Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Membisukan Kata di ujung Patah
1
Suka
954
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Fajar belum sepenuhnya merekah, masih tersembunyi di balik gumpalan awan kelabu yang menggantung berat di ufuk timur. Namun, di bawah selimut remang, langkah-langkah Nadya sudah menjejak jalan setapak yang lengang, membelah dinginnya udara pagi menuju stasiun. Udara menusuk tulang, memaksanya menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-paru yang terasa sesak.

Butiran embun yang meniti perlahan di pucuk dedaunan seolah merangkai bisikan lirih tentang beban tak kasat mata yang akan ia pikul sepanjang hari. Di bahunya, bukan hanya tas ransel yang sarat buku dan perangkat elektronik, melainkan juga sebentuk warisan pahit: tumpukan ekspektasi dan rentetan kegagalan yang secara tak langsung diwariskan oleh garis keturunannya.

Sejak balita, Nadya telah merasakan perbedaan yang menusuk. Ia bukan sekadar "si bungsu" yang selalu riang; ia adalah anak yang terpisah dari narasi umum yang diharapkan. Kedua kakak lelakinya, yang dulunya diharapkan sebagai permata dan kebanggaan keluarga, kini hanyalah siluet buram yang mengisi sudut-sudut kosong rumah. Potret mereka terpajang kaku di dinding ruang tamu, senyum beku di wajah mereka seolah mengejek, menertawai Nadya yang kini tanpa daya menjadi satu-satunya sandaran terakhir. Seringkali, tatapan ibu akan menancap tajam padanya, pandangan penuh harapan yang memilukan, diikuti nurani.

"Kaulah satu-satunya harapan kami, Nak. Jangan pernah berakhir seperti mereka. Jangan pernah."

Untaian kata-kata itu bukan sekadar kalimat; ia adalah belati yang menancap dalam benak Nadya, menjelma menjadi akar-akar kecemasan yang melilit erat setiap gerak langkahnya, mencekiknya pelan-pelan. Perjuangannya bukan semata-mata untuk meraih keberhasilan pribadi; tidak, ini adalah sebuah pertempuran untuk menebus keruntuhan yang sejatinya bukan miliknya. Setiap pagi, ia bangkit jauh sebelum fajar, memaksa dirinya membenamkan diri dalam pelajaran, dan menahan isakan tangis yang ingin meledak, terkunci di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat. Ia bertekad, dengan segenap jiwa, membuktikan bahwa anak bungsu bukanlah sekadar pelengkap, bukan pula sekadar penghibur di kala sepi, melainkan manusia yang memiliki kekuatan, nilai, dan hak untuk bersinar.

Di koridor kampus yang ramai, Nadya dikenal sebagai sosok yang misterius. Ia cenderung pendiam, selalu terbungkus dalam aura melankolis, namun memiliki kecemerlangan akademis yang tak terbantahkan. Ia jarang membuka suara, lebih memilih mencurahkan badai pikirannya ke dalam lembaran buku catatan usang, menuangkan segala kegelisahan, frustrasi, dan impian yang tak terucap dalam susunan kata-kata yang rapi namun penuh derita. Teman-teman dekatnya, yang sesekali mencoba mendekat, seringkali bertanya dengan nada khawatir.

"Mengapa kau selalu tampak begitu terbebani, Nadya? Seolah seluruh beban dunia ada di pundakmu.

"Nadya hanya membalas dengan senyum tipis, samar-samar, yang tak pernah mencapai matanya. Ia tahu betul, tidak semua yang dipikul dapat diceritakan, tidak semua goresan dapat diperlihatkan secara terang-terangan di hadapan kehidupan ada kalanya bungkam menjadi pilihan terakhir.

Pada suatu senja yang tenang, ketika matahari mulai menyerah pada kegelapan, dosen favoritnya, Bapak Rendra, memanggil Nadya setelah perkuliahan usai. Sorot matanya penuh pengertian.

"Nadya," ujarnya lembut, "kamu terlihat sangat lelah akhir-akhir ini. Ada bayangan gelap yang selalu mengikutimu. Adakah sesuatu yang ingin kamu ceritakan atau bagikan?"

Nadya menundukkan kepala dalam-dalam, menyembunyikan badai yang bergolak di dalam dirinya. Ada dorongan yang amat kuat untuk berujar, untuk berteriak.

"Saya lelah menjadi satu-satunya harapan yang tersisa! Saya lelah memikul beban yang bukan milik saya!" Namun, kalimat itu hanya berputar-putar liar dalam benaknya, tak pernah berhasil keluar dari bibirnya yang kelu. Ia hanya mampu menjawab singkat, dengan suara nyaris berbisik.

"Saya baik-baik saja, Pak. Sungguh."

Bapak Rendra menatapnya lekat-lekat, seolah dapat menyelami kedalaman hatinya yang tersembunyi.

"Nadya, kamu harus tahu, hidup ini bukanlah sebuah perlombaan tanpa akhir untuk menebus masa lalu orang lain. Setiap manusia memiliki jalannya, takdirnya sendiri. Jangan biarkan kegagalan orang lain menjadi belenggu yang mematikan langkahmu. Itu akan menghancurkanmu."

Kata-kata itu menghantam Nadya layaknya gelombang besar yang menerjang pantai, menggulung dirinya dalam pusaran kebingungan. Ia pulang dengan kepala yang dipenuhi berbagai pertanyaan yang menyesakkan dada. Apakah selama ini ia hanya berlari tanpa henti dari bayang-bayang masa lalu yang kelam? Apakah ia pernah benar-benar menjalani hidup sepenuhnya untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain, bukan untuk harapan yang membelenggu itu?

Malam itu, Nadya duduk termenung di tepi ranjang, pandangannya menerawang ke langit-langit kamar yang penuh dengan coretan mimpi masa kecilnya yang polos. Ia teringat kembali momen-momen manis, seolah dari kehidupan lain, bersama ayahnya di kebun belakang rumah, ketika sang ayah berucap dengan suara bijak, "Jadilah pohon yang kokoh, Nak, yang mampu bertahan, walau badai datang menerpa dan angin mencoba merobohkanmu." Namun kini, ayahnya lebih sering terdiam, sorot matanya meredup, seolah menantikan sebuah keajaiban yang hanya bisa datang dari Nadya, keajaiban yang ia sendiri tak yakin bisa berikan.

Di meja makan yang terasa dingin, sang ibu menatap Nadya dengan tatapan penuh ekspektasi yang menyesakkan.

"Besok kamu ujian, kan? Semoga semuanya lancar, Nak. Ingat, kamulah satu-satunya yang bisa membawa kebanggaan bagi keluarga ini. Satu-satunya."

Nadya hanya mengangguk pelan, seolah tali tak kasat mata menarik kepalanya. Ia mengerti, setiap keberhasilan yang ia rengkuh bukan semata miliknya, tetapi juga milik seluruh anggota keluarga yang haus akan kemenangan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada jeritan sunyi yang amat mendambakan untuk diakui sebagai dirinya sendiri, sebagai Nadya yang utuh, bukan sekadar instrumen penebus kegagalan masa lalu.

Hari ujian pun tiba, dengan atmosfer yang terasa lebih berat dari biasanya. Nadya berangkat lebih awal dari siapapun, merasakan kecemasan yang membakar sekaligus tekad yang rapuh. Di dalam gerbong kereta yang melaju lambat, ia menatap keluar jendela, melihat pantulan bayangan dirinya sendiri yang terpantul samar namun jelas. Wajah itu terlihat pucat, mata itu menyimpan beban yang tak terlukiskan. Ia bertanya dalam hati, dengan suara yang hampir tercekat, "Sampai kapan aku harus terus berlari seperti ini? Sampai kapan aku bisa bertahan?"

Ujian berlangsung tanpa kendala yang berarti, seolah mesin otomatis yang terus bergerak. Nadya menuliskan setiap jawaban dengan jemari yang sedikit gemetar, namun pikirannya tetap jernih, terfokus pada tugas di depannya. Ia menjawab setiap soal bukan hanya demi nilai semata; tidak, ini adalah sebuah pernyataan, sebuah pembuktian bahwa ia sanggup, bahwa ia layak, bahwa ia memiliki kapasitas, meski jiwanya merana.

Beberapa pekan kemudian, pengumuman hasil ujian terpampang jelas di papan pengumuman kampus. Nama Nadya menduduki posisi teratas, bersinar di antara yang lain. Teman-temannya bersorak gembira, para dosen melontarkan pujian setinggi langit. Namun, di dalam sanubari, Nadya merasa kosong, hampa, seolah ada lubang menganga yang tak bisa terisi. Ia pulang membawa kabar sukacita, namun di rumah, sambutan yang ia terima hanya kalimat-kalimat yang sama, menusuk: "Bagus sekali, Nak. Pertahankan terus seperti ini. Jangan pernah mengecewakan kami. Jangan pernah berhenti."

Malam itu, Nadya tak bisa lagi menahan diri. Ia menangis dalam diam, tersedu-sedu di balik bantal yang basah. Ia menyadari, keberhasilan tidak selalu beriringan dengan kebahagiaan sejati. Terkadang, keberhasilan justru menambah beban yang tak tertahankan, memicu ekspektasi yang harus ia penuhi tanpa henti, membelenggu setiap langkahnya.

Rasa putus asa mulai menyusup perlahan, seperti racun yang menggerogoti setiap serat semangatnya. Setiap pagi terasa berat, seolah ada tangan tak kasat mata yang menariknya kembali ke tempat tidur, menahannya untuk bangkit.

Buku-buku yang dulu menjadi sahabat karibnya kini terasa asing, coretan pena di kertas hanya menghasilkan goresan tak bermakna, sekadar jejak kepedihan. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan benang-benang takdir, tanpa kehendak sendiri, hanya mengikuti skenario yang sudah dituliskan sejak ia lahir. Seringkali ia termenung di jendela kamarnya, menatap kosong ke langit kelabu, berharap bisa menghilang saja, lenyap begitu saja dari segala tuntutan dan ekspektasi yang menyesakkan, yang terasa seperti jerat tak berujung.

Hari-hari bergulir dalam kabut keputusasaan. Nadya semakin sering menyendiri, menarik diri dari keramaian, dari sorot mata yang menghakiminya. Ia mulai menulis puisi-puisi yang sarat dengan luka dan harapan, tentang pohon yang gigih tumbuh di tanah yang tandus, menantang takdir. Perlahan, di tengah kegelapan itu, ia mulai menyadari bahwa hidup ini bukan tentang menebus kegagalan orang lain, bukan tentang memenuhi ekspektasi yang menyesakkan, melainkan tentang menemukan makna yang mendalam di setiap jejak langkahnya sendiri, tentang menemukan dirinya yang hilang. Sore hari, dengan segenap keberanian yang terkumpul, yang terasa seperti percikan api kecil di tengah badai, Nadya memberanikan diri berbicara kepada ibunya.

"Bu," suaranya bergetar namun penuh tekad, "bolehkah aku memilih jalanku sendiri? Aku ingin lepas, Bu. Bukan hanya sekadar sukses yang hampa."

Ibu terdiam, menatap Nadya dengan mata berkaca-kaca, seolah ada gumpalan emosi yang tertahan di tenggorokannya.

"Ibu hanya ingin kamu berhasil, Nak," ucapnya lirih,

"Ibu tidak ingin kamu mengalami nasib yang sama dengan kakak-kakakmu. Ibu hanya ingin yang terbaik."

Nadya menggenggam erat tangan ibunya, sentuhan itu seperti jembatan yang menghubungkan dua dunia.

"Aku ingin berhasil, Bu. Aku akan berusaha. Tapi aku juga ingin menjalani hidup sebagai diriku sendiri, sebagai Nadya yang utuh. Bukan sebagai bayangan, atau beban, atau penebus dari kakak-kakak."

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, sang ibu memeluk Nadya erat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dalam pelukan hangat itu, pelukan tulus yang tak menuntut apa-apa, Nadya merasakan beban di pundaknya sedikit demi sedikit terangkat, seolah ada rantai yang terlepas. Ia tahu, perjalanan yang membentang di hadapannya masih panjang, dan beragam tantangan akan selalu menanti. Namun kini, ia melangkah dengan keyakinan yang baru, sebuah keyakinan yang lahir dari keputusasaan: bahwa ia berhak atas kebahagiaannya sendiri, bukan hanya atas keberhasilannya.

Nadya berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Ia tersenyum, bukan karena telah berhasil menebus kegagalan masa lalu yang membelenggu, melainkan karena ia telah menemukan keberanian yang luar biasa untuk menjadi dirinya sendiri seutuhnya, menerima segala luka dan kekurangan. Dalam jejak-jejak sunyi yang kini terasa lebih ringan, ia menapaki jalan kehidupannya, bukan lagi sebagai penebus yang terbebani, melainkan sebagai pejuang yang berani merangkul luka dan harapan, mengukir takdirnya sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Membisukan Kata di ujung Patah
Nurhidayah
Cerpen
Buruk Cermin Muka Dibelah
hyu
Cerpen
Bronze
Coba Kau Lihat ke Arah Ban, Nak!
Nuel Lubis
Cerpen
Bronze
Line 00
MiiraR
Cerpen
Kado Terindah untuk Nesya
SITI RAHMATIKA FEBRIANI
Cerpen
Tuan Oh Tuan
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Gaji Seharga Dignitas
LettersByIn
Cerpen
Kisah Masa Orientasi Sekolah
Nadia Safa Nurmalacita
Cerpen
Sofia
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Persimpangan di Stasiun Kereta
AnotherDmension
Cerpen
Bronze
Cucuku Aina
cyara afnan
Cerpen
Bronze
Sungguhan Teman?
Glorizna Riza
Cerpen
Bronze
Asa Untuk Iza
Rafiu H
Cerpen
Bronze
Restaurant Jang Kie
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Jima Montague
Vyas Cornanila Wahana Putri
Rekomendasi
Cerpen
Membisukan Kata di ujung Patah
Nurhidayah