Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kirana, itulah nama yang diberikan oleh ibu dan ayah padaku. Aku hanyalah gadis biasa berusia 16 tahun yang memiliki iris hitam, berambut hitam lurus panjang sepunggung, dengan poni mencapai mata, dan di sampingnya terdapat beberapa rambut yang sedikit lebih panjang dari poni. Tinggiku 5'1.
Saat masih kecil, aku membenci namaku sendiri—juga semua hal tentang diriku. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menerima bahwa namaku adalah Kirana dan berdamai dengan diriku sendiri. Nyatanya, mencintai diri sendiri itu sangat penting.
Sejak kecil, aku selalu ingin menjadi wanita yang imut, manis, pintar, baik, sopan, cantik, dan cerdas. Karena itu, aku akan terus belajar dan harus berpengetahuan luas, sebab aku kurang dalam hal non-akademik. Tapi itu bukan penghambat untukku. Selagi aku masih hidup, takkan ada kata menyerah.
Hari-hari yang kujalani sungguh membosankan. Kehidupanku selalu monoton, tak ada hal baru di sini. Entah itu karena sulitnya aku untuk bersosialisasi atau ada alasan lain. Bahkan saat liburan pun aku selalu berada di rumah, berdiam diri di kamar, dan bermain game di smartphon-ku, tak memedulikan hal lain yang terjadi di sekitar.
Genshin Impact, itulah game yang sering kumainkan. MC yang kupilih di game tersebut adalah Lumine, adik perempuan dari Aether. Saat bermain Genshin Impact, rasanya aku benar-benar hidup di sana—menjadi seorang pengembara yang menjelajahi berbagai tempat, mengalahkan musuh, dan bertemu dengan spesies yang tak pernah aku tahu sebelumnya.
Aku juga sangat suka dengan anime, manga, manhwa, manhua, movie, dan video game! Sangat menyenangkan. Ada lagi yang aku suka: hal-hal misterius dan supernatural seperti sihir, elemen, orc, elf, dungeon, penyihir, penyembuh, pejuang, pencuri, pemanah, naga, pegasus, siren, griffin, valkyrie, phoenix, chimera, hidra, kurcaci, peri, succubus, incubus, monster, youkai, kitsune, lucifer, mammon, asmodeus, leviathan, beelzebub, satan, belphegor, catboy, catgirl, Anubis, dan masih banyak lagi!
Minggu pagi. Seperti biasa, aku sedang berada di kamar dan mengagumi diriku di depan cermin. Poni dan rambut hitam panjang lurusku tampak sempurna dengan dress panjang dan segala aksesori-nya.
"Oh, sangat imut dan manis!"
Senyumku semakin lebar saat terus memandang ke arah pantulan diriku sendiri di cermin. Namun, tiba-tiba ekspresi suram menguasai wajahku.
"Ini sia-sia. Aku tidak akan pergi ke mana pun hari ini."
Baju pun segera kuganti dengan kaos pendek dan celana kasual yang sering kupakai saat di rumah. Setelah selesai, aku langsung berbaring di atas kasur dan bermain game di smartphone.
"Pasti sangat menyenangkan jika bermain dengan teman-teman di hari Minggu seperti remaja lainnya seusiaku."
Helaan napas kecewa keluar tanpa kusadari.
Entah sudah berapa menit aku bermain game, kini sudah siang hari.
"Sayang, waktunya makan siang."
Terdengarlah suara ibuku dari dapur yang kini sudah selesai menyiapkan makan siang.
"Iya, sebentar lagi aku ke sana," sautku saat beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju ke ruangan lain untuk makan.
Setibanya di sana, aku pun duduk dan ibu menyuapiku, seperti biasanya. Aku tahu ini memalukan bagi seseorang yang sudah memasuki usia remaja. Tentu saja aku bisa makan sendiri, tapi rasanya sangat berbeda saat disuapi oleh ibu.
Sering juga orang mengejek bahwa aku adalah anak yang manja, anak mama, dan lainnya. Entah mengapa itu membuatku merasa kasihan pada mereka. Padahal, itu hanya tindakan kasih sayang biasa antara ibu dan anak. Tidak merugikan mereka juga.
Waktu berjalan begitu cepat. Aku melirik ke arah jam dan kini sudah pukul 20:00, waktunya untuk tidur dan besok hari Senin lagi.
“Rasanya malas sekali untuk berangkat nanti besok,” gumamku saat mata pun mulai terlelap.
Pukul 06:15 di pagi Senin, aku sudah rapi, siap untuk berangkat ke sekolah. Di saat perjalanan menuju sekolah, udara hari ini sangat berbeda—lebih dingin dari biasanya. Langit pagi ini diselimuti mendung, warna birunya begitu dalam dan elok, seolah melukis ketenangan di atas cakrawala.
“Aneh sekali, cuaca hari ini sungguh berbeda, tak seperti biasanya. Udaranya pun lebih dingin dari hari-hari kemarin,” gumamku saat terus berjalan, melangkahkan kakiku dengan riang saat menyusuri jalanan yang sering kulalui.
Sesampainya di ujung jalan, aku berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada kendaraan yang melintas, lalu mulai menyeberangi jalan dengan langkah ringan. Suara gemerisik daun yang bergesekan ditiup angin menemani perjalananku.
Aku terus melangkah tanpa menyadari sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Angin yang tiba-tiba berembus keras membuatku menoleh ke samping, tapi semuanya terasa terlambat. Suara rem mendecit tajam bercampur dengan dentuman keras, tubuhku terpental ke aspal. Pandanganku mulai buram, sementara suara langkah kaki dan teriakan orang-orang mendekat perlahan sebelum semuanya menjadi gelap.
‘Aneh, rasanya tak sakit sama sekali,’ ucapku dalam hati saat mendengar suara riuh di sekitarku. Ada suara yang terdengar akrab di telingaku, memanggil namaku saat tubuhku dipeluk olehnya.
“Sayang, bangunlah, jangan tinggalkan ibu. Bangun, Kirana!”
Ucapan wanita itu terdengar lirih saat dia terus memelukku dan menangis, mengguncang tubuhku dengan harapan aku bisa tersadar.
Rasanya pusing luar biasa. Suara ambulans terdengar samar-samar dari kejauhan. Tubuhku semakin lemas, tak ada lagi kekuatan yang tersisa. Mata ini masih terpejam, terlelap dalam penyesalan, sementara kehangatan perlahan menghilang dari tubuhku dan digantikan oleh dingin yang menjemput.
‘Inikah akhir bagiku?’ pikiranku terus berkecamuk tentang semua mimpi yang belum sempat kuraih, tentang semua janji yang pernah kuucapkan pada ibu dan ayah.
Aku tak tahu apa yang sedang terjadi sekarang. Tubuhku terasa begitu ringan, seolah melayang di udara dan melintasi sesuatu. Suara tangisan dan teriakan yang tadi terdengar kini menghilang, hanya ada keheningan yang sunyi.
‘Entahlah, aku tak peduli lagi dengan apa pun sekarang. Sungguh memalukan, bahkan satu mimpi pun tak pernah tercapai. Kehidupanku terasa sia-sia,’ ucapku dalam hati.
‘Sungguh aneh, seharusnya aku sudah pergi, juga semua kehidupanku telah selesai, bukan? Mengakhiri semuanya. Tapi, kenapa aku merasa seperti ini? Rasanya seperti tidur biasa.’ Tubuhku terus terhanyut ke dalam, entah akan dibawa ke mana.
Hangat, itu yang kurasakan sekarang. Seperti ada sinar yang menyentuh kulitku, menembus hingga ke dalam jiwa. Mungkin itu matahari yang sedang tersenyum lembut padaku.
“Tunggu! Matahari? Tapi aku sudah—” ucapanku terpotong saat menyadari bahwa aku masih hidup.
“A-Apa yang terjadi!?” Aku terbangun, kaget luar biasa.
Matahari masih membias, pandanganku melihat ke segala arah, mencoba memahami apa yang terjadi sekarang. Di sekelilingku, aku berada di atas rerumputan hijau yang luas. Udaranya sangat sejuk dan menenangkan, embun pagi menyelimuti rerumputan dengan sentuhan lembut, seperti kristal yang menari di atas daun-daun hijau. Hembusan angin pun seperti simfoni nada indah yang memanjakan pendengaran. Beberapa meter di sebelah kanan, aku melihat perairan jernih seperti kaca. Ikan-ikan berenang dengan gerakan gemulai, menakjubkan. Pepohonan di sekitar rindang dan sangat nyaman untuk dijadikan tempat berteduh.
Aku pun mulai berdiri dan berjalan ke arah perairan untuk mencuci muka.
“Aku masih tetap menjadi diriku, dan penampilanku sama seperti minggu pagi tadi?”
Aku terus menatap pantulanku di air yang mengalir tenang.
Saat aku masih fokus menatap ke arah air, tiba-tiba seorang gadis muncul di sampingku dalam pantulan air.
“Whoa!!”
Aku yang terkejut pun refleks melangkah ke samping dan menatap ke arah gadis tersebut.
Dia gadis muda dengan rambut bergelombang berwarna cokelat panjang sepunggung, iris berwarna amber yang cerah dan indah, 5'4.
Aku terus menatapnya, sosoknya mengingatkanku pada karakter di Genshin Impact, bahkan warna mata gadis itu sama seperti karakter yang kuingat—Amber, itulah namanya.
“Kamu baik-baik saja?” ucap gadis itu sambil melambaikan tangannya di depan wajahku yang masih dalam keadaan terkejut dan hanya diam mematung.
“Maaf, aku tak bermaksud mengejutkanmu. Hanya saja, kamu terlihat sangat asing. Aku tak pernah melihatmu di sekitar wilayah Aerinthia. Siapa namamu?” Gadis itu memutariku sambil melihatku dari atas ke bawah.
Aku terkesiap dan langsung menjawab pertanyaannya.
“Aku? Namaku Kirana. Dan, Aerinthia? Apa itu?” tanyaku saat sudah dalam keadaan tenang.
“Aku Callie,” ucapnya sambil tersenyum, senyuman yang hangat. “Aerinthia adalah kerajaan yang menguasai wilayah ini. Nama Aerinthia terinspirasi dari kata ‘aer’ yang berarti udara—simbol kebebasan yang tanpa batas dan mengalir bebas. Kerajaan ini bisa melambangkan tempat di mana aturan tidak mengikat, dan semua orang hidup dengan kebebasan penuh, seperti angin yang tak bisa ditangkap.”
Callie menjelaskan tentang kerajaan Aerinthia saat dia memimpin jalan menuju pedesaan, tempat para penduduk tinggal.
Beberapa menit berlalu, dan kini kami sudah tiba di depan desa yang tenang dan penuh kehidupan, dengan rumah-rumah kecil yang tersebar di antara pepohonan hijau. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah basah dan daun segar. Desa ini terasa seperti tempat di mana waktu berjalan pelan, memberikan kedamaian bagi siapa pun yang mengunjunginya.
“Indah, bukan? Di sinilah tempat aku dan penduduk kerajaan Aerinthia tinggal. Selamat datang di desa Solara—desa yang terang dan hangat, penuh kedamaian dengan sentuhan alam,” ucap Callie yang tersenyum saat menyambutku di desa Solara.
Aktivitas di dalam desa sungguh menghangatkan hatiku—anak-anak bermain, berlarian ke sana kemari, para pekerja yang fokus pada pekerjaannya, pasangan yang penuh kebahagiaan, dan banyak lainnya.
Tanpa kusadari, aku hanyut dalam pemandangan tersebut.
‘Ini seperti Mondstadt di Genshin Impact. Apa mungkin aku berada di dunia game itu? Tidak mungkin... Rasanya berbeda, ini bukan Teyvat,’ ucapku dalam hati saat berpaling untuk menatap Callie.
“Ini sangat indah! Sangat nyaman,” aku balas tersenyum pada Callie.
“Senang rasanya mengetahui kamu menyukai suasana di desa Solara! Ayo, aku akan membawamu menemui temanku,” Callie menggenggam lenganku. Kami menyusuri desa dan tiba di Katedral.
Seorang gadis yang lengkap dengan pakaian suster pun keluar dari Katedral dan menghampiri kami sambil tersenyum.
Sosoknya sungguh menenangkan, dengan wajah polos dan iris berwarna biru muda yang cantik. Memberi kesan lembut dan penuh kebaikan, sejalan dengan sifatnya yang penuh kasih dan perhatian terhadap orang lain. Tingginya 5'2. Mengingatkanku pada karakter di Genshin Impact lagi... Barbara.
“Ini Kirana, dia baru di sini,” ucap Callie yang tengah memperkenalkanku kepada suster tersebut.
“Senang bertemu denganmu, Kirana. Namaku Essie, salah satu suster di Katedral ini,” ucap Essie dengan senyuman ramahnya, dan aku pun balas tersenyum.
“Karena kita sudah berkumpul, bagaimana jika membuat party?” usul Callie saat merangkul pundakku dan Essie.
“Setiap party memiliki lima anggota, yaitu pejuang, pemanah, penyihir, penyembuh, dan pencuri. Kini sudah ada aku sebagai pemanah, Essie sebagai penyembuh, dan Kirana sebagai penyihir,” ucap Callie.
“A-Aku apa!?? Penyihir!? Aku bahkan tak bisa menggunakan sihir!” ucapku yang terkejut.
Callie dan Essie memandang satu sama lain dengan bingung.
“Kenapa dia bisa tak tahu perannya sendiri?” bisik Callie pada Essie.
“Aku juga tidak tahu,” jawab Essie sambil mengangkat bahunya.
“Aku tak tahu apa pun tentang mantra sihir! Bagaimana bisa aku jadi seorang penyihir!” kataku sambil mondar-mandir kebingungan.
“Tapi aura sihir yang kamu miliki terlihat jelas, dan aliran mana milikmu berbeda dari orang biasa,” ucap Essie yang sedang mengamatiku.
"Berbeda? Tapi bukankah di wilayah kerajaan Aerinthia semua orang memiliki mana yang sama?" tanya Callie.
"Tidak, warga istana dan para demon memiliki mana dan aura yang berbeda dari orang biasa seperti kita," jawab Essie saat memikirkan sesuatu. "Rasanya aku pernah melihat aura seperti itu, sayangnya aku lupa di mana dan kapan. Yang bisa kuingat adalah auranya hampir mirip dengan milikmu." Essie menatapku dengan mata biru mudanya.
'Jadi, maksudnya adalah aku memiliki kekuatan yang hebat, kan?' ucapku dalam hati saat tak kusadari aku melakukan pose membuka kedua tanganku dan mulai tertawa, mirip seperti karakter anime yang jahat saat mereka mendapatkan kemenangan.
Di sisi lain, Callie dan Essie hanya melirik satu sama lain karena bingung apa yang terjadi padaku.
Setelah beberapa detik, aku akhirnya tersadar dari delusi yang kualami dan langsung memunggungi Callie dan Essie. 'Sungguh memalukan, hanya beberapa menit aku berada di dunia ini dan aku sudah menghancurkan citraku sendiri,' ucapku dalam hati saat menutup muka yang kini memerah karena malu dengan kedua tanganku.
"Ngomong-ngomong, kalian pasti lapar, kan? Ayo kita pergi ke tavern." Callie menggenggam lenganku dan Essie saat kita bertiga berjalan menuju tavern.
Saat tiba di tavern, banyak pengunjung di sana. Kita bertiga berada di meja bagian tengah sebelah kanan pintu masuk.
"Bir di sini sangat enak sekali!" ucap Callie saat meneguk birnya, sedangkan aku dan Essie hanya meminum minuman tak beralkohol.
"Jangan minum terlalu banyak, Callie. Nanti kamu mabuk dan melakukan hal-hal aneh lagi," ucap Essie pada Callie.
"Ya, aku tahu... Jangan khawatirkan aku... Aku baik-baik aja..." Callie tertawa pelan sambil memegang gelas.
"Kamu mulai mabuk." Essie menghela napas pelan.
Aku dan Essie pun berbincang tentang bagaimana aku bisa berada di dunia ini. Hingga tiba-tiba kegaduhan terjadi di meja lain.
Seorang gadis seusiaku tengah membuat kekacauan dan bertarung dengan sekelompok pria di sana. Senjata yang digunakan gadis tersebut adalah chain whip dan hidden blade. Pergerakannya sangat lihai saat menepis dan menyerang para pria di sana. Anehnya, pengunjung lain hanya diam saja dan menonton.
Gadis tersebut memiliki iris berwarna emerald dan rambut blonde pendek bergelombang, tinggi yang sama seperti Essie, 5'2.
"Hahaha! Aku menang lagi! Sekarang, berikan aku hadiah taruhanmu." Gadis itu dengan cepat merampas peti koin di depan laki-laki yang sedang duduk tenang di meja sampingnya. "Menang banyak lagi." Gadis itu tersenyum puas sambil menghitung koin.
"Siapa dia?" tanyaku pada Essie sambil menunjuk ke gadis yang sedang menghitung koin itu.
"Namanya Beatrice, assassin terkenal yang suka melakukan taruhan. Dia juga suka mengusili orang-orang di sekitar sini," ucap Essie.
"Eh?" Beatrice menatapku dari kejauhan dan menghampiri meja kami. "Rambutmu hitam, aku tak pernah melihat seseorang berambut hitam di sini. Siapa kamu? Apakah kamu seorang dewi!?" tanya Beatrice dengan semangat yang terlihat jelas di kedua matanya.
"Bukan, aku hanya orang biasa." Aku pun menjawabnya sambil menatap ke kedua mata emerald miliknya. "Matamu sungguh indah, seperti batu permata emerald yang memancarkan cahaya. Begitu dalam dan memikat, seolah aku bisa tenggelam dalam setiap kilauannya." Tak kusangka kata-kata itu keluar dari mulutku, membuatku tersipu malu karena ucapanku sendiri.
"Begitukah? Kurasa warna mataku membosankan seperti kehijauan yang ada di sekitar kerajaan Aerinthia. Tapi aku senang mendengar itu darimu," ucapnya saat duduk di sampingku sambil bersenandung ceria. "Salam kenal, namaku Beatrice. Siapa namamu?" tanyanya.
"Namaku Kirana, senang berkenalan denganmu, Beatrice," jawabku sambil tersenyum.
"Dan kalian berdua?" tanya Beatrice sambil menatap Essie dan Callie.
"Namaku Essie," jawab Essie sambil tersenyum.
"Callie... Pemanah yang selalu tepat sasaran... Yang paling hebat di seluruh kerajaan Aerinthia!" ucap Callie yang masih dalam keadaan mabuk.
Beatrice menatap kami bertiga dengan tatapan tajam. "Pemanah, penyembuh, dan penyihir..." ucap Beatrice saat berpikir. "Apakah kalian bertiga sedang membuat party!?" Secara tiba-tiba Beatrice menghentakkan kedua tangannya di meja, membuat aku dan Essie terkejut.
"Boleh aku ikut? Boleh? Boleh?? Aku akan menjadi pencuri!" ucap Beatrice saat kedua matanya dipenuhi kilatan semangat.
Aku dan Essie saling melirik satu sama lain.
"Tentu saja," jawab Essie saat mengambil keputusan.
"YIPPEE!" seru Beatrice dengan senyum lebar.
Akhirnya aku, Callie, Essie, dan Beatrice berbincang tentang banyak hal. Aku melirik ke meja lain dan melihat seorang laki-laki seusiaku, iris matanya berwarna amethyst yang memikat, sementara rambutnya yang biru gelap tampak begitu penuh misteri. Dia sedang duduk bersama party-nya di meja itu, mereka tampak kuat dan menyeramkan.
Laki-laki itu pun melirik ke arahku dengan tatapan tajam dari matanya yang berwarna amethyst, rasanya seperti melihat ke kegelapan yang mendalam dan kebencian dari sorot matanya. Wajahnya datar dan tanpa ekspresi. Aku pun langsung membuang muka darinya.
'Dingin sekali, sorotan matanya sungguh mengintimidasi,' batinku saat melanjutkan perbincangan dengan Callie, Essie, dan Beatrice.
Sudah satu minggu berlalu semenjak aku tinggal di dunia ini. Kini aku sudah bisa menggunakan sihir, dan Essie memberikanku buku-buku tentang mantra serta mengajariku bagaimana mengendalikan energi dan mana di dalam tubuh dengan baik.
"Ayo kita pergi ke festival!" seru Callie saat menghampiriku dan Essie, sedangkan Beatrice sedang membersihkan senjatanya.
"Tentu! Ayo kita ke sana," ucapku dengan semangat saat Essie mengangguk dan tersenyum. Beatrice pun langsung membereskan senjatanya dan ikut bergabung dengan kami.
Aku, Callie, Essie, dan Beatrice berjalan bersama menuju festival yang berada di halaman istana Kerajaan Aerinthia.
'Megah dan bergaya klasik. Jadi, seperti ini bentuk istana saat melihatnya secara langsung...' batinku saat mengagumi istana menawan yang besar dan kokoh, berwarna putih khas bangunan kuno.
"Makanan! Makanan! Di mana-mana ada makanan!" Mata Callie berbinar bahagia karena melihat banyak hal yang dia sukai di berbagai stan, yaitu makanan.
"Kamu tidak boleh makan terlalu banyak, nanti perutmu sakit lagi," Essie mengingatkan Callie seperti seorang ibu kepada anaknya, yang membuatku teringat pada ibu. Di sisi lain, Beatrice sedang di stan yang menjual senjata.
"Aku akan berjalan-jalan dulu," ucapku sambil melambaikan tangan pada Callie, Essie, dan Beatrice.
'Sudah satu minggu aku tinggal di dunia tanpa orang yang kukenal. Aku ingin pulang, aku sangat rindu dengan ibu,' batinku sambil menghela napas panjang. Aku melihat ke sekeliling dan mencoba makanan yang ada di berbagai stan, juga bermain sebentar dengan anak-anak di sana.
"Tck, bagaimana mungkin orang lemah sepertimu mempunyai mana dan aura yang kuat?" ucap seorang laki-laki seusiaku dengan kesal saat dia berjalan melewatiku bersama party-nya. Tinggi laki-laki itu 5'9. Aku bisa merasakan aura mereka—kuat! Sangat kuat dan menyeramkan! Hingga membuatku membeku di tempat.
'Tunggu! Aku ingat mereka. Bukankah mereka party yang pernah kulihat di tavern saat itu?' batinku.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Callie saat menepuk bahuku.
"Y-ya... Aku baik-baik saja," aku menjawab dengan suara kecil, masih merasakan dinginnya party yang tadi melewatiku.
"Apa kamu merasakannya?" Essie bertanya dengan suara lembutnya. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.
"Dia adalah Kaelith, pangeran ketiga dan itu party-nya," ucap Callie yang memberitahuku tentang siapa orang tersebut. "Walau dia pangeran, tapi mulutnya sangat kotor, sombong, jahat, dan pembuat onar."
"Ibu pernah menceritakan padaku tentang peperangan antara Kerajaan Aerinthia dengan para demon. Saat itu ratu sedang mengandung Kaelith, dan Kerajaan Aerinthia dalam keadaan menang. Tapi, tak disangka, salah satu penyihir demon memberikan kutukan agar bayi yang ada di dalam kandungan ratu saat itu akan menjadi orang yang jahat dan kejam, bahkan dia juga akan bersekutu dengan para demon untuk menghancurkan Aerinthia. Dan akhirnya lahirlah Kaelith," lanjut Callie saat menceritakan tentang Kaelith.
"Callie! Sudah berapa kali kubilang, kita harus tetap sopan dan memanggilnya Pangeran," tegur Essie pada Callie.
"Baiklah, Essie. Maafkan aku," ucap Callie yang menyerah, tak mau Essie melanjutkan omelannya.
"Itu juga penyebab penampilannya berbeda dengan para warga istana di Kerajaan Aerinthia. Di sana tak ada yang memiliki warna mata amethyst ataupun hitam, dan warna rambut mereka pun tak ada yang hitam seperti Kirana atau biru gelap seperti milik Pangeran Kaelith. Akibatnya, dia menjadi dikucilkan oleh para bangsawan lain dan dianggap sebagai anak pembawa sial. Karena itu juga aku kaget melihat Kirana untuk pertama kalinya," Beatrice memberikan informasi baru tentang Pangeran Kaelith. Dia mengetahui hal itu karena dulu pernah bekerja untuk istana.
'Jadi warna gelap sangat langka di dunia ini.... Apa karena warna gelap hanya untuk kejahatan? Dunia fiksi benar-benar tak masuk akal,' pikirku saat kita berempat dalam perjalanan pulang. Callie, Essie, dan Beatrice terus melanjutkan perbincangan mereka mengenai Pangeran Kaelith.
Malam hari, kini rembulan sedang dalam keadaan yang cerah dan cantik. Aku pun berjalan-jalan di luar sambil menikmati indahnya langit malam.
"Kira-kira apa yang sedang ibu atau teman-temanku lakukan sekarang?" gumamku saat melihat ke rembulan, mengingat semua kenangan yang telah kuhabiskan dengan orang-orang yang kusayangi. Nostalgia yang menyakitkan.
Dari sisi hutan, terlihat ada sesuatu yang sedang berlari.
"Siapa itu?"
Aku melirik ke arah kegelapan. Langkah kakinya semakin cepat, dan terlihatlah sesosok hitam yang keluar dari hutan gelap itu, berlari ke arahku. Aku pun menenangkan diri dan bersiap jika makhluk itu akan menerjang.
'Sial, apa ini akhir hidupku lagi?' pikirku saat bersiap menyerang. Tapi tiba-tiba, seseorang melompat dan melindungiku.
Suara sayatan pedang yang tajam terdengar jelas, disusul geraman keras dari makhluk itu, penuh kesakitan. Tak butuh waktu lama hingga semuanya sunyi kembali.
Aku melirik ke arah sosok penyelamatku. Dari belakang, tubuhnya berotot, tegap, dan kekar. Di punggungnya tergantung dua pedang besar, dan sebuah pedang seperti katana terselip di sisi kiri pinggang, dengan gagang menghadap ke kanan. Aku melamun sejenak, mengagumi pahatan otot lengannya yang sempurna. Tapi akhirnya aku tersadar dari lamunanku.
"Terima kasih telah menolongku," ucapku sopan saat dia berbalik. Ternyata—dia adalah seorang wanita! Hanya saja tubuhnya begitu maskulin. Iris matanya berwarna hazel, rambut auburn-nya dipangkas pendek seperti laki-laki. Tingginya sekitar 6'2. Aku merasa seperti semut di hadapannya. Aku pun hanya bisa menganga, syok dengan hal tak terduga ini. Dunia ini benar-benar penuh kejutan.
"Heh, ada apa denganmu?" tanyanya, bingung.
Aku memproses apa yang terjadi dan kembali sadar. "Tidak, aku hanya... sedikit terkejut," ucapku sambil tersenyum kecil.
"Begitu, ya. Lain kali kamu harus lebih hati-hati. Banyak monster yang bisa muncul tiba-tiba," ucapnya dengan suara berat.
"Tentu," aku mengangguk.
"Kamu sangat kecil dan rapuh, seperti ranting yang akan terbang terbawa angin," katanya sambil mengamatiku.
Pipiku langsung memerah, antara kesal dan malu. "Setidaknya aku punya kekuatan besar dalam diriku!" ujarku, menyilangkan tangan dan mengerutkan kening.
"Galak sekali," ucapnya datar. "Kalau begitu, kurasa ini cocok untukmu. Tongkat ini kutemukan di dungeon yang pernah kumasuki," lanjutnya sambil menyodorkan tongkat sihir berwarna gelap, dengan batu permata nuummite di ujungnya. Nuansa kejahatannya sangat pekat.
Aku mengambil tongkat itu dan menatapnya penuh kekaguman. 'Rasanya seperti di dunia Harry Potter,' batinku saat mulai mencoba-coba tongkat baruku seperti anak kecil bermain kembang api—dan juga berlagak seperti karakter di Harry Potter.
"Mari saling mengenal. Namaku Edrei. Aku hanya pengelana yang menyusuri berbagai tantangan di dunia," ucapnya sambil menatap langit.
"Namaku Kirana," jawabku, mengikuti arah tatapannya ke langit. "Kupikir kamu seorang ksatria. Tubuhmu kekar dan sangat terlatih dalam menggunakan pedang."
Edrei tersenyum lembut saat melirikku dan menatap ke arah langit lagi. "Aku memang bukan seorang ksatria, tapi ayahku ya. Sangat disayangkan dia gugur dalam peperangan melawan para demon saat itu." Ucapnya saat tatapannya ke langit berubah menjadi kerinduan.
"Aku turut bersedih mendengarnya. Pasti dalam perang saat itu merenggut banyak nyawa." Mendengar kehilangannya membuatku teringat ibu yang kini sudah sangat mustahil untuk kembali bersamanya lagi.
"Kenapa kamu keluar saat malam begini?" Tanya Edrei saat melirik ke arahku.
"Aku hanya ingin menikmati pemandangan wilayah Aerinthia di malam hari." Jawabku saat berjalan-jalan kecil di sekitar Edrei.
"Senjatamu itu pedang, pasti peranmu pejuang, kan?" Lirikanku kembali ke arah Edrei.
"Memang, benar sekali." Gumam Edrei yang masih menatap langit.
"Ingin bergabung dengan party-ku? Hanya kurang pejuang saja." Usulku.
"Baiklah. Aku akan bergabung dengan party milikmu." Ucap Edrei saat mengangguk.
"Ayo!" Aku pun memandu Edrei saat kita berdua berjalan memasuki desa dan menuju ke rumah Callie, dimana aku, Callie, Essie dan Beatrice tinggal.
Saat tiba disana, aku mengetuk pintu dan Essie langsung keluar dengan muka masam.
"Darimana saja kamu!? Kenapa keluar malam-malam? Bagaimana jika ada yang menyerangmu?? Bagaimana jika—" Tanyanya dengan nada marah dan khawatir.
Tapi belum sempat menyelesaikan pertanyaannya, Essie melirik ke arah Edrei yang hanya diam seperti patung di belakangku.
"Siapa dia?" Bisik Essie padaku saat melirik Edrei.
"Anggota baru party kita. Namanya Edrei, dia akan menjadi pejuang." Ucapku saat memperkenalkan Edrei pada Essie. Essie pun memanggil Callie dan Beatrice. Akhirnya mereka berempat berkenalan.
"Mulai sekarang kita bisa menjelajah dungeon! Aku sangat tidak sabar bertemu dengan para monster lagi!" Seru Callie dengan nada yang penuh kegembiraan.
"Untuk apa aku melakukan taruhan jika aku bisa mendapatkan peti harta." Ucap Beatrice saat dia tertawa kecil, membuat bulu kuduk berdiri.
"Baiklah, cukup untuk malam ini. Ayo kita semua tidur." Ucap Essie saat kita semua pergi ke kamar dan mulai tidur.
"Selamat tidur semuanya." Suara yang lembut dari Essie saat kita semua akhirnya tertidur dan beristirahat untuk hari esok.
Melalui hari-hari di dunia ini cukup menyenangkan bagiku. Penuh adrenalin rasanya saat menjelajah dungeon dengan party-ku. Memang tidak mudah mengalahkan para monster, tapi karena kerjasama tim yang kompak, kami bisa melewati rintangan sampai akhir. Aku pun sudah mengenal para warga di desa Solara ini, yang terkadang masih membuatku sedih karena teringat dunia yang dulu ku tinggali.
Dungeon tingkat atas—disinilah tempat kami berlima berada sekarang. Karena Callie dan Beatrice ingin yang lebih menantang, Edrei membawa kami ke sini. Edrei menjadi pemandu dalam perjalanan kami setiap menjelajah karena dia sudah mengenal dungeon lebih dalam dari yang lain.
"Berhenti," ucap Edrei saat ada teriakan dari bagian dungeon yang lebih dalam.
"Ruangan besar, ada party di sana... Dan naga! Naga berelemen api yang sangat besar dengan kekuatan dan aura yang sangat terlihat jelas." Ucap Essie saat kami bergegas masuk ke tempat yang lebih gelap. Di dalam, terlihat jelas party lain dalam kondisi kalah telak. Penyihirnya dalam kondisi terluka dan sang penyembuh ada di sisinya, pencuri kehabisan energi, pemanah terus diincar oleh naga, dan pejuang yang mati-matian melindungi pemanah dari serangan sang naga.
"Siapkan posisi," perintah Edrei saat kami berpencar.
"Bahkan mereka pun sampai begini..." gumamku saat mengambil posisi.
"Essie, di mana titik lemahnya?" Tanya Callie yang siap memanah.
Sebelum Essie sempat menjawab, Edrei langsung berbicara.
"Tunggu. Beatrice, buat dia terbang di satu tempat agar Callie lebih mudah memanahnya. Kirana, pakai elemen airmu saat naganya terjatuh, buat dia lemah. Aku yang akan mengakhirinya. Dan untuk Essie, berikan perisai untuk Beatrice dan bantu menyembuhkan anggota party lain."
Edrei menatap ke pejuang, pencuri, dan pemanah party lain.
"Mundurlah, kami akan menyelesaikan ini," ucap Edrei dengan tegas saat kami mulai menjalankan tugas masing-masing.
Essie memberikan Beatrice perisai saat dia sudah naik ke bangunan paling atas dan menggunakan chain whip-nya untuk menarik perhatian sang naga. Naga itu pun terbang ke atas dan menyemburkan api ke arah Beatrice. Untungnya ada perisai dari Essie.
Callie yang sudah siap langsung memanah sayap naga dengan panah beracunnya beberapa kali, yang membuat sang naga kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Naga itu terus menyemburkan api ke arah kami dan mencoba serangan lain dengan ekornya. Sayangnya, ekornya sedang ditahan oleh Edrei.
Aku pun langsung menggunakan kekuatan sihirku yang berelemen air dan mengarahkannya ke sang naga. Edrei dengan sigap melancarkan serangan pada naga itu dengan brutal hingga membuatnya mengerang kesakitan dan akhirnya ambruk sepenuhnya.
"Bagus," ucap Edrei yang bajunya kini kotor karena berlumuran darah naga.
"Kalian sangat hebat dan kuat," ucap sang penyembuh dari party lain dengan tatapan tak percaya.
"Hei, seharusnya kalian lebih berhati-hati saat menjelajah dungeon. Jangan pergi ke dungeon dengan tingkat yang tinggi jika kemampuan kalian masih dibawah," ucap Beatrice saat turun dari lantai atas, sedangkan Callie mengangguk tanda setuju.
"Kami takkan mengulangi hal itu lagi. Terimakasih untuk semuanya karena telah membantu kami," pejuang dari party lain itu membungkukkan badan tanda terimakasih.
"Tentu," jawab Edrei.
Party mereka pun pergi dan meninggalkan setengah peti harta untuk kami.
"Lihat, ada ruby disini," ucap Callie saat dia berjalan ke arah naga yang sudah tak bernyawa itu dan mengambil batu permata ruby yang terjatuh.
Aku, Essie dan Beatrice pun ikut melihat ruby yang dipegang Callie, mengagumi keindahannya.
"Kita harus cepat keluar, tempat ini seperti hampir runtuh," Edrei berjalan dan membawa peti harta keluar dari dungeon dan di ikuti kami berempat.
Saat tiba di desa, kita berlima beristirahat dan memilih dungeon yang akan kita datangi selanjutnya. Argumen tak bisa dihindari saat Callie dan Beatrice berbeda pendapat, omelan pun turut serta keluar dari mulut Essie, sedangkan aku dan Edrei hanya diam, menikmati dinamika yang terjadi di antara kami.
Kita berlima pun keluar dari rumah di pagi hari dengan persiapan yang matang untuk pergi ke dungeon lainnya. Berjalan satu baris dan berbincang setiap perjalanan. Menyusuri setiap jalan dengan candaan dan tawa, sungguh indah rasanya.
Tak kusangka, hidupku di dunia ini lebih membahagiakan daripada dunia sebelumnya. Walaupun terkadang masih teringat kehidupanku yang dulu, tapi setidaknya disini aku lebih menikmati dunia tampa polusi, pertemanan yang penuh solidaritas, mewujudkan mimpi yang selalu dianggap mustahil saat di dunia ku yang dulu, dan banyak kejutan lainnya yang menunggu.
Tapi, walaupun begitu aku harus tetap berhati-hati disini, bahaya yang mengancam secara tiba-tiba tak bisa di prediksi, apalagi aku hanyalah seseorang yang melintasi dunia dan bukan rakyat asli dunia ini. Hal yang terpenting bagiku sekarang adalah menikmati hidup di dunia ini dan menjadi yang terkuat agar bisa melindungi semua orang yang ku sayangi dan diriku sendiri.