Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Melodi Darah dan Biola
1
Suka
1,032
Dibaca

Nada-nada itu berhamburan, liar dan penuh amarah, memantul di dinding marmer Concertgebouw yang megah dan berkilauan. Lampu-lampu kristal di atas kepala bergetar lembut seolah ikut terhanyut. Jari-jariku menari di atas senar biola, memaksakan setiap emosi yang terpendam, setiap luka yang tak pernah sembuh, ke dalam alunan musik.

Getaran busur pada senar terasa seperti ledakan kecil yang melepaskan rasa sakit yang kusimpan. Di bangku penonton, matanya mengawasi. Tatapannya tajam, penuh penilaian, seolah sedang menelanjangi jiwa, namun di balik itu ada sesuatu yang memuja. Mata seorang komposer yang terobsesi dengan kesempurnaan. Mata kekasihku, Julian.

Bagaimana aku bisa sampai di sini? Memainkan komposisi yang begitu indah, padahal aku tahu ia lahir dari cara yang begitu mengerikan. Aku, Anya, pemain biola yang sejak awal hanya ingin menyentuh hati pendengar dengan musikku, kini terperangkap dalam jaring kesetiaan yang dibangun di atas darah, pengorbanan, dan rahasia yang menghitamkan nurani.

Semuanya bermula setahun lalu, saat aku mengikuti audisi untuk orkestra yang dipimpin oleh Julian. Hari itu aula konser penuh dengan calon musisi yang gugup. Tangan-tangan kami dingin dan berkeringat. Julian adalah legenda hidup, komposer jenius yang karyanya mampu membangkitkan emosi terdalam pendengarnya. Musiknya seperti pusaran arus yang menyeretmu, begitu kuat, begitu intens, seolah jiwa seseorang ditelanjangi dan diubah menjadi nada. Aku ingat pertama kali mendengar salah satu simfoninya; aku terdiam, merinding, dan tanpa sadar menangis.

Aku lolos audisi. Julian memilihku sebagai pemain biola solo. Sejak saat itu, duniaku hanya berputar di sekelilingnya. Dia membimbingku, mengajariku teknik dan filosofi musik, membentukku dengan sabar dan keras dalam waktu yang sama. Dia melihat potensi dalam diriku yang bahkan tidak kusadari. Dia membuatku merasa istimewa, merasa dicintai. Kami berbicara hingga larut malam tentang seni, tentang musik yang bukan hanya suara tetapi bahasa jiwa.

Julian adalah pria yang misterius. Suaranya rendah dan jarang meninggi, matanya jarang benar-benar tersenyum. Dia jarang berbicara tentang masa lalunya, seperti lembar buku yang sengaja disobek. Hidupnya hanya untuk musik. Obsesinya pada kesempurnaan membuatnya menjadi perfeksionis yang kejam. Dia menuntut yang terbaik dari semua orang, termasuk diriku. Ada kalanya ia menatapku di ruang latihan seperti seorang pemahat yang mengukur bentuk patungnya, bukan kekasih yang sedang memandang orang yang ia cintai.

Kami jatuh cinta, atau setidaknya aku percaya begitu. Cinta kami adalah simfoni yang penuh dengan gairah dan intensitas, crescendo yang tak kunjung turun. Kami menghabiskan waktu berjam-jam bersama, bermain musik, berdiskusi tentang seni, dan berbagi mimpi. Aku merasa seperti telah menemukan belahan jiwaku, seseorang yang menyempurnakan kekuranganku.

Namun, keindahan sering menyembunyikan kegelapan. Seperti nada disonan yang tersembunyi di balik melodi yang indah. Perlahan aku mulai menyadari ada sesuatu yang aneh pada Julian. Dia sering menghilang selama berhari-hari tanpa penjelasan. Tatapannya kadang kosong seperti sedang berada di tempat lain. Dia menjadi lebih tertutup, lebih misterius.

Suatu malam, aku memutuskan mengikutinya. Aku menyusup ke kegelapan kota, bersembunyi di balik jaket panjangku. Aku melihatnya memasuki sebuah bangunan tua di pinggiran kota yang dindingnya retak-retak. Lampu redup di dalamnya menimbulkan bayangan panjang. Aku mengintip dari jendela yang kotor. Aku melihatnya berbicara dengan seorang pria yang tampak ketakutan, wajahnya pucat. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tetapi aku melihat Julian menyerahkan sejumlah uang kepada pria itu. Gerakan tangannya dingin, terukur.

Aku menunggu Julian keluar. Ketika akhirnya dia muncul, aku menghadangnya di bawah hujan yang turun rintik-rintik. “Siapa pria itu? Apa yang kau lakukan di sana?” tanyaku dengan suara bergetar. Wajahnya menegang. Dia marah, suaranya berubah dingin. “Itu bukan urusanmu. Jangan ikut campur,” katanya sambil berjalan pergi, meninggalkanku dengan pertanyaan yang membakar.

Sejak itu kecurigaanku tumbuh. Aku mulai mencari tahu tentang masa lalu Julian. Aku menggali berita lama, arsip, gosip murid-muridnya. Aku menemukan bahwa dia berasal dari keluarga kaya yang menyimpan sejarah kelam. Ayahnya seorang ilmuwan yang melakukan eksperimen mengerikan pada manusia. Julian mewarisi obsesi ayahnya pada kesempurnaan, meski menyebutnya “inspirasi.”

Aku juga menemukan bahwa Julian pernah kehilangan inspirasinya beberapa tahun lalu. Dia tidak bisa lagi menciptakan musik yang indah. Dia menjadi depresi dan putus asa. Hingga dia bertemu dengan seorang wanita bernama Clara, musisi berbakat yang menghidupkan kembali semangatnya. Mereka jatuh cinta, dan Clara menjadi muse bagi karya-karya Julian. Namun, Clara meninggal secara tragis. Katanya bunuh diri setelah Julian menolaknya. Julian hancur dan merasa bersalah, yakin bahwa dialah penyebabnya.

Aku mulai menyadari bahwa Julian menggunakan musiknya untuk mengatasi rasa bersalahnya. Dia mencoba menciptakan musik yang sempurna untuk menghormati Clara. Dia percaya bahwa jika ia berhasil menciptakan musik yang sempurna, ia bisa menebus dosanya. Tetapi kesempurnaan itu selalu punya harga. Semakin aku menyelidik, semakin aku mendengar desas-desus: tentang bagaimana dia mendapatkan inspirasi untuk musiknya, tentang bagaimana dia menyakiti orang lain untuk menciptakan keindahan.

Aku tidak ingin mempercayainya. Aku mencintai Julian. Aku tidak ingin percaya bahwa dia adalah monster. Namun keraguan menebal seperti kabut di ruang latihan kami. Aku memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh.

Aku menemukan bahwa Julian menggunakan orang lain sebagai subjek eksperimennya. Dia menyakiti mereka secara fisik dan emosional untuk melihat reaksi mereka. Dia menulis musik dari emosi itu, dari penderitaan yang dia ciptakan sendiri. Aku ngeri. Tangan yang dulu mengajariku menggenggam busur biola ternyata juga tangan yang menjerumuskan orang ke dalam neraka.

Aku menghadapi Julian. “Katakan padaku kebenarannya,” ucapku di ruang latihan, suaraku pecah. Dia menatapku lama, lalu tersenyum hambar. “Itu kebohongan. Fitnah,” katanya. Tetapi matanya tidak bisa berbohong. Aku melihat kilatan kegelapan di sana. Aku patah hati. Aku tidak bisa lagi mencintai Julian. Segala yang kubangun runtuh.

Aku memutuskan untuk meninggalkannya. “Aku akan pergi,” kataku lirih. Namun Julian mendekat, memegang tanganku. “Jangan. Kau satu-satunya yang mengerti aku. Aku tidak bisa hidup tanpamu,” suaranya pecah kali ini, penuh desperasi yang asing. Dia berjanji akan berubah. Dia berjanji tidak akan menyakiti siapa pun lagi.

Aku ingin percaya. Aku sangat ingin percaya. Tetapi aku tahu Julian tidak akan pernah berubah. Dia akan selalu menjadi monster. Aku harus menghentikannya sebelum dia menyakiti lebih banyak orang. Tapi bagaimana? Aku tidak tahu.

Lalu aku mendapat ide yang gila. Aku akan menggunakan musiknya untuk menghancurkannya. Aku akan memainkan musiknya dengan begitu kuat, begitu intens, sehingga dia tidak akan bisa lagi menyakiti siapa pun. Aku kembali padanya, berpura-pura luluh. “Aku akan tetap bersamamu. Aku akan membantumu menciptakan musik yang sempurna,” kataku. Dia senang, memelukku erat, menyebutku penyelamatnya.

Aku mulai berlatih musiknya dengan lebih keras dari sebelumnya. Aku memaksakan diriku merasakan setiap emosi yang tersembunyi di dalam nada-nada itu. Aku memainkan musiknya hingga tanganku gemetar, hingga dadaku terasa akan pecah.

Dan kemudian, malam ini pun tiba. Malam konser. Malam penentuan.

Aku berdiri di atas panggung, di depan ribuan orang yang duduk terdiam. Lampu-lampu panggung membutakan mata, namun aku bisa melihat Julian di bangku penonton. Matanya mengawasi, wajahnya penuh ekspektasi. Aku mengangkat biola. Aku menarik napas dalam-dalam, menahan gemuruh jantungku.

Dan aku mulai bermain.

Nada-nada itu mengalir dari biolaku, liar dan penuh amarah. Mereka seperti sayatan angin dingin yang mengiris udara konser. Aku memainkan musiknya dengan begitu kuat, begitu intens, hingga aku merasa seperti akan meledak. Aku menyalurkan semua yang kutahu tentang Julian ke dalam musik itu: rahasianya, dosanya, penderitaannya.

Aku melihat Julian di bangku penonton. Wajahnya pucat, matanya membelalak. Dia menyadari apa yang sedang kulakukan. Aku menggunakan musiknya untuk menghancurkannya, untuk memenjarakannya di dalam simfoni ciptaannya sendiri.

Aku terus bermain. Aku tidak berhenti. Aku memainkan musiknya sampai akhir, sampai keheningan menutup seluruh aula.

Ketika konser selesai, aku ambruk di atas panggung. Aku kelelahan, tubuhku basah keringat. Aku merasa seperti telah memberikan segalanya. Aku menatap ke arah kursi penonton. Julian telah pergi.

Aku tidak pernah melihatnya lagi. Ada yang mengatakan dia bunuh diri. Ada yang mengatakan dia melarikan diri ke tempat yang jauh. Tidak ada yang tahu pasti, dan mungkin itulah takdirnya—menjadi bayangan yang hilang ditelan sunyi.

Aku duduk sendiri di kamar latihan, biola di pangkuanku, jari-jariku menyentuh senarnya dengan lembut. Musik yang dulu lahir dari tangannya kini hanya tinggal gema di kepalaku.

Di satu sisi, aku lega. Aku tahu aku telah menghentikannya, menyelamatkan orang lain dari kegelapan yang ia bawa. Tetapi di sisi lain, hatiku tetap terikat. Ada bagian dari diriku yang masih mencari tatapan matanya di antara kerumunan, masih mendengar bisikan suaranya di sela-sela nada.

Dan di sanalah aku menyadari sesuatu yang menakutkan: meski aku telah melawan, meski aku telah meninggalkannya, aku tetap setia. Setia pada cintanya, setia pada lukanya, setia pada sisi tergelap dirinya yang kini hidup dalam musikku.

Mungkin kesetiaan itu adalah caraku menghancurkan dia. Atau mungkin justru itulah caranya bertahan di dalam diriku.

Aku tidak tahu jawaban yang benar. Yang kutahu hanya satu: setiap kali aku memainkan biola, aku masih mendengar namanya di antara nada.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Melodi Darah dan Biola
INeeTha
Cerpen
KABUT MERAH
moris avisena
Novel
Pewaris kematian (pembunuhan berurutan)
yulisaputra
Komik
How To Divorce You
asnafa_jkt
Novel
Gold
The Woman in the Window
Noura Publishing
Novel
Rahasia Tante Nina
Johanes Gurning
Novel
OSPEK
Afsheen Amelia
Skrip Film
Senin Malam
Nia Amelia Suhada Dalimunthe
Novel
Bara Segara
Tsugaeda
Novel
Mencari Cinta Sejati
DEVI SEFTIAWATI
Flash
Izin Tuhan
hyu
Novel
Bronze
Silent Song
Shigeyuki Zero
Flash
Bingkisan Hitam
Varenyni
Novel
48 Jam : School Pride (Suspect)
Ariq Ramadhan Nugraha
Novel
Gold
In A Dark, Dark Wood (Indonesian Edition)
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Senandung Luka
INeeTha
Cerpen
Melodi Darah dan Biola
INeeTha
Novel
Gerbang Cahaya Tirtaasih
INeeTha
Cerpen
Merajut Diri
INeeTha
Cerpen
Cinta Di Bawah Pohon Jambu
INeeTha
Flash
Warna Pertama
INeeTha
Flash
Lensa di Balik Tirai Dapur
INeeTha
Cerpen
Lensa di Balik Tirai Dapur
INeeTha