Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rencana kedatangan Ibu mertuaku kali ini sungguh tidak tepat waktu. Ketika pertama kali menerima smsnya, aku sudah menduga istriku akan menolaknya. Atau kalaupun tidak mempersoalkannya. Dan, tebakanku ternyata cukup jitu. Namun, aku seperti menelan dilema ketika istriku meminta agar aku yang menyampaikan sikap penolakannya terhadap kedatangan ibu kandungnya.
“Mengapa tidak kau saja yang bicara langsung kepadanya? Itu kan ibu kandungmu sendiri,” kataku sambil berusaha mencari mata istriku untuk memastikan keseriusannya. Istriku menghindar. Ia malah melemparkan pandangan ke luar jendela kamar.
“Memang, bisa saja aku menelponnya dan langsung berkata, ‘Ibu maaf ya. Saat ini kami sedang sibuk, mungkin lain waktu saja. Atau, menyampaikannya lewat sms. Tetapi, kita juga harus memikirkan perasaannya, Ning. Apa nanti dia tidak marah dan menganggapku sebagai menantu durhaka?” Kali ini nada bicaraku sedikit meninggi setelah aku merasa dikorbankan dalam urusan ini.
“Mas, aku memintamu yang bicara, karena aku tahu kau mampu mencari cara terbaik untuk menyampaikannya. Yang pasti, aku belum mau berkomunikasi dengan ibu. Lagipula, yang pertama menerima smsnya kan kamu? Itu berarti dia hanya mau berkomunikasi dengan kamu.”
“Iya. Itu karena ibu hanya tahu nomor handphoneku. Kau kan tidak pernah memberi tahu nomor handphone barumu kepadanya. Tetapi, Ning, biar bagaimanapun alangkah eloknya apabila kau sendiri yang menjawab sms ibumu. Ibu kandungmu sendiri.”
Kata ibu kandung sengaja aku ulangi, agar istriku insyaf bahwa aku tidak setuju dengan sikapnya terhadap mahluk yang seharusnya dimuliakan itu. Istriku terdiam. Kepalanya perlahan tertunduk layu. Cahaya matanya ditumbukkan ke atas perutnya sendiri. Aku yang menyaksikan itu ternyata kurang sigap dalam membaca bahasa tubuh itu. Hingga ia berkata:
“Demi jabang bayi yang tertidur di dalam perut ini, kuminta kepadamu, kakandaku tersayang, untuk sekali ini saja. Aku berjanji, ini permintaanku yang pertama dan terakhir tentang ini. Itu makanya aku bilang, aku belum mau. Bukan tidak mau.”
Sambil memelas seperti itu, tangan kanan perempuan yang sedang hamil tiga bulan itu meremas lembut jemari tangan kiriku dan meletakkannya di atas perutnya, sementara sorot matanya yang lembut berupaya menerabas kedua mataku. Aku tahu, ia melakukan itu agar aku melemah dan mau menyetujuinya. Dan seperti biasa aku tak mampu menolaknya. Mungkin benarlah apa yang dikatakan orang, jika perempuan yang sedang hamil itu kian cantik menawan. Jadilah aku seperti terkena gendam, jangankan untuk menjawab, menggeleng pun kepalaku tak mampu.
Tetapi, aku juga tidak mau serta merta kehilangan kewarasan. Sedari awal pernikahan, istriku dan ibu kandungnya merupakan dua sosok perempuan terdekat yang mengisi kehidupanku. Ibuku meninggal ketika aku belum lagi menginjak masa remaja. Aku tidak ingin dalam kasus seperti ini, posisiku seperti menghadapi buah simalakama. Sebuah solusi yang telah aku persiapkan aku sampaikan kepada istriku lengkap dengan sejumlah argumentasi. Ini jalan keluar menang-menang. Semula, istriku menganggap jalan keluarku sebagai proses tawar-menawar. Aku yang sedang enggan berdebat lama-lama segera saja menggunakan kekuasaanku. Sebagai seorang suami aku segera mengetok palu pengesahan. Kini giliran istriku yang bimbang. Ia terdiam di antara persetujuan dan penolakan.
***
Sejak awal, aku merasa hubungan ibu dan anak yang sedang bermasalah ini, akan semakin berat bila satu pihak tak ada yang mau mengalah. Penyebabnya sendiri, tidak bisa dibilang ringan. Istriku tidak setuju jika ibu menikah lagi. Bukan hanya karena calonnya yang lebih muda 15 tahun usianya dari ibu dan memiliki 2 anak yang semuanya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Istriku menilai keinginan ibu bertentangan dengan rencananya.
Ia sebenarnya ingin agar ibu tinggal di rumah kami untuk membantunya merawat Wahyu, anak semata wayang kami. Sejumlah psikolog anak yang kami datangi mendiagnosis jika Wahyu perlu penanganan khusus karena memiliki kebutuhan khusus. Wahyu dianggap mereka mengalami autisme ringan. Aku dan istriku yang mendengarkan penjelasan itu sempat masygul. Namun, dokter-dokter itu menjelaskan bila Wahyu tidak sedang sakit. Ia juga tidak sedang menderita kelainan. Kami hanya harus memperlakukannya secara khusus.
“Ibu tidak akan mengerjakan apapun. Tetapi, keberadaannya di rumah kita bisa membuat pembantu, pengasuh, dan terapis Wahyu akan seperti terus diawasi. Aku tidak bisa mengandalkan orang lain. Apalagi ini menyangkut pengasuhan terhadap Wahyu yang memang membutuhkan perlakuan khusus,” jelas istriku ketika aku mempertanyakan niatnya mendatangkan ibu dari kampung halamannya ke rumah kami.
Aku setuju dengan pendapat itu. Selain hanya ia yang masih memiliki orang tua, untuk urusan rumah tangga, aku memang percaya sepenuhnya kepada istriku. Profesinya sebagai wiraswastawati tidak membuatnya abai terhadap tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
Namun, ibu ternyata punya rencana sendiri yang sangat mengagetkan kami. Ibu malah berniat menikah dengan temannya, sesama pengurus koperasi kelapa sawit.
“Ibu ingin dengan perkawinan ini, Kamu, Masmu, dan Doni tidak usah lagi memikirkan bagaimana merawat Ibu di hari tua nanti,” jelasnya ketika mendatangi rumah kami ditemani calon suaminya. Ucapan ibu seperti menghadirkan geledek di ruang tamu kami pada Sabtu siang itu. Istriku tidak hanya kaget. Ia juga marah dan tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Sambil menahan tangis, ia memotong penjelasan ibu yang sepenuhnya sedang ditaburi sukacita:
“Kepalaku pusing. Aku ingin istirahat.” Istriku langsung menghambur ke kamar. Senyum ibu hilang. Begitu pula dengan calon suaminya, yang aku sudah lupa namanya siapa. Aku hanya bisa terdiam karena tindakan istriku itu tanpa berkoordinasi terlebih dahulu. Keadaan sempat hening sesaat, sebelum ibu berdiri dan menggamit tangan pacarnya untuk pergi.
“Bilang sama Ningrum, Ibu ke sini bukan untuk meminta persetujuannya, tetapi hanya ingin memberitahu.” Aku memandang wajah ibu yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Sebuah pemandangan yang teramat kontras pada saat kedatangannya hanya sepuluh menit yang lalu. Di teras depan, aku memberanikan diri berpendapat:
“Mungkin Ibu terlalu mendadak…” Ibu tidak menjawab, ia hanya memunggungiku sambil bergegas mengikuti calon suaminya yang sudah menuju pagar lebih dulu.
Setelah kejadian itu, jalinan komunikasi ibu dan istriku terputus. Bahkan, ketika akad nikah dan resepsi kecil-kecilan berlangsung, istriku melakukan aksi boikot. Kedatangan Doni ke rumah untuk menanyakan apakah kakak perempuan, sekaligus saudara tunggalnya, itu akan datang atau menitip sesuatu untuk pernikahan ibunya, tidak ia pedulikan. Ia merasa kesal terhadap Doni yang dicurigainya telah bersekongkol dengan ibu untuk menyembunyikan rencana pernikahan itu hingga waktunya tiba. Aku mengingatkan istriku agar tidak memusuhi atau menjadi musuh bagi semua. Terhadap ucapan yang ini, istriku juga tidak peduli.
Aku pun hanya mengirimkan ucapan selamat lewat pesan singkat. Namun, ibu tidak membalas. Mungkin lebih baik begitu. Aku tidak ingin istriku mengira jika aku memilih lebih berpihak kepada ibunya dan bukan kepadanya. Solidaritas yang aku tunjukkan memang kumaksudkan agar istriku tidak merasa sendirian. Sehingga pada saatnya nanti aku bisa memengaruhinya agar ia mau membuka hati untuk kembali menerima ibunya.
Semula, strategiku berjalan lancar. Tujuh bulan setelah pernikahan itu, istriku mencair dan mulai bisa menerima pendapatku. Apalagi, setelah hari raya kemarin. Istriku seperti mau berdamai dengan hatinya sendiri. Ia sempat mengungkapkan keinginannya untuk menengok Ibu. “Bagaimanapun Ibu, tetap saja ia ibu kandungku. Aku tidak berhak menilai apapun atas perbuatannya. Sebagai anaknya, yang harus aku lakukan hanyalah mencium tangan dan keningnya sambil mengharap maaf dan restu darinya,” jelasnya.
Aku tersenyum mendengar itu dan tidak langsung menyatakan persetujuan. Aku tidak ingin sikapnya yang drastis itu karena didasari semata oleh rasa penasarannya terhadap rumah tangga baru ibu. Aku bisa berpikir seperti itu karena sangat mengenal istriku. Ia sering memperbandingkan sikap dan perilaku orang lain dengan dirinya sendiri. Sebuah watak dasar perempuan yang harus kupahami. Aku tidak pernah merasa keberatan dengan hal itu sepanjang ia tidak menjurus menjadi perbandingan fisik dan materi. Justru, aku merasa dengan sifat itu, istriku bisa menjadi pribadi yang perfeksionis.
Tetapi, dalam kasus ini istriku nampaknya tulus. Pendapatku agar pernikahan ibu dijadikan ajang introspeksi diri bagi kami rupanya diterimanya dengan sepenuh hati.
“Pernikahan ibu sebenarnya pisau bermata ganda, Ning. Di satu sisi memang menyakitkan karena telah melukai perasaan. Namun, di sisi lain, pernikahan itu juga mengingatkan kepada kita, bahwa sebagai anak kita terlalu egois sehingga kurang memperhatikannya,” kataku kepadanya dalam satu kesempatan berdiskusi dengannya.
Perlahan, sikap istriku berubah. Aku pikir, nalurinya sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu telah menuntunnya untuk bersikap seperti itu.
Sebulan setelah percakapan itu, istriku mengajakku untuk datang ke rumah ibu. Namun, belum lagi niat itu terlaksana, api amarah istriku yang sempat padam kembali berkobar. Sebuah pesan singkat dari ibu yang aku terima memberi kabar jika ibu hamil dua bulan.
“Dasar orang tua tak tahu diri!”
“Hus! Hati-hati bicaramu!. Dia itu ibumu.”
“Justru karena dia itu ibuku aku bicara seperti itu. Aku semakin tidak bisa mengerti Ibu. Apa ia tidak berpikir mengenai keselamatannya? Usianya sudah 46 tahun, Mas!”
Membayangkan istriku bakal memiliki adik tiri yang usianya terpaut sekitar 29 tahun, tidak hanya membuatku memahami kemarahan Ningrum, aku juga mulai ketularan sikap istriku untuk lebih tidak peduli terhadap ibu dan keluarga barunya. Juga calon adik tirinya yang juga calon adik iparku.
Aku sempat berpikir Doni adik iparku juga akan demikian. Namun, nampaknya ia memiliki sikap yang berbeda dengan Ningrum dalam menghadapi kasus ibu. Doni nampaknya bisa lebih menerima. Atau mungkin juga lebih tidak peduli. Mungkin karena ia lelaki yang kini hidup sendiri. Mungkin juga karena ia putra bungsu yang masih menggantungkan sepenuhnya seluruh biaya hidup dan ongkos kuliahnya kepada ibu. Itu sebabnya ada juga pengaruh ibu dalam hubungan dua kakak beradik itu.
Sebelum hari kelahiran adik tirinya tiba, istriku sudah mewanti-wanti Doni agar tidak usah datang ke rumah kami jika hanya ingin menjemput bingkisan untuk ibu. Sementara, saat waktu persalinan ibu tiba, aku kembali mengucapkan selamat melalui pesan singkat. Dan, ibu seperti sebelumnya-sebelumnya, tetap tak membalas. Sejak saat itu, hubungan kami dengan ibu tak lagi seperti dulu.
********
Kini, enam bulan setelah kelahiran adik iparku yang tiri itu, ibu kembali membuat kejutan lagi. Ibu mengirim sms yang berisikan keinginannya untuk tinggal bersama kami. Hanya itu. Kami betul-betul dibuat penasaran dengan sms itu. Pertama, karena ibu tak menjelaskan alasannya. Kedua, karena selama ini ibu tidak pernah mau tinggal bersama kami.
Pada prinsipnya aku tidak keberatan. Rumah kami yang terletak di pinggir kota ini sebenarnya terlalu besar untuk hanya dihuni oleh tiga anggota keluarga dan dua orang pembantu. Bahkan, bilapun harus ditambah satu keluarga muda lagi. Aku tidak tahu, apakah istilah keluarga muda tepat kugunakan untuk menyebut keluarga baru ibuku. Sedari awal, aku merancang rumah ini bukan untuk dihuni oleh keluarga inti. Aku ingin memboyong ibu dan Doni ke rumah ini.
Namun, ibu memilih untuk menjadi seorang janda yang mandiri. Kemampuan ekonominya sebagai pengusaha perkebunan kelapa sawit memang memadai untuk melakukan itu. Sedang Doni, walau tinggal sekota dengan kami berkilah bila ia ingin belajar hidup sendiri. Ia kini menempati rusunami milik kami yang terletak di tengah kota di dekat kampusnya.
Rusunami itu merupakan rumah pertama, sekaligus rumah perjuangan rumah tangga kami. Karirku sebagai wartawan dan langkah istriku sebagai pengusaha garmen diawali dari rusunami itu hingga bisa seperti sekarang ini. Dan, dari rusunami itu juga jalan keluar menang-menang yang aku dapatkan berasal.
Aku katakan kepada istriku bahwa kita tidak boleh menolak ibu. Apalagi bila ibu ternyata sedang mengalami kesusahan.
“Sebagai anak kita wajib membantunya. Melebihi kewajiban kita terhadap apapun.”
“Aku sangat paham sekali soal itu, Mas. Namun, untuk saat ini aku tidak bisa menerima. Bukan karena ia sebagai ibuku. Aku menolak keputusannya sebagai seorang istri yang sudah berumur.”
“Apapun, Ning. Kita tidak berhak mencampuri urusan domestik mereka. Yang pasti saat ini sebagai anak kita harus tunjukkan sikap berbakti kepadanya. Terlebih kita mampu. Tetapi bila kau masih merasa sulit menerima kehadirannya, ibu dan keluarganya bisa menempati rusunami. Sementara Doni bisa memilih, apakah ia tetap di situ atau pindah ke rumah ini,” jelasku sambil menatap tajam wajahnya di meja makan pada malam itu. Istriku hanya terdiam mendengar gagasanku. Ia memilih memindahkan piring bekas makannya ke tempat cuci piring. Aku tahu itu adalah salah satu caranya untuk menghindariku, karena apa yang dilakukannya merupakan tugas pembantu kami. Aku menganggap ia setuju. Aku juga yakin ibu akan setuju. Walau secara tidak langsung kami sebenarnya sedang membuang ibu.
*******
Ibu ternyata belum bosan untuk selalu membuat kejutan. Di hari Minggu siang itu ia datang tanpa pemberitahuan. Sebuah taksi bandara berhenti persis di depan pagar halaman rumah kami. Seorang perempuan dengan anak kecil yang tertidur di dalam gendongan keluar dari dalamnya diikuti oleh dua orang anak lelaki remaja. Bila tidak melihat wajahnya, aku yang sedang membaca buku di teras rumah, tidak yakin betul bila itu adalah ibu. Aku segera berlari membuka pagar dan mencium tangannya dengan takzim.
“Mengapa tidak memberitahu, Bu? Biar dijemput,” Aku bertanya sambil membantu ibu membuka kereta lipat bayi yang diambilnya dari bagasi.
“Maaf ya kalau mendadak. Wid, ini Jiwo. Yang itu Sukmo. Ayo kalian kenalan sama kakak kalian,” kata ibu sambil menunjuk dua orang remaja yang bermuka sama. Kedua saudara kembar itu lalu berebutan mencium tanganku sambil menyebutkan nama. Aku sempat canggung. Namun segera sadar untuk membayar taksi, begitu kulihat ibu kesulitan mencari dompet di dalam tasnya. Tidak seperti biasanya, ibu membiarkan tindakanku membayarinya. Ia juga langsung masuk ke dalam rumah diikuti oleh dua anak tirinya.
“Ningrum mana?” Tanya ibu sambil menaruh adik iparku yang terus terlelap di atas ranjang Wahyu.
“Ningrum ke dokter untuk periksa kandungan.”
“Memang sudah berapa bulan?”
“Delapan”
“Laki atau perempuan?”
“Kata dokter sih perempuan. Tapi, yang penting sehat dulu.”
“Wah, Juwita, kamu bakal dapat adik perempuan!” Kata ibu sambil menjiwil pipi anaknya dengan senyum. Juwita diam. Ia tetap lelap. Aku tidak ingin kehabisan bahan pembicaraan. Sesuatu yang mengganjal dalam hatiku sejak kedatangannya langsung kuutarakan:
“Bapaknya mana, Bu?”
Aku yang sedang beres-beres mainan yang berantakan di kamar Wahyu mencoba mencari tahu kenapa tiba-tiba ibu terdiam. Senyumnya mendadak lenyap. Matanya tiba-tiba diselimuti selaput air. Dengan perlahan, ibu beringsut ke pintu. Sebelum menutup pintu kamar tidur, ia menyempatkan melihat Jiwo dan Sukmo yang sedang menonton televisi.
“Ibu tidak tahu, apakah cerita ini bisa aku sampaikan kepada Ningrum dan Dodi.”
“Ada apa, Bu? Ceritakan saja, mudah-mudahan kami bisa membantu.”
“Kamu ingat waktu ibu datang ke mari sebelum pernikahan?”
Aku mengangguk.
“Pada saat itu, sebenarnya ibu juga ingin menyampaikan bahwa calon bapak kalian sebenarnya sedang mengikuti proses pemilihan bupati di daerah kami. Ibu berharap pada saat itu kamu bisa berdiskusi dengan Mas Joko tentang pilkada. Ibu ingin Mas Joko mendapatkan pandangan berbeda. Selama ini dia hanya mendapatkan masukan yang manis-manis saja dari teman-temannya yang orang partai.”
“Memangnya kenapa?”
“Ibu merasa ia masih terlalu muda, Wid. Walaupun Mas Joko punya kemampuan, tetapi dalam dunia politik, dia itu masih hijau. Nyatanya kekhawatiran Ibu menjadi kenyataan. Mas Joko dan pasangannya kalah telak. Padahal dia sudah habis-habisan. Untuk kampanye. Bayar partai. Bayar saksi. Bayar wartawan. Semua serba uang. Setelah kalah barulah Mas Joko sadar kalau hutangnya menumpuk hingga milyaran.” Ibu menghentikan penjelasannya sambil menyeka matanya dengan kain gendongan Juwita.
Tiba-tiba aku merasa ruang kamar Wahyu menjadi pengap. Segera kunyalakan mesin penyejuk ruangan sambil berharap agar udara yang dihembuskannya menyegarkan perasaan Ibu. Nyatanya, harapanku gagal. Ibu malah menangis tersedu-sedan. Matanya berubah menjadi air terjun.
“Kau tahu, Wid. Kami sekarang sudah bangkrut. Seluruh harta kami terancam disita bila tidak segera melunasi seluruh hutang-hutang Mas Joko. Banyak penagih hutang yang setiap hari meneror kami. Ibu bingung, Wid. Tak tahulah bagaimana Ibu membicarakan hal ini dengan Ningrum dan Doni. Yang lebih membuat Ibu sedih, Mas Joko sekarang Ibu titipkan di rumah sakit jiwa. Karena sejak kekalahannya dia mengalami depresi. Sudah sebulan belakangan ini dia selalu kabur dari rumah dan pergi ke kantor KPUD. Di sana dia berteriak-teriak sambil mengamuk tidak karuan. Ibu malu, Wid! Malu sekali!”