Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu sangat dingin. Hujan yang deras berhenti turun dan berganti tetes-tetes air dari atap teras. Kano membiarkan seekor semut hitam merambati bulu-bulu lengannya dengan susah payah. Ia mengangkat tangan ke arah cahaya lampu teras sambil mendengar lagu-lagu Chopin di radio. Malam itu ia membayangkan dirinya adalah semut hitam kecil yang berjalan ke ujung jari kehidupan.
Pagi tadi ibunya dikuburkan. Menyusul ayahnya yang berbaring di bawah tanah lima bulan lalu. Kini Kano hidup sendirian. Usianya mulai masuk kepala tiga. Usia yang sangat rentan dan penuh gejolak kehidupan. Semut hitam itu menggigit ujung jarinya. Menyengat kesadarannya. Rasa sakit menjalar ke pangkal lengan. Lalu semut itu menjatuhkan diri ke lantai. Merayap ke kolong dipan yang sepenuhnya dikuasai oleh bayangan kegelapan.
Lagu Chopin itu adalah acara terakhir dari satu-satunya stasiun radio lokal yang masih menyala. Namun ia belum mengantuk. Pikirannya penuh dengan rencana-rencana masa depan. Tanpa terasa, waktu bergulir menuju tengah malam. Orang-orang lelap dalam mimpi masing-masing. Sedangkan ia lupa kapan terakhir kali bermimpi.
Malam itu Kano memutuskan tidak tidur hingga pagi. Ia menghabiskan waktu dengan turun ke Jalan Tunjungan yang mulai sepi. Udara malam yang dikibaskan lalu-lalang mobil di jalan menerbitkan harum bau roti dan ayam bakar. Ia berhenti dan duduk di bangku depan Toko Optik yang tutup tiga jam lalu.
Kurang dari satu jam lagi, kafe di seberang jalan itu tutup. Saat hati Kano sunyi, ia suka duduk-duduk sendirian di sana. Melihat gambaran kehidupan dari para pengunjung kafe terakhir yang lebih sering terlihat sangat melankolis. Seperti nada Chopin dalam Nocturne in C-Sharp Minor yang dibawakan oleh Rosseau.
Kali ini ia melihat pemandangan yang berbeda. Di halaman kafe, ada seorang lelaki tua yang duduk sendirian di kursi bulat. Ia membolak-balik lembaran buku menu. Tulisan di dalamnya banyak yang tak ia pahami. Ia pun memesan beef bowl yakiniku dan milk tea hanya karena kebetulan ada di daftar teratas. Seandainya yang paling atas adalah salted egg chicken, ia akan pesan itu.
Mata Kano terus mengikuti gerak kehidupan lelaki tua itu yang mengenakan mantel kerah berbulu. Ia menyandarkan tongkat kayunya di tepian meja. Beberapa meter dari tempatnya duduk, terparkir sepeda jengki yang dicat warna kelabu. Mungkin sepedanya, pikir Kano.
Lima menit lagi, kafe tutup. Lelaki tua itu belum menyentuh pesanannya. Dua pelayan muda di dalam tampak gelisah. Setelah lewat pukul satu dini hari, pelayan laki-laki memberanikan diri menegurnya. Ia memberitahu seharusnya mereka sudah tutup lima menit lalu. Telunjuknya mengarah ke daging panggang yang masih utuh. Mungkin bertanya apakah makanan itu mau dibungkus, pikir Kano.
Lelaki tua itu mengulurkan selembar uang 100 ribu. Pelayan menggeleng heran. Mereka menutup kafe. Lalu pergi meninggalkan lelaki tua yang belum beranjak dari tempat duduknya. Lalu-lintas kendaraan semakin jarang seiring waktu berlalu.
Tanpa disangka-sangka, lelaki tua itu menoleh ke arah Kano. Tangannya melambai dan tersenyum secerah bulan purnama yang menggantung di langit. Kano menunjuk dadanya sendiri, bertanya-tanya. Lelaki tua itu mengangguk.
Dengan mudah, Kano menyeberang jalan yang lengang. Dari dekat, keriput wajah lelaki tua itu semakin jelas saat tersenyum.
"Silakan duduk."
Kano duduk di seberang meja dengan kikuk. Ia memasukkan tangan ke saku jaketnya. "Maaf. Apa kita sudah pernah bertemu sebelumnya?"
"Belum, kurasa."
"Mengapa Kakek duduk sendirian di sini tengah malam begini?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Pasti tidak sekedar pesan makanan."
Lelaki tua itu mengangguk. "Ya. Selama kamu duduk di sana, tadi aku duduk berdua dengan cucuku. Tapi sekarang dia sudah pergi. Mungkin kami tak akan bertemu lagi. Dia bilang, 'Kakek tak perlu mentraktirku. Aku sudah senang Kakek mau datang.' Begitu. Dia cucuku yang paling manis."
Kano mengangkat alis. Heran. "Maaf, cucu Kakek sudah meninggal? Tadi aku tidak lihat ada orang lain di sini."
Lelaki tua itu kembali mengangguk. "Tadi pagi. Kecelakaan. Dia sangat suka duduk-duduk di kafe ini. Baca buku sambil menikmati suasana malam. Sayang aku tak bisa lagi baca buku. Rabun tua."
"Tadi pagi ibuku juga meninggal."
"Oh ya?"
Kano mengangguk. "Seandainya aku bisa bertemu Ibu lagi."
"Sekarang sudah banyak yang tidak percaya. Kita masih bisa terhubung dengan orang yang sudah meninggal dunia lewat benda-benda atau aktivitas yang mereka sukai. Setiap benda memiliki ingatan. Setiap momen memiliki ingatan."
Walau sudah dingin, daging panggang itu masih menebarkan bau harum. Perut Kano bergejolak. Ia belum makan sejak pagi. Dan lelaki tua itu menyadarinya.
"Kalau mau, ini untukmu. Sudah lama aku tidak makan daging."
"Terima kasih."
Kano memakannya dengan lahap. Tersedak. Dengan wajah iba, lelaki tua itu menyodorkan milk tea.
"Hati-hati."
"Dagingnya enak sekali. Lembut."
Lelaki tua itu tersenyum. "Apa yang paling disukai ibumu?"
"Uang."
"Uang? Dari semua benda di dunia ini, ibumu memilih uang? Kenapa?"
Kano mengangguk sangat yakin. "Aku juga tidak tahu. Ibu sangat suka mengumpulkan dan menyimpan uang yang masih mulus dan harum di dompet. Sering ia ciumi uang-uang itu. Dia hanya menggunakannya untuk keperluan yang sangat mendesak."
"Sekarang masih ada uang itu?"
"Sayang sekali. Sudah kupakai untuk biaya pemakamannya."
"Dompetnya masih ada?"
"Ya. Masih ada di bawah kasur. Kalau aku tak salah."
"Sebelum terlambat, pulanglah. Temui ibumu. Semoga dompet itu belum hilang," lelaki tua itu merogoh saku mantel. Lalu memberi Kano dua lembar uang 100 ribu, "Ini untukmu. Terima kasih sudah menemaniku duduk di sini. Juga menghabiskan pesanan yang tak bisa kuhabiskan. Aku harap bisa bertemu dengan ibumu juga. Cepatlah pulang. Lari yang kencang. Pasti ibumu sedang menunggumu di rumah."
Setelah membungkuk dan mengucap terima kasih, Kano berlari pulang. Lelaki tua itu masih duduk di kursi yang sama. Memandang langit yang bergetar.
Ketika sampai rumah, dada Kano berdebar kencang. Ia merasakan ada seseorang di balik pintu kamar yang dulu ditempati ibunya. Ia segera membuka pintu itu. Namun, sosok yang ia harapkan tak ada di sana. Di atas kasur, yang duduk adalah lelaki tua dan memandangnya dengan wajah iba.
"Ibumu pergi. Sayang sekali. Mungkin karena ada aku di sini. Padahal aku sangat ingin bertemu ibumu."
"Sebenarnya kamu siapa?"
"Bukankah beberapa waktu yang lalu kita duduk berdua di halaman kafe? Aku yakin kamu masih ingat. Aku orang yang sama yang memberi uang di sakumu."
Melihat sosok di depannya, Kano merasa sedang berada di tempat asing. Ia berkedip beberapa kali. Dinding kamar bergetar. Lalu terdengar lagu Chopin menggema memenuhi dinding ruang kamar itu.
***
Selesai, mungkin (?)