Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BARU kali ini aku merindukan mimpiku, bahkan ketika baru dua kerjapan mata sesaat setelah terbangun dari tidur. Mimpi itu benar-benar terasa sangat nyata. Warna-warni dunianya, bentuk rupa di dalamnya, suara-suara yang terdengar, hingga aroma-aroma yang menyeruak dari setiap sudut, tertangkap begitu sahih di seluruh indraku. Tapi dari semua itu, yang paling melekat erat dalam pikiranku adalah tokoh utama dalam mimpi itu: Barra.
Sosoknya memenuhi syarat rupawan dalam standarku. Wajah khas cowok Indonesia. Kulit sawo matang, alis kurang tebal, hidung sedikit mancung, kumis cukup tipis, dengan tahi lalat emboss di bawah sudut bibir kiri. Hm, mirip bintang film dalam negeri idola mamaku. Namun yang paling membuatku terpesona adalah tatapan mata elangnya. Membuat tubuhku tidak bisa—dan tidak mau—bergerak menjauh darinya. Memicu munculnya perasaan kuat di dalam diriku untuk rela menjadi ayam incarannya.
Kesan itulah yang aku rasakan sejak pertama kali mengenalnya di dalam mimpi itu. Barra sungguh telah memerangkapku. Ternyata jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada, dan itu kurasakan. Meskipun hanya di dalam mimpi.
Memalukan? Tidak bagiku. Kenapa mesti malu bermimpi, meski aku merasa mimpiku sangatlah nyata. Senyata aku bisa mencium aroma melati dari parfum yang dipakainya, merasakan tekstur kulit dan embusan napasnya, juga kelembutan bibirnya. Ya, aku sudah sejauh itu, dan—kalau boleh jujur—ingin lebih jauh lagi. Toh hanya di dalam mimpi.
Barra tidak banyak berkata-kata, termasuk ketika kami berjalan bergandengan tangan melintasi savana, dipayungi awan kelabu sepanjang perjalanan. Dengan diamnya itu Barra mampu menarikku ke dalam pusaran cintanya. Menjebak, tapi memabukkan. Menjerat, tapi menyenangkan.
"Kau harus tahu, aku tidak bisa menjanjikan intan permata untukmu,” kata Barra menjawab pernyataan cintaku setelah akhirnya aku mengajaknya duduk di bawah satu-satunya pohon di tengah savana. “Tapi aku bisa menjanjikanmu surga.”
"Memang setulus itu cintaku padamu, Barra. Aku tidak butuh apa pun selain cintamu. Kaulah surga bagiku,” aku berucap. Barra tersenyum. Manis sekali. Aku membayangkan, ketika ia kelak menjadi suamiku, aku berjanji tidak akan membiarkannya tersenyum kepada cewek mana pun kecuali aku.
Meski baru pertama kali bertemu, kami merasa sudah lama saling mengenal. Mungkin ini yang dinamakan soulmate. Bisa jadi kami pernah menjadi sepasang kekasih di kehidupan sebelumnya. Sudah sering aku mendengar kisah-kisah seperti itu—jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kini aku benar-benar mengalaminya sendiri. Maksudku, di dalam dunia mimpi. Tapi, bagiku sama saja, karena saat ini aku merasakan tidak ada bedanya antara dunia nyata dan dunia mimpi. Inikah yang disebut lucid dream?
Lalu kami pun bercumbu tanpa ragu. Semesta pun seakan merestui. Awan menggumpal makin tebal, menutupi matahari yang mencoba mengintip, membuat sinarnya meredup dan menciptakan suasana syahdu. Angin bertiup menggoyangkan daun dan buah yang berwarna-warni. Mereka seakan sedang menari merayakan kisah cinta kami. Dua ekor burung--dugaanku jantan dan betina--tiba-tiba datang di rerimbunan daun di atas kami dan bersahut-sahutan dalam kicauan. Alam tiba-tiba membentuk sebuah orkestra yang selaras. Begitulah energi cinta yang tulus jika sedang bekerja--menarik keindahan
Mimpi itu terasa sangat lama, dan aku menikmatinya. Sayangnya, percumbuan hanya berlangsung singkat. Barra tiba-tiba menarik ciumannya. Mukanya berubah murung.
“Ada apa, Barra? Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyaku.
“Kau yakin dengan cinta kita?” ia balas bertanya.
“Tidak ragu lagi,” jawabku mantap. “Aku berjanji akan sehidup semati menjaganya. Dan kita akan bersama-sama menciptakan surga kita.”
Barra termenung. Sebentar kemudian ia kembali menarik tubuhku dan memelukku, lalu membisikkan sebuah kalimat, “Aku perlu bukti ketulusan cintamu. Kutunggu kembali kau di sini dengan membawa bukti itu.”
Dan tiba-tiba Barra perlahan menghilang di dalam pelukanku. Aku tersentak dan mimpiku pun terbuyar. Apa-apaan ini? Aku sedang menikmati indahnya cinta dengan cowok yang aku idam-idamkan, dan tiba-tiba saja dia merusak keindahan ini dengan memintaku menunjukkan bukti? Apakah sikapku tadi tidak cukup menjadi bukti cintaku? Apakah aku perlu membelah dada dan membawakan jantungku kepadanya?
Aku memanggil nama Barra. Berulang kali. Tapi sudah bisa ditebak, tidak akan ada jawaban.
“Barra!” aku mencoba lagi, kali ini lebih kencang berteriak. “Katakan bukti apa yang harus aku tunjukkan kepadamu!”
Dan tiba-tiba dunia menjadi hening, seiring terdengar kelepak sayap sepasang burung di atas pohon terbang meninggalkan pohon. Angin tak lagi bertiup. Langit kembali membuka tirai awannya dan memperlihatkan matahari yang melotot ke arahku. Aku melindungi tubuhku dengan payungku.
Katanya, dalam lucid dream kita bisa mengendalikan mimpi kita. Kenapa ini tidak terjadi padaku? Ataukah berarti ini bukan dunia mimpiku, tapi dunia mimpi Barra?
Tiba-tiba duniaku berangsur menghilang dan berubah menjadi gelap. Kesadaranku berubah, dan samar-samar terdengar suara isak tangis yang makin lama makin menguat di telingaku. Rupanya aku terbangun dari tidurku. Tapi jelas ini bukan kamarku. Dan siapa yang menangis di luar sana?
Aku berjalan ke pintu kamar dan perlahan membukanya. Sebuah pemandangan nestapa tersaji di hadapanku. Seorang ibu tersedu di depan sesosok tubuh yang tergolek tertutup kain batik, kecuali bagian wajah. Seorang bapak memegangi bahu si ibu sambil menenangkannya. Di belakang mereka, sejumlah orang duduk bersila sambil mengucap doa-doa.
Tidak ada yang menyadari kedatanganku, apalagi menyadari perasaanku yang tiba-tiba sangat tidak nyaman. Aku mendekati sosok itu dan langsung mendelik begitu melihat wajahnya.
Oh Tuhan, Barra!
Wajahnya tetap rupawan, hanya terlihat pucat pasi. Tapi aku merasa ia sedang tersenyum padaku, seakan menyambut kehadiranku.
Belum hilang keterkejutanku, datang seorang perempuan dan langsung menyalami ibu dan bapak yang berduka—yang kini kuyakini mereka adalah orang tua Barra. Seketika aku memanggil perempuan itu, “Mama!” Tapi ia tak acuh, seolah tidak melihatku. Atau ia—begitu juga orang lain di situ—memang tidak bisa melihatku.
Mama mendekat ke jasad Barra dan berdoa. Aku melihat sekeliling, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Beberapa saat kemudian Mama mendatangi ibu Barra. Aku menyusulnya.
"Bagaimana kabar Jamila, Jeng?” tanya ibu Barra menyebut namaku.
Mama menjawab lirih, “Masih koma di rumah sakit. Kini saya hanya bisa berharap keajaiban dari Tuhan.”
“Namanya juga kecelakaan, Jeng. Tidak ada yang menduga,” ucap ibu Barra. “Mari kita ikhlaskan semuanya, termasuk persiapan pernikahan mereka yang sudah tinggal menghitung hari. Apa pun yang terjadi pada anak-anak kita, itu sudah yang terbaik untuk kita.”
Aku terhenyak. Jadi …?
"Jadi ... aku tunggu bukti ketulusan cintamu, Jamila,” kata Barra yang mendadak muncul mengagetkanku, lalu kembali menghilang. Meninggalkan diriku yang tiba-tiba merasa kesepian. Aku kini harus menghadapi sebuah dilema: harus bertahan dan membahagiakan Mama, atau membawa bukti cintaku kepada Barra dan menjemput bahagia kami berdua.
Hm … baiklah.
***