Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di cafe ini keduanya duduk berhadapan di dekat jendela kaca yang menghadap langsung ke jalan raya, dipisahkan oleh sebuah meja. Mereka saling tatap dan tersenyum setelah beberapa saat lalu saling berpelukan erat. Meyakinkan diri masing-masing bahwa pertemuan ini nyata adanya, bukan sekadar mimpi. Bahwa sosok di hadapan masing-masing sungguhan hadir, bukan sekadar ilusi yang diciptakan oleh otak dan benak masing-masing karena barangkali keduanya sudah sama-sama gila dan lelah menahan kerinduan selama lima tahun tanpa pernah bertemu sekali pun.
“Apa-apaan, sih ini? Sampai kapan kita mau tatap-tatapan seperti ini?” Ali bertanya sembari menahan semburan tawanya.
“Kamu sendiri kenapa sejak tadi cuma senyum sambil ngelihatin saya?”
“Oke, cukup! Kamu apa kabar?”
Wanita di hadapannya tampak sehat dan baik-baik saja. Ali tak benar-benar tahu barangkali ada kesedihan dan rasa sakit dalam hati sahabat lamanya. Namun senyum wanita itu masih sama seperti dulu, terasa begitu manis dan dipenuhi kebahagiaan. Enam tahun bersamanya, cukup bagi Ali untuk mengetahui suasana hati sahabatnya tanpa perlu wanita itu memberitahukannya pada Ali. Sebab Ali bisa bedakan berbagai rasa yang dirasai sahabatnya cukup dari tatapan mata dan senyumannya. Dan kali ini Ali cukup yakin, bahwa sahabatnya baik-baik saja. Kalau bukan untuk mengakrabkan kembali kerenggangan selama lima tahun, Ali enggan untuk berbasa-basi.
Natasha diam barang lima detik. Mengulang pertanyaan Ali dalam hati buat dirinya sendiri. Lima tahun terakhir hidupnya sangat berbahagia. Hanya kerinduan kepada Ali yang membuat kebahagiaan itu kurang sempurna. Namun kini di hadapannya telah hadir sahabat yang sangat dirinduinya. Jadi, bukankah kini kebahagiaan itu menjadi sempurna? Maka ia baik-baik saja. “Seperti yang kamu lihat.” Jawabnya sambil tersenyum lebih lebar lagi, “kamu sendiri?”
Ali menelan ludah. Ada kerinduan yang telah lama ia pendam. Kerinduan kepada sahabat lamanya selama lima tahun. Selama itu, tak satu orang pun mengetahui jika ia hidup sebagai seorang perindu akut. Sahabat yang sangat dirindukannya pun tak mengetahui hal itu. Sebab ia tak pernah mengatakan kerinduan itu pada siapapun, karena ia terlalu takut unuk mengatakan rindu. Bahkan hanya merasai kerinduan ini pun telah membuatnya ketakutan. Maka selama lima tahun ia hanya bisa memendam kerinduan itu tanpa mengucapkannya pada siapapun termasuk orang yang dirinduinya. Menyimpan kerinduan itu rapat-rapat tanpa pernah ia rawat hingga berkarat dan membuatnya nyaris sekarat.
Ali tak pernah merawat kerinduan itu sebab ia tak tahu cara merawat kerinduan. Bahkan ia tak tahu bila kerinduan bisa dirawat, sepengetahuannya rindu tak bisa dirawat tetapi memiliki obat untuk membabatnya. Dan kini telah ia dapatkan obat itu: berjumpa dengan orang yang amat dirindukannya.
Namun Ali tak yakin bila pertemuan ini adalah obat yang tepat buat membabat kerinduan yang telah lama berkarat itu. Setelah ini, mereka akan kembali berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing. Setelah ini, ia akan kembali merindukan sahabat lamanya. Lalu buat apa pertemuan ini terjadi bila nanti kembali merindu? Tak bisakah rindu benar-benar dibabat tuntas? Pertemuan ini hanya seperti obat bius yang diberikan saat cabut gigi, tak ada rasa nyeri ketika dokter mencabut giginya, tetapi satu jam kemudian ketika giginya telah ompong, rasa sakit itu baru dirasainya. Sayangnya, setelah cabut gigi dokter akan memberikannya obat buat menghilangkan rasa nyeri yang tak lagi bisa ditangani oleh obat bius, sedangkan ia tak punya obat untuk menghilangkan kerinduan setelah pertemuan ini berakhir.
“Seperti yang kamu lihat juga. Saya baik-baik saja.” Ali tersenyum selebar mungkin. Setidaknya saat ini ia baik-baik saja. Soal nanti ia kembali sekarat karena menahan kerinduan adalah persoalan lain, toh wanita itu menanyakan kabarnya kali ini bukan nanti setelah pertemuan ini berakhir.
Lagi, keduanya terdiam. Berpisah selama lima tahun membuat keduanya benar-benar canggung. Bukankah seharusnya kecanggungan itu tak hadir, bila keduanya sama-sama mengklaim bahwa sosok di hadapan masing-masing adalah sahabat sejati yang sangat karib? Mestinya tadi mereka saling berpelukan erat, menjerit kegirangan dan saling memberi umpatan selayaknya sahabat karib.
Natasha menatap ke luar jendela. Di luar sana hujan mulai turun. Para pejalan kaki berlarian mencari tempat berteduh. Para pengendara sepeda motor menghentikan laju kendaraan mereka sejenak untuk mengenakan jas hujan. Mereka yang berada di dalam mobil maupun bus cukup duduk tenang pada kursi masing-masing sambil menatap jalanan. Dan udara kini perlahan berubah menjadi dingin.
“Jadi, gimana pekerjaan kamu?” Ali kembali bertanya, berusaha menghilangkan kecanggungan di antara keduanya yang terasa begitu menggelikan dan mencekik. “Sudah berapa pasien yang kamu suntik mati?” Lanjutnya sebelum Natasha menjawab pertanyaannya.
Natasha tersenyum lebar hingga gigi-gigi serinya yang berjajar rapi terlihat. “Syukur mereka semua masih hidup sampai saat ini. Kamu sendiri bagaimana? Fans kamu, para penggemarmu, sudah berapa banyak yang terpaksa dilarikan ke dokter telinga? Atau barangkali mesti dilarikan ke UGD gara-gara mendadak epilepsi.”
“Oh, setelah mendengarkan musik-musik saya, awalnya mereka memang terserang epilepsi. Tapi setelah itu, mereka semua justru bisa mendengar batin seseorang, jadi nggak perlu dilarikan ke dokter telinga! Luar biasa, kan?”
“Wah! Luar biasa banget!”
“Dasar gila!”
“Kamu yang gila!”
Keduanya terbahak bersama hingga perut mereka terasa sakit, wajah memerah dan air mata berlinangan. Satu menit kemudian kecanggungan itu hilang sama sekali, segalanya mencair seperti saat mereka belum berpisah.
***
Keduanya adalah kawan satu perguruan tinggi. Kala itu Ali masih menjadi calon pianis, sedangkan Natasha masih menjadi calon dokter. Keduanya saling kenal ketika sama-sama bergabung dengan tim paduan suara kampus mereka.
Natasha tak menampik, sejak bertemu pertamakali dengan sahabatnya, ia segera mengagumi sosok itu. Dan ia tahu betul makin hari ia tak hanya mengagumi sahabatnya, tapi sungguh-sungguh memujanya, menyayanginya dan mecintainya. Natasha telah jatuh cinta, kepada sahabatnya sendiri.
Bagi Ali, Natasha hanyalah kawan satu unit kegiatan mahasiswa yang sama dengannya, tidak lebih dari itu. Setahun berlalu dan Ali tersadar bahwa wanita yang sekadar kawan satu unit kegiatan mahasiswa itu telah membuatnya merasai rasa yang tak pernah dirasai sebelumnya: cemburu. Ali sadar bahwa ia telah jatuh cinta. Natasha telah mencuri hatinya.
Empat tahun keduanya saling mengagumi dan memuja dalam hati. Tak pernah sekalipun mengungkapkan perasaan masing-masing. Sebab, keduanya sama-sama takut untuk mengungkapkannya. Bukan sekadar takut mengetahui jawaban yang bakal menyakitkan perasaan. Namun mereka sama-sama takut bila seusai menyatakan perasaan masing-masing, akan ada jarak yang tercipta di antara keduanya. Maka bagi mereka, lebih baik tak pernah menyatakannya sama seakali tetapi dapat selalu bertemu dan bersama.
Usai meraih gelar sarjana, keduanya melanjutkan perjuangan meraih gelar magister. Tanpa sengaja keduanya mendapat beasiswa ke negara yang sama. Kota yang sama. Hanya perguruan tinggi yang berbeda. Diputuskanlah oleh keduanya untuk menyewa apartemen minimalis kelas ekonomi untuk tinggal bersama.
Dua tahun mereka hidup di bawah atap yang sama. Selama itu, mereka tak sekadar berjuang untuk meraih gelar magister, namun juga berjuang untuk tetap mengunci mulut mereka rapat-rapat dan mencekik leher masing-masing agar tiap kali kata cinta itu hendak diucap tenggorokan mereka jadi mampat sehingga kata cinta tak pernah diucap. Cuma lewat tindakan dan perbuatan mereka bisa ungkapkan rasa cinta itu.
Natasha tak pernah tahu, bila selama dua tahun itu, pada tiap sarapan dan makan malam yang dibuatkan oleh Ali untuknya, ada kandungan cinta di dalamnya. Ia tak pernah tahu, bila di setiap hari ketika kuliah telah usai, Ali selalu menyegerakan diri untuk kembali ke apartemen demi bisa lekas bertemu dengannya. Dan ia tak pernah tahu, tiap kali ia tertidur di meja usai mengerjakan tugas, selalu adatangan lembut yang mengusap pipi dan membelai rambutnya.
Ali tak pernah tahu, terkadang di kala malam, ketika ia kelelahan, Natasha selalu masuk ke kamarnya untuk membenarkan selimut yang membungkusnya kemudian mencium keningnya. Ia tak pernah tahu bila tiap kali Natasha mengobati dan merawatnya ketika ia melukai dirinya sendiri maupun jatuh sakit karena kelelahan, ada kekhawatiran yang sungguh-sungguh dirasakan wanita itu. Ada kasih sayang luar biasa yang diberikan pada tiap sentuhan tangannya, bukan sekadar sentuhan tangan seorang calon dokter yang mesti merawat pasiennya.
Keduanya sama-sama tak pernah tahu, ketika gelar magister telah mereka raih, ada rasa takut yang sama-sama mereka rasai. Rasa takut untuk berpisah. Rasa takut bila nanti jadi merindu dan bilamanasulit untuk bertemu.
Mereka tak pernah tahu semua itu, karena masing-masing hanya membatin dalam hati. Tak pernah mengungkapkannya.
***
“By the way, saya tidak benar-benar baik-baik saja.” Ucap Natasha kepada Ali.
Kedua alis Ali terangkat. Tak mengerti maksud wanita itu. “Kenapa? Kamu...ada masalah dengan suami kamu?”
Natasha menggeleng. “Kamu penyebabnya.”
Ali terhenyak. Makin tak paham maksud sahabatnya.
“Kamu lupa kalau kamu punya satu kesalahan yang sangat fatal dan belum kamu tebus?”
“Maksud kamu?”
“Saya masih sakit hati karena kamu nggak datang ke pernikahan saya. Dan saya makin sakit hati karena kamu nggak ngundang saya ke pernikahan kamu.”
Ketegangan Ali berkurang. Ia tersenyum simpul. “Soal, itu. Kamu masih sakit hati?”
“Dendam kesumat malahan!”
Ali terkekeh. “Oke. Saya minta maaf banget karena nggak ngundang kamu ke pernikahan saya, Tapi, kan, saya sudah bilang, kalau saya nggak ngundang siapapun selain keluarga. Nggak ada satu pun teman saya yang saya undang. Dan untuk ketidakhadiran saya di pernikahan kamu, saya menyesal banget. Siapa sangka jika jadwal perform saya sama dengan hari pernikahan kamu. Perform seperti itu, kan, tentu sudah disiapkan jauh-jauh hari. Bisa dari tiga hingga enam bulan sebelumnya. Paling nggak, saya sudah kirim orang untuk datang bawa bunga, kartu ucapan dan kado.”
Ali tidak berbohong. Tak ada satu pun kawannya yang ia undang ke pernikahannya. Sebab, ia tak mau bila Natasha merasa dilupakan. Pada mulanya, ia hanya tak ingin mengundang wanita itu. Namun Ali tahu jika itu terlalu jahat dan tak adil untuk sahabatnya. Pada akhirnya, pesta pernikahan itu hanya dibuat untuk keluarga besar.
Namun Ali berbohong, jadwal penampilannya mestinya diadakan satu bulan usai pernikahan Natasha. Namun sehari setelah ia menerima undangan dari sahabatnya, Ali meminta pada agensinya untuk memajukan jadwal penampilannya, tepat pada hari pernikahan sahabat yang paling disayanginya.
Ali sangat paham jika kerinduan yang ia pendam kian berkarat dan membuatnya semakin sekarat. Namun ia juga paham, bila ia hadir pada pernikahan Natasha dan melihat sahabatnya bersanding dengan orang lain, kerinduan itu akan berubah menjadi rasa sakit yang juga membuatnya sekarat.
Kerinduan itu bagaikan sebuah penyakit yang kian hari terus menggerogoti kesehatannya. Fisiknya tampak baik-baik saja, tapi jiwanya begitu keropos. Namun ia juga tak mau, bila Natasha hadir di pernikahannya dan membuat hatinya goyah.
Ali berada pada pilihan yang sulit: menahan kerinduan yang terus berkarat atau mengobati kerinduan itu tetapi ia akan tersakiti oleh rasa cemburu dan pahitnya menerima kenyataan tak dapat memiliki wanita sekaligus sahabat yang paling dikasihinya. Pada akhirnya ia memilih untuk menahan kerinduan itu, membiarkannya terus berakarat.
Natasha terdiam. Tersenyum kecut. Ia ingin mempercayai perkataan Ali. Namun, lima tahun terakhir, ia rasai bahwa sahabat yang dicintainya menghindarinya. Tanpa ia tahu mengapa.
“Kamu, harus menebus kesalahan kamu!” Ucap Natasha berusaha ketus. Memonyongkan kedua bibirnya.
Natasha ingin terlihat marah dan galak di hadapan Ali. Agar sahabatnya tak tahu, bahwa selama lima tahun terakhir ada kerinduan yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata dan Cuma lewat air mata. Agar Ali tak tahu, bahwa hari ini, beberapa saat lalu ketika ia bertemu dengan Ali untuk pertamakalinya setelah lima tahun berpisah, ada air mata kebahagiaan yang ia tahan.
Ali tersenyum geli melihat Natasha. Cara wanita itu mengekspresikan kekesalannya sama sekali tidak berubah.
“Gimana caranya?”
Natasha memandang ke luar. Kini hujan makin lebat, sesekali angin berembus kencang dan terdengar suara guntur.
“Awalnya, saya pengin ajak kamu jalan-jalan ke manapun sampai malam. Sayangnya hujan. Kalau hujan nggak reda-reda, kamu harus temani saya ngobrol di sini sampai bosan. Yang penting hari ini kamu jadi milik saya.”
Kini giliran Ali yang terdiam. Ia tatap sahabatnya lekat-lekat. Ada hal yang mesti Natasha ketahui: hari ini, besok, lusa, minggu depan dan selamanya Ali akan dengan senang hati untuk menjadi milik Natasha. Natasha perlu tahu itu, namun Ali cuma bisa membertihatukannya dalam hati.
***
Pukul delapan malam hujan baru reda. Sepasang sahabat itu baru saja meninggalkan cafe tempat mereka membicarakan banyak hal selama hampir lima jam. Keduanya berjalan beriringan meniti trotoar.
Natasha mengeluarkan ponselnya dari saku jaket. Diatatpnya layar ponsel itu. Satu pesan singkat masuk, dari suaminya.
“Sudah dijemput suami kamu?” Ali bertanya hati-hati.
Natasha tersenyum dan mengangguk. Dimasukkannya kembali ponsel itu ke dalam saku. “Sepertinya kita harus berpisah di sini.” Ucapnya dengan berat hati. Ia tidak ingin berpisah malam ini. Tidak pula besok ataupun lusa. Natasha tidak pernah ingin berpisah dengan sahabatnya. “Thanks for today, lain kali ketemu lagi.”
Ali mengangguk berat. Lagi-lagi ia harus berpisah dengan sahabatnya. Lagi-lagi ia harus bersiap untuk menjadi perindu akut. Dan ia tak tahu apakah kali ini ia sanggup berdiri menahan kerinduan atau kerinduan itu yang sanggup membuatnya sekarat.
“Kamu, naik taksi atau dijemput?” Natasha bertanya. Mengulur waktu agar lebih lama bersama Ali.
“Sepertinya saya dijemput, kalau dia tidak lupa.” Ali terkekeh sendiri.
Natasha menatap sebuah mobil di seberang jalan. Seorang laki-laki berjas hitam keluar dari mobil itu, melambaikan tangan padanya.
Selama empat tahun terakhir ia selalu lega tiap kali laki-laki itu muncul di hadapannya buat menjemputnya. Namun kali ini, ia sama sekali tidak merasa lega.
“Saya sudah dijemput.”
Ali memutar badannya. Menatap laki-laki itu.
“Saya pulang dulu.”
Ali mengangguk. “Hati-hati.”
Natasha merentangkan kedua tangannya. “Peluk?” Pernyataannya lebih seperti sebuah tawaran, bukan perintah juga bukan permintaan.
Ali tak bergegas memeluk sahabatnya. Ada kengiluan yang membuatnya ingin meringis.
“Al?”
Ali bergegas memeluk Natasha. Dipeluknya erat wanita dalam dekapannya. Ia tarik napas dalam-dalam. Menghirup parfum yang menempel pada pakaian wanita itu. Parfum yang ia tahu tak pernah diganti oleh wanita itu sejak pertama mereka berjumpa. Ia nikmati kehangatan pelukan itu, karena setelah ini ia tak akan merasakan kehangatan yang sama dan entah kapan ia akan kembali merasakan kehangatan itu.
Natasha memejamkan kedua matanya. Dirasainya pelukan itu penuh nikmat. Ia usap kepala Ali. Rambut itu masih sama lembutnya, tak berkurang sedikit pun kelembutannya. Ia hirup aroma sampo yang tak asing lagi buatnya, rupa-rupanya sahabatnya masih menggunakan merk yang sama dengan bertahun-tahun lalu.
Cukup lama keduanya berpelukan, hampir satu menit.
Perlahan, Ali melepaskan pelukannya secara perlahan. “Suami kamu menunggu.”
Natasha masih memeluk Ali. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak menetes hingga tenggorokannya terasa asin.
“Natasha.”
Perlahan, dengan berat hati Natasha melepaskan pelukannya. Diusapnya kedua matanya. Ia tatap Ali lekat lalu tersenyum selebar mungkin, meyakinkan pada Ali dan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja, atau setidaknya akan baik-baik saja. “Oke, saya pulang dulu.”
Natasha segera menyeberangi jalan raya menghampiri suaminya.
Ali menatap punggung Natasha, begitu wanita itu tiba di seberang jalan, bergegas ia beranjak dari tempatnya.
Natasha tiba di hadapan suaminya, ia tersenyum kepada lelaki yang telah empat tahun menikah dengannya. Membiarkan lelaki itu mencium keningnya. Namun tak lama kemudian, ia kembalimemutar badan, ditatapnya sahabat yang paling disayanginya. Kini, Ali telah beranjak dari tempat mereka semula, belum jauh dari jangkauan matanya.
“Al!”
Ali tak mendengar teriakan itu.
“Alika!”
Ali menghentikan langkahnya. Menengok ke arah sahabatnya.
“Lain kali, bisa ketemu lagi, kan?”
Ali tak segera menjawab. Jika ada pertemuan selanjutnya, bukankah akan ada kerinduan lagi? Batinnya bertanya. Ia mengangguk. “Mudah-mudahan.” Serunya.
“Alika!” Natasha berteriak lagi. Belum ingin untuk berpisah.
Bersamaan dengan itu rombongan kendaraan melaju di jalan raya, menghalangi pandangan masing-masing. Cukup lama, hampir dua menit.
Sebuah bus berlalu dari hadapan keduanya. Kini mereka dapat saling berpandangan.
Natasha dapati kini telah berdiri seorang laki-laki di samping Ali. Ia terdiam. Ditatapnya sepasang suami istri di seberang sana. Ia kepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Tenggorokannya terasa kian asin. Tersenyum selebar mungkin.
“Hati-hati!” Serunya.
Ali terdiam. Ditatapnya Natasha yang berada dalam rangkulan laki-laki berjas hitam tadi. Menelan ludah, menahan ngilu yang sungguhan membuatnya ingin meringis. Kemudian ia gandeng tangan suaminya, berharap dengan begitu mendapatkan kekuatan untuk melihat pemandangan di hadapannya. Ia mengangguk dan balas tersenyum lebar.
“Kamu juga.” Ucap Ali kemudian.
Dua pasang suami dan istri itu lantas segera berlalu, menuju rumah mereka masing-masing.
Ali tak pernah tahu, beberapa detik sebelum Natasha memintanya buat berhati-hati, ada kata cinta yang diucapkan oleh wanita itu dalam hati. Natasha tak pernah tahu, bahwa sesaat sebelum Ali mengangguk, ada pengakuan cinta yang diucapkan oleh Ali walau hanya dalam hati.
Namun keduanya sama-sama tahu, bahwa cinta yang mereka rasai tak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Agar tak perlu ada yang tersakiti. Agar tak ada jarak yang tercipta. Cukup dengan membatinsaja.