Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rania mengerutkan keningnya. Sudah tiga kali ia mengetuk pintu ruang kerja kakaknya ini, tak ada juga sahutan dari dalam. Tak ada suara yang mengizinkannya masuk, apalagi menyahut salam yang ia ucapkan. Rania menghela napas panjang. Ia kembali memberi salam, “Assalamualaikum. Kak?”
Rania menunggu sahutan, tak juga ada jawaban dari dalam. Ingin rasanya ia langsung membuka pintu dan melihat apa yang terjadi di dalam. Namun, ia sadar itu tak sopan. Ia pun mengurungkan niatnya dan jongkok di depan pintu. Kak Dika lagi ngapain sih? Salam nggak dijawab, pintu nggak dibuka. Keterlaluan! keluhnya dalam hati.
Dentingan jam dinding menemani Rania yang jongkok di depan pintu ruang kerja malam itu. Sesekali gadis berkerudung segi empat bewarna biru itu berdiri untuk meregangkan kakinya. Ia juga menekuk lehernya ke kanan lalu ke kiri agar tidak terlalu pegal. Dua jam ia menunggu, akhirnya pintu terbuka dari dalam.
“Astagfirullahalzim!” Andika mundur satu langkah karena terkejut akan keberadaan Rania yang jongkok di depan pintu ruang kerjanya. “Dek, kamu ngapain jongkok di depan pintu gitu? Kurang kerjaaan aja.” Laki-laki yang masih memakai kaca mata anti radiasi itu mengelus dadanya.
Rania memutar bola mata malas sembari berdiri dari posisinya. “Kurang kerjaan gimana? Yang ada Rania buang-buang waktu jongkok di sini.”
“Yang minta kamu jongkok di depan pintu juga siapa?” Andika menggeleng heran dengan sikap adiknya itu.
“Ya Kakaklah! Kalau bukan gara-gara laporan keuangan kantor Kakak! Aku juga males tahu nunggu di depan pintu!” Rania mulai sewot. “Nih! Laporan kantor titipan Kak Bima tadi.” Rania menyerahkan paksa dua map cokelat yang berisi laporan pada Andika.
“Kak Bima buru-buru, jadi langusng pergi tadi!” Andika mengangguk. Lagi-lagi Rania dibuat kesal oleh respon kakaknya ini. Jika Andika bukan kakak kandungnya, sudah ia tempeleng kepalanya sejak tadi. “Gitu banget responnya. Ngomong kek.”
“Makasih.”
“Tempeleng nih?”
“Astaga, kasar banget kamu. Dek.”
***
“Gimana, Dik? Udah pertimbangin tawaran aku kemarin?” tanya Hanif antusias. Ia tak sabar menunggu jawaban sahabatnya ini. Ia sangat berharap sahabatnya ini mau bekerja sama dengannya. Lagi pula kerja sama yang ia tawarkan kemarin semata bukan hanya menguntungkan dirinya. Jika sahabatnya sejak SMA ini meneriwa tawarannya, Andika juga akan sangat untung.
Laki-laki dengan kaos oblong dan celanan pendek selutut ini menyesap kopi lebih dulu sebelum berkata, “Maaf, Nif. Aku nggak bisa.”
Ekspresi Hanif berubah. Tak menyangka jika sahabat karib yang sangat dipercayainya ini menolak tawarannya. Padahal tawarannya ini bisa membantu permasalahan Andika sekarang. Melepaskan Andika dari jeratan yang tak diinginkan, utang.
“Aku nggak bisa membuat nota palsu seperti yang kamu harapkan, Nif. Tapi kamu nggak perlu khawatir, aku siap bantu kamu buat cetak Al-Quran seperti yang sudah kamu rancang.”
“Kamu nggak sayang mbahmu, ya, Dik?” Hanif menggeleng tak habis pikir dengan penolakan Andika terhadap tawarannya. “Inget, Dik. Ada mbahmu yang butuh pengobatan. Kalau kamu terima tawaranku, percetakan kamu nggak cuma akan di sponsorin, Dik. Kamu akan dapat untung besar. Kamu bisa obatin mbahmu ke Singapura. Bahkan bisa lebih. Kamu nggak perlu utang untuk pengobatan si mbah.”
“Maaf, Nif. Aku tetap menolak,” ucap Andika mantap sembari menatap mata Hanif. “Terima kasih sudah berkunjung ke kantorku. Jika kamu jadi mencetak Al-Quran di sini, aku persilakan. Jika di tempat lain pun aku tak masalah.” Andika berdiri dari duduknya. Laki-laki berpenampilan santai ini tak lagi santai. Hatinya bergejolak, terasa panas saat Hanif menyinggung pengobatan Mbah yang sedang ia perjuangkan.
“Dik. Ayolah.” Hanif ikut berdiri, mengekori Andika yang berjalan menuju ruang kerja. Ia tetap berusaha membujuk sahabatnya. “Ini buat Mbah. Jangan egois, Dik. Kamu harapan, Mbah.”
Andika membuka pintu ruangannya, sebelum masuk ia berkata, “Ini adalah caraku menjaga NKRI, Nif. Tolong, jangan paksa aku. Hargai keputusanku.”
“Dik.” Hanif tak peduli. “Kamu ngomong apa sih? NKRI apa pula.”
Andika menatap pria di depannya. “Kamu ini asisten pribadi dari Habib. Pemilik pesantren terkemuka mempercayakan kamu untuk membantu pekerjaannya. Bagaimana mungkin kamu menghianatinya? Aku masih mengimani sila pertama pancasila, Nif. Ketuhanan yang Maha Esa.”
“Dik!” Hanif mengepalkan tangganya di udara begitu pintu ditutup. Ia mengembuskan napas panjang. Gagal sudah ia membujuk sahabat karibnya itu. “Dik, Dik. Aku mau bantu kamu malah kamu tolak.”
“Bantu apa, Kak?”
***
“Bukan apa-apa, Rania. Sungguh.” Hanif memandang takjub wajah mungil nan putih milik perempuan berkerudung putih di depannya. Kulitnya yang sudah putih ditambah outfitnya yang senada membuat pesonanya terpancar. Berkilau layaknya berlian, meski saat ini langit Jakarta sedang kelabu.
“Kak Hanif.” Rania menoleh, balik menatap Hanif yang sedari tadi memandangnya. “Rania sudah tahu semua dari Kak Dika.”
Leher Hanif menegang. Matanya yang dari tadi memancarkan kekaguman berubah ketakutan. Ia takut jika Rania menolak seperti Andika. Terlebih perempuan di depannya ini satu paket dengan kakaknya. Jika salah satu dari keduanya menolak, ia tak akan bisa mengambil celah untuk membujuk.
“Rania kecewa sama Kak Hanif.”
Hanif mengalihkan pandangannya begitu mata Rania berubah sendu. Ia paling tidak suka saat Rania menahan tangis, apalagi karena dirinya.
“Kak Hanif adalah asisten Habib terkemuka. Tangan kanan Habib yang sangat dipercaya. Rania bangga dengan Kak Hanif yang bisa ada di posisi itu mengingat kita dari desa.” Rania mengembuskan napas sekilas. “Tapi, bagaimana bisa kakak punya pikiran untuk korupsi? Kakak ada dalam lingkungan pesantren. Seharusnya kakak berjuang untuk membangun masa depan negara yang lebih baik dari pesantren, bukan seperti ini, Kak!” Rania meninggikan nadanya.
“Rania sadar!” Hanif memegang pundak Rania. “Tidak ada yang benar-benar bersih di dunia ini. Semua butuh uang. Segala-galanya butuh uang. Uang yang bekerja, Rania!”
Kedua tangan Rania menepis kasar telapak tangan Hanif yang memegang pundaknya. Seketika ia merasa jijik dan ingin muntah. Laki-laki yang telah berhasil meluluhkan hatinya dengan kerja keras membuatnya muak. Rania masih tak percaya semalam dengan apa yang dikatakan kakaknya tetang Hanif. Sekarang, matanya terbuka lebar melihat kenyataan Hanif tak lagi seperti dulu. Laki-laki yang pernah berjuang bersama dengannya dan Andika telah berubah menjadi angkuh, menjadikan uang segala-galanya di atas kehidupan.
“Rania tahu, Kak. Kehidupan ini dan seisinya, segalanya butuh uang. Tapi bukan berarti uang di atas segala-galanya.” Rania menatap sinis Hanif. “Heran, kok bisa orang seperti kakak dipercaya jadi asisten Habib.”
“Rania!” Muka Hanif merah padam, tak terima dengan penghinaan Rania.
“Kenapa? Emang bener, kan? Bukanya dulu waktu jadi asisten tes dulu, ya. Lihat Kak Hanif kayak gini, aku jadi bertanya-tanya, di mana etika kakak?”
“Rania cukup. Nggak usah sok tahu.”
“Pendahulu kita merancang piagam jakarta yang sekarang disebut pancasila bukan semata-mata untuk pajangan, Kak. Itu identitas kita, yang seharunya bisa kita pegang dan kita terapkan ke kehidupan.”
“Rania kamu nggak inget, Mbah?”
“Nggak usah sebut, Mbah, Kak!” Emosi Rania memuncak lagi. “Mbah juga nggak akan bahagia kalau tahu cucu-cucunya terima uang haram. Lagi pula Mbah sangat menjunjung tinggi agamanya. Ketuhanan yang Maha Esa. Kita semua punya agama, apa nggak takut sama Tuhan? Di mana kemanusiaan kakak pada rakyat ini? Kakak lupa, pembuatan Al-Quran itu didanai oleh masyarakat yang berdonasi? Bagaimana kita bisa bersatu kalau ada oknum seperti kakak yang ingin mengambil keuntungan sendiri?”
“Rania cukup.”
“Nggak usah temuin aku sama Kak Dika lagi kalau kakak masih ada niatan buruk. Lebih baik kita nggak kenal, Kak.”
***
“Nggak usah nangis gitu.” Andika bersandar sembari menggeleng melihat Rania sesegukan. “Masih ada cowok lain yang lebih ganteng, lebih pinter, lebih kaya dari Hanif.”
Rania membuang tisu setelah mengusap air matanya. “Siapa juga yang mikirin Kak Hanif.”
Andika mendekati adiknya dan duduk di samping. “Terus ngapain nangis sampai sesegukan gitu?” Andika mengambil gelas berisi air yang ada di meja.
“Kita harus ikhlaskan, Mbah, Kak.”
Andika mengurungkan niatnya untuk minum. Diletakkan kembali gelas ke meja. “Maksud kamu?”
“Tadi mbah bilang sama Rania. Nggak usah lagi mikirin pengoban Mbah.” Rania kembali meneteskan air matanya. “Mbah bilang, ia sudah tua. Usianya sudah tujuh puluh tahun, yang artinya ia telah diberi kesempatan untuk hidup lebih lama dibanding orang lain. Mbah siap kalau sewaktu-waktu dipanggil yang kuasa.”
Andika menarik tubuh Rania dan memeluknya. “Sepertinya Mbah tahu, kita dihadapkan dengan pilihan sulit.” Andika mengelus punggung adik satu-satunya. Saat ini hanya Rania yang ia miliki, Mbah sudah memberi syarat ikhlas. Hanif sudah memilih jalannya sendiri. “Memang sudah saatnya kita ikhlas, biar mbah bisa pergi dengan tenang, nggak ada yang beratin di dunia.” Dan inilah jalan yang ia pilih bersama Rania. Melepas semuanya dengan ikhlas.