Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Melati dari Suroboyo
1
Suka
349
Dibaca

Surabaya, 3 November 1945

Suara letupan di kejauhan menjadi lagu pengantar tidur yang semakin lama semakin memekakkan telinga. Bukan dentuman mercon tahun baru, melainkan suara senapan dan mortir yang mengoyak langit kota. Langit malam tak lagi hitam—ia berubah jingga pucat, terbakar api dari gudang amunisi yang terbakar dua malam lalu.

Di balik dinding kayu rumah tua bergaya kolonial di kawasan Pecinan Surabaya, seorang gadis remaja berambut panjang sedang memandangi ayahnya yang duduk di kursi rotan, diam, khusyuk menatap sebuah peta usang. Gadis itu bernama Lien Hoa, tapi oleh teman-teman lokalnya ia lebih sering dipanggil Melati. Nama pemberian ibunya yang telah tiada. Nama yang kini hanya menjadi kenangan samar di balik bau asap dan debu mesiu.

"Pa, kita harus bantu mereka," ucap Melati pelan, namun tajam.

Ayahnya, Tuan Liu, mengangkat wajah. Matanya redup, berkaca-kaca. Lelaki itu dulu seorang pedagang teh dari Guangdong yang menetap di Surabaya dan menikahi perempuan Jawa. Sejak invasi Jepang dan proklamasi kemerdekaan, bisnisnya perlahan-lahan hancur. Tapi bukan kehancuran itu yang membuatnya murung, melainkan ketakutan.

"Mereka bukan urusan kita, Melati," jawabnya dalam bahasa Indonesia yang patah-patah. "Kita orang luar. Tidak ikut campur."

Melati menggenggam rok lusuhnya. "Tapi darah Mama ada di tanah ini. Mereka juga keluargaku. Teman-temanku. Bahkan yang gugur kemarin... itu Budi, Pa. Budi yang sering bantu di toko."

Tuan Liu terdiam. Napasnya berat, seperti menahan gemuruh dalam dada. Ia tahu, tidak ada gunanya membantah putrinya. Melati bukan anak kecil lagi. Usianya baru enam belas, tapi keberaniannya lebih besar dari para pria yang lari sembunyi dari ketakutan.

"Apa yang kau ingin lakukan?"

Melati tersenyum samar. Di bawah rumah, tersembunyi rak kayu tua yang biasa dipakai untuk menyimpan karung beras. Di baliknya, terdapat lorong kecil menuju dapur belakang yang bisa tembus ke gang sempit. Sudah seminggu ia gunakan lorong itu untuk menyelundupkan roti dan air bagi pejuang yang bersembunyi di selokan Jalan Tunjungan.

"Sama seperti kemarin. Aku hanya bawa makanan dan kain perban. Mereka butuh bantuan."

Tuan Liu menghela napas. Tangannya menggenggam rosario kecil yang diberikan almarhumah istrinya dulu, meskipun ia tak pernah benar-benar memeluk agama istrinya. Mungkin bukan karena ia percaya, tapi karena itu satu-satunya cara untuk merasa dekat dengan perempuan yang ia cintai.

"Kalau mereka tahu kau bantu pejuang, kita bisa dicurigai jadi mata-mata. Bahkan oleh orang-orang kita sendiri."

Melati menatap ayahnya, matanya tak goyah. "Kalau aku diam, aku tak lebih dari pengecut."

Ia berbalik, mengambil tas goni dan memasukkan roti yang baru ia buat sejak fajar tadi. Wajahnya tenang, meskipun tangannya gemetar. Suara dentuman makin keras—tanda bahwa pasukan Belanda dan NICA mulai merangsek masuk ke pusat kota.

"Pa, aku janji hati-hati," katanya sebelum membuka pintu dapur belakang.

Tuan Liu hanya mengangguk perlahan. Dalam hatinya, ia tahu ia tak bisa menghentikan api yang menyala di mata anak perempuannya. Api itu bukan karena nekat, tapi karena cinta. Cinta pada tanah ibunya. Cinta pada orang-orang yang baginya bukan sekadar rakyat, tapi saudara.

**

Gang sempit yang dilalui Melati malam itu dipenuhi bau got dan sisa kertas hangus. Ia menyusuri lorong sambil menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik caping bambu. Di ujung gang, ia memberi ketukan tiga kali di pipa besi, tanda yang sudah disepakati dengan salah satu penjaga.

Seseorang muncul dari balik dinding batu. Wajahnya hitam legam oleh jelaga, tapi sorot matanya masih menyala.

"Melati?"

"Ya. Aku bawa makanan dan kain bersih."

Pemuda itu mengangguk dan membuka jalur masuk. Di balik dinding itu, tersembunyi ruang bawah tanah yang sempit. Di dalamnya, tiga orang pemuda terbaring. Satu dari mereka tak sadarkan diri. Luka tembak di pahanya sudah membiru.

"Aku butuh air panas. Dan benang jahit," kata Melati cepat, menyingsingkan lengan bajunya.

"Beneran kamu mau nanganin ini?"

"Aku anak perempuan, bukan artinya cuma bisa nangis. Sudah, pegang dia."

Dengan ketenangan yang tak biasa untuk usianya, Melati mulai membersihkan luka dengan kain yang ia celup air. Ia pernah melihat ibunya merawat luka, dan sejak itu, ia belajar dari diam. Tangannya bergerak cepat, penuh tekad.

**

Jam menunjukkan pukul tiga dini hari saat ia kembali pulang. Langit mulai terang oleh api, bukan oleh fajar. Kota yang dulu penuh tawa kini hanya menyisakan jerit dan debu.

Namun di hati Melati, sesuatu tumbuh. Ia tak tahu apakah esok masih bisa melihat matahari, tapi ia tahu—ia tidak akan diam.

Ia bukan hanya gadis Pecinan. Ia adalah anak dari tanah ini. Dan tanah ini layak diperjuangkan.

Surabaya, 7 November 1945

Udara pagi membawa aroma anyir darah dan debu. Jalan-jalan di sekitar Tunjungan nyaris tak berwujud lagi. Pohon-pohon hangus, dinding toko retak, dan suara tangis bersahutan dengan raungan pesawat di langit.

Melati berdiri di sudut gang, menunggu isyarat dari penjaga yang biasanya memberi tahu kapan aman untuk menyeberang ke jalur selokan bawah tanah. Tapi pagi ini tak seperti biasanya. Tak ada kode ketukan. Tak ada suara langkah.

Yang ada hanya bau kematian yang makin pekat.

Melati menggenggam kantung perban dan roti, tubuhnya bersembunyi di balik tumpukan puing. Ia tahu risikonya. Setelah kejadian malam lalu—salah satu pejuang tertangkap dan mengaku mendapat suplai dari seseorang di Pecinan—tentara Belanda makin menggila mencari mata-mata.

Tak hanya NICA, tapi juga sebagian kelompok di komunitas Tionghoa mulai curiga. Beberapa di antaranya sudah kehilangan anggota keluarga karena dituduh menyuplai logistik kepada para pemuda.

Dan sekarang, mereka mulai mencurigai Melati.

**

Di rumah, ayahnya sudah menunggu dengan wajah lebih pucat dari biasanya. Di tangannya tergenggam sepucuk surat, tulisannya halus, tapi isinya tajam:

“Hati-hati. Putrimu diawasi. Jangan seret kami semua ke liang kubur.”

Melati membaca surat itu tanpa berkedip. Napasnya memburu, tapi wajahnya tetap tenang.

"Siapa yang kirim?" tanyanya.

Tuan Liu tak menjawab. Ia hanya menatap lekat-lekat putrinya. Ada amarah, tapi lebih banyak ketakutan.

"Melati, sudah cukup. Mereka tahu. Kita bisa dihabisi kapan saja. Aku tak mau kehilanganmu seperti aku kehilangan ibumu."

Melati menunduk. Dadanya berdegup keras, bukan karena takut, tapi karena kecewa. Ia tahu betapa kerasnya perjuangan ayahnya membesarkannya seorang diri. Tapi ia juga tahu, jika hari ini ia berhenti, maka semua luka dan kehilangan selama ini akan sia-sia.

"Ayah, Mama meninggal bukan karena perang. Mama meninggal karena membantu sesama—dan itu bukan kesalahan. Itu keberanian."

Tuan Liu menahan tangis. Tapi Melati tak menunggu jawaban. Ia mengambil kembali kantung perban dan menuju pintu dapur.

Namun langkahnya terhenti saat suara sepatu menghentak-hentak terdengar dari depan rumah.

Tok! Tok! Tok!

"Open the door! Dutch army!"

Tuan Liu mendadak pucat. Matanya menatap Melati penuh ketakutan.

"Masuk ke bawah dapur! Cepat!"

Melati sempat ragu, tapi akhirnya menuruti. Ia membuka lantai dapur tempat ayahnya menyimpan beras dan rempah, lalu turun ke bawah, meringkuk di kegelapan.

Pintu depan terbuka kasar. Suara langkah berat masuk ke rumah, diiringi percakapan keras dalam bahasa Belanda dan Inggris. Melati menahan napas, jantungnya berdentam di telinga.

"Your daughter. Where is she?" tanya salah satu dari mereka.

Tuan Liu menjawab pelan, “My daughter is gone. She went to Malang, two days ago.”

Langkah sepatu makin dekat ke dapur. Melati menggenggam lututnya. Ia tahu, jika ditemukan, ia bukan hanya dibunuh. Ia bisa menjadi alat propaganda. Menjadi simbol bahwa para penyusup datang dari segala etnis, termasuk yang selama ini diam.

Tapi mereka tak menemukannya. Tuhan masih menyembunyikannya dalam gelap.

**

Malam itu, Melati menangis. Bukan karena ketakutan, melainkan karena perasaan gagal melindungi ayahnya. Ia merasa bersalah. Merasa egois.

Namun, surat kecil yang diselipkan seseorang di celah jendela mengubah segalanya.

Isinya hanya tiga kalimat.

"Lien Hoa, luka Budi makin parah. Kami tak punya lagi obat. Dan kami tak tahu sampai kapan kami bisa bertahan. Kami butuh kamu."

**

Keesokan harinya, Melati kembali ke lorong. Tapi kali ini, ia tak datang sendiri. Ayahnya mengikutinya, membawa karung berisi kain, sabun, dan botol alkohol sisa dari toko lama mereka.

"Kamu bilang aku pengecut. Tapi mungkin hari ini aku harus jadi ayah yang menepati janji pada istrimu," katanya lirih.

Melati menatapnya tak percaya. Untuk pertama kalinya, mereka berjalan bersama, dalam gelap, dengan bahaya mengintai di setiap sudut.

Mereka bukan tentara. Bukan pahlawan. Tapi mereka adalah bagian dari perjuangan.

Dan Surabaya tahu nama mereka—meski hanya dibisikkan dalam doa dan bisik di lorong-lorong gelap.

Surabaya, 9 November 1945

Langit malam di Surabaya tak lagi biru. Ia menjadi merah menyala, seperti tubuh luka yang terbuka dan menumpahkan nyawa ke jalan-jalan. Dentuman meriam terdengar sepanjang hari. Rumah-rumah terbakar. Gedung-gedung runtuh. Dan dari balik kegelapan selokan, Melati tetap menyusuri lorong-lorong kota, menggenggam tugasnya seperti menggenggam hidup.

Ia baru saja mengobati luka Budi—remaja tanggung dari kampung Tambaksari—yang sekarat terkena pecahan granat. Ia dan ayahnya berhasil membawa salep dan kain perban terakhir dari toko tua mereka.

"Kalau aku mati," kata Budi pelan sambil meringis, "bilang ke Mak, aku cuma pengen dia tahu… aku berani."

Melati menggenggam tangannya erat. Ia ingin menjawab, tapi suara ledakan kembali mengguncang bumi. Budi tersenyum pelan, lalu tertidur. Ia masih bernapas. Untuk sekarang.

**

Keesokan harinya, sebuah pesan rahasia tiba melalui tangan seorang bocah berumur sebelas tahun yang biasa jadi kurir antar posko. Kertas itu sudah kumal, tapi isinya jelas:

"Serangan besar dari laut akan dimulai besok pagi. Semua posko evakuasi harus siap. Siapa pun yang punya akses ke logistik, segera alihkan ke barak utama di Ngagel."

Melati mematung. Ayahnya baru saja menyembunyikan stok logistik tambahan di dalam kelenteng tua yang ditinggalkan sejak bulan lalu. Jika mereka memindahkannya malam ini, mereka bisa jadi sasaran di tengah jalan. Tapi kalau menunda, semua akan sia-sia.

Dan saat itu pula, seseorang mengetuk pintu mereka.

Bukan tentara.

Tapi Li Shen—sepupu jauh Melati, yang sejak dulu mencurigainya.

"Aku tahu apa yang kamu lakukan," ujarnya dingin.

Melati menegang. Ayahnya berdiri di belakangnya, wajahnya berubah pucat.

"Kalau kamu pikir kamu pahlawan, kamu salah. Karena kalau mereka datang ke rumah kami lagi, kali ini mereka tidak akan pergi tanpa mayat," lanjutnya.

"Kenapa kamu di sini, Li Shen?" tanya Melati, nadanya tenang.

"Aku di sini… untuk memilih."

**

Ternyata Li Shen tidak datang untuk mengkhianati. Ia justru menawarkan bantuan. Ia tahu jalan pintas ke Ngagel lewat terowongan air tua di belakang kelenteng. Tapi ia juga menyampaikan sesuatu yang lebih penting.

"Aku dengar mereka akan menyerang dari udara dan laut sekaligus. Kalian harus siap kehilangan segalanya."

Dan benar saja, malam itu menjadi malam terakhir sebelum neraka dimulai.

**

Surabaya, 10 November 1945

Fajar nyaris tak sempat menyingsing.

Ledakan pertama mengguncang Pelabuhan Tanjung Perak, diikuti oleh teriakan dan suara gemuruh bom dari pesawat tempur Inggris. Langit terbakar. Kota bergetar. Dan Surabaya mulai menulis namanya di sejarah dengan darah dan nyali.

Melati dan ayahnya sudah berada di posko utama. Bersama Li Shen, mereka berhasil membawa sebagian besar logistik tepat waktu. Tapi itu tidak cukup. Tidak untuk menandingi kekuatan tentara Inggris yang kini mengepung dari segala penjuru.

Orang-orang mulai panik. Anak-anak dipeluk ibunya, pemuda memegang bambu runcing dengan tangan gemetar.

Dan Melati berdiri di tengah mereka, bukan dengan senjata, tapi dengan selembar kain perban dan suara yang tak pernah goyah.

"Kita bukan tentara. Tapi ini tanah kita. Dan jika kita harus mati, maka kita mati sebagai mereka yang tidak tinggal diam."

Suara itu menggema, menyusup ke telinga para pemuda yang ketakutan.

Dan mereka pun berdiri.

**

Hari itu, Melati berlari dari satu pos ke pos lain, mengobati luka, membawa kabar, memberi semangat. Ia melihat tubuh-tubuh tumbang. Mendengar jeritan terakhir. Memandang mata yang padam tanpa sempat berpamitan.

Ayahnya terluka saat mencoba menyelamatkan seorang anak kecil dari reruntuhan. Tapi ia masih hidup, meski tubuhnya tak lagi sekuat kemarin.

Li Shen… tidak kembali. Ia mengantar sekelompok pemuda ke jalur pelarian, tapi tak pernah muncul lagi.

Sore harinya, Melati duduk di atas puing gedung sekolah yang dulu jadi tempatnya belajar. Di tangannya, secarik kain putih, penuh noda darah dan debu.

Langit merah. Tapi hatinya putih.

Karena ia tahu, mereka mungkin kalah dalam perang senjata.

Tapi mereka menang dalam perang hati.

Surabaya, Desember 1945

Perang belum benar-benar usai. Tapi Surabaya sudah seperti kota mati—hangus, penuh abu, dan sunyi. Di tiap sudut jalan, tampak bekas peluru dan ledakan. Tak ada lagi suara penjual tahu campur atau deru becak pagi hari. Yang ada hanya nyanyian angin dan kenangan yang menolak pergi.

Melati masih bertahan. Ayahnya selamat meski kakinya lumpuh sebagian. Kini mereka tinggal di rumah kecil di belakang pasar Blauran, menyatu dengan pengungsi lainnya. Posko medis kini berubah jadi dapur umum dan tempat berbagi kisah. Banyak yang pergi, lebih banyak yang hilang.

Dan nama-nama mereka, satu per satu, mulai dilupakan.

Tapi tidak bagi Melati.

Ia menulis semua nama itu dalam buku tuanya—nama-nama anak muda yang gugur tanpa medali, ibu-ibu yang diam-diam menyelundupkan nasi dan air ke pos pejuang, dan Li Shen, sepupunya, yang mungkin hingga hari ini masih berbaring di suatu tempat yang tak dikenal.

"Aku takut kalau suatu hari semua ini cuma jadi kabar angin," ujar Melati pada ayahnya, suatu malam ketika hujan turun lembut.

Ayahnya mengangguk lemah. "Maka tulislah. Supaya mereka tahu. Bukan hanya tentang perang, tapi tentang harapan."

**

Maka Melati menulis. Di sela-sela kesibukannya mengurus dapur umum dan merawat para lansia, ia mencatat semua yang ia lihat, semua yang ia dengar, dan semua yang ia rasakan. Ia tidak menulis tentang senjata atau kemenangan, tapi tentang keberanian kecil: seorang bocah yang tetap mengantar pesan meski lapar, sepasang suami istri tua yang membuka rumah untuk para pejuang, atau seorang wanita keturunan Tionghoa yang memilih tetap tinggal demi tanah yang ia cintai.

Ia menulis, meski dunia di sekitarnya terus berubah. Ia menulis ketika Belanda kembali mencoba menancapkan kuku kekuasaan. Ia menulis ketika semua orang mulai sibuk dengan kehidupan masing-masing. Ia menulis ketika dunia perlahan melupakan betapa darah telah tertumpah di tanah ini.

Dan setiap malam, ia memetik satu bunga melati dari pekarangan kecilnya. Bunga itu diletakkan di meja tulis, di atas buku yang terus bertambah tebal.

"Untuk kalian yang tak sempat kembali," bisiknya.

**

Tahun-tahun berlalu. Surabaya bangkit, tapi bekas luka tak pernah benar-benar hilang. Di ujung sebuah gang sempit di kawasan Pecindilan, berdiri sebuah rumah tua sederhana. Di sana, seorang perempuan tua duduk di kursi rotannya, memandang langit yang senja.

Melati tak lagi muda. Rambutnya telah putih, langkahnya tak setegas dulu. Tapi di matanya masih ada nyala yang sama—seperti langit Surabaya pada pagi 10 November.

Dan setiap tahun, pada tanggal itu, ia akan membuka bukunya dan membaca nama-nama yang ia tulis, satu per satu. Suaranya mungkin pelan, tapi tiap nama diucapkan dengan hormat.

Kadang anak-anak muda datang, bertanya tentang perjuangan. Dan Melati akan tersenyum, lalu berkata:

"Kalian tak perlu jadi tentara untuk mencintai negeri ini. Cukup jangan diam saat kebenaran diinjak. Itu sudah cukup."

**

Dan pada suatu hari di bulan November yang sejuk, Melati menutup bukunya. Ia memetik bunga terakhir dari pekarangannya. Ia meletakkannya di atas meja, lalu duduk tenang.

Di luar, langit masih biru. Tapi bunga melati itu harum seperti dulu—harum keberanian, harum pengorbanan, harum yang tak akan pernah hilang dari tanah ini.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Melati dari Suroboyo
Penulis N
Novel
KARANGJATI: Bayang-Bayang Kolonial
Catur Nugroho
Novel
Perempuan, Tragedi, dan Air Mata
Astuti Parengkuh
Novel
Dahlia Merah di Penghujung Abad
tuhu
Novel
RIRIWA
Topan We
Novel
Gold
Tunggu Aku di Batavia
Falcon Publishing
Novel
Akar Randu, Debu dan Kisah-Kisah Pilu
Ferry Herlambang
Novel
DE'POTTER
Arif Budiman
Novel
Gold
Muhammad Ali
Bentang Pustaka
Cerpen
Kata Terakhir
Ron Nee Soo
Novel
Truly Joglo Kudus
Truly Joglo
Novel
Bronze
Labirin Hati
Astrid Ayu Septaviani
Novel
Dear, Peaceful Day, Where Are You?
Pie
Skrip Film
Sandyakala Payodanagari "Gardajita"
dian mayasari
Novel
Jodoh Dadakan Dirgantara
Andiliawati
Rekomendasi
Cerpen
Melati dari Suroboyo
Penulis N
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Novel
Phantoms Eclipse
Penulis N
Flash
Suara dari Lantai Dua
Penulis N
Flash
Jendela di Rumah Sebelah
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Cerpen
KEKACAUAN DI PESTA ULANG TAHUN
Penulis N
Cerpen
Tiket Sekali Jalan ke Diri Sendiri
Penulis N
Cerpen
Warkop Sebelah
Penulis N
Flash
Sepotong Senja di Halte Lama
Penulis N
Flash
RITUAL MALAM TANPA AKHIR
Penulis N
Flash
Surat dari Masa Depan
Penulis N
Flash
Lorong Tanpa Akhir
Penulis N