Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
MELEPASKAN
1
Suka
504
Dibaca

“Mama-Papa! Aku mendapat beasiswa untuk masuk SMA favorit di Jakarta!” teriak Andi hari itu dengan riang dan penuh semangat.

“Mana, Nak? Sini Mama mau lihat.”

Andi pun menunjukkan hasil screenshot-an dari website tempat ia mendaftar beasiswa.

“Anak Mama memang hebat, kamu selalu bisa diandalkan, Andi!” Mama mengatakan dengan senyum lebar dan wajah terang.

“Makasih, Ma!” Aku membalas dengan senyum yang sama.

“Ayo, abis ini mau Mama traktir di mana?”

“Hmm … aku mau coba restoran yang baru buka itu dong, Ma!”

“Boleh, abis ini, ya.”

 

***

 

Di sekolah Andi dan Tono.

“Wei, Tono!” teriak Andi penuh semangat.

Anak dengan rambut ikal itu pun menoleh ke belakang dengan raut agak cemberut.

“Kamu lulus tes beasiswa kah, Ton?”

Tono hanya menggeleng pelan tanpa jawaban, melihat ke bawah dengan tatapan murung.

Andi langsung merasa tak enak dalam dirinya, ia tak tahu harus menanggapi dengan seperti apa saat sudah seperti ini.

“Tidak apa kok, Ton. Kita masih bisa bersekolah di SMA dekat sini bukan?” 

“Memangnya kamu tidak keberatan?” Tono menatap Andi, “untuk mendapatkan itu, sulitnya bukan main lho, Di.”

“Aku tak terlalu peduli itu, yang penting kita bisa bersama terus.”

“Kamu sangat baik … tapi tentu saja orangtuamu tidak akan setuju semudah itu bukan?”

“Aku tahu itu, mungkin aku akan mencoba selepas sekolah.”

“Baiklah, Di, tapi tak perlu terlalu kamu paksakan ya, kamu harus memikirkan masa depanmu juga.”

“Masa depanku harus tetap bersamamu, jadi akan agak aku paksakan.”

Tono yang mendengar itu mulai tersenyum tanggung, wajahnya terlihat bersinar kembali.

“Ke kantin yuk, Di. Aku traktir batagor.”

“Ayo, deh.”

“Omong-omong abis ini kita B.Indo, kan?”

“Yap, dengan Pak Luis.”

“Aku belum kerjain PR lagi..”

“Contek punyaku saja.”

“Makasih, lho.”

Mereka pun berjalan ke arah kantin dengan senang, seperti tak ada beban yang menunggu mereka.

 

***

 

“APA!” Mama berteriak keras mendengarnya. Raut mukanya kesal dan tidak percaya. “Bagaimana bisa kamu tinggalkan beasiswa di SMA sebagus itu cuma untuk teman yang belum tentu benar-benar setia padamu, Andi?”

“Dia setia padaku, Mah! Aku yakin!” Andi tetap kekeuh meyakinkan Mamanya.

“Tidak-tidak, Nak. Bagaimana bisa kamu seyakin itu?!”

“Dia kan sudah berteman denganku dari kelas 7! Sampai sekarang kelas 9 dia tetap ada bersamaku!”

“Tetap saja, Nak, itu baru 3 tahun. Lagipula kamu harus lebih mementingkan masa depanmu.”

“Dia teman terbaikku, Mah! Terbaik!”

Mama menghelas napas berat, berbisik ke dirinya sendiri, Aku tak mengerti apa yang dipikirkan anak-anak zaman sekarang.

“Dia itu yang mengajarkanku untuk menjadi lebih berani, dan karenanya aku jadi punya banyak teman, belom lagi dia ….”

“Sudah, Nak, cukup. Pergi ke kamarmu, lalu pikirkan baik-baik hal ini!”

Andi sangat kesal, penjelasannya dipotong, tapi ia tetap pergi ke kamarnya, dengan raut muka cemberut.

 

Di kamarnyanya, Andi merenung. Kenapa ia begitu ingin tetap satu sekolah dengan Tono? Bahkan sampai melawan Mamanya. Ia tidak mengerti, sampai akhirnya memori lama itu terputar di keplanya.

 

***

 

Dahulu saat Andi baru pertama kali masuk ke sekolah, ia tak memiliki teman sama sekali. Ia duduk sendiri di bangkunya yang berada di barisan terdepan, berharap ada yang mendekatinya atau mengenalkan diri kepadanya.

Andi tahu hal itu sangat sulit untuk dicapai, walau begitu, ia juga tidak berani untuk mengenalkan dirinya duluan. Ia tak terlalu mudah akrab dengan orang lain walaupun dia lumayan pintar. Saat sedang kebingungan itulah ia bertemu dengan Tono, murid penyemangat yang selalu suka berteman. Tono benar-benar menghampiri meja Andi, dan mengobrol sedikit tentang hobi yang dimilikinya. Mereka melakukan obrolan singkat sebelum akhirnya menjadi lumayan dekat.

“Apa hobi yang sering kamu lakukan?” Tono mulai memantik obrolan.

“Aku suka melukis pemandangan di sekitar rumahku.” Jawab Andi, “selain itu, aku juga sangat menikmati membuat peta pikiriran dari materi sekolah, itu membuat otakku terasa lebih encer.”

“Wah-wah, berarti kamu termasuk murid yang pintar ya,” Tono terkesan, “Semua hobi mu seperti nya berkaitan dengan perlajaran sekolah.”

“Yah, mungkin bisa dibilang begitu.” Andi terdiam sebentar, “Sekarang, mari kita bahas hobimu.”

“Aku merasa lumayan senang saat berolahraga. Terutama olahraga permainan seperti basket, sepak bola, kasti, voli, dan sejenisnya, selain itu aku juga suka mengobrol santai dengan orang lain seperti ini!” Tono menjawab dengan semangat sekali.

“Wah-wah, tak heran kau punya badan yang lumayan tegap dan keren ya, kau juga terlihat sangat ceria.”

“Aku sangat menghargai pujian itu, makasih.”

Mereka terdiam sebentar.

“Oh iya, kita belum mengenalkan diri masing-masing!” Tono tersentak. “Nama ku tono, dan kamu?”

“Aku Andi, senang bisa kenal denganmu, Ton!”

“Aku juga! Sepertinya kita bisa jadi teman akrab, deh.”

“Kuharap begitu, sih.”

Mereka akhirnya lanjut mengobrol tentang banyak hal sampai akhirnya bel dibunyikan.

“Tadi itu seru sekali, Ton. Kuharap kita bisa melanjutkannya di istirahat berikutnya.” Andi tersenyum simpul, lalu kembali ke mejanya.”

“Baiklah, aku bisa meladenimu kapan pun, kok.”

Hubungan mereka pun menjadi lebih erat, bahkan setelah pulang sekolah.

“Ton, nanti malem aku kosong, mau main game online bareng?”

“Boleh-boleh aja, sih, aku juga sering bosan saat malam.”

Deal, ya, jam berapa?”

“Jam o8.00 saja bagaimana?”

“Aku tak keberatan, mari kita lakukan!”

“Oke di, jumpa nanti malam.”

Tono pun segera pergi ke arah tempat parkir sepeda, ia sudah siap mengayuh sampai ke rumah.

Di perjalanan pulang, Tono merasa sangat senang. Menurutnya Andi adalah siswa yang benar-benar balance ia sangat pintar, tetapi tetap menyukai game online dan tidak arogan. Aku heran kenapa ia tak memiliki banyak teman itulah yang Tono pikirkan setelah obrolan pertama mereka. Sepertinya dia sangat pemalu ya, jika aku tidak datang kemejanya tadi, mungkin dia tidak akan mendapat obrolan sama sekali hari itu. Tono merasa agak gemas. Andai saja dia bisa menghilangkan sikap permalunya itu, pasti ia akan punya banyak teman. Tapi yah, memang tidak manusia yang sempurna, orang se-balance dia saja tetap punya kekurangan. Tono yang sedang mengayuh sepeda di jalan lurus yang sepi, menarik kedua tangannya dari stang sepeda, lalu menegakkan badanya(ia sudah biasa melakukan ini. Setidaknya, aku bersedia menjadi temannya, aku juga akan membantunya menemukan teman-teman baru. Semua nya baik-baik saja.” Tono terseyum simpul saat dan setelah mengucapkan kalimat terkahir.

 

***

 

Malamnya di rumah Andi.

“Malem Ton, udah siap main?” Andi memulai percakapan persis setelah mereka masuk ke Discord, aplikasi untuk mengobrol secara online sembari bermain.

“Siap dong, mari kita mulai grinding-nya.”

Mereka pun bermain sampai lumayan larut. Selama permainan itu, Tono memberi tahu banyak hal ke Andi, terutama tentang bagaimana caranya menghilangkan sedikit sifat pemalu dalam dirinya.

“Aku memang sudah seperti ini dari saat aku masih sangat kecil, aku tak bisa membuka topik obrolan pertama ke orang yang tidak aku kenal.”

“Begitu … kamu tahu apa, Di? Aku bisa memberimu sedikit tips.”

“Benarkah? Aku akan sangat senang mendengarnya.”

“Sebenarnya mudah saja; kamu tidak perlu memikirkan reaksi apa yang orang tersebut akan keluarkan setelah kamu mengajaknya ngobrol, ia sama gugupnya denganmu. Bahkan pembicara terbaik di dunia, tetap merasa gugup saat pertama kali mengobrol dengan orang yang tak ia kenal.”

“kamu tidak becanda?” Andi ternganga mendengarnya.

“Ya, itu benar-benar terjadi. Tapi jika kamu masih merasa gugup setelah membuka percakapan, kamu bisa menjadikan itu topik pembicaraan.”

“Ha? Maksudmu aku seperti membahas bahwa aku gugup, dan bertanya apakah lawan bicara gugup juga? Semacam itu?” Andi sekali lagi kaget.

“Ya, tepat sekali!” Tono merasa semangat. “Dengan begitu, kamu sudah jujur dengan lawan bicaramu bahwa kamu juga gugup. Dengan memahami bahwa kalian berdua sama-sama gugup, percakapan kalian dapat mengalir dengan lebih cepat! Karena kalian sudah mengetahui posisi masing-masing, kan?”

“Wah, itu brilian sekali, Ton!” Andi merasakan apa yang Tono rasa. “Kamu sangat ahli dalam hal seperti ini.”

“Tidak juga, aku hanya mempelajarinya sedikit dari buku yang sering kubaca.”

“Lalu bagaiman dengan ….“

Percakapan mereka berlanjut sampai mereka tidur di meja masing-masing. Benar-benar kesan pertama yang luar biasa untuk mereka berdua bukan?

 

***

 

Kembali ke sekolah mereka di waktu riil.

Andi berlari ke kelas Tono untuk bertanya sesuatu, ia tak pernah sekhawatir itu.

Bagaimana ini? Jika aku tak bisa membujuk orangtuaku, sama saja berarti aku harus meninggalkannya!

Akhirnya ia menggedor pintu kelas Tono, dan langsung ke mejanya.

JEDER!!!

“Wah Andi, santai aja, dong” Salah satu teman Tono bergumam.

Andi tak terlalalu memperdulikannya, ia segera duduk di depan Tono.

“Bagaimana ini, Ton? Ibuku tidak menyetujui permintaanku untuk tetap tinggal di kota kita dan sekolah di sini!” Sambil menelpon, Andi menggerakkan kakinya dengan gelisah, wajahnya cemas. “Kita tak akan bisa satu SMA kalau begini.”

“Kita tak harus satu SMA, Andi.” Tono menjawab dengan intonasi yang tenang.

“Aku tak mengerti maksudmu, jelas aku hanya ingin satu SMA denganmu! Bodo amat dengan kualitas sekolahnya.”

“Tidak bisa begitulah, Di.” Tono masih tenang meladini temannya yang keras kepala ini. “Jika Memang ada baiknya untuk kita berpisah sekolah, terutama ada baiknya untukmu, berarti ya … kita memang harus pisah untuk sementara.”

“Tapi aku tak akan bisa menemukan anak yang seasyik dan seseru kamu, Ton.”

Tono menggeleng pelan, “Pasti kamu bisa menemukannya. Lagi pula aku juga manusia, suatu saat nanti cepat atau lambat pasti kamu akan bosan juga berteman denganku.”

“Jujur saja aku tak bisa membayangkan hal itu terjadi sih, tapi kamu betul juga.” Pikiran Andi mulai berubah sedikit.

“Percayalah, kamu bisa mendapatkan teman lebih cepat dari yang kamu kira, Di.” Tono terus meyakinkan. “Kamu lebih hebat dari yang kamu kira.”

“Aku sangat senang dipuji seperti itu, Ton. Tapi aku tetap tidak akan meninggalkanmu sendiri.” Andi membalasnya, ia masih ingat saat-saat pertama mereka. “Kamu yang mengajariku bagaimana caranya menghilang sifat pemaluku, sampai sekarang aku tak tahu bagaimana cara membalasnya.”

“Nah, dengan itu juga kamu pasti bisa mencari teman baru bukan?” Tono menjadi lebih tenang. “Dan aku tidak akan sendiri, aku yang mengajarimu bagaimana caranya mencari teman bukan? Lagi pula kita tetap bisa melakukan obrolan online dan bermain bersama di komputer, kita akan tetap berkoneksi, kok!”

“Kau benar juga sih, Ton. Aku akan berpikir dengan keputusanku lebih lanjut.” Andi menjawab dengan lebih kalem.

“Gitu dong, Andi yang kutahu selalu pintar dan berpikir dua kali.”

Teman-teman mereka mulai mendekati mereka juga.

“Wah-wah, kalian berdua drama sekali, ya.” Kata salah satu temannya, Daffa.

“Tidak separah itu kok, Daf.” Tono membalas.

“Aku tidak bilang seperti itu juga, kok.” Daffa membalas. “Lagi pula, Andi adalah anak genius yang berbeda dari kita, tak ada salahnya untuk membiarkan dia menggapi masa depan yang cerah bukan?”

“Aku setuju,” ikut salah-satu temannya lagi. “Ia tidak perlu ikut dengan kita yang tidak jelas ini.” Anak itu berkata sambil nyengir.

“Itu sih kamu saja.”

“Kamu juga kali”

“Kamu”

“Sudah-sudah, jelas yang normal itu hanya aku dan Andi!” Tono menghentikan mereka semua.

“Apa coba, Ton, mentang-mentang kamu-“

“Iya Ton, adu cerdas cermat sini-“

“Eh, kakiku jangan dienjek.”

Andi melihat semua teman yang ia buat selama ini. Dulu ia hanya menjadi murid paling pendiam yang duduk di bangku paling depan. Tapi sekarang, ia dapat berlari kearah mereka, bercanda-ria, dan tertawa bersama.

Andi tidak akan pernah melupakan momen-momen keren seperti ini di SMP, bahkan saat ia sudah pergi jauh dari mereka, ia tetap tak akan melupakannya.[]

 

Tentang Penulis

Galezunk memiliki nama lengkap Kharaenk Galezunk Maqrizhaqhi, Kelas 8 SMPIT Darul Abidin. Selain menulis Gale juga memiliki hobi membaca novel. Aktif di Darbi Writing Club sebagai Penulis Muda II.   


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Halaman terakhir
Ummy Wachida
Cerpen
MELEPASKAN
Darbi Writing Club
Novel
The Story of Water and Fire
Alvin Raja
Novel
Gold
Hwaiting . . . ! From Seoul to Beijing
Mizan Publishing
Novel
Kecupan terakhir
Anita prizanisa
Skrip Film
Semua Masih Sama
Syeihan Gus Sajad
Novel
Bronze
Pretend to Forget
Afifah Azzahra
Novel
Bronze
Kompleksitas [Sophisticated Novel Version]
Albert Stefanus
Novel
Sinar untuk Genta
Rika Kurnia
Komik
Meow
Hello
Skrip Film
Pengacara Hana
Mahdania
Skrip Film
LANDAK TANPA PERSAHABATAN
Senna Simbolon
Novel
Bronze
MARNI
Shafura
Novel
Lelaki 'Grup' Parent
Zihfa Anzani Saras Isnenda
Novel
Bronze
Someone You Loved
Sanifidya
Rekomendasi
Cerpen
MELEPASKAN
Darbi Writing Club
Cerpen
WARNA PELANGI
Darbi Writing Club