Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu, aku duduk termenung di depan laptop, memandangi daftar pembagian kelompok KKN di kampus. Dua temanku tampak berseri-seri karena mereka bisa pergi bersama, sementara aku hanya bisa duduk sendiri, merasa tertinggal. Aku menghela napas panjang. Ada rasa kecewa dan takut yang menyelimutiku, tapi di sisi lain, aku merasa lega karena setidaknya mereka bisa satu kelompok.
“Maaf ya, Na, kita bertiga nggak bisa sekelompok, pas mau masukin nama kamu, kuotanya udah penuh, jadi aku daftarin ke Ciamis,” ucap Lani dengan nada sedih.
“Iya, nggak apa-apa kok, aku bisa sendirian juga,” balasku sambil meyakinkan diri.
“Kamu pasti bisa. Diantara kita bertiga, kan kamu yang paling berani dan udah biasa melakukan semuanya sendiri,” tambah Nura menyemangatiku.
“iya, aku bisa kok.” Ujarku, meski hatiku sedikit ragu.
Kami bertiga sudah berteman selama tiga tahun. Selama itu, aku dan mereka sering melakukan banyak hal bersama. Bahkan aku dan Nura memutuskan untuk kost di tempat yang sama agar bisa melakukan kegiatan bersama. Tetapi, ada kalanya aku tidak bisa mengimbangi rasa semangat mereka berdua.
Di kampus, mereka berdua lebih mudah berbaur dengan teman sekelas. Sedangkan aku? Aku hanya menjadi pengikut, sesekali tersenyum tipis jika ada yang menyapaku. Aku tidak nyaman dengan keramaian, terlebih jika ada banyak kakak tingkat di sekitarku. Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang adalah menjauh dari mereka semua.
Setiap kali merasa lelah atau canggung, aku selalu mencari alasan untuk pulang duluan. Di kamar kos, aku membuka laptop, menikmati makanan, dan menonton film favoritku. Itu adalah zona nyamanku.
Namun, ada saat-saat ketika aku bahkan tidak membuka pintu kamar untuk Nura atau teman-temanku yang lain. Bukan karena aku membenci mereka, tetapi karena aku membutuhkan ruang untuk diriku sendiri—jauh dari semua yang terasa menekan.
Ketika hari pemberangkatan tiba, aku tidak bisa menemukan Lani maupun Nura karena bus kami berbeda. Hanya ada kakak seniorku yang bisa mengantarku.
“Na, hati-hati di jalan, jangan lupa makan yang teratur dan selalu semangat,” ucap Kak Kevan.
“Makasih kak karena udah nganterin ya,” balasku sambil menatapnya.
“Aku bantu masukin kopernya ke bagasi ya,” tambah kak Kevan.
Kak Kevan, salah satu seniorku di kampus yang sering bersamaku. Aku mengenalnya ketika aku menjadi panitia pemilihan ketua BEM di fakultasku. Selama aku mengenalnya, dia tidak pernah mengabaikanku, dia selalu menyemangatiku, baik dalam hal akademik maupun non-akademik. Dia tidak hanya menjadi sosok senior yang bisa aku andalkan, tapi dia menjadi sosok seorang kakak yang bisa menjagaku, mendengarkan keluhanku, dan menghiburku ketika aku sedang sedih.
Dari jendela bus, aku melambaikan tanganku pada kak Kevan, aku tetap tersenyum tapi dalam hatiku, aku mengkhawatirkan nasibku selama KKN, apakah aku mampu menjalaninya? Aku menatap setiap wajah asing yang berada dalam bus, aku melihat banyak kesibukan di dalam bus, ada yang mendengarkan lagu, selama perjalanan tak sedikit mahasiswa yang banyak termenung menatap pemandangan di luar jendela.
Sesampainya di tempat KKN, aku menghapal setiap wajah yang kutemui, aku pikir, aku bisa berteman dengan mereka jika aku menghapal wajah dan nama mereka. Tetapi, ada yang mencuri perhatianku ketika aku sedang sibuk menghapal nama, seseorang yang mem...