Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ya sudahlah, Mam. Masalah itu tidak perlu di kenang lagi. Sewaktu kita pacaran juga Mama sudah tidak perawan lagi kok. Yang penting sekarang hidup kita sudah berkecukupan. Kita sama-sama bertobat,” tukas suaminya dengan tenang. Tetapi dalam hatinya sambil membayangkan jika beberapa minggu yang lalu dia beberapa kali membuat beberapa anak SMA mengerang nikmat di kamar hotel ketika mengikuti beberapa kegiatan di Jakarta.
“Ya deh Pa,” sahut isterinya sambil teringat berondong yang selalu membuatnya dirinya berteriak-teriak puas ketika suaminya sedang tugas ke luar daerah.
Hal itu terjadi, karena biasanya pasangan itu kurang lebih kelakuannya. Sangat jarang ada yang baik sama baik, tetapi lebih banyak jahat dengan baik atau jahat sama jahat.
“Eh, kelebihan empat puluh juta ini untuk apa, Pa?” tanya isterinya heran melihat suaminya membuat cek 1,8 miliar dan 40 juta rupiah.
“Oh, itu untuk THR para pemimpin umat, Mam.”
“Memangnya ada kewajiban memberikan mereka THR, Pa?”
“Ndak sih. Itu inisiatif saya saja. Mereka kan perlu juga menikmati hari raya dengan tidak kekurangan kue.”
“Ooh. Tapi untuk para Pastor, tidak ada Pa?”
“Itu kan bukan urusan kita, Mam. Lagi pula para Pastor kan tidak punya anak isteri, Mam.” Sahut suaminya sambil tertawa.
Kedua suami isteri itu tertawa-tawa. Bahkan mereka mentertawakan segala hal yang mereka perbincangkan. Hidup keduanya serba berkecukupan. Di tabungan ada uang 800-an miliar rupiah. Dari sebelum mereka menikah, suaminya sudah banyak duit. Bahkan ketika masuk untuk menjadi pegawai negeri, kata suaminya dia dulunya harus merogoh kocek sekitar 400-an juta pada waktu itu.
Sebelum suaminya menjadi pegawai negeri, Alvaro dulu adalah berprofesi sebagai Humas di sebuah perusahaan kayu untuk plywood. Ketika itu, masih ramai-ramainya pekerjaan kelompok tani perkayuan. Kebetulan perusahaan tempat Alvaro bekerja juga mengambil peluang ini. Ada ratusan kelompok tani dengan areal ribuan hektar di sekitar perusahaan mereka yang menjadi binaan mereka.
Pada waktu itu, setiap kelompok tani itu harus melakukan Timber Cruising agar kayu di lahannya itu bisa di kelola oleh perusahaan. Tetapi biaya Cruisingnya ini sangat mahal untuk para pemilik kelompok tani itu, karena melibatkan orang dari kementerian kehutanan. Karena untuk satu satu areal saja, perlu dana lebih 8 jutaan rupiah pada waktu itu.
Nah, di sinilah kecerdasan dan naluri bisnis Alvaro berfungsi dengan baik. Dia menawarkan bantuan dana Cruising ini kepada para pemilik kelompok tani itu, dengan syarat dia mendapatkan Fee sebesar 20 ribu rupiah untuk satu meter kubik kayu produksi. Padahal itu sebenarnya uang perusahaan, bukan uang pribadi dirinya.
Karena tidak punya duit, para kelompok tani itu tidak punya pilihan lain. Karena memang di kelola oleh perusahaan, maka para pemilik kelompok tani itu tidak bisa menipu Alvaro. Setiap ada hasil produksi maka selalu di kontrol keta oleh Alvaro, apa lagi proses produksinya memakai kendaraan perusahaan tempatnya bekerja. Sehingga dari bisnis ini saja Alvaro mampu mengisi pundi-pundi uangnya sampai melebihi 20 miliar rupiah.
Kebetulan tempatnya menabung itu adalah di bank Mandiri, di mana mantan pacarnya ini bekerja di sana. Karena seringnya Alvaro ke bank Mandiri, maka hubungan mereka semakin akrab. Sehingga akhirnya mereka menikah dan isterinya mengundurkan diri dari bank Mandiri dan sekarang menjadi seorang ibu rumah tangga biasa, yang berbisnis Tupper Ware sambil mengurusi buah hati mereka. Sebuah bisnis rumahan yang tidak terlalu menyita waktunya.
***
“Ini, Dek. Saya baru dapat tambahan 1,5 juta rupiah.” Kata Burhan sambil menyerahkan uang itu kepada isterinya.
“Mmmm…mmaaahhh...mmmaaahhh…,” sahut isterinya menyambut uang itu sambil menciumnya. “Dari siapa ini, Pa?”
“Dari pak Jarot Winarno. Aku bilang dengan dia, di lapangan jangan khawatir. Semua orang pasti akan memilih dia,” jelas Burhan dengan gembira. “Padahal adek tahulah, mana ada aku bergerak ke lapangan. Ha…ha…ha…,” sambil merasa geli karena pikirnya sudah berhasil menipu pak Jarot Winarno.
“Kok sedikit sekali dan tanggung, sih Pa? Padahal pak Sabda Waja saja berani memberi sampai dua puluh juta. Pak Naufal lima juta rupiah.”
“Sedikit? Lumayanlah itu, Dek. Itu maksud akal menurut saya. Pak Jarot kan belum pernah jadi bupati. Kalau pak Sabda Waja kan sudah pernah satu periode. Sementara pak Naufal itukan pengusaha minyak dan gas. Dia punya beberapa buah SPBU di sini.”
“Tapi, 1, 5 juta. Ndakah tanggung, Pa?” desak isterinya tetap penasaran.
“Ya sudahlah. Sebenarnya dia kasik aku 5 juta. 3 juta untuk aku lunasi pinjaman sewaktu ke Pontianak kemarin. Yang 500 ribu untuk ku ngajak kawan-kawan makan di warung tadi,”
“Ih abang, gitulah. Kamu makan di luar, sementara untuk aku mana?” rengek isterinya merasa iri.
“Itu, sayur rendang dan babat kesukaan Mama, sudah kubelikan.”
“Mana?”
“Itu, dalam kantong plastik kresek hitam itu,” tukas Burhan sambil menunjukannya dengan jari telunjuknya ke arah tiang dinding yang terbuat dari kayu ulin.
“Terima kasih, Abang. Ini sayurnya sungguh enak,” teriak isterinya senang langsung mengambil nasi dan makan. Tubuh isterinya sudah sangat gemuk dan tidak menarik lagi. Tetapi Burhan tidak terlalu mau memikirkannya, daripada bertengkar masalah makan dan diet. Toh dia masih bisa mengencani anak-anak SMA yang perlu Smartphone dan paket internet. Dia belikan saja HP buatan Cina yang murah dan paket Tri yang kartunya Always On. Mereka kan belum terlalu idealis. Buatan Cina juga tidak masalah, yang penting ada. Tadi saja dia sebenarnya sempat Short Time dengan seorang anak SMA di kosannya setelah membelikannya HP baru dan paket internet. Sehingga 3 juta itu melayang.
“Sudah berapa semua isi tabungan kita, Mam?” tanyanya kepada isterinya yang sedang asyik menikmati daging rendang dan babat kesukaannya.
“Kalau tidak salah, mungkin sudah lebih dua ratus juta Bang,” jawab isterinya dengan mulutnya yang masih penuh, sehingga kata-katanya yang keluar lebih mirip senapan yang tidak meletus.
Berarti tidak terasa uang yang dikumpulkannya dengan bergerilya kepada para kontestan kepala daerah dan para caleg itu sudah terkumpul cukup banyak, pikir Burhan dalam hatinya. Setiap dia menghadap, selalu mengatakan bahwa orang-orang mendukung mereka. Dengan kepiawaiannya dalam bicara dan kehebatannya mengolah dan merangkai kata untuk meyakinkan orang, Burhan selalu mendapat uang dengan cara seperti itu.
“Kita beli Toyota Hilux saja, ya Dek. Ada kawan yang jual, dia lagi butuh duit tuh.”
“Katanya kemarin mau Avanza Veloz, Bang?”
“Ya, ndak apa-apalah. High Lux ini double Gardan lho, Dek. Juga kursinya double kabin. Harga barunya sudah empat ratusan juta, Dek. Ini kita hanya ditawarkan 80-an juta saja.”
“Masih bagus ndak kondisinya, Bang?”
“Masihlah, Dek. Belum pernah turun mesin. Di baru beli tahun lalu kok.”
“Ya terserah Abanglah. Yang penting kita dapat mobil,” sahut isterinya sambil segera minum air, karena dia terbatuk-batuk tersedak sambil berbicara dengan mulut masih penuh makanan tadi.
***