Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Memahat Jalan
1
Suka
39
Dibaca

Di sudut gang yang diterangi lampu neon berkedip seperti nadi kota yang lelah, Bayu duduk di atas bangku plastik yang telah menyerah pada waktu. Di tangannya, buku catatan usang, kulitnya terkikis, penuh coretan yang menari seperti bayang-bayang mimpi tak berlabuh. Udara malam terasa berat, bercampur aroma asap bakaran sate dan suara roda gerobak yang merintih di kejauhan. Bayu, pemuda 27 tahun, bukan sosok yang larut dalam keramaian. Pikirannya adalah samudra bergolak, di mana ide-ide liar berlomba menembus permukaan, namun tenggelam sebelum menemukan pantai. Malam ini, sebuah pertanyaan menggigit jiwanya: Jalan mana yang harus kutempuh?

Mimpi-mimpi Bayu bukan bunga yang mekar di taman biasa. Ia membayangkan kedai buku di sudut kota, aroma kopi bercampur petikan gitar akustik. Atau platform digital yang mengubah cara manusia berbagi pengetahuan, menghubungkan benak-benak di ujung dunia. Bahkan, ia pernah membayangkan kerajinan dari limbah plastik yang berkelana hingga galeri-galeri Eropa. Namun, mimpi itu seperti kepingan kaca berkilau di bawah sinar bulan—memukau, rapuh, mudah pecah di tangan yang tak tahu cara memegangnya. Modal? Kosong, seperti kantongnya yang hanya berisi kunci rumah dan selembar uang lima ribuan. Pengalaman? Hanya jejak kegagalan dari pekerjaan serabutan: pengantar paket, pelayan warung, hingga pembantu tukang las yang selalu salah ukur.  

Apa yang membuat Bayu berbeda bukan tumpukan idenya, melainkan cara ia memandang dunia. Baginya, hidup adalah teka-teki raksasa, dan setiap orang punya kepingan yang harus ditemukan untuk melengkapinya. “Orang lain mengejar emas, aku mengejar makna,” gumamnya pada bayangannya di genangan air trotoar. Prinsipnya sederhana namun berakar dalam: Keberhasilan bukan garis akhir, melainkan lukisan yang kau ciptakan dari goresan-goresan kecil.*Tapi lukisan itu tak pernah jadi jika kuasnya tak ada, dan malam ini, Bayu merasa kuasnya telah hilang.  

Di bawah langit kelabu, ia membuka buku catatannya. Di halaman menguning, ia menuliskan kalimat yang lahir dari kegelisahan: Jika aku tak punya apa-apa, aku akan memulai dari apa yang dunia buang.” Kalimat itu seperti petir di malam sunyi, menerangi sudut-sudut pikirannya yang gelap. Ia teringat tumpukan botol plastik di belakang warung Bu Santi, kain-kain perca yang dibuang penjahit di ujung gang, dan pecahan kaca yang berkilau di tepi jalan, seolah menunggu seseorang melihat nilainya. Sampah, pikirnya, adalah kanvas yang tak diinginkan siapa pun

Keesokan harinya, Bayu bergerak, didorong semangat rapuh namun membara. Dengan sepeda tua yang rantainya sering melompat, ia menjelajahi gang-gang, mengumpulkan botol plastik, kain perca, dan pecahan kaca yang berkilau seperti permata terlupakan. Tetangga memandang dengan alis terangkat, beberapa terkekeh. “Ngapain ngumpulin sampah, Bayu? Mau jadi tukang loak?” tanya Pak RT dengan nada setengah menggoda. Bayu hanya tersenyum, matanya menyimpan rahasia. “Sampah bagi mereka, harta bagi saya,” jawabnya, suaranya ringan, namun di dadanya, ia sedang merancang istana.  

Di gudang kecil di belakang rumahnya, Bayu bekerja seperti kesurupan. Ia menonton video demi video di ponsel tuanya, belajar melelehkan plastik jadi lembaran tipis, menjahit kain perca jadi pola-pola abstrak, dan menyusun pecahan kaca jadi mozaik yang menari di bawah cahaya. Hasilnya adalah lampu-lampu hias yang tak biasa—setiap lampu seperti puisi yang menyala, menceritakan kisah benda-benda yang pernah dianggap tak berguna. Mozaik burung yang berkilau, lentera plastik menyerupai awan, dan lampion kain yang berbisik tentang masa lalu.  

Namun, dunia tak ramah pada mereka yang berjalan di jalur tak biasa. Pasar seni lokal menolak karyanya dengan alasan dingin: “Terlalu eksentrik. Siapa mau beli lampu dari sampah?” Bayu tak patah arang. Ia membawa lampu-lampunya ke pasar malam, berdiri di sudut dengan kain usang sebagai alas. Orang-orang lewat, melirik sekilas, lalu berlalu. Malam demi malam, ia berdiri di sana, menahan dingin dan cemoohan halus pedagang lain. Hingga suatu malam, seorang wanita tua dengan mantel sederhana berhenti. Matanya terpaku pada lampu mozaik berbentuk burung, yang menyala lembut seperti mimpi terperangkap.  

“Ini... seperti melihat pecahan hidup yang disusun kembali,” kata wanita itu, suaranya penuh keajaiban. Bayu tersenyum, tak tahu harus menjawab apa. Wanita itu membeli lampu itu, dan sebelum pergi, ia berbisik, “Kau punya mata yang melihat apa yang orang lain abaikan.” Kata-kata itu seperti percikan api di hutan kering. Bayu pulang malam itu dengan dada membuncah, meski kantongnya masih hampir kosong.  

Api itu mendorongnya melangkah lebih jauh. Ia membuat akun media sosial, memotret lampu-lampunya di bawah sinar bulan agar mozaiknya berkilau seperti permata. Ia menuliskan cerita di balik setiap karya—tentang botol plastik yang pernah jadi wadah air seorang kakek pedagang, tentang kain perca yang dulu gaun pengantin yang dilupakan. Postingannya mulai dilihat, dibagikan, dan akhirnya, pesanan datang. Satu lampu, lalu dua, hingga sepuluh. Bayu merasa, untuk pertama kalinya, ia sedang menggoreskan lukisan hidupnya.  

Tapi lukisan itu belum selesai ketika badai datang. Gudang kecilnya kebanjiran, menghancurkan setengah bahan bakunya. Air keruh menggenangi mozaik-mozaik yang belum selesai, meninggalkan lumpur di tempat impian pernah bertahta. Supplier kain perca tiba-tiba menaikkan harga, dan seorang pelanggan besar membatalkan pesanan dengan alasan “pasar lesu.” Bayu duduk di tengah gudang basah, menatap lampu mozaik burung yang selamat—satu-satunya yang masih utuh. Keyakinannya retak, seperti kaca yang ia susun dengan susah payah. Apa gunanya bermimpi jika dunia terus menamparku?  

Kegagalan tak datang sendirian. Seorang tetangga, yang dulu mencibir, kini menawarkan pekerjaan sebagai penjaga malam di toko kelontong. “Mending kerja jelas, Bayu. Ngapain susah-susah bikin lampu yang nggak laku?” katanya dengan nada seolah penuh kebaikan. Bayu menolak, tapi suara itu menggema di kepalanya seperti lonceng yang tak berhenti berdentang. Ia mencoba menjual lampu di pasar lain, tapi penutupan jalan karena banjir membuatnya pulang dengan tangan kosong. Seorang pelanggan mengeluh mozaiknya retak saat pengiriman, menuntut pengembalian dana. Bayu mengganti, tapi tabungannya habis. Di depan cermin kamarnya, ia mematung. 

Hari itu ketika teman lamanya, Fajar, muncul. Fajar kini sukses, memiliki toko elektronik di pusat kota. “Bayu, ikut aku aja. Jadi sales, gaji lumayan. Buang-buang waktu ngurusin sampah,” katanya sambil menepuk pundak Bayu. Malam itu, Bayu hampir menyerah. Di gudang, ia menatap tumpukan pecahan kaca yang tak jadi apa-apa. Mungkin ini bukan jalanku, pikirnya. Ia mengambil buku catatannya, berniat menuliskan kata menyerah, tapi tangannya berhenti. Sinar bulan menerobos celah atap, menyulut kilau di mozaik burung yang selamat. Sesuatu di dadanya bergetar, seperti bisikan dari kepingan-kepingan itu sendiri. Ia menulis: “Jika dunia tak memberi jalan, aku akan memahat jalanku sendiri.” 

Bayu bangkit, meski kakinya terasa berat. Ia menghubungi komunitas daur ulang, menawarkan kolaborasi untuk mengumpulkan bahan. Ia belajar membuat lilin dari sisa minyak jelantah, menambah produk untuk bertahan. Ia bahkan mulai mengajar anak-anak di gangnya membuat kerajinan sederhana, berbagi ilmu yang ia pelajari dengan penuh luka. Setiap malam, ia bekerja hingga matahari mengintip, menolak menyerah pada kegelapan yang mencoba menelannya.  

Momentum itu datang seperti angin tak terduga. Seorang kurator seni dari Jakarta, yang tersandung pada postingan media sosialnya, terpukau oleh lampu-lampu Bayu. Karyanya dipamerkan di galeri ternama, bukan sebagai kerajinan, melainkan karya seni. Kritikus menyebutnya “puisi visual dari limbah kota,” dan pesanan membanjir. Tapi Bayu tak lupa diri. Ia tetap tinggal di gang sempit itu, mengubah gudang kecilnya jadi bengkel komunitas, tempat anak-anak gang belajar bermimpi.  

Ketika ia menemukan buku catatan lamanya di bawah tumpukan kain perca. Di halaman pertama, ia pernah menulis: “Aku tak punya modal, tak punya pengalaman, tapi aku punya waktu dan cerita.” Bayu tersenyum, menyadari bahwa “modal” yang ia cari bukan uang atau keahlian, melainkan keyakinan bahwa setiap kepingan pecah bisa disusun jadi masterpiece. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Pelangi Senja dalam Renjana
Noura N
Novel
Bronze
BUMI Ajari Aku Kematian
Nofi Yendri Sudiar
Komik
Pristine Spring
Izumi
Skrip Film
Skala Manusia
Bilal Fadilah
Cerpen
Mau Pulang
Anisah Ani06
Cerpen
Memahat Jalan
Ron Nee Soo
Skrip Film
UP & DOWN
Geanita Nurfika
Novel
Bronze
KEDUA KALI
Novya
Skrip Film
Her Podcast Case
Irvinia Margaretha Nauli
Flash
Pilih Baju Lagi
Deden Darmawan
Cerpen
Bronze
Jangan Berurusan dengan Polisi
Sulistiyo Suparno
Flash
Sarjana Pandemi
Fajar R
Flash
MAMA. . . . AKU RINDU. . . .
Iman Siputra
Cerpen
Bronze
SAAT SUSUK MERASUK SUKMA
Siti Nashuha
Cerpen
Janji yang Tak Dibayar, Tak Bisa Digoreng
Renaldy wiratama
Rekomendasi
Cerpen
Memahat Jalan
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Apakah ada Ruang Untuk Cinta yang Sama
Ron Nee Soo
Cerpen
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Sabar adalah Sungai, Senyumanmu adalah Muaranya
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Dua Tahun Lagi
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
ada cinta luar biasa yang engkau terima tanpa harus bersusah payah mencarinya
Ron Nee Soo
Cerpen
Tiga Hari
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Sekiranya Aku adalah Menantunya
Ron Nee Soo
Cerpen
Ironi Kotak Amal Sekolah
Ron Nee Soo
Flash
Twinflame
Ron Nee Soo
Cerpen
Dalam Cinta Kubertanya?
Ron Nee Soo
Cerpen
Talang Sawah dan Lagu Mangu
Ron Nee Soo
Cerpen
Kata Terakhir
Ron Nee Soo
Novel
Stigma
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Surat dari Jakarta
Ron Nee Soo