Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seorang Adipati datang dari arah berlawanan, ketika Nimas sedang berjalan-jalan di setapak jalan kecil di dalam hutan yang tidak jauh di belakang rumahnya. Kuda yang ditunggangi oleh Adipati berjalan pelan, sangat anggun menambah gagah. Matanya semula berkeliling melihat sekitar. Ingin segarkan mata penat setelah semalaman menghadiri pertemuan besar Adipati dari seluruh daerah kerajaan, di istana raja.
Tengah asik menamai bunga dan tanaman obat yang tumbuh liar, mendadak mata lelah itu segar bugar kembali. Terpaku pada kecantikan tulus gadis yang ada di depannya. Gadis itu pelan berjalan takut-takut. Kecantikannya yang malu-malu tapi tidak bisa dikesampingkan. Mengapa gadis lemah lembut nan rentan itu berjalan-jalan sendirian di hutan? Apa dia tidak tahu hutan ini bisa jadi marabahaya baginya jika sendirian saja seperti itu? Itulah yang ada di dalam pikiran sang Adipati.
Nimas melihat sebentar kedua mata sang Adipati, terkejut kecil lalu menyingkir agak jauh ke samping sambil menunduk hormat. Pipi sang Adipati memerah. Jantungnya berdentam-dentam. Ini perasaan yang tidak pernah ia rasakan lagi sejak istrinya, Mirantika meninggal bersama bayi dalam kandungannya, 2 tahun lalu. Sifat malu-malu Nimas persis sama seperti almarhum istrinya, saat mereka pertama kali bertemu dulu.
Kudanya, Anggano, pemberian seorang pedangang dari Eropa, mendadak berhenti seperti memahami perasaan hati tuannya. Anggano berhenti persis di depan Nimas. Tatapan sang Adipati tidak lepas sedetik pun. Bukan melihat lekuk tubuh, namun tersihir oleh aura. Lalu....
“Siapa namamu?” tanyanya kaku. Lebih terdengar seperti memerintah daripada bertanya.
"Maafkan hamba telah mengganggu perjalanan Yang Mulia. Hamba tidak bermaksud untuk menghalangi jalan Yang Mulia"
Sang Adipati tersenyum. Terbersit niat untuk terus membiarkan gadis itu takut dan malu-malu. Hatinya bergejolak. Senyum merekah di dalam jiwa.
"Siapa namamu? Jangan sampai aku bertanya sekali lagi" perintahnya lebih tegas.
"Ma...maaf Yang Mulia. Nama saya Nimas, Yang Mulia. Tolong jangan hukum hamba. Hamba hanya berjalan-jalan sebentar dan tidak sengaja sampai di jalan ini."
Nimas semakin gemetaran. Dia berpikir tamatlah sudah riwayatnya. Hampir saja ia menangis ketika tiba-tiba Anggano meringkik, mengangkat kedua kakinya keatas. Sang Adipati tersenyum lagi, ceria dan bermakna ketika Nimas terkejut lalu berlari, melarikan diri ketakutan menyangka nyawanya akan melayang.
Untung saja kali ini berjalan-jalan hanya seorang diri tanpa pengawal. Kalau tidak, kesempatan ini tidak akan bisa menghampiri. Kesempatan yang sangat kebetulan dan indah. Hati Adipati berubah cerah. Ia pulang bersama bahagia memasuki kota, bersiap hadapi pekerjaan yang sudah menumpuk.
***
"Ibu...bu...."
Teriakan hampir menangis itu bangunkan Kirana dari lamunan. Tergopoh-gopoh ia keluar menuju asal suara. Dilihatnya Nimas berlari-lari kearahnya berurai air mata. Keranjang yang seharusnya berisi buah-buahan dari hutan kosong melompong. Nimas sangat pandai memilih buah-buahan matang nan manis dari hutan. Itu sudah menjadi keahliannya, maka heranlah Kirana mengapa keranjang itu kosong.
"Nimas…" Belum sempat bertanya, Nimas sudah menubruk dan menangis dalam pelukannya.
"Ada apa, toh, nduk? Kenapa menangis?"
“Bu, tadi di Nimas bertemu Yang Mulia raja. Terus Yang Mulia bertanya nama Nimas, bu.”
“Astaga ndukk! Kamu melakukan apa sampai Yang Mulia menanyakan namamu?” Kirana melepas pelukan Nimas, mengusap air matanya.
“Tadi Nimas berjalan-jalan di hutan, mau mencari buah-buahan, sampai tidak sadar berpapasan dengan Yang Mulia. Nimas juga sempat melihat matanya. Yang Mulia menanyakan nama sampai dua kali. Lalu akhirnya Nimas lari karna tidak mau dihukum, bu. Aku kan cuma berjalan-jalan. Tidak bermaksud menghalangi jalan Yang Mulia”
“Kamu melarikan diri? Astaga nduuuk. Ini bahaya. Bahaya sekali.” Kirana berteriak mengeluh.
“Ayo kita cari ayahmu. Semoga ayahmu punya solusinya. Ibu tidak tahu harus bagimana. Kamu juga kenapa harus melarikan diri?”
Merek berdua berlari ke ladang mencari Krisna. Tergopoh-gopoh mereka ketika akhirnya temukan Krisna sedang berisitirahat di bawah pohon.
“Ada apa, bu? Kenapa seperti dikejar hewan buas begitu larinya? Mukanya masam lagi" sambut Krisna saat Nimas dan Kirana salim.
“Ini Nimas bikin masalah, pak. Tadi bertemu yang mulia Raja di hutan. Lalu dia menatap mata Yang Mulia. Terus Yang Mulia menanyakan namanya dua kali."
Nimas mengangguk-angguk sedih.
“Waduhh! Benar itu, Nak?”
“Iya pak. Nimas takut dihukum, makanya Nimas lari.”
“Waduh Nimaaasss.”Krisna menepuk pundak anaknya dan hampir saja ikut menangis.
"Kenapa kamu lari, nak, aduuuh." Krisna mengrasak-grusukkan rambutnya sendiri.
“Nimas takut,” ucapnya sambil menangis.
Kirana mengelus-ngelus punggung putrinya, membujuk agar tidak semakin menangis. Sebenarnya lebih tepatnya membujuk dirinya sendiri juga agar tidak menangis. Membayangkan raja mereka yang memang terkenal arogan, tidak tega rasanya jika nanti anak semata wayang mereka, jadi korban kearoganannya.
“Aduh, bagaimana kalau nanti kamu malah jadi buronan? Mereka pasti akan segera datang kerumah kita mencarimu. Apa yang harus kita lakukan, pak?” Kirana pun tidak tahan. Ia ikut juga menangis melihat Krisna penuh harap. Berharap dia punya jalan keluar.
“Tunggu sebentar, aku memikirkannya dulu. Dia menanyakan namamu dua kali?”
“Ia pak. Dua kali.”
“Kenapa ditanya dua kali?”
“Karna yang pertamakali, Nimas tidak jawab, pak.”
“Waduh! Mampus. Terus kenapa dia bertanya namamu?”
“Nimas juga tidak tahu. Jadi, tadi sebelumnya Nimas berpapasan dengan Yang Mulia yang sedang menaiki kuda.”
“Terus?” ucap kedua orangtuanya serentak.
Suasana menjadi tegang. Sayup-sayup terdengar bunyi musik yang menyayat hati. Mereka berpikir Nimas telah melakukan kesalahan besar. Besar sekali hingga Yang Mulia menayakan namanya dua kali.
“Lalu, Nimas menatap Yang Mulia sebentar karena terkejut tiba-tiba ada orang. Itu bukan waktu yang biasanya untuk berkuda di dalam hutan. Nimas kira itu orang jahat. Waktu Nimas sadar kalau ternyata dia Yang Mulia raja, Nimas langsung menunduk lalu menyingkir ke pinggir.”
“Trus?” kembali mereka bertanya serentak.
"Trus Yang Mulia raja berhenti di depanku menanyakan nama. Karna takut, Nimas minta tolong supaya tidak dihukum. Trus yang mulia menanyakan namaku sekali lagi tapi dengan nada marah. Aku takut, trus langsung menyebutkan nama. Lalu kuda Yang Mulia meringkik keras sambil mengangkat kaki. Nimas takut sekali lalu langsung lari, begitu pak " Nimas tak henti-hentinya bercerita sambil berurai air mata.”
“Astaga...mengapa kamu lari, nak. Kita bisa dibantai kalau begini.”
Semakin kencanglah lagi tangis Nimas. Dia terduduk lemas di tanah. Kedua orangtuanya ikut duduk menepuk-nepuk punggung Nimas agar berhenti menangis. Beberapa menit setelahnya mereka saling berkeluh kesah dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tidak menyangka hari seperti ini datang menghampiri tanpa tanda-tanda.
“Tapi pak...” tiba-tiba Kirana berbisik serius seperti menganalisis sesuatu. “Anak kita, Nimas hanya menatap Yang Mulia Raja lalu menyingkir. Nimas juga menundukkan kepala, jadi tidak ada apa-apa kan seharusnya?”
“Ia...tapi dia lari, bu. Lari sebelum raja pergi.”
"Iya, bu. Coba tadi aku jangan lari dulu."
“Eh tapi tunggu.....”
Suasana hening kembali. Kirana dan Nimas menunggu sesuatu keluar dari mulut Krisna.
“Kamu tadi lari?"
Nimas mengangguk. Pertanyaan itu sudah berulang-ulang kali terlontar.
“Sebelum raja pergi?”
“Ia, pak,” jawabnya lagi. Tangisnya hampir pecah kembali.
“Lalu dibelakangmu ada siapa yang mengejar?”
Pertanyaan Krisna membuat mereka terdiam lama. Pandangan Krisna dan Kirana berhenti pada Nimas.
“Nimas tidak perhatikan, pak” ucapnya lembut.
“Lalu kamu ketika sudah sampai di rumah, tidak ada yang menyusul?” tanya Krisna lagi.
“Tidak ada, pak. Tadi aku juga lihat Nimas cuma sendiri. Lalu kami langsung kesini."
“Tunggu-tunggu sebentar,” ucap Krisna lagi penuh misteri
“Apakah saat bertemu raja tadi, kamu melihat ada orang dibelakangnya mengawal?”
Nimas berpikir pikir lagi. Lalu matanya membuka lebar.
“Tidak ada pak. Yang Mulia hanya sendirian saja.”
“Tidak mungkin!!!” ucap Krisna dan Kirana bersamaan. Berseru seperti gemuruh. Nimas terkejut. Jantungnya berdebar-debar kaget karna suara itu.
“Raja tidak mungkin tidak dikawal. Keadaan kerajaan sekarang sedang tidak aman. Jadi, tidak mungkin Yang Mulia Raja tidak dikawal, nak. Coba kamu ingat-ingat lagi apa benar tidak ada prajurit di belakangnya yang mengikuti?”
“Raja juga tidak akan mau keluar dari istana tanpa pengaawalan Ksatria pilihan dan kebanggaannya itu loh, Nak”
“Si Belenggujiwa,” sambung Krisna.
“Apakah kau melihat seorang pira tegap dan berotot berada dibelakangnya?”
Nimas berpikir sebentar “Tidak ada, bu.”
"Tidak ada yang berpakaian tameng emas di dadanya?"
"Nimas yakin tidak ada. Yang Mulia Raja hanya sendirian.”
“Lagian, Raja bukannya sedang berada di kerajaan Maju Timur sekarang, pak? Mengambil tongkat suci keluarganya, yang ayah baginda raja titipkan pada sahabatnya?"
“Betul-betul sekali. Butuh dua hari dua malam berjalan kesana, dan baru kemarin siang Yang Mulia berangkat”
“Ya, kita juga ikut di iring-iringan melempar bunga, kan, bu?"
Kirana mengangguk. Nimas hanya terdiam mendengar percakapan antara kedua orang tuanya.
“Lalu siapa yang Nimas jumpai tadi, pak?” tanya Kirana penasaran.
“Dia berpakaian seperti apa, nak?" perhatian mereka kembali fokus pada Nimas.
“Nimas lupa seperti apa pakaiannya, tapi...hmm...di sekitar wajahnya ada janggut-janggut kecil dan kumis tipis-tipis.”
“Dia memakai mahkota warna apa?'
Nimas berusaha mengingat-ingat lagi “Biru tua sepertinya.”
“Astaga Nimaaas....” Kirana memukul-mukul punggung Nimas. Sementara Krisna mengelus-elus dada lega.
“Ibu sakit. Punggung Nimas sakit."
Kirana menghentikan pukulannya. Wajahnya cemberut kesal menatap tajam Nimas.
"Memangnya dia siapa, bu?"
“Kirana kamu sudah sangat jauh tidak mengajari anak kita tentang kerajaan. Mulai besok kasih tahu dia semua silsilah raja, serta susuan pejabat-pejabat kerajaan. Masa bapaknya kepala desa tapi anaknya tidak bisa membedakan mana Raja mana yang bukan Raja? Bisa malu bapakmu ini di depan kepala desa yang lain.”
“Aku minta maaf, pak. Pekerjaan rumah banyak sekali.”
Nimas masih tidak mengerti apa maksud pembicaraan orang tuanya.
"Sudah-sudah kalian pulang saja. Bu, jangan lupa nanti malam atau besok pagi mungkin Adipati Agung akan datang. Dia sudah menanyakan nama Nimas. Kalian persiapkanlah semuanya." Krisna bangkit mengambil cangkulnya kembali, hendak selesaikan undakan-undakan berisi bibit-bibit sayuran.
"Iya, pak. Kami pulang dulu."
Mereka berdua salim lagi. Kali ini, Kirana salim dengan lega. Tersenyum lega dan bahagia karna tidak menyangka hari seperti ini akan datang. Terutama pada anaknya. Nimas sendiri menurut saja meski masih belum mengerti apa yang orangtuanya katakan.
“Nduk, sekarang kita harus kembali rumah. Kita akan menantikan kedatangan orang yang kamu temui tadi.”
Nimas mengernyitkan dahi. Dia berusaha mengimbangi langkah kaki ibunya.
“Siapa bu? Yang Mulia?"
“Dia Adipati. Adipati Agung. Pemimpin semua Adipati daerah. Orang kepercayaan Raja. Tadi itu beliau sedang berkeliling. Dulu dia sering berkeliling bersama istrinya. Sekarang mungkin dia masih suka berkeliling tapi sendirian semenjak istrinya meninggal. Jadi, karna kamu bertemu dengannya dan menayakan namamu, bahkan sampai dua kali, kemungkinan besar dia akan datang ke rumah kita.”
“Kenapa, bu? Kenapa dia datang? Bapak sama ibu sedari tadi selalu bilang dia akan datang, dia akan datang, tapi untuk apa? Nimas mau di jemput paksa?”
Kirana hanya tersenyum saja menanggapi pertanyaan Nimas.
"Bagaimanapun, bersiaplah. Kamu pulang saja sekarang. Ibu mau ke pasar dulu. Jangan lupa persiapkan pakaian terbaikmu.” Kirana mempercepat langkahnya meninggalkan Nimas dalam kebingungan.
***
Adipati Agung bangun pagi-pagi sekali menyiapkan bajunya sendiri. Dia ingin hari ini sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Kudanya, Anggano, meringkik girang di halaman. Segera dia membuka jendela. Anggano berdiri gagah di depan sana di dekat pohon kesayangannya dan almarhum istrinya. Di situ biasanya mereka berdua bercengkrama sebelum berangkat tugas. Lalu, sore hari duduk di sana kembali, sambil bermanja-manja setelah pulang dari istana.
Anggano berjalan maju mundur sedikit demi sedikit seperti hendak memamerkan kegagahannya pada tuannya. Seperti hendak berkata siap mendukung. Adipati tersenyum lalu menutup tirai jendela kembali. Segera ia memakai baju andalan. Kilau benang-benang emas memercik di bawah sinar lampu. Bawahannya begitu gelap hingga membuat postur tubuhnya yang tinggi semakin tegap. Rambut disisir rapi pancarkan kharisma. Sebab ini hari spesial, itulah yang selalu ia tanamkan.
“Tuan, Anggano suah siap.”
“Saya segera kesana. Bibi tidak usah mengantar saya. Sampaikan pada Dirga juga, tidak usah mengawal. Saya akan pergi sendiri.”
“Seperti biasa, Tuan?”
“Iya.”
“Baik, Tuan.”
Terdengar bunyi langkah kaki pembantu menjauh dan Adipati Agung sudah siap. Berlangkah tegap diiringi bunga-bunga mekar di hati, dia pun keluar dari kamar.
"Ayo Anggano. Kita harus segera kesana,” perintahnya.
Rumahnya dan rumah yang akan dituju tidaklah terlalu jauh. Dirga, pengawal setianya, telah jelaskan posisi rumah Nimas dengan sangat detil. Selain itu, komplek perumahan pejabat daerah, pejabat lokal dan komplek perumahan pejabat istana tidaklah terlalu berjauhan jarak. Namun, tetap saja, Adipati Agung memilih jalan-jalan sepi agar dandanan rapi tidak akan tarik perhatian orang lain.
Ditengah perjalanan, dia berpikir apakah yang dikenakannya terlalu kentara dan mungkin agak berlebihan bila hanya sekedar berkenalan saja? Lebih tepatnya pakaian itu lebih cocok jika niat melamar. Benang-benang emas di baju itu percikkan cahaya kelap-kelip buat Adipati Agung berhenti. Ia benar-benar serius berpikir apakah ini memang terlalu berlebihan?
Paras lembut malu-malu Nimas muncul lagi, hangatkan kembali hati. Jika mundur sangatlah tidak cerminkan posisi dirinya sebagai orang kepercayaan Raja. Jadi, dia putuskan akan tetap berjalan layaknya Ksatria sejati. Firasat mengatakan bahwa ini akan berhasil, maka dia harus datang lebih awal, agar tahu lebih cepat tentang gadis itu.
***
“Ibu, Yang Mulia raja ada urusan apa datang ke rumhah kita?” dengan suara agak ditahan, Nimas menanyakan sesuatu yang sudah dia pendam dari kemarin.
Dia lupa penjelasan ibunya bahwa yang di temuinya kemarin adalah Adipati Agung, bukan Raja. Itu karna Nimas masih kebingungan untuk apa persiapan spesial ini mereka lakukan. Untuk apa makanan-makanan enak di atas meja di persiapkan oleh Kirana. Semenjak pulang dari ladang, Nimas masih belum mengerti mengapa mereka harus menyambut Yang Mulia. Dijodohkan dengan Yang Mulia? Tidak mungkin. Yang Mulia sudah punya istri dan beberapa selir? Tidak mungkin juga dia menjadi selir raja, karna anak dari pejabat local dilarang jadi selir.
Atau dia akan benar-benar dihukum? Dipancung? Dicambuk? Atau dipenjara? Tapi tidak mungkin orang tuanya samtai sekali persiapkan makanan dan minuman, serta bersihkan rumah, bahkan berikan Nimas baju yang bagus dan mewah. Tidak mungkin juga wajah orangtuanya sumringah jika dia akan dicambuk oleh raja. Merasa gerah dengan banyak pertanyaan, Nimas menggerai rambut kebelakang sambil menunggu jawaban dari Kirana.
“Nduk, ibu sudah bilang, bukan Yang Mulia Raja…” belum selesai Kirana menjelaskan, terdengar sayup-sayup suara ringkikan kuda dari belakang rumah. Nimas dan ibunya saling berpandangan.
“Bu...Nimas takut.”
Kirana segera menyelesaikan ikatan simpul di pinggang Nimas. Kebaya putu beludru berwarna hijau dengan aksen benang emas membalut tubuh Nimas yang langsing. Rambut digelung sederhana dengan tambahan rangkaian besi tipis membentuk ukiran cantik. Wajahnya dipoles sederhana dengan bibir merekah sempurna dan natural.
“Nduk, dari kemarin ibu sudah jelaskan sama kamu, tapi sepertinya kamu memang harus tahu dari beliau langsung tentang siapa dirinya, dan untuk apa dia datang. Sekarang kamu siapkan dirimu, ibu mau kedepan sebentar, melihat apakah beliau sudah sampai. Kamu tunggu disini sampai ibu panggil.”
Nimas mengangguk nurut. Namun diam-diam mengikuti ibunya keluar kamar kemudian. Ia membuka tirai jendela. Di teras ayahnya duduk dengan pakaian rapi, siap menyambut sang tamu. Tak lama kemudian Kirana dan Krisna serentak berdiri sambil tersenyum sumringah saat melihat Adipati Agung sudah masuk ke pekarangan rumah mereka.
Nimas pun terpaku saat melihat seorang laki-laki berkuda putih, berpakaian rapi dan indah, masuk dengan wibawanya yang tidak bisa dielakkan. Seketika takutnya yang kemarin dan hari ini hilang, sebab pria yang hadir hari ini datang dengan aura yang berbeda dengan yang kemarin. Senyumnya terkembang kala mata mereka bertemu.
Sementara Adipati yang masih di atas kudanya, di tengah halaman rumah, sumringah luar biasa kala melihat Nimas yang terpaku sambil tersenyum dari balik jendela depan rumah. Yakinnya bertambah. Tidak perlu berkenalan lama, hari ini juga ia ingin melamar gadis itu, jika ke dua orang tuanya mengizinkan.
Di sisi lain, Krisna dan Kirana di teras rumah sibuk memberi kode dengan tangan melambai-lambai keras serta wajah panik, agar putri mereka yang keras kepala masuk kembali ke dalam kamar. Sebab mereka takut, Adipati akan tersinggung disambut seperti itu. Mereka tidak tahu saja, dua insan itu telah pancarkan percikan bahasa cinta yang tidak terlihat oleh siapa pun selain dua insan itu sendiri.
***