Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Memori Menari
2
Suka
24
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dymas berjalan tergesa-gesa menuju aula sekolah. Hari ini akan diumumkan siapa yang akan mewakili sekolahnya ke Kompetisi Tari Nasional tahun ini. Dymas ingin sekali memenangkan kompetisi itu karena hadiahnya yang menggiurkan.

Beasiswa setahun di Parsons Dance Company dan kesempatan audisi di berbagai dance performance di New York. Pokoknya, aku harus menang, kata Dymas dalam hati.

Papan pengumuman di aula sekolah sudah terlihat. Dymas menghentikan langkahnya. Bagaimana bila ia gagal? Bagaimana jika bukan ia yang terpilih mewakili sekolahnya di Kompetisi Tari Nasional?

“Hei, Dymas. Mau melihat hasil audisi kemarin, ya?” tanya Sheila menghampirinya.

Tentu saja Dymas mengangguk. Ia sudah menunggu-nunggu pengumuman ini sejak kemarin-kemarin. Tapi, ia sangat gugup. Ia sangat takut kalau hasilnya tidak seperti yang ia inginkan.

“Aku sudah lihat, sih. Tapi, aku bisa tutup mulut kalau kamu ingin melihat hasilnya sendiri.”

Pikirannya berkecamuk mendengar kata-kata Sheila. “Aku lolos atau tidak?”

“Kamu yakin nggak mau melihat sendiri?”

Dymas mengangguk.

Sheila tersenyum lebar. “Selamaaat. Kamu lolos audisi!”

Dymas tidak percaya. Benarkah, benarkah, benarkah? Ia setengah berlari menuju papan pengumuman dan melihat namanya tertera di sana. Ya, dia lolos menjadi wakil sekolahnya di acara Kompetisi Tari Nasional.

Ya, namanya tertulis di sana, di samping nama Aretha. Tunggu, Aretha?

***

“Pasti ada kesalahan, Bu!”

Di sebuah studio, seorang gadis berambut cepol dan mengenakan rok tutu berusaha meyakinkan guru tari yang sedang sibuk melakukan pemanasan.

“Tidak ada kesalahan. Keputusan para guru dan juri lainnya sudah final, Aretha.”

“Ibu tidak mengenal siapa orang ini sebelumnya. Bagaimana kualitas tariannya….”

“Ibu mengenalnya dengan baik, lewat tarian yang dia tunjukkan saat audisi. Selamat datang, Dymas.”

Aretha menoleh. Ia melengos saat Dymas tersenyum kepadanya. Mengapa cowok itu ikut terpilih mewakili sekolah mereka di Kompetisi Tari Nasional tahun ini?

Aretha Sandjaja, sudah berlatih balet sejak umur 2 tahun. Ia juga melengkapi keahliannya dengan mempelajari jenis tarian lain, seperti tango, Tari Bali, sampai Ballroom Dance.

Tidak mungkin ia menyerah dengan anak kemarin sore yang baru-baru saja mengenal tari. Akan ia tunjukkan kalau Aretha yang akan memenangkan pertandingan ini. Karena aku menari lebih baik dari kamu, Dymas, bisik Aretha dalam hati.

***

“Justru itu, Sheila. Kami bukan memperebutkan siapa yang akan mewakili sekolah di kompetisi tari itu. Kami berdua yang menjadi wakilnya.”

Dymas menyesap minumannya. Ia sedang mengadukan permasalahannya kepada Sheila, teman sekelasnya. Di seberang meja, Sheila tidak memberikan respons apa-apa karena sedang sibuk membaca buku.

Dymas menyingkirkan gelas minumannya dan melanjutkan kata, “Tapi, Aretha tidak mau bekerja sama denganku. Pertandingannya sebulan lagi dan kami belum bikin satu koreografi sekalipun.”

Nah, itulah bingungnya Dymas. Ia mengejar hadiah beasiswa. Dan ini adalah kesempatan paling baik yang pernah ia dapatkan, kalau bukan kesempatan satu-satunya.

“Kamu yakin, bukan kamu sendiri yang tidak mau bekerja sama dengan Aretha? Aku dengar dari Marsha, kamu tidak membolehkan Aretha melakukan gerakan ballet dan memaksanya mengikuti gerakan dance ciptaan kamu?”

Gadis itu mengucapkan kata-kata tersebut tanpa mengalihkan tatapan dari buku yang sedang ia baca. Tapi, bukan itu yang Dymas ingin dengar dari Sheila. Ia mau temannya itu membelanya, bukan malah menyetujui tindakan Aretha.

Dymas menghela napas. “Kadang-kadang aku lupa kalau sebelum disatukan dengan bagian tubuh yang lain, Tuhan terlebih tahu mengasah bibir kaum perempuan agar menjadi setajam pisau.”

***

Studio tari lengang karena ruangannya hanya diisi oleh Dymas dan Aretha. Mereka menunggu guru dan instruktur tari yang membimbing mereka untuk mengikuti kejuaraan nanti, Bu Arkha.

Tidak betah hanya duduk diam menunggu, Dymas melakukan pemanasan dan gerakan dasar hip-hop dance dengan penuh semangat.

Aretha tersenyum sinis. “Yang kayak gitu kok dibilang dance?”

Dymas menghentikan gerakannya. Ia memandang Aretha. “Kalau kamu memang jago, coba buktikan!”

Aretha merapikan rok tutunya. Ia bersiap-siap dan mengambil ancang-ancang. Satu… dua… tiga… grand jete yang sempurna dilakukan olehnya.

Dymas terbelalak. Pasti susah mengangkat beban tubuh dan melompat setinggi itu.

“Meniru gerakan robot itu bukan tari,” kata Aretha merasa menang. “Tampaknya Bu Arkha tidak akan datang hari ini. Aku pulang saja. Kamu bisa melatih gerakan robotmu sampai menjadi robot beneran di studio ini.”

Dymas berlari-lari di hall sekolah menuju kelas 3 IPA2. Ia sedang mencari seseorang. Sebuah amplop ada di tangannya. Dan isi amplop itu tidak mengenakkan, setidaknya bagi laki-laki itu.

Apa yang ia cari ada di tengah-tengah sekelompok cewek yang sibuk bergosip tentang serial TV Emily in Paris yang sudah tayang di Netflix. Orang yang ia cari sedang tertawa menunjukkan susunan gigi-giginya yang seperti kelinci.

Aretha melihatnya. Senyum gadis itu memudar dan tatapannya berganti tajam. Dymas berhenti. Pikirannya berkecamuk antara menarik gadis itu keluar dari kerumunan atau membiarkan saja apapun masalah yang ia dapat dari amplop di tangannya itu.

Dymas menguatkan tekad. Ini adalah masa depannya yang sedang dipertaruhkan. Tanpa memedulikan pandangan heran siswa yang lain, ia menarik tangan Aretha ke luar kelas.

“Apa sih?” hentak Aretha begitu mereka hanya berdua saja.

Dymas menunjukkan surat dari Ibu Arkha. “Kamu dapat surat ini juga?” 

Aretha melihat surat itu sekilas. “Oh, itu. Sudah jelas, kan? Ibu Arkha tidak bersedia membimbing kita lagi. Itu artinya kita tidak akan ikut kompetisi.”

“Tolonglah, Aretha. Beasiswa di Parsons Dance adalah cita-citaku.” Dymas melupakan egonya dan berusaha membujuk gadis itu.

"Well, bukan aku yang tidak bisa menarik dengan baik," sahut Aretha sambil lalu seraya menelisik kuku-kukunya.

Dymas mati kutu. Sikapnya terhadap Aretha selama latihan-latihan sebelumnya juga tidak bisa dibilang baik. Bagaimana mungkin gadis itu mau membantunya dengan sukarela?

Ya, itu, pikir cowok itu. "Bagaimana kalau kita teruskan berlatih berdua saja? Aku akan lakukan apa pun asal kita tetap ikut kompetisi.”

Aretha mendengarkan dengan penuh minat.

***

Aretha setengah mati menahan ketawa melihat Dymas muncul mengenakan body suit khas ballet. Ia nggak segan-segan menyiksa cowok itu untuk melakukan gerakan ballet dengan sempurna.

Ditambah Dymas yang tidak menolak apapun yang ia perintahkan, suasana latihan jadi semakin menyenangkan. Aretha memperhatikan Dymas dan baru menyadari kalau cowok itu punya tulang pipi yang menonjol.

Dan lagi, ternyata ada tahi lalat di dekat telinga kirinya. Dia… cakep juga, kata Aretha dalam hati.

“Hari ini aku cuma bisa latihan sampai sini, Retha!” kata Dymas mengagetkan Aretha.

“Tapi, jete-mu belum sempurna.”

“Aku ada dance battle. Kalau menang, uangnya lumayan untuk tambahan biaya hidup di New York kalau aku lolos beasiswa ke Parson Dance nanti.”

Aretha masih tidak ingin sesi latihan mereka berakhir. Sebelum sempat mencegahnya, kata-kata ini sudah meluncur dari mulutnya. “Aku ikut, ya?!”

***

Ternyata dance battle itu seru sekali! Aretha bisa merasakan semangat semua orang yang memenuhi arena. Adrenalin berpacu semakin kencang karena tidak ada koreografi baku yang wajib digunakan pesertanya.

Jadi, setiap orang harus kreatif dan spontan memikirkan ide tarian yang bisa membuat mereka menang.

“Hey, ini kentang gorengnya.”

Aretha menerima kentang goreng yang diberikan Dymas. “Kamu tidak perlu mentraktirku, Dymas. Kamu kan harus menabung uang yang kamu menangkan tadi.”

Dymas tertawa. “Tenang saja! Dalam waktu lima menit, uang yang aku pakai untuk mentraktir kamu, bisa langsung terganti, kok. Karena aku menari lebih baik darimu.”

Aretha mencibir tidak percaya.

Dymas melepas topi yang ia pakai dan meletakkannya di atas trotoar. “Pegang ini, ya!” katanya memberikan ponsel yang sudah dinyalakan fitur MP3 player-nya kepada Aretha.

Terdengar intro musik hip-hop. Degup jantung Aretha berdetak kencang. Jangan bilang kalau…. Ya, dugaannya benar.

Dymas berdansa di tengah jalanan. Pertama-tama hanya satu dua orang yang menonton. Tapi, lambat laun banyak yang mengapresiasi dan meletakkan uang di topi Dymas.

Aretha menatap Dymas dan kekagumannya semakin bertambah terhadap laki-laki itu.

“Aretha, ayo!” Dymas menarik tangan Aretha mengajaknya ikut menari. Walau awalnya malu-malu, Aretha akhirnya terbawa suasana dan menari bersama pria yang mulai mengisi relung hatinya itu.

Aretha tersenyum bahagia.

***

Aretha memasuki studio tari dan menemukan Bu Arkha berada di sana. “Sedang apa Bu Arkha di sini? Ibu kan sudah tidak membimbing kita lagi.”

“Kata siapa? Buktinya, Ibu ada di sini sekarang. Sebelum kompetisi hari Sabtu ini, Ibu ingin melihat sejauh apa perkembangan kalian.”

Langkah Dymas yang baru saja memasuki ruangan langsung terhenti melihat kehadiran Bu Arkha.

“Aku siap melihat koreografi yang telah kalian latih selama ini.”

Aretha dan Dymas gugup. Keduanya sama-sama tidak tahu harus berbuat apa. Sesuai kesepakatan keduanya, sampai saat ini yang mereka latih adalah koreografi ballet yang diciptakan Aretha.

Padahal, Dymas tidak terbiasa dan gerakannya masih belum seluwes penari yang menekuni ballet. Meskipun demikian, mereka tetap memaksakan menari berdua.

Dan terang saja. Dugaan Aretha benar. Jadi, tidak heran kalau reaksi Bu Arkha pun seperti yang mereka duga. Instruktur tari mereka itu memberikan kritik habis-habisan.

“Kalau kalian tampil seperti ini di kompetisi, pasti akan menjadi bahan tertawaan semua sekolah. Jadi, sebaiknya kalian mengundurkan diri saja. Saya akan sampaikan ke Kepala Sekolah kalau tahun ini sekolah kita tidak ikut kompetisi.”

Dymas tak percaya mendengar keputusan Bu Arkha. Hancur sudah cita-citanya. Parson Dance, New York, penari profesional yang keliling dunia.

“Dymas… maaf,” bisik Aretha.

***

Aretha memandang pantulan wajahnya di cermin. Ia melebarkan tangan dan mengangkat satu kaki. Ini yang disebut pas de chat. Seketika pikirannya melayang saat ia mengerjai Dymas dan menyuruhnya melatih gerakan ini.

Dymas, mengapa nama itu tidak bisa hilang dari otaknya? Aretha menghela napas dan melemaskan badannya. Bayangan Dymas menari hip-hop tidak bisa hilang dari ingatannya.

Otak memberikan perintah kepada tangan dan kakinya sehingga seketika anggota tubuhnya menari hip-hop seperti yang pernah ia lihat dilakukan oleh Dymas. Tapi, ia mengakhirinya dengan foutte, gerakan memutar di ballet.

Ini keren juga, pikirnya. Ia mencoba menggabungkan lagi gerakan hip-hop dance dan ballet dan takjub melihat hasilnya. Ia harus memperlihatkan ini kepada Dymas.

***

“Sudahlah, Aretha. Apalagi yang kamu mau?” kata Dymas ketus.

“Tolong, lihat ini dulu!” Mengartikan diamnya Dymas sebagai tanda setuju, Aretha menyambungkan iPhone-nya ke stereo. Musik mengalun dan Aretha mulai menggerakkan tubuhnya sesuai irama.

Saat ia melakukan twist dan mengganti gerakan ballet dengan hip-hop, Dymas terpukau. Mungkin ide Aretha bisa membuat mereka memenangkan kompetisi, pikir Dymas.

Ia tidak perlu memaksakan diri berlatih gerakan ballet dan Aretha sendiri bisa mempertahankan karakter tarinya.

Dymas tersenyum. “Oke, ayo kita lakukan. Tapi, beberapa gerakan yang harus diganti. Line dance? Kamu mikirin apa sih, Aretha?”

Hati Aretha membuncah bahagia, melayang-layang sampai ke angkasa.

***

Setahun kemudian….

Suasana backstage sangat ramai. Suara riuh rendah menjadi musik latar belakang kesibukan menjelang show. Seorang gadis bercepol dan memakai long coat masuk ke ruang ganti mencari-cari seseorang.

Bagian bawah rok tutunya yang mengembang menarik perhatian orang-orang.

“Aretha! Kamu datang juga?” Dymas menyambutnya dengan pelukan.

“Mana mungkin aku melewatkan show pertamamu di Parsons Dance Company. Lihat saja, sampai-sampai aku tidak sempat ganti baju.”

“Kamu harus lihat dance solo-ku nanti. Aku masukin beberapa gerakan ballet.”

“Oh oh… jangan lakukan itu. Kamu nggak akan berhasil.”

“Kenapa?”

“Karena aku menari lebih baik darimu. Jangan lupa itu, ya!”

Aretha dan Dymas saling berpandangan dan berbagi senyuman, lalu tertawa bersama-sama.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Karena Dia Aku Hidup
Adelia Putri Sukda
Cerpen
Memori Menari
SURIYANA
Cerpen
Arkan & Agatha (Love Story)
Nasyafaav
Novel
Wicked Game
Hendra Purnama
Cerpen
Bronze
Penny Bertanya Tentang Cinta
ardhirahma
Novel
Gold
ASAL KAU BAHAGIA
Falcon Publishing
Novel
Mahar Cinta
ahmad kholil | @KholilAhmad
Novel
Restu Kelana
Lail Arrubiya
Novel
Bronze
Kuat Untuk Sebuah Patah
Little Zombie
Cerpen
Bronze
Talang Sawah dan Lagu Mangu
Ron Nee Soo
Novel
Bronze
Suami Mualaf untuk Kim Melodi
Jimin Sesungki
Cerpen
Bronze
Romantisnya antara si cantik dan bembeng
Bambang Bembeng
Novel
Bronze
Aina
aas asmelia
Flash
Ingkar
Rolly Roudell
Novel
Bronze
Kyara: Menghapus Kita
AnotherDmension
Rekomendasi
Cerpen
Memori Menari
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA
Cerpen
Usia 12
SURIYANA
Flash
Apa Artinya Cinta
SURIYANA
Cerpen
Pashmina Perpisahan
SURIYANA
Flash
Tidak Hanya Wanita
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Dear Mima
SURIYANA
Flash
Mengakhiri Kesendirian
SURIYANA
Flash
TERLALU BAIK
SURIYANA
Flash
Hidup tanpa Warna
SURIYANA
Novel
Cinta Ini Rasa Itu
SURIYANA
Cerpen
Karmini Karmila
SURIYANA
Flash
Bronze
BAHASA
SURIYANA
Novel
Bronze
Pinjaman Berbunga Cinta
SURIYANA
Flash
Sang Pengasuh
SURIYANA