Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Meja Makan
1
Suka
655
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Kau tidak pantas menjadi ayahku!”

Aku terpaku mendengar suara asing itu. Langkahku terhenti karenanya. Mataku bergegas menangkap asal suara itu.

Seorang anak berusia belasan merangkak perlahan. Meraih kursi rodanya yang terjungkir di dekat meja makan di rumahku.

Ini pertama kalinya aku melihatnya. Dia berusaha mengembalikan posisi kursi roda dengan benar. Dan … oh, Herlan?

Kakak pertamaku, Herlan, membantu memapahnya. Namun, remaja berkaos putih itu segera menampik tangan Herlan.

Herlan tampak terkejut mendapatkan reaksi dari remaja itu. Tangannya digarukkan pada punggung kepalanya sebelum berkata pelan.

“Biarkan aku membantumu.”

“Urgh! Aku … bisa melakukannya!”

Ajaib memang. Aku tidak pernah melihat pemandangan ini. Dia berhasil meraih kursi rodanya sendiri. Tampak mudah baginya untuk duduk manis di sana.

Tangannya bergegas memutar kursi rodanya dan menjauh dari Herlan. Ekspresinya berubah begitu mendapati diriku berdiri di hadapannya.

Dapat kutangkap saat matanya terbelalak kala melihat kehadiranku. Dia berhenti sesaat sebelum melewati tubuhku. Pandangannya tertunduk cepat begitu mata kami bertemu.

“Kau … menghalangiku!”

Aku terperanjat mendengarnya. Matanya memerah saat pandangan kami bertemu. Meskipun sesaat, aku dapat menangkap tatapan mengerikan itu.

Tatapan kemarahan yang tidak dapat kuungkapkan penyebabnya.

“Ah … maafkan … aku.” 

Mulutku terbata saat menjawabnya. Suaraku bahkan terdengar serak. Dapat kutangkap jika air matanya berderai saat dia melewatiku.

Perlahan ... tanganku bergerak dengan sendirinya. Mengarah kepadanya. Berusaha meraih punggungnya yang perlahan menjauh.

Namun, Herlan menghentikanku. Dia menggelengkan kepalanya padaku. Raut mukanya sungguh mengganjal hatiku. Seolah aku berhasil menangkap kesedihan yang tidak dapat dia ungkapkan.

Ekspresi Herlan berhasil membuatku mengurungkan niat yang menggebu dalam hatiku. Aku sungguh yakin sebelumnya. Hatiku menyimpan berbagai pertanyaan untuknya.

“Aku tidak tahu kau akan kembali hari ini.”

Herlan bergumam pelan dengan ekspresi datar. Kedua alisku terangkat dengan cepat.

“Aku lebih heran lagi kau telah kembali.”

“Hum … begitulah …”

“Begitulah? Dua puluh tahun, Herlan! Sungguh aneh bagiku melihatmu di rumah ini.”

“Pillar … oh, apakah ini harinya? Aku pikir kau akan kembali minggu depan.”

Ibu memotong pembicaraanku dengan Herlan. Aku tersadar dan merasa bersalah telah mengabaikannya. Aku yakin sedari tadi beliau hanya diam memperhatikanku.

Seharusnya aku segera berlari memeluknya. Bukan berurusan dengan Herlan seperti ini.

“Ibu!”

Langkahku bergegas mendekat pada Ibu yang mulai bangkit dari kursinya di meja makan. Kuraih lengannya perlahan. Hangat tubuhnya membuat bibirku merekahkan senyum.

“Seharusnya kau meneleponku. Aku dapat menjemputmu di bandara.”

“Huh … Kau bahkan tidak mengangkat teleponku!”

“Kau menelepon Ibu?”

“Tentu saja!”

“Ah … maafkan Ibu, nak. Hanya saja …”

Pandangan Ibu segera beralih pada sekumpulan manusia asing di meja makan kami. Hanya wajah Ayah yang kukenal dari empat orang itu. Mereka terdiam ketika mataku menatap mereka satu per satu.

Seorang wanita berambut hitam lurus dengan mata sipit tersenyum padaku. Begitu pula dua gadis kecil berkuncir kuda dengan wajah yang sama.

Siapapun akan mengatakan si kembar itu anaknya Herlan. Aku tersenyum kecil pada mereka. Segera kualihkan pandanganku pada Herlan.

“Ah … mereka … anak dan istrimu?”

Herlan mengangguk pelan. Tangannya meraih kursi tidak jauh dari tempatku berdiri.

“Hum … kau tidak merindukanku?”

“Entahlah …”

Kepalaku menggeleng pelan. Tanganku meraih gelas kosong paling dekat denganku. Kuisi penuh dengan air putih dari teko di dekat Herlan.

“Oh, sepertinya kau tidak menyukai kehadiranku.”

Hampir saja aku tersedak mendengar ucapan itu. Kutaruh kembali gelasku sembari menatap Ayah yang masih saja terdiam.

“Aku tidak membencimu, Herlan.”

Herlan tersenyum kecil mendengar jawabanku.

“Ah … aku harus mengenalkan mereka. Zhao Luna, istriku. Si kembar, Isabel … dan Anabel. Give hello to aunt Pillar, girls.

Hello, Aunt Pillar. Nice to meet you.”

Si kembar itu mendekat padaku. Memelukku secara bersamaan. Aku terpana untuk sesaat. Tubuh mungil mereka sungguh membuatku gemas.

Aw … nice to meet you, girls. How old are you?”

Eleven.”

“That’s great! Are you happy to be here?”

“Yes …we were already going to so many places.”

“Great! Now finish your plate, or your dad gonna scold you.”

“Hahaha … Okay!”

Luna menghampiriku bergantian. Kurasakan Herlan masih menatapku. Aku tersenyum padanya sembari menyambut pelukan istrinya.

“Nice to meet you, Pillar. Herlan talked about you so much.”

“Oh, really? I have no idea that he even remembers having a little sister.”

“Hahaha … “

“Ah … I am going to take my leave. I need some rest.”

“Oh, it’s okay. You must be tired from your flight.”

“Yeah. It’s 12 hours flight.”

“I see …”

Luna mengangguk pelan dan aku bergegas ke arah koperku. Meninggalkan perempuan itu bersama yang lain di meja makan.

Ibu mendekat padaku saat mendapatiku menarik koper. Dia bahkan mengikuti langkahku menuju kamar.

“Kau tidak ingin makan dulu?”

“Tidak, Ibu. Aku sangat lelah.”

“Aku mengerti. Panggil aku segera jika kau butuh Ibu, nak.”

“Kumohon hentikan, Ibu. Aku bukan anak kecil. Dan, oh!”

Ucapanku terhenti begitu tanganku hampir menyentuh gagang pintu kamar. Kepalaku menoleh pada Herlan yang masih berada di meja makan.

“Herlan! Siapa bocah kursi roda tadi?”

Herlan tidak menjawabku. Kurasakan Ayah menatapku dengan tatapan dingin. Ibu bahkan bergegas mendorongku masuk ke kamar. Namun aku menolaknya.

“Ada yang salah dengan pertanyaanku?”

“Nanti saja. Sekarang kau butuh istirahat.”

Ibu berkata pelan dan aku tidak bergeming. Kuputar bola mataku. Pandanganku terpaku pada sekumpulan orang di meja makan.

“Huh … Ayah … putrimu kembali. Kau tidak merindukanku?”

“Aku melihatmu setiap bulan. Apa yang istimewa dari itu?”

“Aargh … ini sangat menyebalkan! Haruskah aku kembali 20 tahun lagi?!”

“Pillar …”

Ibu bergegas meraih lenganku. Suaranya yang lirih membuatku terdiam. Dia mendorongku dengan keras ke kamar.

“Sepertinya Ayahmu juga banyak pikiran. Tolong mengertilah, nak …”

Kuhempaskan tubuhku ke kasur. Seolah tidak mendengarkan perkataan Ibu.

“Dia tidak pernah berubah …”

Aku bergumam pelan saat mulai memejamkan mataku. Kurasakan Ibu membelai keningku perlahan.

Tidak lama kemudian langkahnya terdengar menjauh. Kudengar suaranya samar sembari menutup pintu.

“Ayahmu mencemaskan Herlan, nak …”

Herlan adalah kakak pertamaku. Dia meninggalkan rumah saat aku berusia sembilan belas. Usianya sudah dua puluh lima kala itu. Tidak ada yang tahu kemana perginya.

“Aku tidak akan kembali ke rumah ini lagi!”

Begitulah ucapannya kala itu. Ayah hanya terdiam mendengarnya. Ibu menangis histeris melihat kepergiannya.

Sungguh aneh melihatnya kembali di rumah ini. Aku bahkan tidak berani mengatakan jika aku merindukannya. Apa yang harus aku rindukan?

Sampai di usiaku yang ke sembilan belas, kami tidak pernah akur. Kami bahkan jarang bicara.

Ayah selalu membanggakannya dan … mengabaikanku. Ibu selalu memberikan semua keinginannya. Namun tidak untukku.

Semua yang kurasakan hingga kini adalah … Ayah dan Ibu seolah tidak menganggapku ada. Meski aku peringkat satu di sekolah, juara atletik, juara baca puisi, atau mendapat beasiswa.

Herlan mendapatkan semuanya. Meskipun dia selalu peringkat terbawah di sekolah. Tidak pandai di atletik, atau … sangat buruk dalam berteman.

Bukankah itu sangat tidak adil untukku?

Dua puluh tahun yang lalu … kegembiraanku meluap saat kudapati Herlan meninggalkan rumah. Anehnya kegembiraanku tidak merubah apapun.

Ayah dan Ibu tetap tidak memperhatikanku. Mereka justru berlarut-larut merenungi kepergian Herlan. Seolah dia benar-benar meninggalkan dunia ini. Bukan meninggalkan rumah.

Keesokan harinya, aku termangu di depan pintu kamarku. Langkahku terhenti saat hendak mengambil air di kulkas dekat dapur.

Tatapanku terpaku pada meja makan keluarga kami. Tempat itu penuh. Semua kursi terisi kecuali dua di paling ujung.

Sejak kepergian Herlan dua puluh tahun yang lalu, meja makan kami selalu kosong. Aku selalu duduk di sana sendirian. Tidak peduli pagi, siang, atau malam.

Meskipun Ayah dan Ibu di rumah, tidak satupun dari mereka duduk bersamaku di meja makan. Ketika pagi tiba, mereka mengatakan akan terlambat jika harus sarapan bersama.

Ketika malam tiba, mereka mengatakan terlalu lelah untuk makan bersama. Sungguh … perasaan itu sangat menyesakkan.

Sama menyesakkannya dengan pagi ini. Saat melihat meja makan itu penuh kembali. Terlebih, dengan tatapan dingin yang tidak pernah berubah dari Ayah untukku.

Kuayunkan langkahku perlahan. Mendekat ke meja makan. Kutarik kursi di sebelah Herlan yang berhadapan langsung dengan Ibu.

“Berapa lama kau akan tinggal?”

Pertanyaanku pada Herlan membuatnya tersedak. Aku tidak mengerti mengapa dia begitu terkejut.

“Uhuk! Ehm! Entahlah … mungkin satu atau dua bulan.”

“Kau tidak bekerja?”

“Cuti. Ehm … Aku mengajukan cuti.”

“Ah … aku mengerti.”

Herlan tidak menanggapi ucapanku lagi. Aku juga terlalu malas untuk berbasa basi dengannya seperti ini.

“Datanglah ke perusahaan selagi kau di sini. Ayah akan senang jika kau membantu perusahaan.”

Perutku hampir muntah mendengarnya. Ayah membiarkan Herlan masuk ke perusahaan?

“Oh … akan kupikirkan, Ayah. Luna dan si kembar ingin menikmati waktu mereka di sini.”

“Keluarga ini membutuhkanmu, nak. Begitu juga perusahaan.”

“Lucu sekali! Kau bahkan tidak pernah mengijikanku masuk ke perusahaan itu.”

Entah apa yang membuatku berani memotong ucapan Ayah. Senyumanku bahkan terasa sangat sinis untuknya.

Alih-alih menanggapiku, Ayah justru mengalihkan pandangannya. Semua orang terdiam karenanya. Suaraku mulai terdengar parau saat bergumam pelan.

“Belum saatnya untukku.”

Sepertinya semua orang mendengarku. Kurasakan semua mata tertuju padaku karenanya.

Aku menatap Herlan yang seolah menunggu penjelasan dariku. Bibirku sedikit tersenyum untuknya.

“Oh, Ayah selalu mengatakannya.”

Herlan mengangkat kedua alisnya. Mulutnya separuh terbuka seolah siap mengatakan sesuatu.

Alih-alih menunggunya, aku justru bangkit dari kursiku. Meninggalkan meja makan yang sangat dingin bagiku.

Langkahku terhenti ketika hampir meraih gagang pintu kamar. Pak Made, supir keluarga kami berlari ke arah meja makan.

Suaranya bergetar saat berkata pada Ayah. Pandangannya tertunduk seolah Ayah akan menerkamnya.

“Uhm … dia datang lagi, pak. Security tidak mampu menahannya. Kami takut menyakitinya.”

“Aku mengerti. Bawa dia padaku.”

Ibu menatap Ayah dengan ekspresi yang tidak dapat kutebak. Apakah itu kecemasan … atau kesedihan?

Aku tidak mampu menggambarkannya. Herlan menatap istrinya dan membuat wanita itu meninggalkan meja makan. Si kembar dia tarik paksa secara bersamaan.

Hanya ada sedikit rasa penasaran yang muncul pada diriku. Aku mengabaikan rasa itu dan bergegas kembali ke kamar.

Beberapa saat kemudian, kudengar teriakan. Suaranya sangat kencang sampai terdengar di kamarku.

Aku berlari keluar untuk memeriksanya. Langkahku terhenti sesaat di depan pintu kamar. Kulihat si kembar tampak ketakutan dalam pelukan ibunya di depan kamar mereka.

“Kau tidak berhak! Tidak … Kembalikan hidupku!”

Hatiku terperanjat mendengarnya. Suaranya semakin meninggi di tengah meja makan yang hening.

Raungan tangisannya perlahan semakin menggelegar. Seolah tidak terbendung oleh apapun.

Bulu kudukku berdiri mendengar tangisannya. Mataku tidak berkedip menyaksikannya.

Bocah kursi roda itu kembali. Sama seperti yang kulihat sebelumnya. Kali ini kursi rodanya juga sudah terjungkir.

Tubuhnya tersungkur di lantai. Tangisnya pecah. Mulutnya meracaukan sumpah serapah pada orang-orang di hadapannya.

Entah apa yang terjadi pada bocah malang itu. Kulihat Ayah dan Ibu hanya berdiri memandanginya. Begitu juga Herlan.

Kuberanikan diriku mendekat pada mereka. Perlahan tapi pasti, langkahku telah mendekati meja makan.

“Berhenti di sana!”

Kudengar suara Ayah meninggi. Matanya memerah saat pandangan kami bertemu. Tatapannya yang tajam membuat tubuhku membeku.

Anehnya, sikap Ayah tidak menyurutkan niatku. Aku tetap melangkah mendekati bocah itu.

“Apa yang terjadi padanya?”

Ayah hanya menatapku. Tatapannya membuat tenggorokanku tercekat. Kudapati Ibu bergegas mendekat padaku. Lengannya yang hangat meraihku.

“Pillar …”

Tanganku menepis lengan Ibu dengan cepat. Namun Herlan menangkapku. Pandangan kami beradu disertai tatapan kemarahan darinya.

“Kau tidak mendengarku? Diam di sana! Atau kembali ke kamarmu!”

Suara Ayah kembali meninggi. Kali ini aku semakin tidak menghiraukannya. Langkahku bergerak pada kursi roda yang telah terbalik.

Perlahan kukembalikan posisi kursi roda dengan benar. Bocah itu hanya terdiam saat aku mendekat padanya. Tangisnya terhenti.

Pandangannya tertunduk cepat saat mata kami bertemu. Tubuhnya tampak bergetar. Dapat kurasakan jika dia menahan isak tangisnya sekuat tenaga.

Dagunya terangkat perlahan ketika tanganku menjulur padanya. Matanya merah dan sembab. Lingkaran hitam tampak jelas tergambar di sana.

Kesedihan di wajahnya tak dapat kuungkapkan. Entah sudah berapa lama dia bergumul dengan itu.

“Kau bisa berdiri? Aku akan membantumu.”

Kedua alisnya terangkat seketika. Air matanya mulai mengalir dari sudut matanya. Bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu.

Suara tangisnya pecah kembali saat tanganku menyentuh bahunya yang kurus. Tubuhku terperanjat karenanya.

Ayah bergegas menarik tanganku dengan kasar. Aku bahkan hampir terjatuh karenanya.

Beruntung aku mampu menjaga keseimbanganku. Mataku terbelalak melihat sikap Ayah. Sama halnya denganku, kedua bola matanya hampir terjatuh saat tatapan kami bertemu.

“Kembali ke kamarmu!”

“Aku akan kembali dengannya.”

“Pillar!”

“Aku hanya ingin membantunya. Apa yang salah dengan itu, Ayah?”

“Kau tidak mengerti apapun, Pillar.”

“Kita akan bicara setelah kau merasa tenang, Ayah.”

Ucapanku membuat Ayah menarik napasnya dengan berat. Kedua tangannya dia telungkupkan ke wajahnya.

Tanganku meraih lengan bocah itu perlahan. Membantunya duduk di kursi rodanya. Dia tidak menolakku. Apalagi memberontak.

Kudorong perlahan kursi rodanya. Meninggalkan meja makan itu bersama yang lainnya.

“Ikutlah denganku.”

Langkahku terhenti mendengarnya. Ucapan itu tidak keluar dari mulutku. Aku tidak salah dengar bukan?

“Uhm … kau mengatakan sesuatu?”

Kucondongkan tubuhku dan mendekat pada wajahnya. Dia mengangguk dan menatapku dengan tegas.

“Kembalilah padaku.”

Tubuhku bergetar mendengarnya. Pandanganku perlahan mulai kabur. Samar-samar kulihat bocah itu tersenyum padaku.

Entah itu terjadi kapan dan dimana. Namun aku memeluk bocah itu dengan hangat saat dia berlari ke arahku.

Aku tidak mengerti. Kepalaku serasa mau pecah begitu berusaha mengingatnya kembali. Kurasakan air mataku menetes perlahan begitu aku kembali menguasai diriku.

Kini … telapak tangannya telah berada di pipiku. Membelaiku dengan lembut. Menghapus setiap tetesan yang perlahan membanjiri pipiku.

“Kau … siapa?”

Seluruh tubuhku membeku. Suaraku bergetar saat kulontarkan pertanyaan itu. Tidak hanya itu, tanganku juga bergetar saat meraih wajahnya.

Ayah bergegas meraih tubuhku. Menjauhkanku dari bocah itu. Kulihat Herlan membawanya keluar. Menjauh dari meja makan kami.

Bocah itu mulai meronta. Dia bahkan berteriak pada Herlan yang tidak berhenti mendorongnya.

“Tidak … aku mohon!”

Herlan berhenti sejenak dan berbalik menatapku. Dia tampak berusaha keras menahan air matanya saat tatapan kami bertemu.

“Aku mohon … kembalikan dia padaku!”

Bocah itu kembali menangis. Suaranya yang lirih samar-samar tertangkap olehku. Anehnya Ayah justru memutar tubuhku.

Membuat tubuhku terdekap erat dalam pelukannya. Membuatku kesulitan bernapas karenanya. Dan ... kurasakan langkah Herlan semakin menjauh bersama bocah itu.

“Bruk!”

Bocah itu kembali tersungkur di lantai. Meskipun jauh, tetapi aku masih melihatnya dari meja makan kami.

Kepalaku menoleh karenanya. Hatiku tak kuasa melihatnya. Aku berusaha meronta dari genggaman Ayah.

“Ibu … kembalilah padaku! Aku mohon …”

Tubuhku membeku mendengarnya. Dia …

“Dia … memanggilku apa?”

Kurasakan Ayah menggenggam lenganku semakin erat. Tanpa sadar aku mendorongnya. Begitu keras hingga beliau tersungkur di lantai.

Aku tidak memperdulikannya. Seluruh kepalaku dipenuhi bocah itu. Dia hanya tampak lebih tua empat atau lima tahun dari si kembar.

“Ibu … aku mohon ... ini aku, Rosario. Kau masih tidak mengingatku?”

Perlahan, bocah itu merangkak padaku. Meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Sementara itu, pikiranku kosong.

“Ibu … aku akan membantumu mengingat semuanya. Jadi … kembalilah padaku, hum?”

Alih-alih menjawab pertanyaannya, kepalaku menoleh pada Ayah dan Ibu. Mereka membeku melihat tatapanku yang semakin tajam.

“Katakan padaku! Apa yang terjadi?”

Ayah tampak mengambil napas dengan berat. Ibu tampak ketakutan melihatku. Tangannya semakin erat menggenggam lengan Ayah.

“Ehm … Kembalilah padaku, Pillar. Ayah akan menjelaskannya.”

Suaranya tampak tenang kali ini. Sementara itu kurasakan genggaman bocah di depanku semakin erat. Aku hampir mengerang menahannya.

“Tidak … Ibu, aku mohon. Jangan dengarkan dia. Kau akan mengingatnya kembali bersamaku. Bukan dengan keluarga ini.”

Aku menatapnya perlahan. Suaranya terdengar lebih tegas. Tanpa keraguan sedikitpun.

Mataku masih terpaku padanya. Entah apa yang harus aku katakan untuknya.

“Herlan … bantu dia kembali ke kursinya. Jaga dia untukku.”

Herlan menuruti ucapanku. Sementara itu aku berjalan mendekat ke meja makan. Ayah mengikutiku menarik salah satu kursi di sana.

“Ehm … kau tidak perlu mendengarkan ocehan bocah itu.”

“Dia anakku, Ayah.”

Ayah menatapku lebih tajam dari sebelumnya. Matanya terbelalak lebih lebar kali ini.

“Kau … mengingat sesuatu?”

“Apa yang kau sembunyikan dariku, Ayah?”

“Pillar ... dengarkan Ayah,”

“Cukup! Kalian bersikap seolah aku tidak mengingat apapun! Sebaiknya kau mengatakannya. Atau … aku akan menanyakannya pada bocah itu.”

“Ayah akan menjelaskannya setelah kau tenang.”

“Rosario! Katakan padaku apa yang terjadi!”

Mataku masih terpaku pada Ayah. Namun ucapanku tertuju pada bocah itu. Aku yakin dia akan memberikan jawaban untukku.

“Pillar!”

Ayah membalas tatapanku. Namun aku mengalihkan pandangannya. Aku harap dia menyerah kali ini.

Rosario tampak terkejut mendapatiku menatapnya dengan tegas. Tenggorokannya tampak tercekat sebelum menjawabku.

“Uhm … kita … mengalami kecelakaan. Lima tahun yang lalu. Ayah … meninggal karenanya.”

“Hum … jadi ... kita mengalami kecelakan?”

Rosario mengangguk pelan menanggapi mulutku yang bergumam. Air matanya mengalir deras. Tatapannya tidak terlepas dariku.

“Kecelakaan itu … membuatmu seperti ini?”

Rosario mengangguk kembali tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tenggorokannku semakin tercekat melihatnya. Kutelan getirnya ludah yang mengering dari mulutku.

“Lalu … Ayah meninggal dan Ibu … maksudku, aku ... tidak mengingat apapun?”

Lagi-lagi Rosario hanya mengangguk. Kali ini pandangannya tertunduk ke pangkuannya.

“Lalu … mengapa kita berpisah seperti ini?”

“Kakek … hanya membawa Ibu.”

Hatiku menjerit mendengarnya. Mataku mulai berkaca-kaca. Ayah dan Ibu mengalihkan pandangannya ketika mata kami bertemu.

“Bagaimana mungkin kau hanya membawaku?”

Suaraku bergetar. Namun Ayah hanya terdiam. Begitu juga Ibu. Kepalaku menggeleng perlahan saat mendapati Herlan menatapku.

Dia berlari mendekat padaku. Memelukku dengan erat. Tangisku pecah karenanya.

“Kau … mengetahuinya?”

Suaraku terisak dalam pelukannya. Alih-alih menjawabku, Herlan mendekapku.

“Kau mengetahuinya tetapi tidak mengatakan apapun, hum? Jawab aku, Herlan … Jawab aku!”

Herlan memelukku lebih erat dari sebelumnya. Tangisku tidak mereda karenanya.

Ingatanku tetap tidak kembali meskipun tangisku pecah. Meronta pada takdir yang seolah mengutukku.

“Kau akan mengingatnya kembali, Pillar. Percaya padaku …”

Herlan berbisik lembut di telingaku. Seolah mengerti apa yang aku tangisi. Perlahan kulepaskan pelukannya. Berjalan menjauh darinya dan mendekat pada Rosario.

Bocah itu masih menggenggam erat kedua tangannya di pangkuannya. Kubelai pipinya dan kupeluk erat bocah itu. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami.

Sesaat kemudian, aku berdiri dan menggenggam erat tangannya. Mataku tertuju pada Ayah yang tidak melepaskan pandangannya dariku.

Perlahan kutarik napasku. Tenggorokanku tercekat lebih dalam saat mendapati tatapan dinginnya tak pernah berubah untukku.

Mataku berkedip perlahan. Ayah menggelengkan kepalanya. Ibu menjerit histeris saat mendapatkan tatapanku.

“Aku harus pergi bersamanya. Jangan mencariku lagi.”

---End---

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Meja Makan
Susanti
Novel
Bronze
Di Atas Atap
izul rahman
Novel
Dibuat Jatuh Cinta Kembali
J U N E
Cerpen
Yang Berjuang dan Terbuang
tang rusata
Novel
Bronze
love Mosquito
Herman Sim
Novel
PERSEVERANCE
Hanawan Risa
Novel
Batak Pride
Senna Simbolon
Novel
HUSST RAHASIA!
Niar Puji Cayati
Novel
Naraya And The Dream Who Save Her Life
Fauziyah Nur Aulia
Novel
Aku Bukan Anak OSIS
Adiba
Novel
Gold
PCPK I Will Always Love You
Noura Publishing
Novel
Niskala
Gloria Pitaloka
Novel
Bronze
Sabda Sabda Cinta (Buku Pertama)
Khairul Azzam El Maliky
Novel
Perfectus
Call me yupii
Flash
Bronze
Lelaki Pembenci Buku (Membicarakan Adam 5)
Silvarani
Rekomendasi
Cerpen
Meja Makan
Susanti
Novel
Langit Fajar Ujung Senja
Susanti
Cerpen
KDRT: Kebohongan Dalam Rumah Tangga
Susanti
Cerpen
Tipuan Fatamorgana
Susanti
Cerpen
The Orphan
Susanti
Novel
Outsider
Susanti