Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Akhirnya telah kulalui hari yang pernah kita resahkan sebelumnya, hari yang telah tertuliskan dalam peta perjalanan kita. Saat fajar telah menggantikan dewi malam, tapak-tapak kuda pada rerumputan menjejak ke arah utara. Kuda gontai berjalan perlahan, pulang sendirian tanpa tuannya. Hingga kabar itu menguatkan persangkaanku. Majapahit telah menerima berita duka cita, sebuah kabar lelayu. Kematianmu. Saat itu perasaanku mendua. Aku bimbang untuk sekadar memilih berduka atau bahagia. Namun aku tak menangis karenanya. Aku lega. Dalam dukaku atas kepergianmu, aku merayakan persandingan cinta kita berdua di kahyangan sana.
Manusia hanya sekadar menerbangkan persangkaan, kemudian bersiap jika angin menjadikannya jauh dari tujuan. Takdirlah yang berbicara. Dewatalah yang berkehendak.
Bukankah seharusnya kini aku bahagia? Mendapatimu kembali bukan dalam wujud jasad tanpa nyawa. Kamu masih hidup. Kamu masih sama seperti sediakala itu. Saat hening malam, hanya tetes-tetes sisa hujan yang jatuh dari ranting dedaunan yang terdengar, kemudian bunyi kepak-kepak sayap kelelawar yang tiba-tiba menjadi nyaring. Malam selepashujan. Langit begitu cerah sehingga gugusan bimasakti menjadi begitu jelas. Sayangnya tidak demikian cerahnya dengan pikiran kita. Keruh. Terlalu banyak pertanyaan yang meminta ruang di dalam kepala. Kita masing-masing diam, takluk pada sebuah kata. Perpisahan.
Hari ini, sama halnya dengan hari itu. Kita masing-masing membisu, bersembunyi dari sebuah kenyataan di masa yang akan datang. Kenyataan tentang perpisahan yang menyakitkan. Kita adalah dua manusia yang tidak beruntung. Harus mengalami saat-saat seperti ini lebih dari sekali. Atau jangan-jangan sebenarnya ini adalah kesempatan kedua yang diberikan untuk mengubah keadaan?
Mungkin akan lebih mudah kalau tidak perlu ada hari ini. Kita tidak perlu menunggu siapa yang akan memulai berbicara. Kita tidak perlu menerka-nerka apa yang akan kita dengar. Tak usah memikirkan kalimat-kalimat terbaik kita agar tak melukai perasaan. Tak usah menghela napas panjang dan menyiapkan nyali untuk mengucap ataupun mendengar kata-kata perpisahan. Semanis apapun diucapkan, semanis apapun terdengar, perpisahan tetaplah pahit dirasakan.
“Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu..”
Akhirnya kau memecah keheningan dengan kata-kata yang sama seperti waktu itu. Tidakkah kita seharusnya malu pada bulan yang diam, angin yang berembus pelan, yang mendapati kita di tempat yang sama seperti hari itu, dalam keadaan yang sama seperti waktu itu, membicarakan hal yang sama seperti kala itu. Bagaimana bisa kaupinta aku berlaku seperti dulu, sementara kau kini tak lagi seperti dulu.
“Kangmas Damarwulan, kalau kau meminta aku berlaku seperti dulu, bisa jugakah aku memintamu menjadi seperti yang dulu?”
Lagi-lagi kita terdiam. Berlomba menjadi yang paling sepi dari hening malam. Semilir angin merambat pelan, membawa hawa dingin yang membuat kita semakin kikuk dengan keadaan. Semestinya bisa kurengkuh tubuhmu untuk mengusir gigil yang seketika menyerang. Semestinya bisa kudekap tubuhmu untuk menjinakkan bulu kuduk yang tiba-tiba meremang. Semestinya. Kau tepat di hadapanku tapi terasa jauh bagiku. Aku telah kehilanganmu sejak perpisahan pertama kita yang telah lalu. Kau tak menjawab pertanyaanku. Aku tahu, bukan karena kau tak mau, tetapi karena kau tak mampu untuk itu.
“Kangmas Damarwulan, seperti yang kauucap dulu, lewat remang kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu..”
Bagiku semua sudah usai bahkan jauh sebelum pertemuan terakhir itu dimulai. Sejak bergulir kabar dari istana perihal mimpi sang Ratu. Mimpi tentang seorang satria muda utusan Majapahit yang bertarung melawan Minak Jinggo penguasa Blambangan.
Betapa cinta telah begitu banyak menimbulkan bencana. Atas nama cinta seseorang harus kehilangan nyawa. Dan hanya karena cinta, peperangan dan pertumpahan darah itu harus ada.Adipati Blambangan yang malang. Dia hanya sekadar menagih janji, meminta imbalan untuk kemenangannya menumpas pemberontakan Kebo Marcuet. Sayangnya janji tinggallah janji. Sang Ratu menolak pinangannya karena paras adipati yang tak lagi rupawan, rusak karena pertempuran yang telah dimenangkan. Aku masih lebih beruntung darinya. Setidaknya aku tak perlu mati untuk memperjuangkan cinta ini. Atau mungkin aku masih hidup karena tak pernah memperjuangkannya sama sekali.
Manusia hanya sekadar menyulutkan harapan, kemudian bersiap menerima jika tiba-tiba padam. Sekali lagi takdir yang berbicara. Dewatalah yang berkehendak.
Dewatalah yang memberikan petunjuknya lewat mimpi. Majapahit akan selamat karena seseorang. Kamu, Damarwulan, lelaki yang terpilih itu. Lelaki yang hadir dalam mimpi Ratu Kencono Wungu. Nyatanya memang benar bukan? Mimpi ratu bukanlah kebetulan. Kamu pulang ke Majapahit dengan membawa berita gembira, pemberontakan berhasil digagalkan. Kepala Minak Jinggo sebagai bukti kemenangan.
Aku bahagia atas kemenanganmu, meski aku harus terima hancurnya keluargaku. Layang Seta, Layang Kumitir, dua kakakku tewas di tanganmu. Ayahku, Patih Loh Gender pun harus meninggalkan kepatihan. Semua karenamu. Manusia menuai apa yang ditebarkannya. Begitu pun mereka layak menanggung semua karena keserakahan. Jabatan keningratan yang membuat mereka buta. Kedengkian yang membuat mereka berusaha mencelakakanmu. Aku terima itu semua sebagai garis dewata sang kuasa.
***
Namaku Anjasmara, putri Loh Gender patih Majapahit. Tak ada yang istimewa dariku selain aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu bersama dengan aroma sisa-sisa rumput yang baru saja disabit. Aku jatuh cinta padamu bersama ringkik-ringkik kuda yang kekenyangan. Aku jatuh cinta padamu hingga kudengar panggilan “ndoro putri” berubah menjadi “adikku”. Aku jatuh cinta padamu sejak kau masih abdi dalem keluargaku, pencari rumput dan penjaga untuk kuda-kuda milik ayahku.
Sesungguhnya hari ini adalah hari yang telah kucemaskan sebelumnya. Resahnya lebih resah daripada mendapati kudamu pulang tanpa tuannya. Risaunya lebih risau daripada mendengar kabar kematianmu. Hari yang kucemaskan sejak pertemuan kita di kala itu, sebelum keberangkatanmu ke medan perang. Sebuah peperangan yang telah kuketahui hasilnya. Menang atau kalah, bagiku sama saja. Kematian.
Namun aku tak akan menangis karena aku tak punya hak untuk menangis. Bukankah aku yang membujukmu memenuhi permintaan sang Ratu? Majapahit lebih membutuhkan seorang satria sementara aku hanya butuh laki-laki biasa.
Aku hanyalah wanita biasa bukan penguasa bumi nusantara. Aku hanya wanita biasa yang mencintai seorang laki-laki biasa, pencari rumput dan penjaga kuda. Aku tidaklah mencintai dia yang kini duduk di singgasana, bersandingan dengan permaisurinya, Ratu Kencono Wungu. Aku tidaklah mencintai dia yang kini bergelar Prabu Bre Wijaya. Aku tidak mencintainya yang mengambil Waita dan Puyengan, janda dari Minak Jinggo menjadi istri selirnya. Kalaupun sekarang aku berada di sini, duduk di barisan istri-istri selir Sang Raja, semata-mata karena baktiku pada istana. Kalau paduka yang berkehendak, masih bisakah aku untuk menolak?
Aku adalah yang pertama, semestinya hari ini tetap menjadi yang pertama. Bukan kedua, ketiga, atau bahkan keempat. Aku ingin menjadi satu-satunya, bukan satu di antara yang lainnya. Hari ini aku merayakan kematian cintaku bersama Damarwulan, laki-laki biasa pencari rumput dan penjaga kuda.
Catatan: Cerpen ini terinspirasi dari sajak Goenawan Mohamad yang berjudul Asmaradana