Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Membaca Jiwa
0
Suka
114
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Saya hanya duduk dan mengatakan satu hal tentang apa yang saya rasakan. Saya bilang, saya sedang hampa.

"Apakah kamu punya sesuatu yang mungkin bisa membuat kehampaan saya hilang? Barangkali tips, trik, atau apa saja?" tanya saya.

Ia berpikir sebentar.

"Setelah saya pikir, saya tidak punya apa-apa. Selain pelukan dan kata-kata. Akan tetapi, saat ini, apa yang saya miliki, bukankah lebih berharga dari apa pun yang ada di bumi? Karena semua keindahan di alam semesta ini percuma saja, jika jiwamu sedang dalam keadaan murung dan hampa. Saya pikir, saya bisa membantumu dengan dua hal itu."

Saya terdiam mendengar kalimat-kalimat dari seseorang yang mengaku tidak punya apa-apa itu. Saya yakin lelaki di depan saya ini bukanlah orang biasa. 

"Benar. Kamu benar. Sekali lagi, jiwa saya sedang murung, sedang hampa. Sedang kosong dan tidak tahu kenapa. Saya bertanya-tanya sepanjang waktu, selama berhari-hari, berminggu-minggu, tapi saya tak kunjung mengetahui sebab mengapa saya seperti ini."

Lelaki dengan kacamata minus itu diam sejenak, seperti tengah menimbang jawaban apa yang tepat untuk saya. Sebenarnya, saya masih ragu, apakah keputusan datang ke tempat ini benar-benar tepat? Seorang teman merekomendasikan tentang sebuah rumah yang membuka praktik konsultasi kejiwaaan tanpa biaya sama sekali. Awalnya saya tidak percaya, tapi saya penasaran. Maka dari itulah, saya berada di sini, saat ini. 

"Bukan kamu saja yang merasa seperti itu. Saya yakin, di dunia ini ada banyak yang merasakan hal semacam itu. Mereka mungkin berangkat di pagi hari untuk bekerja dengan senyum yang terukir di wajah masing-masing. Akan tetapi, bisa saja keadaan jiwa mereka tidaklah sedang baik-baik saja. Jujur, saya memang tidak tahu tepatnya apa penyebab kamu merasa seperti itu. Hanya, saya mungkin bisa sedikit meringankan perasaan itu."

"Meringankan?"

"Benar. Ceritakan kepada saya, semua yang tengah kamu hadapi. Apa pun itu, saya punya waktu, dua telinga, dan kerelaan untuk mendengar semuanya."

Ia tersenyum. Senyumnya mampu membuat hati ini jadi tidak keruan. Tidak, bukan perasaan suka, melainkan perasaan seolah hati saya yang sangat tertutup ini, dibukanya dengan perlahan. Dengan senyumnya, dengan sorot matanya, hati saya luluh.

"Kamu pasti pernah kuliah di jurusan psikologi. Benar?" Tiba-tiba saja saya bertanya tentang itu.

"Tidak."

"Yang benar?"

"Serius. Saya tidak pernah kuliah."

"T-tapi ...."

"Kamu ke rumah saya untuk wawancara dengan saya atau untuk mengadukan semua keresahan jiwamu?"

"Ehm, maaf."

"Hehe, tidak. Maaf jika saya bertanya terlalu keras. Tapi, saya memang tidak kuliah dan apakah itu penting?" tanyanya. 

Saya tersenyum. Entah kenapa, tapi ada perasaan lega ketika melihat raut wajahnya yang begitu tenang dan mendengar setiap jawabannya.

"Baik. Saya hanya akan menyampaikan apa saja yang saya alami saat ini. Dan mungkin saya juga akan menyampaikan kenangan-kenangan menyakitkan yang pernah saya alami. Semua yang saya rasakan di masa lalu, meskipun jujur saja, saya sudah baik-baik saja dengan itu semua. Maksud saya, saya sudah memaafkan orang-orang yang menyakiti saya di masa lalu. Juga ... saya berusaha keras untuk melupakan orang-orang yang pernah saya sakiti di masa lalu. Saya tahu, saya bukanlah orang baik, meskipun banyak yang mengatakan saya orang baik. Mereka semua hanya tidak tahu saja sebenarnya saya ini bagaimana."

Laki-laki itu begitu antusias mendengarkan. Saya jadi sangat merasa dihargai.

"Orang-orang yang pernah kamu sakiti?" tanyanya. Saya sudah menduga, ia akan tertarik pada yang satu itu.

"Benar."

"Baik. Kamu mau mulai dari mana? Terserah saja."

***

Saya memang selalu merasa tidak enak atau tidak nyaman ketika melakukan sebuah kesalahan. Saya juga tidak tahu mengapa dulu, dulu sekali, saya sangatlah apatis terhadap banyak hal. 

Saya sering berpikiran negatif, saya jarang tersenyum, dan bahkan saya pernah melatih diri di depan cermin untuk bisa tersenyum dengan benar. Senyum yang tulus itu seperti apa, saya belajar sendiri. Aneh, tapi memang begitulah adanya.

Maka, hari-hari itu pun terjadi. Hari ketika saya mulai melontarkan ucapan yang saya pikir candaan, saya juga mulai menjahili teman sebangku, dan saya tidak segan menertawakan kemalangan orang lain.

Kemudian, lama sekali akhirnya saya menyadari. Saya sadar mengapa saya jadi seperti itu. Karena saya pernah. Saya pernah diperlakukan demikian. 

Saya yang mulai merasa bersalah, kemudian meminta maaf. Saya meminta maaf kepada mereka yang saya pikir sudah sangat saya sakiti. 

Namun, sekeras apa pun saya berusaha, sampai kini, saya masih belum yakin. Apakah mereka yang mengatakan sudah menerima permintaan maaf saya itu benar-benar sudah memaafkan? Tidak, saya tidak tahu. Saya tidak yakin. 

Satu lagi, saya merasa belum sepenuhnya bisa lepas dari kebiasaan yang saya anggap buruk itu. Sering kali, tanpa sadar, saya masih menyakiti orang lain. Saya tahu itu salah, tapi tetap saja, saya salah langkah.

Kemudian, saya mencoba berdamai. Namun, ini yang saya rasakan. Saya tidak bisa betul-betul menerima keadaan saya. Saya benci diri saya yang seperti ini. Saya benci diri saya ketika saya seolah-olah menempatkan diri saya sebagai korban. Selalu demikian. Padahal, saya tidak tahu. Saya hanya, saya tidak tahu.

***

"Kamu pernah menceritakan itu kepada seseorang, selain saya?" tanya laki-laki itu. Saya menggeleng.

"Saya yakin, kamu memiliki satu atau dua teman."

"Ya, saya punya. Tapi, saya tidak pernah benar-benar dekat dengan mereka."

"Orangtuamu masih ada?"

"Masih."

Laki-laki itu diam lagi. Ia memandang saya. Saya pun menunduk.

"Saya mengerti."

"Mengerti?"

"Benar. Saya mengerti kenapa perasaan itu datang kepadamu. Kekosongan itu."

"Kenapa?"

"Kamu hanya takut. Kamu takut orang lain terluka. Kamu takut orang-orang yang kamu sayangi di masa kini terluka karenamu. Kamu menyimpulkan bahwa orang-orang yang pernah kamu sakiti di masa lalu, belumlah menerima permintaan maafmu. Padahal, dari mana kamu tahu? Perasaan seolah tahu itu, kalau berlebihan juga tidak bagus. Tapi, tidak apa-apa. Saya bilang, tidak apa-apa."

"Tidak apa-apa?"

"Ya, memang tidak apa-apa. Dan satu lagi, saya mengerti kenapa kamu tidak pernah menceritakan semua masalahmu kepada orang-orang terdekatmu. Sekali lagi, kamu takut mereka terluka. Kamu takut mereka jadi ikut bersedih karena semua masalahmu. Benar?"

Saya memberanikan diri mengangkat kepala lebih tinggi. Kembali melihat sorot matanya, saya tak kuasa menahan kesedihan lagi. Saya ingin menangis. Hanya ingin menangis. 

Ia tersenyum. Sekali lagi, senyum yang membuka hati saya lebih lebar.

"Saya orang asing. Saya bukan keluarga atau temanmu. Jadi, seberat apa pun masalahmu, ceritakanlah kepada saya. Apa saja, ceritakan. Saya akan dengarkan."

Saya mengangguk. Saya mulai terisak, kemudian menangis lebih keras, sampai tersedu-sedu. Saya menutup wajah dengan kedua tangan sambil gemetar. Perasaan saya kacau, kacau sekali. Apa yang dikatakan oleh laki-laki itu sangat benar. Tidak ada yang melenceng sedikit pun.

"Sekali lagi, saya hanya punya pelukan dan kata-kata. Mau pelukan?"

Saya menggeleng. 

Kemudian tak lama, saya mendapat tepukan lembut sebanyak tiga kali di pundak.

"Pundak ini, pundak yang kuat. Pundak yang membawa beban sedemikian berat, tapi masih mampu dan akan selalu mampu memikulnya. Saya ingin berterima kasih kepada pundakmu. Saya ingin berterima kasih kepadamu."

Setelah itu, saya masih menangis. Saya tidak tahu tepatnya berapa lama saya menangis. Namun, akhirnya saya berhenti juga. Saya lelah dan ingat kalau saya harus pulang ke rumah untuk mengerjakan pekerjaan yang beberapa hari ini terbengkalai.

"Terima kasih banyak. Tapi, sebelum saya pulang, saya ingin bertanya kepadamu sekali lagi."

"Tentang apa?"

"Apa kamu punya pekerjaan lain?"

"Saya seorang penulis."

Saya mengangguk dan berjalan keluar dari rumah itu setelah berpamitan. Saya sempat menyodorkan sejumlah uang sebenarnya, tapi ia menolak. Untunglah. 

Di perjalanan pulang, saya baru benar-benar mengerti. Penulis? Pantas saja, ia pandai merangkai kata. Pantas saja, ia pandai membaca. Membaca apa saja.

(*)

2021

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Membaca Jiwa
Imas Hanifah N.
Cerpen
Bronze
Kesunyian Ini ....
Imas Hanifah N.
Cerpen
Perempuan Berambut Perak
Rafael Yanuar
Cerpen
Tentang Teman dan Waktu
Aura R
Cerpen
Ini tentang Cinta; Mati
Andriyana
Cerpen
KALAU ADA YANG SULIT, KENAPA HARUS DIPERMUDAH?
Yunia Susanti
Cerpen
Mamamia
Lany Inawati
Cerpen
Perhatikan Rani
Cassandra Reina
Cerpen
FISIKA oh FISIKA
Rian Widagdo
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Cerpen
Bronze
Pinjaman
Trippleju
Cerpen
Bronze
Izinkanlah Aku Memakan Hatinya
Nurul Arifah
Cerpen
Bronze
Masakan Ibu
Noveria Retno Widyaningrum
Cerpen
KEAJAIBAN TETANGGA KOMPLEK
R Hani Nur'aeni
Cerpen
Bronze
sepenggal kisah yusa
D. Agustin
Rekomendasi
Cerpen
Membaca Jiwa
Imas Hanifah N.
Cerpen
Bronze
Kesunyian Ini ....
Imas Hanifah N.
Cerpen
Martin dan Kisah Cintanya yang Rumit
Imas Hanifah N.
Cerpen
Bronze
Pukul Seratus
Imas Hanifah N.
Cerpen
Bronze
Kumcer Paling Buruk
Imas Hanifah N.
Cerpen
Bronze
Tidak Ada Tutug Oncom di Neraka
Imas Hanifah N.