Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Menahan Diri
Pagi itu, kapal PELNI Lawit meluncur menuju Jakarta dengan gemuruh mesin yang mengiringi langkah tergesa-gesa Wijaya. Di dalam benaknya, peristiwa-peristiwa tak terduga yang baru saja dia alami di kelas Ekonomi menghantui pikirannya. Dia memutuskan untuk mencari tempat yang tenang dan nyaman untuk merenung, meredakan kecemasannya.
Langkahnya membawanya menuju kamar Kurnia dan Kasmaranti, harapan akan menemukan ketenangan di sana membayangi pikirannya. Tapi saat ia membuka pintu, takdir memutar jalannya lagi. Pintu kamar mandi terbuka, dan di hadapannya, Kurnia muncul dengan tubuhnya yang hanya tertutup handuk.
Wijaya terpana, matanya tertambat pada kecantikan Kurnia. Tubuh putih yang merona, memancarkan daya tarik yang menggoda. Rasa gairah tiba-tiba membara dalam dirinya, mengusik kontrolnya. Wijaya berjuang untuk mengendalikan diri, perang batin di dalam dirinya terjadi dengan ganas.
Kurnia, malu dan merah padam, langsung menyadari situasi yang salah itu. "Maaf, Wijaya. Aku tidak tahu kalau kamu akan menumpang mandi di sini," ucapnya terbata-bata, matanya mencoba untuk menghindari kontak visual.
Wijaya mencoba menenangkan dirinya, wajahnya memerah. "Itu tidak apa-apa," jawabnya berusaha tenang, meskipun hatinya berdebar kencang. "Tapi Aku tidak pernah menyangka jika kamu baru habis mandi."
Kurnia menjelaskan, merasa perlu memberikan penjelasan meskipun dia pun merasa malu. "Iya, seharusnya begitu. Karena tadi aku bangun kesiangan.”
“Aku tadi sudah permisi dengan Kasmaranti dan dia memberiku kunci. Ku pikir kamu sudah keluar.”
“Ooh, begitu toh ...,” cicit Kurnia. “Tetapi sebenarnya aku belum bangun,” sambung Kurnia lagi.
“Kalian berdua sungguh mendapatkan kamar yang bagus,” ujar Wijaya bangga.
“Oooh, bukan. Sesungguhnya ini kamar Kundang, tapi Kundang memilih untuk naik pesawat bersama rombongan anggota Dewan dan para Caleg lainnya, jadi kamar ini disuruh saya dan Kasmaranti untuk menempatinya."
“Ooh, begitu. Maaf, aku mandi dan mau BEOL dulu ya,” ujar Wijaya tidak berani terlalu lama lagi berbicara dengan Kurnia, karena dia terlihat semakin seksi dan menantang.
“Ya … silakan,” ujar Kurnia ramah dan tersenyum manis.
Wijaya mengangguk, berusaha mengatasi perasaannya. Dia memutuskan untuk tetap mandi di kamar tersebut, mengingat keadaan kamar mandi di kelas Ekonomi yang kacau. Dia tidak ingin menghadapi situasi serupa lagi, dan dia merasa lebih baik berhadapan dengan kerumunan di WC daripada mempertaruhkan kendali atas dirinya sendiri.
Selama mandi, Wijaya merenung tentang situasi yang ia alami. Ia merasa cemburu dan kagum pada Kurnia dan Kasmaranti yang memiliki kamar mandi pribadi. Namun, dia juga menyadari bahwa perasaannya yang tiba-tiba menggebu-gebu tadi bisa membawanya ke jalan yang salah.
Pergolakan gelap merayap dalam pikiran Wijaya, merobek rasa rasionalnya menjadi serpihan-serpihan yang rapuh. Matahari pagi menyinari kamar kabin di atas kapal PELNI Lawit, menciptakan bayangan-bayangan tajam di setiap sudut ruangan. Suara deburan ombak menjadi latar belakang bagi pertempuran batin yang menghancurkan dirinya.
Tadi, dia masih merasakan betapa terangsangnya oleh pemandangan tak terduga itu. Kurnia, teman seperjalanan sejak lama, tiba-tiba hadir di hadapannya hanya mengenakan sehelai handuk. Kurnia yang biasanya begitu santun dan lembut, kini memancarkan daya tarik yang menghanyutkan.
Tubuh ramping dan putih Kurnia terpapar oleh cahaya pagi yang masuk dari jendela kabin. Wijaya hampir merasakan setiap sentuhan udara menyentuh kulit Kurnia yang mulus. Kakinya yang jenjang, tangannya yang halus, semuanya seakan melambung dalam mata Wijaya sebagai mantra tak terbendung.
Tapi di tengah semua keinginan yang membara, ada suara berdentam dalam benaknya yang berusaha menegur, menahan dirinya. Dia tahu, mengikuti hasrat ini adalah membuka pintu ke jurang yang gelap dan berbahaya. Dia tahu konsekuensinya bisa menghancurkan hubungan mereka, dan bahkan menciptakan skandal yang tak terbayangkan di atas kapal ini.
Dia mengingatkan dirinya akan tanggung jawab, nilai-nilai, dan aturan-aturan yang telah mengarahkannya selama ini. Dia mencoba membayangkan betapa rusaknya akibat dari tindakan yang tak terkendali ini. Namun, dalam dunia gelap hasrat, argumentasi itu lemah dan goyah.
Wijaya menekan telapak tangannya di dahinya, mencoba mengusir gambar-gambar biru yang merayap seperti api liar di dalam benaknya. Dia tahu, dia harus menahan diri. Dia harus menemukan cara untuk mengatasi godaan ini, untuk meredakan api yang menggelora.
Dia merasakan jantungnya berdetak kencang, mengingatkan dirinya akan realitas dan konsekuensi. Dia tahu bahwa Kurnia, meski mungkin terlihat menarik, adalah teman dekatnya, dan dia tidak boleh mengorbankan hubungan itu hanya demi nafsu sesaat.
Namun, keinginan tetap saja menghantui, merayap di setiap pikiran dan sentuhan. Dia tahu bahwa jika Kurnia juga membalas hasrat ini, semua akan terurai dan menjadi lebih rumit daripada yang dia bisa bayangkan. Skandal yang mungkin terjadi di atas kapal ini akan menghancurkan semua yang telah mereka bangun selama ini.
Wijaya duduk di atas kloset sambil buang PUP, merasakan hembusan angin laut yang memasuki jendela kabin. Pastilah di luar kapal matahari pagi bersinar dengan cerahnya, yang semakin panas menuju ke arah ufuk barat. Matahari itu seperti metafora bagi perjuangan batinnya, semakin meredup di balik kegelapan.
Dia tahu dia harus bertahan. Dia harus menahan diri, mengatasi keinginan yang mungkin bisa menghancurkan segalanya. Dalam keheningan kabin yang sekarang terendap dalam nafsu birahi, dia merasa keputusasaan dan penderitaan. Tetapi dalam kesunyian itu, dia menemukan tekad yang semakin kuat untuk tidak membiarkan keinginannya menguasai dirinya.
Wijaya merenung, memahami bahwa takdir dan keputusannya berada dalam tangannya sendiri. Tidak peduli seberapa besar godaan, dia tahu bahwa dia memiliki kendali atas tindakannya. Dan dia memutuskan untuk menjaga hubungannya dengan Kurnia tetap utuh, menjauhkan diri dari jurang gelap yang mengintai.
Lama kelamaan, rasa dingin menggantikan perang batin yang membara. Dia merasakan ketenangan datang, seperti gelombang yang tenang setelah badai. Dan saat itu, Wijaya tahu bahwa dia telah mengalahkan godaan, memenangkan pertempuran batin yang dramatis dan membebaskan dirinya dari belenggu keinginan yang berbahaya.
Setelah selesai mandi, Wijaya keluar dari kamar mandi. Kurnia sudah rapi berpakaian dan tersenyum kepadanya. Wijaya berusaha menyembunyikan kecanggungannya, berterima kasih pada Kurnia dengan malu-malu.
"Terima kasih banyak, Kurnia. Maaf kalau tadi aku membuatmu merasa tidak nyaman," ucap Wijaya sambil melipat handuknya.
Kurnia tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, pak Wijaya. Aku juga sebenarnya tidak menyangka jika kamu tiba-tiba menumpang mandi di sini. Tapi tidak apa-apa, kita bisa berbagi."
Wijaya merasa lega mendengarnya. Dia merasa beruntung memiliki teman yang pengertian seperti Kurnia. Namun, dia juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan dirinya lagi terjebak dalam situasi yang bisa membuatnya kehilangan kendali.
Ketika perjalanan berlanjut, Wijaya belajar untuk mengendalikan diri. WC di kelas Ekonomi mungkin berantakan dan penuh dengan orang, tapi dia lebih suka menghadapi kerumunan itu daripada menghadapi potensi tindakan impulsifnya. Dia belajar untuk sabar dan menunggu giliran dengan kesabaran yang baru ditemukan.
Hari-hari berlalu, dan akhirnya kapal PELNI Lawit tiba di Jakarta. Wijaya merasa lega dan penuh syukur, berterima kasih pada Kurnia karena pernah diberikan tumpangan mandi dan beol serta atas pengertian dan kesabarannya. Dia menyadari bahwa pengalaman di kapal telah memberinya pelajaran berharga tentang pentingnya mengendalikan diri dan bijaksana menghadapi situasi.
Cerita mereka sungguh lengkap, penuh dengan tantangan dan kenangan yang tak terlupakan. Hari itu, mereka berangkat jam tiga dini hari, bersiap menghadapi kemacetan Jakarta yang terkenal. Bus yang dijadwalkan menjemput mereka melaju dengan tergesa-gesa di jalan raya yang masih sepi, menjelang matahari terbit.
Namun, ketika cahaya matahari mulai menyinari kota, suasana berubah. Kendaraan mulai membanjiri jalan, dan perjalanan yang semula lancar berubah menjadi perjalanan pelan. Bus yang semula melaju dengan mantap kini harus merayap, terjebak dalam lautan kendaraan yang tak bergerak.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain duduk bersabar di dalam bus yang terjebak macet. Perjalanan yang semestinya sebentar menjadi panjang dan melelahkan. Ketika jam menunjukkan pertengahan perjalanan, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Seperti fenomena yang biasa terjadi dalam perjalanan jauh, tiba-tiba semua merasakan dorongan kuat untuk buang air kecil. Rasa cemas merayap dalam pikiran mereka. Bus yang terjebak di antara kendaraan lain, tanpa tempat berhenti yang nyaman, membuat situasi semakin sulit.
Tak lama kemudian, bus akhirnya tiba di GBK. Namun, situasi itu tidak sama bagi para perempuan di dalam bus. Mereka merasa tertekan, kepayahan, dan tak bisa melakukan seperti yang dilakukan para laki-laki. Mereka harus terus menahan, mencoba mengalihkan perasaan gawat yang semakin menggelayut di dalam perut mereka.
Sementara kaum lelaki mempunyai ide untuk mencari tempat berlindung muncul di antara mereka. Mereka melihat pohon-pohon yang menjulang di pinggir jalan, berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Kaum laki-laki dengan cepat berpikir dan memutuskan untuk mengeluarkan air mereka di balik semak-semak yang lebat.
Kemudian mereka masuk ke dalam Gedung GBK dan merasa lega bisa keluar dari bus dan meregangkan kaki. Acara pun dimulai, dan mereka duduk dengan hati penuh antusiasme, mendengarkan pidato-pidato, lantunan lagu artis, dan orasi dari tokoh-tokoh seperti Megawati. Hari itu berlalu dengan cepat, dari pagi hingga menjelang senja.
Saat makan siang tiba, mereka terpaksa makan di dalam GBK. Pak Jarot, salah satu kader partai pembimbing mereka, mengingatkan agar tidak membuang sampah sembarangan dan menjaga kebersihan GBK. Mereka menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan berusaha untuk membuang sampah dengan benar.
Ketika acara selesai, mereka kembali ke tempat mereka diturunkan. Mereka menunggu bus jemputan pulang, tetapi waktu terus berlalu dan bus tak kunjung datang. Mereka merasa semakin lelah dan frustrasi, menunggu dalam kegelapan yang semakin larut malam.
Namun, akhirnya, bus yang ditunggu-tunggu datang juga. Saat pintu bus terbuka, suasana berubah menjadi heboh. Mereka berlomba naik, merasa lega dan bahagia bisa kembali ke dalam kendaraan yang akan membawa mereka pulang.
Dalam kegelapan malam, bus melaju meninggalkan GBK. Mereka duduk dengan rasa lega dan rasa syukur atas perjalanan yang akhirnya mendekati akhirnya. Meskipun semua perjuangan dan tantangan, cerita hari itu telah mengikuti mereka pulang, sebagai kenangan yang akan selalu mereka ingat dan ceritakan kepada orang lain.
Hari itu, kisah perjalanan mereka terisi dengan drama dan konflik yang tak terduga. Setelah menghadiri acara di GBK, Wijaya, Kurnia, dan teman-teman lainnya kembali ke pelabuhan Tanjung Priok.
Namun, di sana mereka menemukan bahwa kisah dramatis baru sedang terjadi. Dini hari mereka dibangunkan oleh gemuruhnya pertengkaran dengan anak buah kapal. Akhirnya membuat mereka keluar dari kamar mereka untuk melihat situasi.
Kawan-kawan mereka yang sempat keluar berjalan-jalan di Jakarta, tengah terlibat pertengkaran dengan anak buah kapal. Wajah-wajah mereka penuh amarah dan kelelahan, tercermin dalam sorot mata yang memancarkan kemarahan. Wijaya dan Kurnia mendekati mereka dengan perasaan penasaran.
"Tadi apa yang terjadi?" tanya Kurnia dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Sialan, mereka ini," gerutu Anwar, salah satu teman mereka. "Seharusnya kita pulang jam sembilan malam, karena mereka janji tangga kapal akan dinaikkan. Tapi lihatlah, sekarang sudah jam dua dini hari dan tangga tidak mau diturunkan!"
Wijaya dan Kurnia saling bertukar pandang. Mereka tahu betapa frustrasinya situasi seperti itu, terjebak di pelabuhan larut malam tanpa naik ke kapal. Kondisi ini semakin diperparah oleh rasa lelah setelah berjalan jauh.
"Memangnya apa alasannya?" tanya Wijaya, mencoba memahami situasi.
"Katanya, mereka tidak bisa menurunkan tangga karena waktunya sudah lewat," jawab Andi, salah satu teman lain. "Padahal kita kan sudah berusaha untuk pulang tepat waktu, tapi macetnya jalan di Jakarta membuat semuanya terlambat."
Kurnia mengangguk mengerti, merasa empati pada teman-temannya yang marah dan kecewa. Dia bisa membayangkan betapa menyebalkannya harus menunggu di pelabuhan tanpa jaminan kapan mereka naik ke dalam kapal.
Tak lama kemudian, seorang perwira kapal muncul, mencoba untuk meredakan amarah mereka. Namun, wajah-wajah kawan-kawan mereka yang masih menunggu di pelabuhan tetap tak terima. Percakapan yang berlangsung antara mereka dengan perwira itu pun tak berjalan mulus, semakin memanaskan suasana.
"Tidak mungkin begitu lama menunggu," ujar Anwar dengan nada tajam. "Kami juga manusia, kami punya hak untuk pulang dan istirahat setelah perjalanan Panjang dan menghadapi situasi yang macet!"
Kurnia merasa jantungnya berdebar mendengarkan percakapan tersebut. Dia merasa tak nyaman dengan konflik yang sedang berlangsung. Namun, dia juga merasa kesal dengan pihak kapal yang tidak bisa memberikan solusi yang lebih baik.
Tak terasa, Wijaya ikut terlibat dalam pertengkaran tersebut. "Kami mengerti ada masalah teknis, tapi bukankah lebih baik jika ada pemberitahuan sebelumnya? Kami juga punya kewajiban dan rencana setelah turun dari kapal."
Perdebatan semakin memanas, kata-kata tajam terlontar dari kedua belah pihak. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, keputusan akhirnya diambil. Tangga kapal akan diturunkan untuk memungkinkan penumpang keluar.
Dalam gelap malam, tangga kapal perlahan mulai turun. Suara gemuruh tangga bersentuhan dengan gelombang laut terdengar seperti musik dramatis di keheningan malam. Para penumpang yang merasa menang akhirnya bisa melangkah turun dari kapal dengan perasaan lega.
Wijaya dan Kurnia mengamati semua itu dengan campuran perasaan. Mereka merasa lega melihat pertengkaran berakhir dan tangga akhirnya diturunkan. Namun, di sisi lain, mereka juga merasa prihatin dengan situasi yang terjadi.
Pertengkaran itu mungkin telah berakhir, tetapi rasa lelah dan frustrasi masih melekat di wajah-wajah mereka. Dalam perjalanan pulang yang seharusnya menjadi waktu untuk istirahat, mereka merasakan dampak dramatis dari situasi yang tak terduga di atas kapal PELNI Lawit.
Setelah menghabiskan dua hari yang penuh semangat di Jakarta untuk acara Haul Bung Karno, mereka siap untuk pulang ke Kalimantan. Di pelabuhan Tanjung Priok, mereka disambut oleh pak Lasarus, yang telah mengatur bus khusus untuk mengantarkan mereka. Mereka merasa bersyukur atas perhatian dan bantuan yang diberikannya.
Perjalanan pulang di dalam bus dipenuhi dengan cerita dan kegembiraan. Mereka berkisah tentang acara Haul, keindahan GBK, dan semangat perjuangan yang mereka rasakan. Tiba di pelabuhan, kapal PELNI Lawit siap untuk membawa mereka kembali ke Kalimantan.
Saat kapal berlayar, mereka duduk bersama di kabin mereka. Mereka melihat-lihat foto-foto dari perjalanan mereka, tertawa dan berbagi kenangan. Mereka merasa penuh inspirasi dari semangat perjuangan Bung Karno, dan merasa beruntung telah mengalami petualangan yang tak terlupakan di Jakarta.
Dalam keheningan kabin, kapal meluncur di lautan yang tenang. Matahari perlahan terbenam di ufuk barat, meninggalkan jejak warna-warni di langit senja. Wijaya, Kurnia, dan Kasmaranti duduk di sana dengan perasaan damai, siap untuk menghadapi petualangan dan tantangan baru yang menanti di masa depan.
Namun hal yang tidak pernah terduga itu terjadi, setelah dua hari pulang dari Jakarta menaiki kapal Lawit, Wijaya mengalami serangan asam urat akut, karena selama di kapal menu mereka hanya ikan tongkol, telur goreng tepung, tempe, kacang panjang dan daun bayam.
Semua sayuran itu mengandung tinggi purin dan memang berbahaya bagi orang yang mengalami asam urat. Selama seminggu dia tidak bisa berjalan, untunglah setiap hari diminumkan rebusan daun kresen oleh istrinya.
***