Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Meletus Sebelum Januari
Oleh Muhammad Irsyad
Teruntuk Ny. Liandhita di persimpangan jalan Lithuania
Hari ini aku pulang cepat. Tepat setengah 3 sore, akhirnya aku meletakkan palu martil dan meninggalkan konstruksi ini lebih awal. Hari ini pekerjaanku dilipat jadi dua lalu dipaksa menjadi empat selang beberapa jam, walaupun begitu aku tak keberatan karena keringat ku dibasuh lebih awal.
Gedung ini sangat tinggi nantinya, berlantai-lantai. Mereka yang ada di puncak perlu waktu yang lama untuk mencapai dasar sehingga sebagian besarnya memilih untuk tetap di puncak, aku pun memerlukan sedikit dorongan untuk tidak memutuskan jatuh menuruni tangga ini. Aku tidak akan menggunakan elevator, larangannya sudah cukup jelas. Maksimal dua-ribu-empat-ratus kilogram. Bebanku lebih dari itu, daripada harus membahayakan pekerja lain, aku memilih untuk memikulnya sendiri seperti biasa. Lagipula aku tak ingin meringkas hari ini. Dengan pulang ke rumah jalan kaki aku bisa memperpanjang garis waktu.
“Ungkapan senang sekiranya tak akan sesuai dengan narasi pulang cepat” firasatku saat dipertengahan anak tangga menuju jembatan penyeberangan yang lalu benar terjadi sesampainya di sana.
Aku tak menemukan Pengemis yang biasa ku acuhkan muka belas kasihannya setiap pulang kerja. Laki-laki berusia senja dengan kedua kelopak mata yang hampir tidak terbuka. Seharusnya dia ada disini. Namun tidak untuk hari ini. Mengapa? Apakah dia sakit? Ataukah belum datang? Karena tak ada yang menjawab, aku memutuskan untuk berjongkok di tempatnya meminta, merasakan bagaimana rasanya jadi tak kasat mata di tempatnya. Melalui celah diantara batangan besi yang melengkapi pagar batas jembatan, kota terlihat begitu buruk. Serba sempit, serba sesak. Sekedar melihat pun harus pilih salah satu, terbenamnya matahari atau terbitnya gedung pecakar langit.
Seandainya dia tahu bahwa penjara ini hanya sementara jika dirinya mau bekerja (mengemis) lebih giat dari biasanya.
Seandainya dia tahu bahwa dirinya bisa kembali sehat jika ada uangnya.
Setelah menyadari bahwa tak ada manusia yang akan berubah tanpa kehendaknya, aku memutuskan untuk berjalan menuruni jembatan yang membawa ku ke seberang dengan perasaan kesal. Hidup di dunia ini gampangnya luar biasa. Menuai apa yang ditabur. Tak peduli siapa, yang penting si cepat pasti dapat. Bagaimana pun pengemis itu akan mati dan sirna. Sayang, satu-satunya warisan yang dia berikan mungkin hanya petuah pelipur lara seperti salahkan orang kaya atau makan tidak makan asalkan kita selamanya.
Setelah puluhan langkah jalan ke depan, aku menyadari bahwa jalanan raya makin padat, makin bau, makin berisik sampai menganggu langkah ku yang konsisten dan terencana,
Ada apa hari ini rupanya?
Tampaknya semua orang bisa pulang cepat.
Mereka sepertinya benar-benar tak tahan melihatku pulang cepat tanpa harus ikut-ikutan, terkadang dunia ini memang tak lebih dari hasil dadu yang diaduk, tak semuanya dapat enam! jika aku menginginkan sesuatu pasti aku berusaha, bukannya merengek mohon disamaratakan!
Namun diantara para keparat itu aku melihat sesosok manusia sempurna, seorang perkerja keras, seorang bapak membawa terompet ditangan kirinya dan anaknya di punggung. Berjalan menjaja dari kaca ke kaca.
“Forza papà!” umpatku padanya,
“Jangan cepat puas pak! Sesungguhnya kilauan kaca-kaca mobil itu tak berarti apapun!” sorak diriku menikmati pemandangan dengan gelak tawa yang tak mungkin ku lakukan dengan berjalan.
Demi trotoar dan debu-debu yang bertebrangan ku bersumpah
Untuk sesaat, aku rela menggadaikan hidupku demi menjadi dirinya, namun tak adil rasanya merusak kisah perjuangan bakal mega-trilinuner. Matraman berhenti di kepalaku, lalu buyar dan pandanganku kembali dibutakan polusi kota. Mengibas-ngibas saja tak cukup membuat jalanan ini jadi sempurna, jadi ku putuskan untuk melanjutkan jalan. Di beberapa langkah ke depan aku berdoa untuk dirinya. “ semoga kau menjadi persis seperti yang aku harapkan.”
Marlina, aku sangat mencintai hidupku hari ini, meskipun jarak rumah saat ini masih dua jam jauhnya, aku bahagia. Setidaknya sampai terminal. Aku menaiki bis yang sama, bedanya aku tak menemui Karman si supir bus malam itu, sialnya aku mungkin tahu kemana perginya, mungkin dia sedang tertidur saat ini, dia jelas tak ingin jadi luar biasa, hidup sederhana asal makan ada dan keluarga bahagia cukup baginya, aku khawatir dengan tumbuh kembang anaknya seiring bis lepas landas dari terminal, aku menunduk dan berdoa lagi untuk yang kedua kalinya. Kekhusyuan dalam doa membuat ku tak merasakan keadaan sekitar. Untuk sesaat, karena memikirkan tentang Karman membuatku berpikir akan hidupku sendiri.
Aku berpikir, sungguh beruntung mereka yang memiliki seseorang khawatir akan masa depannya, untuk seratus langkah menuju sukses mungkin doa ku hanya membuat mereka mau melangkah. Seusai kalimat doa kurapalkan, aku tak bisa mengangkat kepalaku dari tundukannya. Ada sebuah lubang diantara kalimat yang memisahkan kata yang seakan menunggu untuk disumpal. Tak peduli seberapa hitamnya lubang itu, namun sejauh pikiranku melambung, aku tak mampu menemukan akhir. Kondektur menyelamatkanku. Aku mendongak ke atas lalu ke wajahnya. Dirinya tak berekspresi sedikitpun, namun tangannya bergerak naik-turun meminta.
Dunia tampak berbeda di sore hari, penuh omong kosong. “mau sampai kapan kau berlari nak?” Batinku tak bisa menunggu. Walau mataku tak bisa melihat jelas apakah itu sekelibat kawanan anak kecil atau dewasa, kepala ku sakit, perutku keroncongan, pola ini tak ku kenali “kau makan ketika ku suruh!” aku menghardik pada keserakahan. Seperti yang ku bilang, batinku tidak bisa menunggu. Marlina entah kenapa aku merindukan masakanmu.
Sebentar lagi aku sampai, Marlina, hanya perlu beberapa langkah lagi menuju rumah setelah bis ini berhenti, langit yang membusuk mengiringi langkahku, tapi kurasa tak cukup busuk untukku pergi tidur. Selepas turun dari bis aku berpikir tentang jalan sendiri di jalanan sepi khas pemukiman padat dan kumuh, setelah itu usailah perjalananku menuju rumah. Aku lega bisa mencapai sejauh ini. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama aku memikirkan diriku sendiri sejak kau memutuskan hubungan pernikahan ini.
Sesuatu hal di lain hari dengan waktu yang tak pasti selalu berakhir jadi tahi. Keelokan tak akan bertahan sempurna dan selamanya. Seperti yang kubilang tadi, yang kuinginkan saat ini hanyalah “jalan sendiri di jalanan sepi khas rumahku.” Keheningan tak lama membuat suara terdengar seperti bala, rumah-rumah yang tak pernah terlihat kehidupan didalamnya menjadi penuh gelak tawa dengan lampu-lampu kerlap-kerlip menyala-nyala seiringan dengan semangat mereka yang entah merayakan apa. Anak kecil berbaris siap terhanyut dalam arus besar menuju sebuah muara.
Aku sudah sampai di rumah, Marlina. Aku tersadar bahwa sudah terlalu lama aku tidur berjalan. Melihat sekian banyak orang berkumpul di lapangan, mengacung-acungkan terompet dan petasan membuatku merasa tak spesial lagi. Karena tentu, kau juga tahu mereka bukan merayakan kepulangan cepat ku. Walaupun tak bermakna setidaknya mereka bahagia.
Setelah dahagaku hilang usai surutkan sebotol Congyang aku menulis surat ini untuk memberi tahu bahwa semua yang kuyakini salah, sama salahnya seperti memar dan luka yang ku berikan padamu. Saat ini jam dinding belum berdenting, jadi jika kau masih terjebak di persimpangan, bingung memilih jalan mana yang harus kau ambil, antara berpisah atau berdamai, kusarankan kau untuk menyudahi dan mulai lagi sebelum tahun berganti. Untuk beberapa menit ke depan kursi ini terasa sangat nyaman walapun tak mungkin plastik melembek, aku menatap langit-langit malu karena aku ingin melihat Tuhan dan kembang api sekali saja. Aku ingin kau tahu bahwa penyesalanku nyata. Seperti kembang api yang sebentar lagi akan meletus, aku memutuskan redup bersamanya.