena temanku yang menempatinya. Namun, duduk santai berlama-lama di meja tamu rasanya memang tidak pantas jika itu masih jam kerjaku.

Aku bangkit dan segera berjalan ke arah deretan mesin pendingin di sebelah kasir. Kuambil sejumlah botol yang diminta, meletakkan di atas nampan, kemudian menyerahkan kepada pemuda itu. Tatapanku beralih ke meja di sebelahnya, temanku memberi pandangan yang seolah berkata "Ayo duduk sini" kepadaku. Aku memberi isyarat dengan tangan untuk menolaknya, setidaknya sampai waktu kerjaku habis beberapa jam lagi.

Dengan segera aku mengelilingi tempat yang dipenuhi oleh ornamen-ornamen bernuansa Jepang ini, mendatangi bilik-bilik meja tamu lain sambil menawarkan minuman atau makanan yang mungkin ingin ditambah untuk menemani malam yang terasa semakin panjang.

Namun, yang kulakukan itu hanyalah basa-basi. Sejujurnya, aku cukup senang berkeliling untuk mengamati wajah-wajah tamu yang tenggelam dalam percakapannya, bercengkrama, berbagi keluh, dan berujung dengan mengutarakan isi hatinya.

Wajah-wajah yang saling mencari dan menemukan perubahan baru hingga akhirnya bersepakat untuk berada di dalam satu lingkar persamaan.

Wajah-wajah yang mungkin saja akan saling menatap sekejap lalu berpaling.

Wajah-wajah yang mungkin saja akan saling menatap, lalu menetap.

Mungkin memang begitu caraku menikmati pekerjaan selama bekerja di tempat ini. Tetapi seringkali aku juga berpikir—ah, tidak, berkhayal lebih tepatnya, mungkin saja benar-benar ada satu wajah yang akan kurindukan kelak di masa depan.

Wajah yang mungkin saja suatu saat nanti tak akan bisa kukenali lagi.

Wajah yang suatu saat nanti tidak akan terlihat sama seperti dulu lagi.

Dan entah sampai kapan ia akan terus menetap dan menatapku.

Namun, seandainya aku benar-benar bisa diberikan waktu barang sesaat untuk menghitung berapa banyak guratan dan kerutan yang ada di wajahnya, aku akan bersedia untuk selalu mengingatkannya tentang berapa lama waktu menyenangkan yang sudah kami habiskan selama hidup bersama.

Ah, hidup ini ....

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Menatap dan Menetap
Marino Gustomo
Cerpen
Bronze
Asa Untuk Iza
Rafiu H
Cerpen
DIVISI
Terry Tiovaldo
Cerpen
Malam Dingin di Cigigir
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Kerja / Dikerjain?
Rolly Roudell
Cerpen
Bronze
Aku Dan Ariadne
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
Pekerja Kontrak
Karlia Za
Cerpen
Percakapan Error
Nursan
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Bacaan untuk Seb
Amarta Shandy
Cerpen
Opini Abnormal
Nazila
Cerpen
Bronze
The (Not So) Fake Friend
Rosa L.
Cerpen
Dari Ketinggian - Aku Mengerti Aku Tidak Mengerti
Firlia Prames Widari
Cerpen
Bronze
SECRET, The Silent World
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Batas Pacuan
Kopa Iota
Rekomendasi
Cerpen
Menatap dan Menetap
Marino Gustomo
Novel
Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang
Marino Gustomo