Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Memeluk Bayangmu
1
Suka
3,698
Dibaca

Dila suka piano dan merelakan uang untuk mengadakannya di rumah kami. Namun, aku tidak merestui tindakannya. Uang yang dia gunakan, bukankah bisa dipakai untuk keperluan lain yang lebih berguna? Misalnya, popok Dhea, putri kecil kami yang sedang aktif-aktifnya. Aku memarahi Dila yang duduk di depan piano putih mengkilap itu. 

"Lain kali, jangan menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal tidak penting seperti ini. Piano bukan kebutuhan pokok kita. Sebagai istri, kau harus tahu menempatkan uang untuk hal-hal yang prioritas. Kau ingat?" Aku menasihatinya setelah mengoceh lebih dari setengah jam. 

Dila menunduk. Tidak menjawab dan hanya mengangguk sebagai jawaban. 

Aku mendengkus kesal ketika memilih meninggalkan wanita yang kunikahi tiga tahun lalu. Dila, dia memang selalu tahu cara membuatku naik darah sampai rasanya rambut mau berdiri tegak. 

Masalah piano bukan yang pertama. Sebelum-sebelumnya, Dila berlibur ke Bali bersama teman-temannya. Dia tidak membawa Dhea, anak kami, dan menitipkannya kepada ibu mertuaku. Aku sudah melarangnya pergi. Namun, pada akhirnya dia sampai juga di Bali. Bukankah itu sama dengan membangkang kepada suami? 

Aku memarahinya habis-habisan. Tambah murka lagi ketika dia menjawab: " Aku sangat ingin ke Bali. Sekalian, ingin menenangkan pikiran dengan keindahan Bali. Dulu, aku sering ke sana. Aku merindukan Bali." 

Aku pikir Dila tidak pernah mengerti posisinya. Dulu, ya, dulu. Sekarang dia sudah menikah dan ada aku sebagai suami juga Dhea, putrinya. Bagaimana bisa dia meninggalkan anak dengan alasan menenangkan pikiran? Tidak masuk akal. 

Itu yang lama, sekarang piano. Entah kedepannya apa lagi yang akan dia inginkan. Aku sudah berada di ambang batas kesabaran menghadapi Dila yang banyak maunya. Belajar menyanyi, menari, instrumen, semua dia mau. Akan tetapi, dia tidak mengerti bahwa aku sama sekali tidak merestui kesukaannya itu karena dia bukan lagi seorang gadis. Dia seorang istri dan ibu yang seharusnya mengurus rumah tangga. 

Memang, selalu ada makanan di meja setiap kali aku tiba dari bekerja. Dhea juga dirawat dengan baik. Namun, aku ingin dia menyambutku, mengajak Dhea bermain di halaman, bukan ke sana-kemari mengikuti les musik dan lain-lain. Dia benar-benar membuatku marah. 

Benar kataku; setelah piano, Dila membuat darahku mendidih dengan keinginannya melanjutkan pendidikan. 

"Dila! Urus saja rumah kita, aku, dan Dhea. Apa kau tidak pernah merasa cukup dengan tugasmu?" Aku membentaknya kali ini setelah beberapa bulan lalu dia membuatku marah pasal piano. 

"Aku tidak ingin melepas cita-citaku, Mas." Dila menyahutiku dalam tunduk yang membuat suaranya teredam. 

"Cita-citamu sudah terwujud. Sesuatu yang paling mulia bagi seorang perempuan adalah menjadi istri, ibu rumah tangga, dan mengurus keluarga. Itu! Bukan gelarmu itu yang dibutuhkan keluarga kita, pun aku," bentakku.

Dila menunduk, tetapi kemudian melesat meninggalkan rumah. 

Ah, terserah! Aku muak! 

Dhea menangis karena pertengkaran kami. Aku ambil anak itu, lalu menenangkannya di kamar. Aku biarkan Dila pergi. Bukankah dia memang maunya sendiri dituriti? Sejak kapan seorang Dila mendengarkan aku, suaminya? Tidak pernah. Biarkan dia! Cerai pun tidak masalah sekarang. Aku akan melepas wanita yang tidak bisa diatur itu. 

Dan, aku memang melakukannya; melepas Dila atau sebenarnya istriku itu yang pergi tanpa kembali. 

Satu hari aku menungguku pulang. Karena biasannya, setelah bertengkar hebat, Dila akan pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi, dia selalu kembali. 

Dua hari, Dila—ibu dari putriku—tidak kunjung pulang. Dua hari yang kemudian berlanjut sampai dua tahun. Aku lantas tersadar bahwa Dila memang meninggalkan aku serta putri kecilnya. 

Sungguh keterlaluan. Karena hal-hal seperti itu dia memilih berpisah dengan cara seperti ini? Lelucon. Aku hanya tertawa hambar ketika mengingat Dila sekarang. Dia benar-benar seseorang yang tidak layak.

Selama dua tahun aku dan Dhea ditinggalkan tanpa kabar sedikitpun. Bahkan, nyaris aku mengira istriku itu telah mati. Jangankan aku, orang tuanya pun tidak tahu dia ke mana. Dila bak ditelan bumi. Hilang begitu saja. Namun, tidak memusingkannya lagi meski kadang merasa amat miris dengan keluarga yang berusia seumur jagung. Begitu cepatnya mahligai rumah tangga ini hancur. 

Sampai aku melihat Dila lagi. Akan tetapi, bukan secara langsung. Aku melihatnya di salah satu stasiun televisi dalam sebuah acara. Dila diundang sebagai tamu sekaligus motivator untuk penonton. 

Sekarang, Dila menjadi musisi dengan karya-karyanya yang selalu luar biasa dan sedang naik daun. Dia musisi baru yang mengepakkan sayap dengan cepat ke langit. Kecantikan, suara emasnya, juga kemampuannya memainkan musik menjadikannya musisi paling populer bulan ini. 

Itu memang Dila, istriku. Yang aku pikir telah mati, nyatanya berkarya di luar sana hingga menembus dapur produksi.

Sungguh, aku kembali tertawa getir dan hampa oleh keadaan yang bisa membuatku bungkam. Aku marah, kecewa, dan menyesal, tetapi entah kepada siapa: aku atau Dila. 

Suatu hari, Dila secara pribadi mengajakku bertemu. Entah untuk urusan apa. Yang jelas, awalnya aku menolak. 

Setelah meninggalkanku dan putri kecilnya, menjadi seseorang yang terkenal, dia ingin mengajakku bertemu? Jangan harap! 

Namun, aku kemudian sadar bahwa aku harus bertemu Dila. Kubawa serta Dhea yang sekarang berusia empat tahun. 

Kami bertemu di salah satu restoran. Duduk saling berhadapan di depan meja yang tersedia empat kursi. Dhea duduk di sampingku. 

Ketika bertemu langsung, aku nyaris tidak mengenali Dila lagi. Wanita itu begitu modis, cantik, anggun, dan terawat. Tampak sekali dia mencintai dirinya sendiri. Dila lebih sering tersenyum kepada Dhea yang tidak lagi begitu akrab dengannya. Adapun kepadaku, dia dingin. 

"Sudah merasa bahagia sekarang? Toh, kau sudah bebas." Aku memulai pembicaraan ketika perasaan diselimuti kejengkelan. 

"Iya. Aku sangat bahagia saat ini. Setidaknya, tidak ada yang melarangku untuk hobi yang amat aku sukai. Tidak ada juga suami yang akan mengikat kakiku walau untuk sekadar jalan-jalan. Tidak ada status istri yang membuatku kehilangan semua yang pernah aku miliki pada masa gadis." Dila menjawab dengan berani. 

Ya, ampun. Entah mengapa aku ingin menampar wajah cantik dengan mata bunga persik itu. 

"Kau tidak mengerti, Dila." Dengan geraham beradu, aku menekan setiap kata. 

"Kau tidak mengerti. Aku menikah denganmu bukan untuk kehilangan semua yang pernah aku miliki. Aku ingin menikmati hobiku. Aku harap kau di sisiku, menemaniku, dan mendukungku, tetapi kau tidak. Kau larang aku, kau batasi segalanya. Aku hanya ingin sekadar jalan-jalan, tetapi kau tak kau izinkan dengan alasan mengurus rumah. Mengapa tidak kau dampingi aku jalan-jalan bersama anak kita? Kau yang egois. Kau tidak memikirkan aku sebagai istrimu. Memangnya kau pikir aku tidak tertekan dengan segala pekerjaan ibu rumah tangga dan sikapmu itu? Kau yang tidak mengerti." Dalam satu napas, dia membantah. 

Aku tertawa hampa dan getir. Begitu ya? Jadi seperti itu pemikirannya tentang aku selama ini? Oh, Dila-ku. 

Rasanya ini bukan pertemuan yang seharusnya. Aku ambil Dhea yang sedang makan, lalu membawanya pergi meninggalkan Dila. Tidak ada yang perlu dipertahankan dalam tatap muka kami setelah dua tahun berpisah. 

Setelah dari restoran, aku langsung pulang. Kutinggalkan semua pekerjaan di kantor. Aku perlu menenangkan diri dan merenung. 

Di salah satu sudut ruang tamu, aku melihat piano yang dibeli Dila. Memang, uang itu bukan berasal dariku. Aku tidak pernah memberinya uang jika hanya untuk membeli hal-hal yang tidak masuk dalam prioritas. Piano itu dia beli dengan uangnya sendiri. 

Aku mendekati piano putih mengilap yang sepertinya tidak sering dipakai. Kuusap bagian atas yang bersih. Jelas sekali asisten rumah tanggaku membersihkannya setiap hari. Lalu, tanganku beralih ke salah satu tuts dan menekannya. Bunyi yang tajam membuat telingaku tidak nyaman. 

"Jangan menekan yang itu. Mas, dengarkan aku membawakannya. Ini akan indah." Itu suara Dila yang tiba-tiba bermain di telinga juga kepalaku. 

Aku menunduk dan menemukan bayangannya duduk di kursi di depan piano. Jari-jarinya yang lentik mulai memainkan tuts demi tuts hingga menghasilkan suara yang harmoni. Sangat damai dan indah. 

Bayangan Dila mendongak, lantas melebarkan senyum kepadaku. Entah mengapa, air mataku jatuh. Bayangan Dila menghilang. Aku tidak sanggup membayangkan indahnya impian Dila yang tidak pernah aku wujudkan selama kami menikah. 

Oh, Tuhan. Betapa bodohnya aku sebagai laki-laki dan suami. 

Tamat|| 

Tanimpo, 31 Mei 2024. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@alifanar : Owh, terima kasih banyak. 🙈🙈 Aku berharap aku nggak akan jadi seperti Dila nantinya. Aku punya cita-cita dan nggak ingin siapa pun matahin sayap aku buat gapai itu. Semoga dapat jodoh yang nggak seperti suaminya Dila. Thank you sekali lagi.
Wow! Brilliant. Secara pribadi, kalau aku jadi istri, bukan berarti harus melepas impian dan cita-cita. Justru memiliki suami yang mendukung impianku. Dila ibarat kupu-kupu cantik, setelah menikah kok sayapnya harus dipatahkan. Impian dan cita-citanya adalah anugrah Tuhan. Jadilah suami yg mencintai dan mendukung Dila. Maka Dila pun akan mendukung suami dan mencintai anaknya. Rumah tangga bahagia. Good story ⭐⭐⭐⭐⭐
Rekomendasi dari Drama
Novel
Life In Sadness
Emilda Cahya
Cerpen
Memeluk Bayangmu
Jie Jian
Novel
Jae&Lani
Hesti Ary Windiastuti
Novel
Lanun
Jatnika Wibiksana
Flash
Payung Merah Jambu
NO-NAME
Novel
Kesempatan Kedua
Rafael Yanuar
Novel
Bronze
Rasanya Seperti Mimpi
Rahma Nanda Sri Wahyuni
Komik
Bronze
Psychelily
Fuchsia
Flash
Surat Rindu Untuk Ibu
Tiansetian
Flash
PULANG
Gadhinia Devi Widiyanti
Novel
LIRIK LANGIT
Danri AS
Skrip Film
Tidak Jatuh Cinta Dulu
ken fauzy
Novel
Gold
NY Over Heels
Bentang Pustaka
Novel
Anak Desa
Nicanser
Skrip Film
MENATA SENJA
Embart nugroho
Rekomendasi
Cerpen
Memeluk Bayangmu
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Jabir dan Juhu
Jie Jian
Flash
Bronze
Gigi-gigi yang Jatuh-jatuh karena Kata-kata
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Kami Membuat Ibu Tobat
Jie Jian
Novel
Menara Pemakaman
Jie Jian
Novel
Bronze
300 Tahun Cinta dan Kegilaan
Jie Jian
Cerpen
Tuan Oh Tuan
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Setan-Setan dari Rumah Hijau
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Tukar Kegilaan dengan Penantian Seumur Hidup
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Berbagi Istri
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Putri Burung untuk Pangeran Kecil
Jie Jian
Novel
Crown Prince
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Run, I Love You
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Koridor-koridor yang Diisi Nyanyian Murai
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Impian Dann
Jie Jian