Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Memoar Sebuah Rasa
2
Suka
27
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi itu, aku duduk termenung di depan laptop, memandangi daftar pembagian kelompok KKN di kampus. Dua temanku tampak berseri-seri karena mereka bisa pergi bersama, sementara aku hanya bisa duduk sendiri, merasa tertinggal. Aku menghela napas panjang. Ada rasa kecewa dan takut yang menyelimutiku, tapi di sisi lain, aku merasa lega karena setidaknya mereka bisa satu kelompok.

“Maaf ya, Na, kita bertiga nggak bisa sekelompok, pas mau masukin nama kamu, kuotanya udah penuh, jadi aku daftarin ke Ciamis,” ucap Lani dengan nada sedih.

“Iya, nggak apa-apa kok, aku bisa sendirian juga,” balasku sambil meyakinkan diri.

“Kamu pasti bisa. Diantara kita bertiga, kan kamu yang paling berani dan udah biasa melakukan semuanya sendiri,” tambah Nura menyemangatiku.

“iya, aku bisa kok.” Ujarku, meski hatiku sedikit ragu.

Kami bertiga sudah berteman selama tiga tahun. Selama itu, aku dan mereka sering melakukan banyak hal bersama. Bahkan aku dan Nura memutuskan untuk kost di tempat yang sama agar bisa melakukan kegiatan bersama. Tetapi, ada kalanya aku tidak bisa mengimbangi rasa semangat mereka berdua.

Di kampus, mereka berdua lebih mudah berbaur dengan teman sekelas. Sedangkan aku? Aku hanya menjadi pengikut, sesekali tersenyum tipis jika ada yang menyapaku. Aku tidak nyaman dengan keramaian, terlebih jika ada banyak kakak tingkat di sekitarku. Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang adalah menjauh dari mereka semua.

Setiap kali merasa lelah atau canggung, aku selalu mencari alasan untuk pulang duluan. Di kamar kos, aku membuka laptop, menikmati makanan, dan menonton film favoritku. Itu adalah zona nyamanku.

Namun, ada saat-saat ketika aku bahkan tidak membuka pintu kamar untuk Nura atau teman-temanku yang lain. Bukan karena aku membenci mereka, tetapi karena aku membutuhkan ruang untuk diriku sendiri—jauh dari semua yang terasa menekan.

Ketika hari pemberangkatan tiba, aku tidak bisa menemukan Lani maupun Nura karena bus kami berbeda. Hanya ada kakak seniorku yang bisa mengantarku.

“Na, hati-hati di jalan, jangan lupa makan yang teratur dan selalu semangat,” ucap Kak Kevan.

“Makasih kak karena udah nganterin ya,” balasku sambil menatapnya.

“Aku bantu masukin kopernya ke bagasi ya,” tambah kak Kevan.

Kak Kevan, salah satu seniorku di kampus yang sering bersamaku. Aku mengenalnya ketika aku menjadi panitia pemilihan ketua BEM di fakultasku. Selama aku mengenalnya, dia tidak pernah mengabaikanku, dia selalu menyemangatiku, baik dalam hal akademik maupun non-akademik. Dia tidak hanya menjadi sosok senior yang bisa aku andalkan, tapi dia menjadi sosok seorang kakak yang bisa menjagaku, mendengarkan keluhanku, dan menghiburku ketika aku sedang sedih.

Dari jendela bus, aku melambaikan tanganku pada kak Kevan, aku tetap tersenyum tapi dalam hatiku, aku mengkhawatirkan nasibku selama KKN, apakah aku mampu menjalaninya? Aku menatap setiap wajah asing yang berada dalam bus, aku melihat banyak kesibukan di dalam bus, ada yang mendengarkan lagu, selama perjalanan tak sedikit mahasiswa yang banyak termenung menatap pemandangan di luar jendela.

Sesampainya di tempat KKN, aku menghapal setiap wajah yang kutemui, aku pikir, aku bisa berteman dengan mereka jika aku menghapal wajah dan nama mereka. Tetapi, ada yang mencuri perhatianku ketika aku sedang sibuk menghapal nama, seseorang yang memulai diskusi dengan antusias, wajahnya yang tampan dengan kacamata yang memberi kesan cerdas membuatku betah untuk menatapnya lama-lama, “Mirip Afgan,” pikirku.

“Kenalin nama aku Angga, koordinator desa selama kita semua KKN di sini,” ucapnya tegas.

Aku hanya diam, mendengar penjelasan demi pejelasan dari Angga, saat teman-teman yang lain mulai memperkenalkan diri satu persatu dengan percaya diri. Aku hanya duduk, memperhatikan satu per satu.

“Nama kamu—Nirna, kan?” tanya Angga tiba-tiba.

“Iya,” jawabku pelan.

“Gimana kalau kamu jadi sekretaris 2 aja nemenin Fathiya?” tawarnya.

“Oh ... oke, aku mau” jawabku tanpa berpikir panjang.

Aku pikir, dengan menjadi seorang sekretaris, aku bisa berbaur dengan mereka semua.

Keesokan harinya, kami semua berkumpul di teras rumah untuk mendiskusikan kegiatan apa saja yang akan dilakukan, ada yang mengusulkan olahraga bersama, kerja bakti, hingga mengajar. Aku memegang buku panduan dari dosen pembimping, berusaha untuk melebur semua ide dengan konsep yang ada di buku ini.

“Jadi kegiatan kita pekan ini apa?” tanya Rama padaku.

“Masih aku pikirin, Ram. Soalnya bukunya baru aku baca banget,” jawabku.

“Tadi aku udah keliling, ternyata di sini ada tempat ngaji,” tambah Angga.

“Bisa aku masukin kok, nanti aku susun kembali lagi agendanya sesuai buku ini ya,” jawabku percaya diri.

Tinggal bersama di satu rumah besar ternyata cukup menantang. Meski fasilitasnya baik, kebiasaan teman-teman membuatku jengah—baju kotor di sudut ruang, pemakaian toilet terlalu lama, dan mereka yang sering bangun siang. Awalnya aku frustrasi, tapi lama-kelamaan aku mengerti bahwa KKN bukan soal diriku sendiri. Ini tentang hidup rukun dengan manusia lain.

Seperti pagi itu, saat aku masih berada di kamar, terdengar suara Fathiya dari ruang tamu.

“Jadi gimana, Fath? Konsep laporan kita udah beres belum? Soalnya kan setiap kegiatan yang sudah dilaksanakan harus ada laporannya,” tanya Angga.

“Belum ada, kan buku panduannya selalu di pegang sama Nirna, mana bisa baca?” jawab Fathiya, terdengar tanpa rasa bersalah.

“Ah, yang bener?” balas Angga, tak percaya.

“Dipegang sama Nirna gimana? Bukunya selalu ada di atas meja kok, Nirna juga baca sehari langsung selesai. itu juga karena kamu naruh sembarangan,” ucap Nesi membelaku.

“Ih yang bener? Kok aku nggak tahu kalau bukunya ada di atas meja,” jawab Fathiya, mencoba membela diri

“Nggak tahu, apa pura-pura nggak tahu?” balas Rama sambil meliriknya tajam.

Aku yang mendengar obrolan dari kamar hanya tersenyum kecil. Aku memang tidak pandai membela diri, apalagi jika terlibat dalam perdebatan seperti itu. Aku lebih memilih diam, meskipun tahu bahwa aku tidak salah. Lagipula, siapa yang akan mendengarkan pembelaanku? Dibandingkan mereka, aku hanyalah mahasiswa biasa—tidak cantik, tidak tinggi, dan tidak menonjol.

“jadi gimana, Na? Udah selesai?” suara Angga memecah lamunanku. Dia berdiri di depan pintu dengan senyum tipis.

“udah, tadi aku udah kirim di group. Coba dicek, ada yang mau ditambah atau enggak.” Jawabku sambil mengambil buku panduan yang masih ada di meja.

“Oh iya, aku cek sekarang," sambil melihat HP, " Tapi kayaknya udah oke, deh. List kegiatannya jelas banget,” katanya setelah melihat dokumen yang aku kirim di group.

“Benarkah? Syukurlah,” ucapku lega.

“Na, makasih, ya. Kamu udah ngurusin semua ini dengan rapi dan cepat,” ucapnya sambil tersenyum lebih lebar.

Aku mengangguk pelan, lalu mengikutinya menuju halaman depan rumah. Dari sana, aku melihat beberapa warga sedang berkumpul di depan sebuah warung karedok yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami menginap. Meskipun sederhana, warung karedok itu menjadi kuliner primadona untuk warga di sekitar sini.

“Jadi, untuk minggu pertama, kita fokus untuk mengajar ngaji seperti belajar sambil bermain bersama anak-anak di madrasah,” jelas Angga sambil menunjukkan catatan di tangannya. “di minggu kedua baru kita fokus di kegiatan sosial, seperti bersih-bersih masjid sama bantu warga bikin pos ronda. Nanti aku bagi timnya biar merata.”

“Angga, kita bisa ikut semua jadwal itu, kan? Maksudku, kalau ada yang mau bantu lebih dari satu tugas?” tanya Yoshi sambil mengangkat tangan.

“Boleh banget. Asal jangan sampai kelelahan aja,” jawab Angga sambil tersenyum ramah.

Aku memperhatikan teman-teman lain yang terlihat sangat antusias. Beberapa bahkan tertawa kecil setiap kali Angga melontarkan candaan ringan di sela-sela penjelasannya. Aku bisa melihat kenapa dia begitu disukai—penampilannya rapi, suaranya tegas, dan gaya bicaranya membuat semua orang merasa dihargai.

Sambil berdiri di pinggir, aku merasa sedikit lega. Awalnya, aku sangat takut menjalani KKN sendirian. Tapi melihat antusiasme mereka dan bagaimana Angga memimpin, aku mulai merasa bahwa aku bisa melewati semuanya.

Selama seminggu di sini, kegiatan awal kami adalah mengajar di sebuah madrasah. Banyak hal menarik terjadi selama kegiatan ini. Anak-anak di desa ini sangat antusias dengan keberadaan kami, terutama karena mereka bisa mencoba gadget yang kami bawa. Meski desa ini tidak termasuk daerah tertinggal, masih banyak warganya yang kurang akrab dengan teknologi.

Kehebohan sering kali terjadi, terutama karena Kiki, salah satu anggota kelompok kami, yang tingkahnya selalu mengundang tawa. Ia bermain hujan-hujanan bersama anak-anak, bermain bola di lapangan, atau bercanda ringan. Kehadiran Kiki membuat suasana KKN menjadi lebih hidup, bahkan membantu mencairkan suasana belajar-mengajar di madrasah.

Sore itu, aku duduk di teras madrasah, memperhatikan anak-anak yang sibuk memainkan tablet kami.

“Kak, aku boleh main ini, nggak?” tanya seorang anak sambil menunjuk tablet di tanganku.

“Boleh, main aja, Dek,” jawabku lembut.

Rama tiba-tiba duduk di sebelahku. “Ternyata mereka semua bisa ngomong Bahasa Indonesia, ya,” katanya sambil tersenyum kecil.

“Bisa, lah. Kan mereka sekolah. Tapi kalau sama orang tua, itu tantangan kita. Masih banyak yang nggak paham Bahasa Indonesia,” balasku sambil melirik beberapa orang tua yang duduk di pinggir halaman madrasah.

Ia mengangguk pelan, lalu menunjuk ke arah Angga yang sedang asyik berbicara dengan nenek-nenek dan bapak-bapak. “Angga sibuk banget ya, dari tadi ngobrol sama masyarakat.”

“Iya, tuh. Lihat, lagi ketawa-ketawa,” jawabku sambil menunjuk ke arahnya.

“Semakin ganteng, kan, Na?” celetuk Kiki tiba-tiba sambil menggoda.

“Hmmm,” jawabku pendek, malas menanggapi.

“Jadian aja sana, kan kalian JONES,” candanya keras-keras.

“Jones?” tanyaku bingung.

“Jomblo ngenes!” Kiki tertawa lepas sambil berlari ke arah Angga.

Aku memutar mata, lalu menghela napas panjang. “Apaan sih tuh manusia, nggak jelas banget.”

Sorenya, hujan turun cukup deras saat kami pulang dari madrasah. Dengan memegang payung milik Shinta, aku berjalan perlahan di pinggir jalan desa. Langkahku terhenti saat mendengar suara memanggilku dari kejauhan.

“Na!” panggil Rama dengan nada tinggi.

Aku menoleh. “Ya, ada apa?” tanyaku sambil tersenyum kecil.

Rama terlihat gugup. “Ah, sial,” gumamnya, sebelum berbalik arah.

“Eh, dia ngapain sih?” tanyaku bingung, tapi ia sudah pergi, dikejar Julian yang tertawa sambil berteriak-teriak memanggilnya.

Angga tiba-tiba muncul di sampingku, mengambil payung dari tanganku. “Kamu kenapa, Na? Ada apa dengan Rama?”

Aku menggeleng. “Entah, mungkin dia nggak suka sama aku.”

“Maksud kamu nggak suka gimana?” tanyanya bingung.

“Dia manggil aku, tapi langsung bilang ‘sial’. Terus kabur begitu aja.”

Angga tertawa kecil, “Kamu aja yang terlalu mikir, Na. Rama kayaknya baik-baik aja kok.”

Kami berjalan berdua di bawah satu payung. Aku menatap Angga dari samping, merasa bersyukur memiliki teman yang bisa diandalkan sepertinya. Dia yang mengulurkan tangannya untukku, dia yang sering tersenyum padaku, dan dia yang selalu mendengarkan pendapatku tentang rencana kegiatan yang kubuat.

Di rumah, suasana terasa canggung. Fathiya, yang biasanya aktif berbicara, tampak lebih banyak diam. Aku sadar dia beberapa kali memerhatikan aku dan Angga dengan tatapan yang sulit diartikan. Saat aku hendak masuk ke kamar, dia tiba-tiba menghampiriku.

“Nirna, aku mau ngomong,” katanya dengan nada serius.

Aku menoleh, mencoba tersenyum. “Ada apa, Fath?”

Dia menarik napas panjang. “Kamu sadar nggak, semua orang kayaknya lebih perhatian ke kamu?”

Aku tertegun. “Maksud kamu?”

“Angga, Rama, bahkan temen-temen yang lain. Kamu selalu jadi pusat perhatian. Aku juga berusaha keras, tapi selalu kamu yang jadi pusat perhatiannya,” katanya, suaranya terdengar getir.

Aku mencoba menjelaskan. “Fathiya, aku nggak pernah bermaksud begitu. Aku juga nggak ngatur siapa yang mau perhatian sama aku. Apalagi kita sama-sama sekretaris, Fath,”

Dia mengangguk kecil, tapi matanya tetap tajam. “Sekretaris? kamu doang kali yang sekretaris.”

Dia meninggalkanku sebelum aku sempat menjawab. Aku berdiri mematung, merasakan campuran rasa bersalah dan bingung. Malamnya, saat permainan Truth or Truth berlangsung, aku merasa hubungan kami bertiga semakin tegang. Fathiya menjawab pertanyaan dengan menyebut nama Rama, sementara Rama terus memperhatikan aku dengan pandangan yang sulit diterka.

Ketika giliran pertanyaanku tiba, Rama mengajukan pertanyaan yang membuat suasana menjadi senyap.

“Nirna, kamu pilih Angga jadi pacar kamu atau orang lain?” tanyanya tegas.

Aku menatapnya tajam. “Kenapa nanyanya begitu?”

"Ram," ucap Angga dengan nada cemas.

"Jawab aja," desaknya.

Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Kalau aku suka sama dia, mungkin aku akan memilihnya,” kataku akhirnya.

Semua orang bersorak, tapi aku tahu situasi ini tidak bagus untukku. Ada ketegangan yang menggantung di antara aku, Rama, dan Fathiya. Aku hanya bisa berharap waktu akan menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi malam ini.

***

Pagi itu, kami mengunjungi pabrik sale pisang yang menjadi salah satu kebanggaan desa ini. Udara segar menyambut kedatangan kami, disertai aroma pisang yang baru saja diiris. Pabrik kecil ini penuh aktivitas, dengan para pekerja yang sibuk memilah pisang, mengirisnya, dan menjemurnya di rak bambu panjang di bawah sinar matahari.

Seorang pekerja menjelaskan bahwa sale pisang di sini dibuat tanpa bahan pengawet. Aku mencoba satu potong dari sample yang disediakan. Rasanya manis, lembut, dan sedikit kenyal—benar-benar khas.

Aku dan Angga sibuk mengobrol dengan para pekerja. Kami berbicara dalam Bahasa Sunda, yang tidak banyak dimengerti oleh teman-teman lain. Angga, yang juga berasal dari Bandung, sering menyisipkan lelucon berbahasa sunda sehingga membuat para pekerja tertawa. Sementara itu, aku mencatat penjelasan tentang proses produksi untuk dimasukkan ke artikel web desa.

Sementara kami berdua sibuk mengobrol dengan para pekerja, teman-teman yang lain mengambil dokumentasi foto untuk melengkapi artikel di web desa. Terlihat, Rama tidak sekadar mengambil foto di pabrik saja, ia juga mengambil fotoku secara candid. Aku menatapnya untuk berhenti, sedangkan Rama hanya menjawabnya dengan menaikan bahu.

“Informasinya cukup, Na?” tanya Angga tiba-tiba sambil melirik catatanku.

“Cukup, kok,” jawabku sambil tersenyum.

“Kalau begitu, kita semua pulang dulu, Pak. Teman-teman yang lain juga sudah mulai lelah sepertinya,” ucap Angga kepada pekerja pabrik yang berada dihadapannya.

“Baik, Dek, terimakasih atas kunjungannya, semoga dengan adanya KKN ini, desa kami semakin maju.”

“Iya, pak. Terima kasih juga, atas kesedian bapak untuk kami wawancarai,” balas Angga sambil tersenyum.

Sesampainya di rumah, kami langsung berdiskusi untuk menyelesaikan laporan KKN. Rama duduk di sampingku, sesekali bertanya tentang artikel yang sedang aku tulis.

“Na, sudah selesai?” tanyanya lembut.

“Belum, Ram. Tinggal editing, sih,” jawabku.

“Coba aku lihat,” katanya sambil mendekat.

Dia membaca artikelku dengan seksama. Senyumnya tersungging, tapi aku tidak bisa menebak artinya. Apakah dia benar-benar suka, atau malah mengejek hasil tulisanku?

Saat itu, Fathiya datang mendekat. Dengan nada merengek, dia mengadu pada Rama.

“Rama, tugas aku susah banget. Bantuin dong.”

“Susah gimana?” Rama menoleh dengan ramah.

“Nih, lihat. Aku nggak ngerti,” jawab Fathiya, menunjuk laptopnya.

Rama menatap layar laptop Fathiya sebentar, lalu berkata datar, “Kerjain aja, Fath. Kalau nggak ngerti, tanya Nirna. Jangan manja.”

Aku berusaha tetap fokus memperbaiki ejaan di artikelku, tetapi suasana semakin canggung ketika Fathiya memelototiku sebelum pergi menyusul Rama. Aku menatap kepergian Rama dan Fathiya dengan keheranan. Ada apa dengan mereka berdua? Sikap mereka yang aneh membuatku penasaran, tetapi aku hanya bisa menghela napas panjang sambil merapikan rambut yang berantakan terkena angin malam.

“Na, HP kamu bunyi,” ucap Nesi berteriak dari ujung ruangan.

“Oh iya.” Aku segera menuju ke tempat charger dan melihat nama Kak Kevan di layar. Tanpa berpikir panjang, aku mengangkat teleponnya dan bergegas pergi ke luar rumah.

“Dia ditelepon siapa?” tanya Julian, penasaran sambil melirik ke arahku yang keluar dengan wajah ceria.

“Pacarnya, mungkin,” jawab Kiki sambil terkekeh.

“Nirna masih jomblo,” sela Rama, suaranya terdengar agak ketus.

Fandy menepuk pundak Rama dengan iseng. “Selow, Ram. Nggak usah ngegas gitu. Santai aja.”

“Tuh orang lagi PMS apa ya? Tiba-tiba marah-marah,” kelakar Kiki sambil menatap Rama.

Galih, yang duduk di dekat Fandy, ikut menimpali. “Kayaknya bukan PMS, deh.”

“Mungkin karena orang itu,” tambah Fandy sambil mengarahkan dagunya ke arahku yang sedang berdiri di luar, sibuk mengobrol.

Aku berbicara santai dengan Kak Kevan dan Adri, menceritakan pengalaman selama KKN. Udara malam terasa dingin, angin berhembus lembut membawa aroma rumput basah. Suara jangkrik bersahutan, membuat malam terasa lebih hening.

“Kak, kapan kalian jenguk aku? Aku juga mau ditengokin,” rengekku sambil tertawa kecil.

“Wah, ternyata kamu bisa manja juga,” goda Adri, terdengar geli di seberang telepon.

“Ciamis terlalu jauh, Na,” sahut Kak Kevan dengan nada bercanda. “Kalau dekat, pasti sudah kita jengukin.”

Aku tertawa kecil, lalu mereka bertanya tentang teman-temanku di sini.

“Teman-teman kamu baik, kan? Ada yang kamu suka nggak?” tanya Adri tiba-tiba.

Aku terdiam sejenak, mencoba menahan tawa. “Apaan sih, Adri.”

“Cie, malu-malu. Pasti ada nih,” sambung Adri, makin menggoda.

Aku tersenyum kecil, meski perasaan campur aduk. Mereka benar-benar tahu cara membuatku gelisah.

 “Na, sudah malam. Mau aku kunciin di luar?” suara Rama mengejutkanku dari belakang.

Aku menoleh cepat, melihatnya berdiri di ambang pintu dengan jaket di tangannya.

“Rama, jangan dikunciin,” ucapku setengah memohon sambil menutup teleponku.

“Cepat masuk. Udah malam, ntar sakit,” ucapnya sambil menyampirkan jaket ke pundakku. Angin malam semakin dingin, membuatku refleks menarik jaket itu lebih erat.

“Kan ada kamu,” ucapku tanpa sadar.

Rama menatapku dalam-dalam. Tatapannya membuatku salah tingkah.

“Emang kamu mau dirawat sama aku kalau sakit?” tanyanya serius, nadanya setengah bercanda tetapi terasa tulus.

Aku buru-buru berdiri, merasa wajahku memanas. “Aku masuk dulu. Makasih jaketnya.”

“Aku bakalan jagain kamu kok kalau kamu sakit,” katanya lagi, menghentikan langkahku sejenak.

Aku tak menjawab, hanya masuk ke rumah dengan langkah cepat.

Begitu masuk, aku melihat Fathiya duduk di kursi tamu. Tatapannya tajam, seolah menusukku. Ia menyilangkan tangan di depan dada, menungguku dengan ekspresi penuh rasa tidak suka.

“Kamu sama Rama, ada apa, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.

Aku terdiam sesaat, mencoba mencari jawaban yang tepat. “Kita cuma teman biasa, Fathiya.”

“Teman biasa? Dari caranya perhatian sama kamu, itu lebih dari biasa, Nirna.”

Nada suaranya semakin meninggi. Aku mencoba menahan emosi.

“Fathiya, aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi aku nggak berniat merebut siapa-siapa.”

Ia mendengus kesal. “Merebut? Aku cuma nggak suka lihat kamu jadi pusat perhatian. Itu aja.”

Perkataannya membuatku bingung sekaligus kesal. Aku memilih diam, lalu berjalan menuju kamarku tanpa berkomentar lebih lanjut. Di belakangku, Fathiya hanya menggerutu pelan. 

Di dalam kamar, aku duduk di kasur, memandangi jaket yang masih kusampirkan di kursi. Pikiran tentang Fathiya dan Rama berkecamuk di benakku. Sikap Rama yang perhatian, Fathiya yang semakin tidak suka, dan aku yang berada di tengah semuanya. Aku menarik napas panjang. KKN ini bukan hanya tentang berbaur dengan warga, tetapi juga belajar menghadapi dinamika yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Keesokan paginya, aku melihat Rama dan Angga sedang berbicara di depan pintu. Dari gerak tubuh mereka, terlihat bahwa mereka sedang mendiskusikan sesuatu dengan serius. Aku mendekati mereka, ingin memastikan persiapanku untuk pergi ke balai desa.

“Angga, hari ini kita ke balai desa, kan? Siapa aja yang ikut?” tanyaku sambil melirik Rama yang sibuk memeriksa ponselnya.

“Kita bertiga aja, Na,” jawab Angga singkat.

“Terus yang lain gimana?” tanyaku lagi.

“Yang lain bantu kerja bakti di masjid. Jadi, cuma kita bertiga yang ke balai desa,” jawab Angga santai.

Aku mengangguk pelan, masih ragu. “Aku kira Fathiya juga ikut,” ucapku sambil melirik Rama dengan sedikit canggung.

Rama menoleh sebentar, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

“Ga, kamu bisa bawa mobil, kan?” tanyaku pada Angga.

“Belum lancar. Tapi tenang aja, ada Rama. Dia udah jago nyetir,” balas Angga sambil merangkul pundak Rama, mencoba mencairkan suasana.

“Tapi…” ucapku, terputus ketika Rama tiba-tiba menggenggam tanganku dengan erat.

“Ayo, langsung aja. Keburu telat,” ajaknya sambil menarikku pelan ke arah mobil.

Genggamannya erat, membuatku tidak punya pilihan selain menurut. Aku pun menaiki mobil dengan enggan. “Aku duduk di belakang aja,” ucapku.

Namun, Rama langsung menutup pintu belakang. “Kamu di depan,” katanya tanpa kompromi. Aku melirik Angga, yang hanya mengangguk tanda setuju. Terpaksa, aku duduk di kursi depan sambil menghela napas panjang. Di perjalanan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Rama hanya diam dan fokus menyetir. Aku hanya bisa menatap ke luar jendela, memperhatikan pepohonan yang seolah berlari mengiringi perjalanan kami.

“Na, nanti di balai desa, aku sama kamu langsung presentasi, ya,” ucap Angga sambil melirik catatan kecil di tangannya. “Soalnya web desa udah siap.”

“Ok, siap komandan,” jawabku bersemangat sambil memberi hormat, senyumku merekah meski sedikit gugup.

Di balai desa, kami langsung disambut oleh kepala desa dan beberapa perangkat desa lainnya. Aku, Rama, dan Angga berdiri di depan, siap mempresentasikan fungsi dan manfaat web desa yang telah kami buat. Angga memulai presentasi dengan menjelaskan cara mengunggah dokumen dan gambar ke web. Aku melanjutkan dengan memaparkan manfaatnya untuk promosi desa. Rama, dengan suara tegasnya, memberikan contoh bagaimana teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan daya tarik pariwisata desa.

“Kami sangat mengapresiasi kerja keras kalian. Hasilnya sangat membantu desa kami,” ucap kepala desa dengan senyum lebar.

Aku merasa lega. Kerja keras selama hampir sebulan ini akhirnya dihargai.

“Saya dengar kalian mau liburan ke Pangandaran nanti malam?” tanya salah satu perangkat desa.

“Iya, Pak. Rencananya kami ingin sedikit bersantai sebelum kembali ke Bandung,” jawab Angga ramah.

Setelah berpamitan, kami kembali ke mobil. Namun, di perjalanan pulang, suasananya sangat hening. Aku duduk di kursi belakang, merasa sedikit lega setelah presentasi berjalan lancar. Namun, pikiran tentang Fathiya kembali menggangguku. Aku yakin dia akan salah paham jika tahu aku pergi bersama Rama dan Angga.

“Kok rumah kita dilewat sih, Ram?” tanyaku bingung ketika mobil terus melaju.

“Kita beli es krim dulu, mau nggak?” tanya Rama, kali ini dengan nada ramah.

Mataku berbinar. “Mau, mau!” jawabku antusias.

Kami berhenti di sebuah supermarket besar di pinggir jalan. Aku langsung berlari kecil masuk ke dalam, mencari es krim favoritku. Rama dan Angga menyusul di belakang dengan langkah santai.

Ketika kami duduk di luar, menikmati es krim sambil melihat kendaraan yang berlalu-lalang, Angga tiba-tiba bersuara.

“Kemarin kamu ditelepon pacar ya, Na?” tanyanya iseng sambil menyuap sendok es krim ke mulut.

Aku terkekeh kecil, menahan tawa. “Itu Kak Kevan, Ga. Kakak tingkat aku.”

“PDKT kali,” goda Angga sambil melirik Rama yang hanya diam.

“Nggak mungkin. Kak Kevan itu udah aku anggap kayak abang sendiri,” jawabku sambil tersenyum.

“Terus, kamu sukanya sama cowok kayak apa?” tanya Angga dengan nada serius.

Aku pura-pura berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. “Yang penting dia baik dan ada buat aku.”

Angga hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Rama, yang duduk tidak jauh dariku, melirikku sekilas lalu memutar bola matanya.

“Selama di sini, ada yang sesuai tipe kamu, nggak?” pancing Angga lagi, kali ini dengan nada lebih santai.

Aku terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. “Hmm... kayaknya yang di rumah juga harus dibeliin es krim, deh!” Aku segera berlari kecil masuk kembali ke supermarket, meninggalkan mereka berdua.

Angga dan Rama saling berpandangan tanpa kata. Tatapan mereka seolah berbicara, tetapi tidak ada yang mengungkapkan isi hati mereka secara langsung.

Sesampainya di rumah, suasana terasa lebih hangat. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu, menikmati es krim yang baru dibeli. Namun, aku segera merasakan tatapan dingin Fathiya yang menghampiri kami.

“Kalian kelihatan akrab banget, ya. Presentasi bareng, pulang bareng. Seru banget, tuh,” ucap Fathiya sambil duduk di samping Rama. Nada bicaranya terdengar ringan, tetapi sinisnya terasa jelas.

Aku hanya tersenyum kecil, mencoba tetap tenang. “Tugasnya memang begitu, Fath. Kami cuma menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.”

“Tapi harusnya kalian ngajakin aku juga. Kan aku juga sering bantu selama ini,” lanjutnya sambil menatap Rama dengan penuh harap.

Rama, yang sejak tadi hanya diam sambil memainkan ponselnya, akhirnya menatap Fathiya dengan tenang. Setelah menarik napas sejenak, ia berkata,

“Fath, kerja itu bukan soal siapa yang sering kelihatan, tapi siapa yang bisa menyelesaikan tugas dengan baik.”

Ruangan langsung sunyi. Aku terkejut mendengar jawaban Rama. Ini pertama kalinya ia tidak menahan diri untuk berkata tentang apa yang ia pikirkan.

Fathiya tersenyum kaku, lalu berdiri sambil mengambil es krimnya. “Ya, terserah kamu aja, Ram.” Ia pergi ke dapur dengan langkah terburu-buru.

Aku menunduk, terkejut dengan jawaban Rama yang terdengar sederhana, tetapi itu cukup untuk menunjukkan sikap tegasnya.

Angga, yang duduk di dekatku, hanya menghela napas pendek sambil tersenyum kecil. “Es krim memang bisa bikin suasana panas jadi dingin, ya,” katanya pelan, membuatku tertawa kecil.

***

Malam harinya, kami semua bersiap untuk berangkat ke Pangandaran. Kelompok dibagi menjadi dua mobil; satu dipimpin oleh Julian dan satu lagi oleh Angga. Aku, Jonathan, Fathiya, Angga, Rama, Yoshi, Nadhira, dan Nesi berada dalam satu mobil. Suasana sudah terasa ramai bahkan sebelum kami berangkat.

“Gue duluan aja yang nyetir,” kata Rama sambil melirik Jonathan.

“Kalau lo capek, bilang ya. Gue belum nikah, males kalau celaka,” candanya sambil tertawa.

“Gue juga belum nikah, kali,” sahut Rama sambil membuka pintu mobil. Ucapannya disambut tawa kecil dari Angga.

Rama menatapku yang masih berdiri di dekat pintu mobil dan terlihat ragu. “Na, kamu duduk di depan, ya. Temenin ngobrol,” pintanya tiba-tiba, suaranya terdengar lebih lembut.

Belum sempat aku menjawab, Fathiya dengan sigap masuk ke kursi depan. “Aku aja yang di depan. Kalau Nirna yang nemenin, pasti ngebosenin,” ucapnya sambil tersenyum lebar, tapi tatapannya menusuk.

Aku hanya bisa menarik napas panjang, menahan rasa kecewa. “Aku di belakang aja,” kataku, lalu naik ke barisan kursi tengah.

Nesi yang duduk di sebelahku berbisik, “Sabar, Na. Nanti juga dia bete sendiri.”

Perjalanan kami pun dimulai. Jonathan dan Yoshi sibuk ngobrol tentang rencana body rafting esok hari, sementara Fathiya terus berbicara dengan Rama di depan. Aku mencoba menikmati suasana dengan melihat keluar jendela, tapi suasana hatiku tetap terasa mendung.

Tiga jam perjalanan terasa cukup melelahkan. Kami akhirnya tiba di penginapan dekat pantai. Semua orang mulai bergegas masuk ke kamar masing-masing. Kami menyewa penginapan dengan empat kamar tidur, tapi beberapa harus tidur di ruang tamu karena jumlah kamar yang terbatas.

“Nirna mana?” tanya Rama sambil memandang ke sekeliling.

“Tuh, masih di kursi,” jawab Angga sambil menunjuk ke arah mobil.

“Dia tidur?” Rama bertanya lagi, kini suaranya terdengar sedikit cemas.

“Pules banget,” Angga menjawab sambil tersenyum kecil.

“Gue aja yang gendong dia ke kamar,” kata Rama tiba-tiba, mengejutkan semua orang.

Dengan lembut, Rama menggendongku keluar dari mobil. Aku masih tertidur lelap, tidak menyadari tatapan heran dan senyum kecil dari teman-teman kami.

“Udah mulai terang-terangan ni orang,” gumam Fandi.

“Takut diambil orang, kali,” timpal Shinta sambil melirik Angga.

Rama membawa aku ke salah satu kamar yang sudah disiapkan. Fathiya yang melihat semua itu hanya diam sambil menatap dengan raut wajah tak suka.

Keesokan harinya, aku terbangun dengan badan yang segar. Tapi pikiranku dipenuhi kebingungan. Bagaimana aku bisa ada di kamar ini? Bukankah terakhir kali aku berada di mobil? Aku mencoba mengingat-ingat, tapi bayangan itu tetap kabur.

“Nirna! Bangun cepat! Kita mau ke tempat body rafting!” seru Nesi masuk ke dalam kamar.

“Nes, yang bawa aku ke sini siapa?" tanyaku tanpa menghiraukan permintaan Nesi.

"Rama, dia gendong kamu kemarin malam," jawabnya sambil mengoleskan Sunscreen di wajahnya.

Aku terdiam sekaligus malu ketika mendengar perkataan Nesi, tapi di satu sisi aku senang karena Rama selalu perhatian kepadaku.

Pagi itu, aku memakai pakaian olahraga dan mengenakan sepatu dengan tergesa-gesa. Teman-teman sudah menunggu di halaman penginapan.

“Na, ayo! Jangan sampai kita ketinggalan briefing,” kata Angga sambil melambaikan tangan.

Kami semua akhirnya berangkat dengan mobil. Suasana di perjalanan kali ini terasa lebih santai. Aku yang duduk di kursi tengah mencoba menikmati pemandangan hijau di sepanjang jalan. Rama sesekali melirik ke arahku lewat kaca spion, tapi aku pura-pura tak melihatnya.

Lokasi body rafting benar-benar indah. Tebing-tebing tinggi menjulang di kanan-kiri sungai, dan airnya begitu jernih. Setelah memakai perlengkapan keamanan seperti rompi pelampung dan helm, kami memulai perjalanan dengan arahan dari para guide.

Ketika giliran melompat dari tebing setinggi lima meter tiba, nyaliku menciut. Fandy melompat lebih dulu dengan penuh percaya diri, diikuti oleh Rama dan teman lainnya.

“Nirna, sini lompat! Gue tunggu di bawah!” seru Fandy sambil melambai.

Aku memegang erat pegangan di tepi tebing. “Aku takut. Kayaknya aku turun biasa aja,” kataku berusaha mencari alasan.

“Kamu pasti bisa. Kalau takut, aku ada di sini,” kata Rama dari bawah, suaranya terdengar tegas namun menenangkan.

Aku menoleh ke Angga, yang berdiri di sampingku. “Kalau nggak yakin, nggak usah dipaksain,” katanya lembut.

Setelah menarik napas panjang, aku akhirnya melompat sambil menutup mata. Namun saat tubuhku menyentuh air, kakiku terasa kram, dan aku mulai tenggelam. Panik mulai menyelimuti pikiranku.

“Nirna!” teriak Rama sambil berenang ke arahku.

Aku merasakan tangannya yang kuat menggenggam lenganku dan menarikku ke permukaan. Napasku tersengal, tapi aku merasa tenang saat melihat wajah Rama yang penuh kekhawatiran.

Hujan mulai turun perlahan, menambah rasa dingin pada tubu kami. Volume air sungai perlahan naik, arusnya makin deras. Aku melangkah hati-hati, menatap air sungai di depanku dengan cemas. Kakiku gemetar, dan aku tak bisa menyembunyikan rasa takutku.

“Kamu takut?” suara Rama memecah kegelisahanku. Dia menatapku dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk kecil sambil memalingkan wajahku.

“Kalau kamu takut, pegang tangan aku dengan erat,” katanya, mengulurkan tangannya.

Ragu-ragu, aku menyambut uluran tangannya. Genggaman tangannya yang hangat memberiku sedikit keberanian untuk melangkah lebih jauh di tengah derasnya arus sungai.

Namun, langkahku terhenti ketika mendengar suara Fathiya dari belakang.

“Kaki aku sakit... aku nggak kuat,” keluhnya dengan nada bergetar.

Aku menoleh ke arahnya. Wajah Fathiya tampak pucat, tubuhnya gemetar karena ketakutan dan kelelahan. Dia melirik Rama, berharap sesuatu darinya.

“Ram,” panggilku pelan, mencoba menarik perhatiannya.

“Kenapa? Ada yang sakit?” tanyanya, matanya penuh perhatian menatapku.

“Sepertinya Fathiya lebih butuh tangan kamu daripada aku,” ucapku dengan suara pelan, berusaha tersenyum meski bibirku gemetar.

Rama menatapku ragu, matanya seolah bertanya apakah aku benar-benar yakin. Aku mengangguk kecil, meskipun dalam hatiku terasa ada sesuatu yang akan hilang.

“Na,” ucapnya dengan nada kecewa, sebelum perlahan aku melepaskan tangannya dan Rama beralih ke sisi Fathiya.

Aku diam mematung, memegangi tebing sungai untuk menjaga keseimbangan tubuhku yang mendadak lemas. Melihat Rama menggenggam tangan Fathiya dengan erat dan membantunya melangkah membuat dadaku terasa sesak. Tapi aku tetap tersenyum kecil, meski hanya untuk menenangkan diriku sendiri.

Angga mendekat ke arahku, menatapku dengan wajah khawatir. “Na, aku pegangin, ya.”

Aku hanya mengangguk pelan, rasanya aku terlalu sibuk menahan air mata yang nyaris jatuh.

Selama sisa perjalanan, aku berjalan di samping Angga yang memastikan aku tetap aman. Tapi pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan Rama. Aku melihat dia dengan Fathiya, melindunginya dengan perhatian yang sebelumnya hanya ia berikan padaku.

Ketika kami sampai di perahu, aku memilih duduk paling ujung, menjauh dari keramaian. Aku hanya memandang ke arah air yang mulai tenang, mencoba menenangkan gejolak di dalam dadaku.

Rama duduk di ujung lain perahu bersama Fathiya. Tatapannya tidak lagi tertuju padaku. Namun, aku masih bisa merasakan sisa hangat genggamannya yang kini hanya menjadi kenangan singkat di tanganku.

Selama kami berada di ruangan yang sama pun, Rama memilih bersikap untuk acuh tak acuh padaku. Bahkan ketika aku merasa tidak enak badan, dia lebih memilih menghindariku. Padahal aku masih mengingat janjinya, bahwa ia akan merawatku ketika aku sakit. Namun kenyataannya, Ketika semua orang khawatir tentang keadaanku, Rama malah memilih tidur lebih awal. Aku hanya berharap, setidaknya, dia datang menjengukku.

"Dia sudah lupa dengan janjinya sendiri," gumamku.

***

Keesokan harinya, teman-temanku sibuk mempersiapkan diri untuk melihat sunrise. Teriakan dan canda mereka terdengar dari luar kamar. Namun, aku hanya menarik selimut lebih erat, enggan bergabung. Aku mendengar suara Angga memanggil namaku.

“Na, kamu beneran nggak akan ikut?” tanya Angga dengan nada cemas dari luar kamar.

“Nirna nggak akan ikut. Kayaknya dia masih nggak enak badan,” jawab Nesi mewakiliku.

“Iya, biarin aja dia istirahat,” tambah Shinta.

“Dia bisa sakit juga karena seseorang kali,” gumam Angga, dengan sengaja melirik ke arah Rama dan Fathiya yang sedang asyik mengobrol.

Rama sempat menoleh sekilas ke arah Angga, namun langsung mengabaikannya. Tatapannya kembali fokus ke Fathiya yang tertawa kecil. Aku mendengar suara mobil mulai bergerak, membawa teman-temanku pergi meninggalkan penginapan. Suasana sepi menyelimuti tempat ini, membuat rasa sesak dalam dadaku semakin nyata.

Aku keluar kamar, memastikan bahwa penginapan benar-benar kosong. Di meja ruang tamu, aku menemukan kunci dengan pesan singkat: "Kalau mau keluar, pakai kunci ini. Pintu depan sudah dikunci." Aku memegang kunci itu dengan ragu. Mungkin aku memang harus keluar. Suara ombak yang berderu dari kejauhan menggoda langkahku. “Apa aku jalan-jalan aja ya?” gumamku pada diri sendiri.

Di pantai, Fathiya terlihat sangat bahagia. Ia menaiki sepeda bersama Rama dan Shinta, tertawa tanpa beban. Mereka seperti menikmati momen tanpa perlu memikirkan siapa yang tertinggal di belakang. Angga, dari kejauhan, masih terus memandangi layar ponselnya, mencoba menghubungiku yang tak kunjung merespons.

“Mendingan lo duduk, Ga,” saran Fandy sambil menepuk pundaknya.

“Nirna kok nggak balas chat gue ya?” tanya Angga gelisah.

“Sebenernya lo sama Rama ngapain sih?” Fandy memulai percakapan dengan nada penasaran.

“Ngapain apanya?”

“Kemarin selama body rafting, kalian berdua sibuk banget jagain Nirna. Padahal cewek di kelompok kita nggak cuma dia, lho.”

“Emang salah?” Angga menatap Fandy dengan nada bertahan.

“Yah, enggak, tapi lo sama Rama tuh kelihatan bedanya. Tapi ya terserah. Kalau mau, lo bisa berantem tuh sama Rama buat rebutan Nirna hari ini.” Fandy menyenggol bahu Angga sambil terkekeh.

Angga tidak menanggapi, hanya terdiam sambil berpikir. Ia akhirnya bangkit dan berjalan ke arah Rama yang masih bersama Fathiya.

“Ram, Nirna nggak bisa dihubungi. Lo nggak khawatir?” tanya Angga serius.

Rama menatap Angga sebentar, kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke Fathiya.

“Kalau gue khawatir, kenapa? Emang ada yang berubah?” jawabnya dengan nada datar.

“Ram, serius? Nirna sendirian di penginapan, lo nggak kepikiran?” Angga bertanya lagi, lebih tegas kali ini.

Rama mendengus kesal, memilih untuk mengabaikan pertanyaan Angga.

“Kalau lo mau balik duluan, silakan aja. Gue nggak ikutan,” jawab Rama sambil berbalik melanjutkan obrolannya dengan Fathiya.

Angga menatap Rama dengan kecewa. Ia merasa salah menilai Rama selama ini. Dengan langkah berat, Angga akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan.

“Gue balik duluan, Jon,” ucap Angga sambil mengambil kunci mobil dari Jonathan.

Jonathan menatap Angga bingung. “Kenapa buru-buru? Kita belum lama di sini, Ga.”

“Nirna sendirian di penginapan. Dia nggak angkat telepon gue dari tadi. Gue khawatir,” jawab Angga tegas sambil melangkah cepat ke arah mobil.

“Lo berlebihan, Ga. Nirna nggak apa-apa kali. Dia cuma istirahat, kan?” balas Jonathan, mencoba menenangkan Angga.

Namun, Angga menghentikan langkahnya dan berbalik, menatap Jonathan dengan raut wajah serius.

“Jon, Nirna itu tipe orang yang nggak pernah cerita kalau dia lagi kesusahan. Gue cuma takut ada sesuatu yang terjadi, sementara kita semua sibuk di sini.”

Jonathan terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kalau gitu, gue ikut.”

Jonathan menyetir perlahan menuju penginapan, sedangkan Angga duduk dengan resah, terus memandang keluar jendela.

“Lo yakin Nirna nggak ninggalin pesan ke lo?” tanya Jonathan.

“Dia selalu cerita ke gue kalau mau ke mana-mana. Gue nggak ngerti kenapa sekarang dia nggak bilang apa-apa,” balas Angga cepat.

Mereka berhenti di depan penginapan. Jonathan keluar lebih dulu, sementara Angga langsung berlari masuk. Panggilan nama Nirna menggema di lorong rumah, namun tidak ada jawaban.

“HP-nya ada di kamar,” gumam Angga, frustrasi, sambil mengangkat HP Nirna yang tergeletak di atas meja. “Dia ninggalin ini, Jon.”

Jonathan mendekat, menatap HP itu dengan ekspresi bingung. “Kalau gitu, kita cari di sekitar sini. Dia nggak mungkin pergi jauh.”

Angga mengangguk. Mereka berpencar, masing-masing menyusuri setiap sudut penginapan dan bertanya kepada warga setempat.

Sementara itu, Rama mengalihkan pandangannya ke laut, tetapi pikirannya terusik oleh bayangan Nirna. Sejak body rafting kemarin, ia tahu dirinya bersalah—tidak hanya karena cara ia memperlakukan Nirna, tetapi juga karena mengabaikan Angga yang berusaha membantu.

"Lo nggak nyaman banget, ya, Ram?" suara Fandy menyadarkan lamunannya.

Rama mendesah pelan. "Gue cuma... bingung sama diri gue sendiri."

"Kalau lo suka sama dia, kenapa nggak ngomong aja?" Fandy menatapnya serius.

"Masalahnya, gue nggak yakin sama perasaan gue sendiri," jawab Rama sambil bangkit berdiri.

Galih menepuk pundaknya. "Lo nggak akan tahu sampai lo coba. Tapi kalau cuma diem, lo bakal kehilangan segalanya, Ram."

Tanpa menjawab, Rama melangkah cepat menuju mobil. Perjalanan kembali ke penginapan dipenuhi kebisuan. Namun, di kepalanya, pikiran tentang Nirna dan keputusannya semakin jelas.

Rama hampir sampai di area penginapan ketika dia melihat Jonathan berlari sendirian. Rama membunyikan klakson dan membuka kaca jendela.

“Jon, lo lagi ngapain?” tanya Rama.

“Nirna nggak ada. Gue sama Angga nyariin dia dari tadi tapi belum ketemu,” jawab Jonathan, napasnya tersengal-sengal.

Rama segera melaju cepat menuju penginapan. Begitu tiba, dia langsung masuk ke rumah, memeriksa setiap ruangan.

“Nirna!” panggilnya keras, tetapi tidak ada jawaban.

Jonathan muncul di belakangnya. “Dia nggak ada, Ram.”

Rama meremas rambutnya dengan kesal. “Lo yakin dia nggak bilang apa-apa? Dia nggak mungkin hilang gitu aja!”

“Gue udah bilang, kalau gue tahu, gue nggak akan lari ke sana-ke mari buat nyari dia,” jawab Jonathan ketus.

Angga berlari menyusuri jalan setapak menuju pantai. Napasnya memburu, kemejanya sudah basah oleh keringat meski angin laut berhembus dingin, langkahnya tak terhenti untuk mencari Nirna. sesampainya di tepi pantai, matanya segera menangkap sosok yang ia cari—Nirna duduk di atas pasir , memandangi lautan yang tenang, seolah dunia di sekitarnya tak ada.

“Nirna!” panggil Angga keras, suaranya parau, penuh campuran rasa lega dan marah.

Aku menoleh perlahan, mataku terkejut melihat Angga berdiri tak jauh dariku. “Angga? Kenapa kamu di sini?” tanyaku bingung, tetapi nada suaraku bergetar.

Tanpa menjawab, Angga berjalan cepat mendekatiku. Angga langsung memelukku dengan erat, seolah takut aku akan menghilang lagi. “Kamu kemana aja? Aku pikir ada sesuatu yang terjadi sama kamu!” suaranya bergetar, berat oleh emosi yang selama ini ia tekan.

Aku terpaku, tidak menyangka respons Angga akan seperti ini. Perlahan, aku membalas pelukan itu dengan tepukan kecil di punggung Angga, berusaha menenangkannya. “Aku cuma butuh waktu sendiri, Ga. Maaf kalau aku bikin kamu khawatir,” bisikku pelan.

Angga melepaskan pelukannya, kedua tangannya masih di bahuku. Matanya menatap tajam, penuh amarah sekaligus kelegaan. “Kamu nggak bisa pergi gitu aja tanpa bilang ke siapa pun! Kamu bahkan ninggalin HP di kamar. Aku pikir...” Ia berhenti, menarik napas dalam-dalam. “Aku pikir aku kehilangan kamu.”

Aku menunduk, merasa bersalah. “Aku nggak sengaja. Aku cuma mau duduk sebentar di sini. Maaf banget, Ga. Aku nggak sadar kepergianku bikin kamu khawatir.”

Angga menggeleng, memaksakan senyum kecil di wajahnya. “Lain kali, kalau kamu butuh waktu sendiri, bilang. Aku nggak akan ganggu. Aku cuma... nggak mau ada apa-apa terjadi sama kamu.”

Aku menatap Angga, melihat ketulusan dan kekhawatiran dalam sorot matanya. Ia ingin bicara, tetapi kata-katanya tertahan karena rasa khawatir. Aku memegang erat tangannya, mengelusnya, dan tersenyum tipis padanya, menandakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sedangkan, tak jauh dari tempatku dan Angga berada, Rama duduk diam di mobil yang terparkir di tepi jalan kecil. Dari dalam mobil, ia menyaksikan momen ketika Angga memelukku. Tangannya mencengkeram setir dengan kuat, tetapi wajahnya tetap tenang, meskipun matanya berkata lain.

Jonathan yang baru tiba setelah berlari menyusul, mengetuk kaca mobil. “Ram, lo udah nemuin mereka?” tanyanya, terengah-engah.

Rama membuka jendela, masih menatap ke arah pantai. “Udah.”

“Kalau gitu, ayo kita ke sana,” ajak Jonathan sambil mengatur napas.

Rama menghela napas panjang, akhirnya menoleh ke Jonathan. “Lo aja. Dia udah sama Angga. Gue nggak perlu ada di sana.”

Jonathan mengerutkan dahi, bingung. “Lo serius? Lo bukannya khawatir sama Nirna juga, Ram.”

Rama menarik napas dalam, berusaha menenangkan emosinya. “Jon, yang dia butuhin sekarang bukan gue. Tapi... Angga.”

Jonathan menatap temannya, membaca kekecewaan di wajah Rama meskipun pria itu berusaha menyembunyikannya. “Ram, lo yakin?”

“Yakin,” jawab Rama pelan yang kemudian pergi meninggalkan Jonathan.

Jonathan hanya bisa terdiam mendengar jawaban itu. Sebelum ia sempat membujuk lebih jauh, Rama memutar arah mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan Jonathan yang hanya bisa menatap kepergian temannya dengan bingung.

***

Sesampainya di penginapan, Aku melihat Rama yang duduk di teras rumah, tatapannya kosong mengarah ke jalan setapak depan. Antusias, aku segera menghampirinya.

“Rama, kamu udah pulang?” tanyaku dengan senyum kecil, mataku memancarkan rasa lega.

Rama menoleh perlahan, tetapi ekspresinya tidak berubah. “Lo ngapain di sini?” tanyanya dingin, suaranya terdengar jauh berbeda dari biasanya.

Aku tertegun mendengar nada suaranya. “Aku cuma penasaran, kenapa kamu udah balik? Aku kira kamu masih sama teman-teman di pantai.”

“Urusannya sama lo apa? Gue di sini atau nggak, ngaruh buat lo?” Rama balas dengan nada tinggi, membuatku mundur setengah langkah.

“Aku... Aku minta maaf kalau aku lancang nanya,” jawabku pelan, mencoba menahan air mataku. Aku memutar tubuh, menjauhi Rama yang jelas-jelas menolak kehadiranku.

Rama hanya diam, menggenggam lututnya erat-erat, seolah sedang melawan sesuatu dalam dirinya.

Angga yang berdiri di dekat pintu, menyaksikan semuanya dengan raut wajah kesal. “Kenapa sih, Ram? Lo nggak perlu segitunya.”

Rama mendongak, tatapannya menusuk. “Kenapa? Ada masalah sama ucapan gue barusan?” tanyanya, berdiri dari kursinya, bersiap meninggalkan tempat itu.

“Ram,” panggil Angga pelan, tetapi tegas. “Jangan pernah nyesel sama apa yang baru aja lo lakukan.”

Langkah Rama terhenti. Ucapan Angga barusan menggema dalam pikirannya. Namun, ia hanya mendengus kesal dan melangkah masuk ke dalam penginapan, meninggalkanku dan Angga dalam keheningan.

Setelah insiden itu, aku merasakan perubahan besar dalam berinteraksi dengan Rama. Aku merasa Rama dengan sengaja menghindariku. Setiap kali aku mencoba mendekat, Rama akan mencari cara untuk menjauh.

Meskipun begitu, aku tidak membalas sikap dingin itu. Sebaliknya, aku terus berusaha menunjukkan bahwa aku tidak ada niat buruk. Ketika ada kegiatan bersama, aku mencoba berinteraksi seperti biasa, walaupun Rama selalu berusaha menjaga jarak dariku.

Dari kejauhan, aku sering memperhatikan Rama yang tampak lebih sering tersenyum atau tertawa bersama yang lain, tetapi tidak kepadaku. Ada rasa nyeri di hatiku, tetapi aku memilih menyimpannya sendiri.

Saat menjelang berakhirnya KKN, kami memutuskan untuk mengadakan acara ngaliwet bersama warga kampung. Tawa riuh dan aroma masakan memenuhi halaman. Aku sibuk membantu warga memotong sayuran, sesekali tertawa kecil mendengar guyonan dari anak-anak di sekitar.

Ketika akhirnya semua duduk bersama menikmati nasi liwet, aku dengan bebas memandangi Rama yang duduk di ujung lain dari tikar panjang. Raut wajah Rama tampak lebih santai, senyumnya sesekali merekah saat berbicara dengan Galih dan Fandy. Setelah makan aku memilih untuk duduk santai di teras rumah sambil melihat langit.

 “Ga terasa besok kita semua pulang ya, Na,” ucap Angga tiba-tiba duduk disamping dan ikut menatap ke langit yang perlahan memudar warnanya menjadi keemasan.

Aku mengangguk pelan, menahan perasaan aneh yang mengganjal di hati. “Iya, KKN ternyata menyenangkan dan membuat aku semakin mengerti bahwa hidup bersama dengan kepala yang berbeda-beda itu tidak mudah.”

Angga tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap serius. “Kamu juga harus belajar lebih terbuka sama perasaan kamu, jangan sampai perasaan kamu kalah sama keadaan.”

Aku mengerutkan dahi, menatapnya dengan kebingungan. “Maksudnya?”

Angga mengangkat bahu santai, tetapi matanya seakan ingin mengatakan lebih. “Kadang, perasaan itu harus diungkapkan, Na. Kalau enggak, kita malah kehilangan kesempatan. Sama seperti perasaan kamu ke Rama sekarang.”

Jantungku berdegup lebih cepat. “Angga, sejak kapan kamu...” ucapanku terhenti, wajahku memerah.

Angga tertawa kecil, tapi ada kehangatan di dalamnya. “Tatapan kamu berbeda setiap melihat Rama.”

Aku menunduk, mencoba mencari jawaban di hatiku sendiri. “Aku nggak tahu apa yang aku rasakan. Aku takut perasaan ini hanya ilusi sesaat karena aku sering bersamanya selama sebulan ini. Aku ingin memastikan perasaanku sendiri, apalagi sepertinya Rama tidak menyukaiku sama sekali.”

Angga tidak menjawab, hanya tersenyum seperti tahu sesuatu yang tidak aku ketahui. Dari kejauhan, aku melihat Rama mengobrol dengan warga sambil memperhatikan kami dengan tatapan yang sulit aku artikan. Hatiku kembali berdebar, tapi aku memilih berpaling sebelum perasaan itu membuatku semakin kacau.

“Ayo, di foto semuanya!” teriak Nesi memecah momen itu, mengundang kami untuk bergabung.

Kami semua berdiri dalam formasi yang diatur dengan santai. Aku diapit oleh Angga di sebelah kiriku dan Rama di sebelah kananku. Saat kamera menghitung mundur, aku bisa merasakan kehangatan kecil dari keberadaan mereka.

Cheese!” seru kami bersamaan.

Klik! Suara kamera menangkap senyuman kami. Aku menatap layar kamera, memperhatikan hasil fotonya. Di tengah-tengah itu, aku berdiri di antara dua orang yang memberikan warna berbeda dalam hidupku selama KKN ini.

Malamnya, aku kembali ke kamar dan duduk di kasur sambil menatap foto itu di layar HP-ku. Ada perasaan campur aduk yang sulit aku ungkapkan dengan kata-kata. Mataku mulai terasa lelah, rasa kantuk mulai mengantarkanku pada mimpi yang mulai usai, seperti perasaanku, berakhir dengan ketidaktahuan.

********

Tiga bulan telah berlalu, aku menatap Foto KKN yang terpasang di kamar kosanku. Foto itu menangkap senyuman lebar semua orang, kenangan hangat dari kegiatan liwetan terakhir kami di desa. Aku berdiri di tengah, diapit oleh Angga dan Rama. Senyumku terulas tipis, mengenang betapa rumit dan indahnya kebersamaan kami.

Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk. “Aku udah di depan.”

Pesan dari Angga membuatku tersenyum. Ia selalu tepat waktu, seperti biasanya.

Ketika aku membuka pintu, Angga sudah berdiri di samping mobilnya. “Ayo, kita nggak boleh terlambat. Temen-temen udah kumpul semua,” ucapnya dengan senyum khasnya.

“Udah lancar bawa mobilnya?” godaku sambil masuk ke kursi depan.

“Lancar dong. Jangan khawatir, princess,” jawabnya percaya diri, membuatku tertawa kecil.

Selama perjalanan, kami berbicara tentang hal-hal ringan. Angga sesekali menyodorkan cokelat dari dashboard mobilnya. “Mau nggak? Lumayan buat nambah energi.”

Aku mengambilnya sambil menggeleng kecil. “Cokelat? Jadi ingat waktu kita ke supermarket dulu.”

Beberapa menit kemudian, kami tiba di sebuah restoran kecil dengan taman cantik di depannya. Lampu-lampu kecil tergantung di sepanjang pepohonan, menciptakan suasana hangat. Dari jauh aku bisa melihat beberapa teman KKN sudah berkumpul. Nesi melambaikan tangan dengan antusias begitu melihat kami tiba.

“Nirna!” teriak Shinta, menyambutku dengan pelukan hangat. “Akhirnya kita kumpul lagi!”

Di tengah suasana ramai, mataku menangkap Rama yang berdiri di dekat meja, sedang berbicara dengan Fandy. Tatapannya sempat bertemu denganku, dan ia tersenyum tipis, membuatku merasa lega. Ia memilih untuk tetap hadir, meskipun aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan ketika bertemu denganku.

Ketika semua orang sudah duduk, Angga memanggil pelayan dan mulai memesan makanan untuk kami. Suasana berubah menjadi hangat dengan canda tawa dan cerita-cerita lama. Rama, yang awalnya terlihat tenang, perlahan mulai larut dalam obrolan, terutama ketika Fathiya melontarkan lelucon yang membuat semua orang tertawa.

Saat momen itu terjadi, aku menyadari sesuatu. Aku tersenyum kecil, menyadari bahwa kami semua—aku, Rama, Angga, bahkan Fathiya—telah tumbuh lebih dewasa.

Ketika makanan disajikan, aku melirik Angga yang sibuk memastikan semua orang mendapatkan makanan. Ia mengangguk kecil ke arahku, seolah ingin memastikan aku baik-baik saja. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Ketika akhirnya semua selesai, aku berdiri di tengah kelompok itu, melihat wajah-wajah yang telah mengisi hari-hariku selama sebulan penuh di desa. Aku tahu bahwa yang abadi bukanlah kisah cintaku dengan Rama, atau kedekatanku dengan Angga. Yang abadi adalah persahabatan ini, momen-momen kecil yang tak akan pernah tergantikan.

“Untukku yang berusia 20 tahun,” ucapku dalam hati, "cinta datang dan pergi kapan saja. Aku harap di usiamu itu, kau mengerti bahwa cinta tak selalu harus dimiliki, dan tak semua luka harus selalu diungkapkan."

Aku tersenyum sambil melihat mereka semua. Tidak ada akhir yang lebih baik dari ini—kami semua bersama, saling mendukung, dan menciptakan kenangan baru.

_END_

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Memoar Sebuah Rasa
Indira Raina
Novel
Bronze
Sebuah Pengorbanan Sederhana
Yalie Airy
Novel
Bronze
I'll Catch You, Gavarles
fikaliv
Novel
(Not) An Ugly Duckling
Niken Darcy
Novel
Bronze
Sepucuk surat di bawah meja
Dhea Meliani
Novel
Gold
Cafe Stories
Mizan Publishing
Flash
Bronze
Teduh Terang
B12
Novel
Bronze
Rei Mars
Hafitta Illa
Novel
Dunia Lyra
Gatau Males
Novel
Bronze
Second Lead
Siti Nur Laela K
Novel
Bronze
Perawan Tiga Kali
Soh
Flash
Hok Lo Pan untuk Tjen
Denik a nuramaliya
Novel
Second Chance
Amellia San
Novel
Prick Of Heart
Elia Gracecia
Novel
Gold
Legitimate Dating
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Memoar Sebuah Rasa
Indira Raina
Novel
About You, About Your Hope
Indira Raina
Novel
12 Tahun
Indira Raina