Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Menanti Masa
0
Suka
1,065
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“HARUS banget apa Ma, aku yang nganterin?” Na menegaskan sekali lagi, menatap mamanya dengan wajah murung dan pandangan meragu.

“Emang kenapa, sih?” Mamanya balas bertanya sambil menutup wadah terakhir berisi ayam goreng sambal ijo. “Nganterin gini aja kok ogah-ogahan gitu.”

“Is di rumah sendirian, Ma. Gak enaklah kalau aku yang anter.” Na memutar bola matanya. “Ntar jadi omongan tetangga lagi.”

“Omongan tetangga gimana? Wong kamu cuma anterin di depan pintu doang kok, gak sampe masuk.” Mamanya menyerahkan rantang yang sudah dibungkus kain furoshiki kepada Na. “Nanti tempatnya suruh Is aja yang balikin.”

Dengan agak lemas, Na mendekap rantang itu ke dadanya, pamit kepada mama dengan bibir sedikit mengerucut, lalu menuju rumah Is yang berjarak tak jauh dari rumahnya.

Daun pintu merah kecokelatan yang cat kayunya mulai mengelupas itu mengayun terbuka pada ketukan seiring salam yang ketiga. Pemuda berambut hitam legam dan berjenggot tipis berdiri di hadapan Na sambil menguap.

“Buat sarapan,” ujar Na langsung sambil menyodorkan rantang itu kepada Is.

Pria yang masih mengantuk itu menerima dengan kedua tangannya, berhati-hati agar tidak menyentuh jemari Na yang mencengkeram pegangan rantang. “Makasih, Na.”

“Sama-sama,” balas Na lekas berpamitan “Aku balik, ya.”

Is mengangguk, tetapi sebelum Na sempat mengambil langkah pergi, ia cepat-cepat menahan. “Na, sebentar.”

Na berbalik, menatap Is dengan alis terangkat. “Kenapa?”

Is tidak langsung menjawab. Ia menunduk dan menarik napas. Kemudian menatap Na. “Kamu mau nikah sama aku?”

Is sadar betul kalau ini jauh dari kata romantis. Ia melamar seorang gadis di ambang pintu dapur rumahnya sambil menjinjing rantang, dengan setelan celana pendek dan kaus lengan puntung yang dipakainya tidur, belum mandi, dan masih sedikit mengantuk. Oh, jangan lupakan pula suara kokok ayam tetangga yang menjadi musik pengiring lamaran dadakan itu. Is yakin tak ada seorang gadis pun yang mau memimpikan bakal dilamar dalam situasi seperti ini.

“Is, ini masih terlalu pagi kalau mau ngajak aku bercan—”

“Aku serius.” Is lekas memotong tuduhan Na tanpa seulas senyum dan ekspresi yang menggambarkan bahwa ia tidak sedang bercanda. “Nikah sama aku, ya? Jadi istriku,” katanya tegas sambil menatap lurus ke dalam manik mata Na yang menyipit.

Na terdiam cukup lama sambil mengamati muka bangun tidur pria di hadapannya. “Kamu suka aku?” tanyanya sejurus kemudian. Ia perlu tahu sejauh mana pemuda pendiam ini menyukainya, hingga berani melamarnya semendadak ini.

“Ya,” jawab Is dengan segera.

“Sejak kapan?”

“Pagi ini.”

Na membuka mulut hendak melayangkan protes, tetapi kemudian menutupnya lagi dan menarik napas. “Oke.” Suaranya terdengar jengkel. “Kalau kamu emang serius, ngomong sama papaku sekarang.”

Ia menunggu Is bereaksi. Satu detik ... dua detik ... tiga detik ... dan ekspresi datar itu lenyap dibalik pintu yang tertutup kencang.

Sial! Pria itu menutup pintu tepat di depan hidung Na dan menguncinya dari dalam.

***

Na hanya bisa pasrah ketika ia ditarik-tarik oleh mama dan didudukkan di hadapan papa yang sejak tadi sudah menunggu kepulangannya. Mama menyerongkan duduk Na agar ia menghadapnya, tak lupa kedua bahu Na dicengkeram, matanya ditatap lekat-lekat.

“Na, jujur ya.”

Na mengernyit dan menatap mama dengan bingung. “Jujur soal apa?”

“Kamu ada hubungan apa sama Ismail?”

Na langsung berpaling ke arah papa yang barusan bertanya. Mendadak saja perasaannya jadi tidak enak. Jangan bilang interogasi ini ada hubungannya dengan lamaran dadakan pagi tadi.

“Gak ada hubungan apa-apa antara aku dan Is,” jawab Na tegas, setelah ia berhasil menyingkirkan kegugupan yang hadir tanpa permisi.

“Jadi kenapa dia bisa datang ke sini untuk meminang kamu?”

Mata Na melebar kaget. “Is ke sini?”

Papa dan mama kompak mengangguk. “Gak lama dia pergi, kamu pulang.”

“Kalian pacaran diam-diam, ya?” Nada bicara mama terdengar seperti polisi yang sedang menginterogasi penjahat. Na memutar bola mata karenanya.

“Mama kan tau aku gak pacaran.” Ia tidak ingat lagi penjelasan macam apa yang ia berikan pada orang tuanya sebelum ia izin ke kamar untuk menghubungi sahabatnya.

“Halo, May? Is ada di situ gak?” Na mondar-mandir di kamarnya sambil menggigiti kuku jempol. Kebiasaan buruk yang sudah seringkali dikritik oleh mama tapi tak pernah didengarnya.

“Ada, baru aja nyampe,” kata Maya di ujung sana.

Na meminta tolong agar Maya menyerahkan ponsel kepada adiknya itu. Tak lama, suara bernada datar langsung menyapanya.

“Kalo gak keberatan, aku perlu bicara sama kamu sekarang,” tembak Na langsung. Ia melirik jam dinding. Pukul delapan lebih tiga puluh tujuh menit. Masih ada waktu untuk mereka bicara sampai tuntas.

“Besok aja, aku harus jaga bunda malam ini.” Dan ponsel langsung berpindah ke tangan pemiliknya.

***

TK As-Salam, tempat dimana Na mengabdikan dirinya sebagai tenaga pendidik, sudah sepi dari segala aktivitas ketika Is sampai dengan motornya. Pria itu menaikkan kaca helmnya saat Na menghampiri.

“Kamu gak kerja?” tanya Na langsung, mengingat sekarang masih pukul sebelas pagi.

“Kamu mau ngomong apa?” Is balas bertanya. Pemuda yang kali ini terlihat rapi dengan kemeja biru ngepas badan itu menatap Na datar.

“Biasain jawab pertanyaan orang dulu baru balik nanya,” nasehat Na ketus.

“Aku mau ajak kamu ke rumah sakit sekarang.”

“Tapi aku mau ngomong dulu sama kamu—”

“Kita ngobrol di jalan,” potong Is cepat. “Kamu bawa motor, kan? Aku ikuti dari belakang.”

Serentak Na mendengkus. Bagaimana cara mereka mengobrol kalau jalannya beriringan?

***

“Kalian datang bareng?” tanya Maya sementara ia mengangkat alisnya dan menatap curiga adik dan sahabatnya yang baru tiba.

Na yang sudah memikirkan kemungkinan akan mendapat pertanyaan itu lekas menjawab dengan santai, “Ketemu di depan tadi.” Lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Gimana keadaan bunda?”

Is tidak begitu mendengar obrolan dua sahabat itu. Ia menuju ranjang dan menyapa bundanya yang tampak segar pagi ini, meski wajahnya masih terlihat pucat.

“Gimana kondisi bunda?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

“Udah enakan,” jawab bundanya lirih. Ia meringis saat payudara kanannya berdenyut. Sel kanker yang menggerogoti tubuhnya sejak empat tahun lalu itu memang tidak bisa diajak kompromi.

“Kamu kok di sini? Gak kerja?” tanyanya berusaha mengabaikan rasa sakit itu.

Is menggeleng. “Aku izin libur sehari,” katanya. “Ada yang mau aku bilang sama bunda, mumpung kondisi bunda lagi membaik.”

“Apa itu?”

Is menggenggam tangan bundanya yang tidak dipasangi infus. “Minta restunya ya, Bun. Aku mau nikah sama Nara.”

Bunyi benda jatuh ke lantai seketika membuat Na menjadi pusat perhatian. Wanita berkerudung navy itu lekas berjongkok untuk memungut isi totebag-nya yang berserakan di lantai.

***

“Aku belum ada bilang ‘iya’ lho, Is.” Na membuka obrolan setelah lima menit berlalu dan mereka hanya berdiam diri di bangku taman rumah sakit.

Is membiarkan pandangannya lurus ke depan sementara ia merespons santai. “Aku pikir waktu kamu nyuruh aku ngomong ke papa kamu, artinya kamu udah setuju.”

Setuju? Na mengernyit. Memangnya mereka sedang membuat perjanjian pra nikah apa?

“Kamu yakin, Is? Mau menikah sama perempuan yang gak kamu cintai dan gak mencintai kamu?”

“Kamu mencintai aku.” Is sudah menatap Na sekarang. “Seenggaknya setelah ijab qobul,” lanjutnya kemudian.

Na terdiam sejenak, mencoba memahami maksud ucapan Is. Setelahnya, barulah ia bertanya, “Lalu kamu?”

“Aku juga akan mencintai kamu,” ujar Is tersenyum miring. “Setelah malam pertama kita.”

“Is!”

Bentuk peringatan yang keluar dari mulut Na itu sukses mengundang tawa. Sejenak Is menarik napas, lalu mengembuskannya dengan pelan.

“Cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, Na. Masa iya kita gak mencintai seseorang yang bersedia menghabiskan sisa hidupnya bareng kita?” Is menoleh, menatap Na dengan senyum lembut. “Ya, gak?”

Sesaat Na hanya menatap pemuda di hadapannya tanpa ekspresi, kemudian ia memalingkan wajah dan menunduk.

Ya, siapa yang menyangka bahwa seorang Ismail ternyata punya pemikiran sesederhana itu.

***

Mata merah menahan kantuk, wajah pucat kurang darah, rambut gelombang berantakan ... Siapa sangka, yang berdiri di depan pintu sekarang ini adalah Ismail, pria yang sejak semalam sudah sah menjadi suaminya.

Na sedikit bergeser sambil melebarkan pintu, memberi Is ruang agar bisa masuk ke rumah.

“Udah siap yang kupesan tadi?” tanya Is sebelum langkahnya berhenti di depan pintu kamar mandi.

Na menyahuti, “Udah.” Lalu meninggalkan Is yang sudah masuk dan mengunci pintu.

Beberapa saat kemudian, Is menyusul Na di meja makan. Pria itu sudah tampak segar usai membasuh muka dan berganti pakaian.

“Kamu sarapan dulu—”

“Aku sarapan di sana aja,” potong Is tak memberi Na kesempatan berbicara lebih lanjut. “Kak Maya udah nungguin.” Ia meraih rantang stainless yang sudah dibungkus kain furoshiki, bersiap membawanya pergi usai berpamitan pada Na.

Baru dua langkah Is berjalan, Na tiba-tiba menahan pergelangan tangannya. Is serta-merta berbalik, menatap istrinya dengan bingung.

“Kenapa?”

Na menatap Is lama, menarik sedikit tangannya hingga kini genggamannya berpindah ke jemari. “Aku udah jatuh cinta sama kamu. Terus kapan giliran kamu?”

Keterkejutan itu ditunjukkan Is lewat bibirnya yang sedikit terbuka dengan sorot matanya yang tak beranjak dari wajah Na.

Begitu acara resepsi usai dan mereka hendak masuk ke kamar, ibunda Is tiba-tiba saja mendapat serangan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Na sempat menemani Is hingga jam dua dan berniat untuk ikut menginap di rumah sakit, tetapi Is menolak dengan dalih Na harus beristirahat setelah serangkaian acara yang melelahkan.

Menghela napas, Is bergerak mendekati Na. “Beberapa malam lagi,” gumamnya sambil mengangkat satu tangannya mengusap pipi Na. “Sabar, ya.”

Kalau sudah begitu, apa lagi yang bisa Na lakukan selain mengangguk dan membiarkan suaminya itu menghilang di balik pintu.

***

“Gak sarapan dulu?” Sepertinya pertanyaan itu rutin Na ajukan setiap pagi selama empat hari belakangan ini. Dan jawabannya selalu sama ....

“Sarapan di sana aja. Kasian Kak Maya nunggu lama.”

Na membuang napas, menatap Is dengan murung. “Gak bisa, ya, Maya gantiin kamu sehari aja?”

“Kalau Kak Maya gantiin aku, kasian Azka gak ada yang jaga. Bang Jali kan kerja, pulangnya—”

“Terus gimana sama aku?” potong Na cepat. Suaranya terdengar sedih. “Gimana sama aku yang setiap malam berharap kamu pulang dan tidur di rumah? Gimana sama aku yang setiap pagi menunggu supaya bisa sarapan sama kamu tapi nyatanya enggak?”

Sesaat Is menatap wanita di hadapannya dengan bingung. “Aku jagain bunda, Na, bukan main-main,” gumamnya.

“Aku tau, Is. Aku ngerti.” Na menaikkan suaranya tanpa sadar, mengernyit menatap Is yang terpaku kaku. “Aku tau kamu jagain bunda dan aku gak pernah sekalipun mempermasalahkan soal itu.” Berhenti sebentar. “Tapi sekali aja, Is, kamu luangin sedikit waktu kamu buat aku. Aku gak minta banyak,” ia menggeleng, “cuma itu.”

“Ya kamu ngertiin akulah.” Permintaan itu serta-merta membuat Na mengerut alis.

“Aku kurang ngerti gimana sih, Is? Kurang ngerti gimana lagi coba?” Hampir saja Na meneriakkan kata-kata itu kalau tak lekas sadar statusnya saat ini. “Aku gak pernah marah meski kepulangan kamu cuma buat ganti baju dan ambil makanan. Aku gak pernah protes tiap kali kamu nolak ditemenin sama aku di rumah sakit. Aku bahkan tetap diam saat kamu bersikap seolah aku ini enggak ada—”

“Ya terus kamu maunya apa?” Entah sadar atau tidak, Is menanyakan itu dengan nada kencang yang mengejutkan Na. Seketika membuat matanya berkabut.

“Aku udah gak mau apa-apa lagi dari kamu.” Na membuang muka, meraih rantang di meja dan memberikannya kepada Is. “Sana pergi. Kasian Maya kelamaan nungguin kamu.”

Is bergeming, menatap Na yang masih menyodorkan rantang tanpa memandangnya. “Na, gak lucu kalau kita berantem cuma karena masalah sepele begini.”

Sontak Na langsung berpaling. “Aku emang gak lagi ngelucu, Is,” sanggahnya tidak terima. Rantangnya ia taruh kembali di meja, menghadap penuh kepada Is sekarang. “Sebenarnya apa sih tujuan kamu nikahin aku? Cuma buat nyiapin kebutuhan kamu doang? Atau sekalian ngangetin ranjang—”

“Jaga mulut kamu, Na.” Pelan dan tajam Is memotong semua tuduhan itu. Ia masih berusaha sabar saat berkata, “Aku tanya sekali lagi kamu maunya apa?”

“Gak ada.” Kembali Na membuang muka. “Kamu boleh pergi.”

Sikap itu seketika membuat Is hilang kesabaran. Pria itu menendang kaki kursi dan membentak marah. “Oke, aku di rumah! Aku turutin kemauan kamu! Puas?!”

Ia bergerak cepat mengitari meja makan, mengambil duduk menghadap ke arah Na, dan membuka tudung saji. Gerakannya kasar, menimbulkan suara gaduh di dapur kecil itu.

“Kenapa masih di situ? Ayo duduk! Kamu cuma butuh waktuku, kan? Duduk sini!”

Sepasang mata Na terasa kian panas. Ia mengerjap dan memalingkan wajahnya ke samping.

Melihat Na yang kini terisak pelan, Is menarik napas sembari memejamkan mata. Ia beranjak mendekati Na dan mendekapnya erat.

“Maaf aku kelepasan.”

***

Akhirnya Is mengizinkan Na menemaninya menginap di rumah sakit. Setelah memastikan bunda beristirahat dengan nyaman, mereka membentang tikar kecil di samping ranjang, berbaring berhadapan untuk yang pertama kalinya setelah menikah.

“Na?” gumam Is memanggil. Sepasang matanya terpaku pada iris merah kecokelatan milik istrinya yang sedikit berbinar. “Aku minta maaf soal tadi. Aku sama sekali gak—”

“Masalah itu udah selesai.” Na lekas memotong dan menggeleng pelan. “Aku gak mau bahas lagi.”

Respons pertama Is adalah tersenyum lega. Kemudian satu tangannya terangkat menyentuh pipi Na yang seketika merona. “Jadi, mau buat aku jatuh cinta sama kamu malam ini?” tanyanya menggoda.

Na lekas memukul dada suaminya itu dengan gemas. “Ini rumah sakit, Is.”

“Terus kenapa? Aku bisa

selesaikan dalam waktu cepat.”

Na menggeleng lagi. Senyumnya terlihat malu-malu saat berkata, “Nanti aja, pas kamu punya banyak waktu luang.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Menanti Masa
Yooni SRi
Novel
My Boss is My First Love
Sandra Devi Septianty
Novel
Bronze
Biarkan Aku Mencintaimu
Syafina novita sari
Novel
Bronze
Pasienku pasanganku 2
Author WN
Novel
Penawar Masalah
Nurita
Komik
Half Sweet Boy
Dita Anjelina
Flash
KAKEK
Deswara Syanjaya
Novel
GERA
disasalma
Novel
Bronze
GRAHANA
Mechamaru
Novel
Bronze
Permata Hati
Awang Nurhakim
Novel
Bronze
Daniel
Lintangtry_
Novel
Bronze
Membalas Perselingkuhan Suamiku
LeeNaGie
Novel
Bronze
An. Samadi
S.Yasmien
Novel
Bronze
REHAT
Angela L Maharani
Novel
YOUR THE BOSS
Achi Suci
Rekomendasi
Cerpen
Menanti Masa
Yooni SRi
Novel
(Un)natural Feeling
Yooni SRi
Flash
A Warm Hug
Yooni SRi
Cerpen
Sebelah
Yooni SRi
Flash
Ms. Priority
Yooni SRi
Cerpen
Abaikan Dengan Buku
Yooni SRi
Flash
Pria Asing
Yooni SRi
Flash
Berakhir
Yooni SRi
Cerpen
Drama Kecupan Manis
Yooni SRi
Cerpen
Karena Cinta Tidak Pernah Memandang Usia
Yooni SRi
Flash
Ghina, Ayo Move On!
Yooni SRi
Flash
Under The Rain #1
Yooni SRi
Flash
Under The Rain #2 (END)
Yooni SRi
Flash
BISKUIT COKELAT Pengganti Utang
Yooni SRi
Flash
Terkabulnya Doa
Yooni SRi