Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
MELODEATH: COMA
0
Suka
18
Dibaca

Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Suara mesin monitor berulang-ulang menandakan jantungnya masih berdetak, namun raganya tak bisa bergerak. Dalam diam, ia sadar bahwa ia sedang koma.

Namun, jiwanya tak diam. Ia berjalan, bernyanyi, bahkan membawa pesan. Itu harga dari kontrak yang terikat dengan sosok asing yang menyebutnya sebagai Dewa Kematian. Katanya, ia bisa menunda ajal yang sudah dekat jika gadis itu bersedia bekerja untuknya.

"Freya Zefanya. Sudah hampir satu minggu kau tak berdaya. Kau masih ingin hidup?" suara dari sosok pria tinggi itu terdengar menggema.

"Siapa kau?" tanya Freya dengan santai.

"Kau bisa memanggilku dewa kematian, dan aku bisa menunda ajalmu. Tapi dengan satu syarat."

"Syarat?"

"Kau harus menjadi penyampai pesanku. Aku tahu kau suka menyanyi. Jadi bernyanyilah pada mereka yang waktunya hampir habis. Hanya mereka yang bisa mendengarmu. Itu cara mereka menyambut kematian."

"Dan kalau aku menolak?" Freya bertanya dengan nada menantang.

"Hidupmu berakhir malam ini juga."

Freya terdiam. Rasanya seperti dicekik oleh kenyataan. Ia membayangkan wajah mamanya yang selalu mengusap tangannya di samping ranjang, juga kakak laki-lakinya yang hampir setiap malam menemani. Freya yakin mereka pasti ingin dirinya tetap hidup.

"Baik. Aku terima," sambut Freya seraya mengulurkan tangan kanannya.

***

Malam itu, Freya kembali mengunjungi rumahnya. Pemandangan yang sama pun terlihat seperti malam-malam sebelumnya. Kedua orang tuanya beserta kakak laki-lakinya masuk ke mobil dengan wajah muram penuh pengharapan.

"Kau tidak lupa pekerjaanmu, kan?" sebuah suara yang terdengar tepat di telinga kirinya membuat Freya terlonjak.

Sedetik kemudian, ia merasa jiwanya ditarik menjauh dari rumahnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari dirinya kini berada di dalam sebuah bus kota. Kursinya penuh, lampu di dalamnya redup kekuningan. Aroma keringat bercampur hujan yang baru saja reda pun menguar.

Ia berdiri di depan, memandangi para penumpang yang mungkin hidupnya akan berakhir beberapa jam lagi, atau mungkin hanya hitungan menit. Gitar pun ia mainkan dan bibirnya mulai bergerak. Sebuah nyanyian keluar begitu saja. Suaranya bergema lembut namun menusuk.

Beberapa orang tetap sibuk dengan ponsel mereka, tapi ada juga yang menoleh menatap Freya. Mata mereka membesar, kemudian basah. Seorang pria tua tersenyum lalu menunduk pelan. Entah mereka sadar atau tidak kalau waktu mereka hampir habis.

Belum selesai ia bernyanyi, tiba-tiba Freya merasakan sensasi aneh. Kakinya mulai memudar. Tangan dan tubuhnya pun perlahan hilang seperti asap.

"Apa yang terjadi?" suara Freya bergetar. Nyanyiannya berhenti namun tak ada satu pun yang menyadarinya. "Ada apa dengan tubuhku? Kenapa tubuhku… menghilang?" ia memekik panik.

"Ragamu terancam," jawab suara dingin Dewa Kematian.

"Terancam? Maksudmu… ada yang mencoba membunuhku?"

"Kau harus kembali sekarang."

Seketika itu juga Freya merasa terlempar kembali ke kamar rumah sakit. Ia melihat tubuhnya yang terbaring tak berdaya dengan mesin yang masih berbunyi. Di samping ranjangnya, Zefran, kakak laki-lakinya tengah berdiri menatapnya.

Ia menunduk, matanya merah dan tangannya bergetar. "Fre… kau seharusnya mati sejak kecelakaan itu."

Freya terdiam. Kata-kata Zefran terdengar lebih tajam dari benda yang tengah dipegangnya.

"Izinkan aku yang membereskannya sekarang." Sebuah pisau yang berkilat itu terangkat. Freya ingin menjerit, namun tak ada suara yang keluar.

Seketika, ruangan bergetar. Bayangan hitam muncul dari sudut, menjulur seperti kabut. Dewa Kematian berdiri di sana dengan tatapan marah.

"TAKDIRNYA BELUM SELESAI!" suaranya menggelegar.

Tanpa rasa takut ataupun terkejut, Zefran menatap Dewa Kematian. "Tapi aku harus melakukannya!" Zefran meraung, matanya basah oleh air mata penuh kebencian.

"Kau tak punya hak untuk merenggut hidupnya." 

Pisau itu tiba-tiba tersentak, terlepas dari genggaman, dan jatuh berdenting ketika beradu dengan lantai. Zefran terduduk, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar hebat.

Freya berniat menghampiri kakaknya, namun kini dirinya justru terseret kembali ke dalam tubuhnya. Sekejap kemudian, semuanya menjadi gelap.

***

Sudah lima hari sejak Freya kembali membuka matanya. Ruang rumah sakit masih jadi dunianya, penuh alat medis, pemeriksaan, dan dokter yang silih berganti memeriksa. Kedua orang tuanya masih setia menemaninya meski mereka hanya bisa bertemu sebentar saja.

Hari itu, setelah dokter memastikan kondisinya sudah stabil, dan setelah beberapa hari ia hanya bertanya-tanya dimana keberadaan kakaknya, Freya akhirnya bisa bertemu dengan sosok yang paling ia rindukan itu.

"Fre…" Zefran membuka pintu dengan senyum lega. Digenggamnya tangan Freya. Tangannya bergetar, tatapannya hangat seolah benar-benar takut kehilangan adik perempuannya. 

"Kenapa kau baru datang sekarang?" protes Freya sambil memukul pelan lengan kakaknya.

"Ada urusan mendesak yang tidak bisa kutinggalkan."

"Lebih penting dariku?" Zefran hanya tersenyum kecut, bibirnya terangkat tipis namun matanya jelas menyimpan sesuatu yang tidak terucap. "Kak, kenapa aku tidak ingat bagaimana aku bisa berakhir di sini?"

"Sungguh? Kau tak ingat apa-apa?" Freya hanya mengangguk pelan. "Kudengar seseorang yang koma pun sebenarnya tidak hanya diam. Kau pun tak ingat apa yang terjadi atau apa yang kau lakukan selama tubuhmu terbaring di sini?" Freya memiringkan kepalanya, dahinya berkerut dan bibirnya bergerak seolah bertanya-tanya apa saja yang telah ia lupakan.

Keheningan di antara mereka langsung pecah begitu terdengar sebuah ketukan di pintu. Zefran bangkit berdiri, kemudian membukanya pelan. Seketika itu juga matanya melebar, napasnya seolah tercekat di tenggorokan. Ada sesuatu yang jelas mengusik pikirannya saat melihat sosok yang berdiri di depan kamar adiknya. Namun, ia langsung mengalihkan pandangannya pada wanita paruh baya yang duduk di kursi roda tepat di depannya.

"Siapa, Kak?" tanya Freya dari dalam.

"Saya pasien kamar sebelah. Saya dengar Freya sudah bangun. Jadi saya minta cucu saya untuk mengantar saya ke sini," ucap wanita itu seraya menoleh pada pemuda yang tengah berdiri di belakangnya.

"Ah, anda kenal dengan adik saya?" suara Zefran bergetar ketika ia tak sengaja menatap mata pemuda itu.

Wanita itu kembali tersenyum, lalu Zefran mempersilakan mereka masuk. Senyum bahagia jelas terpampang di wajah wanita itu, kontras dengan Freya yang hanya mampu menampilkan senyum canggung yang penuh tanda tanya.

"Maaf, anda...?"

Senyum wanita itu langsung pudar. "Kau tidak ingat? Kau bahkan selalu menyapaku tiap pagi sebelum kau keluar." Freya hanya bisa menatap tanpa kata, ekspresi bingung tergambar jelas dari matanya yang berkedip ragu-ragu. "Astaga, Freya. Kau benar-benar tidak ingat apa yang kau lakukan selama kau koma?"

"Maaf," ucapnya lirih.

"Tapi kenapa aku bisa mengingat semuanya?" Wanita itu menatap mereka bergantian, meski jelas ia tak akan mendapatkan jawaban yang ia harapkan.

Cucu wanita itu membungkuk rendah, kemudian menyentuh pelan bahu neneknya. "Nenek, sudah kubilang itu hanya mimpi, kan? Lihat! Dia saja tidak mengenal Nenek."

"Kalau itu hanya mimpi, kenapa aku bisa mengenalnya?"

"Mungkin itu hanya kebetulan. Ayo kita keluar sekarang! Dia butuh istirahat." Pemuda itu terus berusaha membujuk meski neneknya masih bersikeras kalau itu bukanlah mimpi. Tanpa mempedulikan ucapan neneknya, pemuda itu segera pamit pada Freya dan Zefran, kemudian mendorong kursi roda neneknya keluar kamar.

"Kakak mengenalnya?"

"Ti-tidak"

"Tapi kenapa..."

"Fre, istirahatlah. Kakak keluar sebentar, ya. Jangan khawatir, sebentar lagi Mama akan datang." Usai mengecup kening adiknya, Zefran bergegas pergi, meninggalkan Freya yang hanya bisa terdiam dengan kebingungan yang belum terjawab.

***

Di malam yang tenang itu Freya terlelap, napasnya teratur, wajahnya tampak tenang di bawah cahaya redup lampu kamar. Tiba-tiba, suara ketukan yang nyaris tak terdengar menyentuh pintu kamar itu.

Zefran yang belum tidur sontak tersentak. Jantungnya berdegup lebih cepat, firasat buruk langsung menyeruak. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu, dan di sana berdiri seorang pemuda yang tadi siang mengunjungi kamar itu.

"Kau…" suara Zefran tercekat, lalu berubah tegang. Tangannya meremas kusen pintu, mencoba menahan gemetar.

Pemuda itu hanya menundukkan kepala sedikit, senyumnya tak bergeser. Namun, tatapannya membawa keramahan sekaligus ancaman.

Hening sejenak. Zefran mencoba menegakkan bahu, meski jelas terlihat ketakutan, tapi matanya berusaha menantang. "Kalau kau berani macam-macam… aku tidak akan diam."

Udara di antara mereka menegang. Lalu, tanpa kata lain, pemuda itu menarik Zefran keluar. Pintu kamar pun ditutup dengan pelan, meninggalkan Freya yang masih tertidur pulas, tak tahu bahwa sesuatu yang bisa mengubah hidupnya sedang berlangsung hanya beberapa langkah darinya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Cahaya di Bayang-Bayang Kerajaan
auroranightshade
Flash
DESTINY OF US
Bie Farida
Cerpen
MELODEATH: COMA
Bie Farida
Novel
Big Dream Princess
Sukma Maddi
Skrip Film
TO MY BEAUTIFUL TRAUMA
Mia Sekar Santi
Flash
Perkara Senyum
Dillon Gintings
Flash
Bronze
SAYAP SAYAP BERDURI
Mahfrizha Kifani
Novel
Gold
My Soulmate
Mizan Publishing
Skrip Film
KERETA
Panca Lotus
Skrip Film
Taksa
M Tioni Asprilia
Flash
Bronze
Aturan Baku
Erena Agapi
Flash
KUKEMBALIKAN SAYAP INDAHMU
Bie Farida
Skrip Film
Arah Hati
Refa Siti Muslimah
Flash
SAM DAN MESIN UANGNYA
Hans Wysiwyg
Novel
Janda Cerai Mati
Via Vandella
Rekomendasi
Cerpen
MELODEATH: COMA
Bie Farida
Flash
DESTINY OF US
Bie Farida
Flash
KUKEMBALIKAN SAYAP INDAHMU
Bie Farida
Cerpen
LOVENGE
Bie Farida
Cerpen
LUKA BERNAMA ZEA
Bie Farida
Flash
THE PRECIOUS PEBBLES
Bie Farida
Flash
SOMNIA
Bie Farida