Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Mbak Kal, pulang kemana?
0
Suka
6
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Tunggu Mbak Kal pulang, nanti kita beli sepatu."

Mbak Kal dimana? Aku gak sabar ke toko sepatu, gak usah beli sepatu kok, tapi pergi berdua sama Mbak Kala udah cukup.

"Iya, nanti, tunggu Mbak Kal pulang, kita makan disana."

Mbak Kal dimana? Aku gak sabar makan bersama di restoran itu sama Mbak Kala.

"Beliin Mbak Kal baju kaos itu juga ya, Mbak Kal suka warnanya."

Mbak Kal dimana? Baju kaosnya udah lama dibeli, udah aku susun rapi juga di lemari baju Mbak Kala.

Aku benar-benar mencari Mbak Kala, aku rindu. Mbak Kala yang selalu terlihat senang dan tenang. Rumah terlalu sepi ketika Mbak Kal tidak ada.

Pikirku, selama ini, seumur hidup Mbak Kal, semua yang dikatakan dan tunjukkan adalah hal yang memang benar adanya, makanya aku selalu percaya bahwa Mbak Kal benar baik-baik saja.

Tapi...

"Mbak Kal sehat-sehat aja."

Kalimat yang aku percayai waktu itu, seperti hari-hari sebelumnya ketika Mama menanyakan kabar Mbak Kal di setiap harinya.

Mbak Kal selalu terlihat kuat sehat, seakan tidak ada yang menganggu badan Mbak Kal.

"Kala mau pulang, tungguin Kala pulang ya."

Mama senang sekali setiap Mbak Kal mau pulang, aku pun senang sekali. Apalagi saat setelah Mbak Kala sekian lama tidak pulang ke rumah karena ada pekerjaan di kantor yang tidak bisa tinggal.

Waktu itu, saat Mbak Kala pulang ke rumah, rasanya benar-benar berbeda, sampai-sampai tidak rela untuk Mbak Kal kembali pulang bekerja, aku tidak tau kalau itu terakhir kali Mbak Kala pulang ke rumah.

"Kala sebentar aja, seminggu lagi udah harus pulang lagi." Ucap Mbak Kala yang duduk bersender pada sofa di ruang tengah.

"Pulang kemana? Kan, Mbak Kal udah pulang, udah di rumah." Ucap aku menyerobot bertanya waktu itu, padahal Mbak Kal sedang mengobrol dengan Mama.

Anehnya kenapa bisa aku bertanya seperti itu, padahal ini adalah hal yang biasa. Mbak Kal yang hanya bisa pulang ke rumah sebentar, dan kembali pulang lagi untuk bekerja.

"Ya kerja lagi, dek, Mbak Kal belum bisa cuti." Jawab Mama atas pertanyaan aku tadi.

Aku mengangguk pelan mendengar jawaban Mama, aku mengerti, karena Mbak Kal sudah biasa seperti itu, pulang lalu pergi, pergi lalu pulang karena bekerja. Tapi Mbak Kala tersenyum waktu itu, senyum yang masih terbayang sampai detik ini.

Senyum yang rasanya terasa lebih hangat daripada biasanya dan menghanyutkan aku bebarapa detik, merasa bahwa ingin lebih lama-lama lagi bersama Mbak Kala.

"Nanti Mbak Kala ambil cuti ya, ambil cuti yang lama-lama-lama-lama." Sahut Mbak Kala sambil bercanda, serasa tenang dan ringan, aku juga merasakan rasa tenang itu, senyumnya lagi-lagi sumringah.

"Dek."

Mbak Kala masuk ke kamarku waktu itu, hal yang sangat jarang Mbak Kala lakukan, tapi di waktu-waktu terakhir Mbak Kala, Mbak Kala sering kali menghampiriku.

Mbak Kala membuka kamarku dan menyapaku.

"Kenapaa?" Jawabku singkat.

Mbak Kala tidak menjawab, hanya menampilkan senyum yang lagi-lagi terasa lebih hangat itu.

"Kenapa Mbak Kal?" Tanyaku memastikan.

"Makan, Mbak Kal tadi masak cumi goreng tepung buat kamu." Jawab Mbak Kala sembari duduk di kursi meja makan.

Aku segera bangun dari ranjangku, berjalan keluar dan segera melangkah ke meja makan, mencoba cumi goreng tepung yang masih hangat itu.

Mbak Kala memang sering memasakkan makanan untuku, bahkan Mbak Kala selalu mau jika harus pergi keluar membelikan makanan untukku.

Mbak Kalaku baik ya?

"Enak gak?"

Aku yang sedang mengunyah masakan Mbak Kal itu mengangguk, makanan yang dibuatkan Mbak Kal akan selalu enak, seperti masakan sebelum-sebelumnya. Tidak bohong, serius.

"Enak." Jawabku di sela kunyahan.

Mbak Kala tersenyum tipis, lalu menganggukkan kepalanya pelan.

"Nanti kalo kangen masakan Mbak Kal, minta dimasakin sama Mama ya." Ucap Mbak Kala sembari melihat aku makan.

Aku berhenti mengunyah sebentar waktu itu, menatap mata Mbak Kal sebentar, namun aku mengangguk dalam kebingungan aku sendiri.

Satu minggu terlewati, Mbak Kala sudah harus kembali pulang untuk bekerja, tapi waktu itu, rasanya berbeda, rasanya... berat. Padahal minggu depannya, aku juga kembali ke kos untuk memulai bekerja di hari pertama.

Waktu itu, saat aku diterima di pekerjaanku ini, Mbak Kala paling tidak banyak bicara, hanya mengucapkan selamat, pikirku Mbak Kala tidak bangga.

Tapi nyatanya, Mbak Kala bangga.

Tertulis pada buku jurnal harian yang Mbak Kala punya, aku tidak sengaja membacanya saat buku jurnal Mbak Kala itu tetinggal di kamarnya.

"Adikku selalu hebat. Terimakasih Tuhan. Aku lagi-lagi bangga luar biasa."

Aku tersenyum dengan perasaan yang haru, Mbak Kala ternyata bangga padaku. Cintanya tidak pernah lepas untukku.

Saat itu, Mama pun merasakan yang sama, merasa ingin Mbak Kal tinggal lebih lama. Mbak Kal hanya tersenyum-senyum waktu itu, tidak banyak menjawab Mama, dan aku yang ingin menahan Mbak Kal untuk kembali bekerja.

"Nanti Kala pulang lagi, tapi bareng Mama sama adek, nanti samperin Kala ya." Ucap Mbak Kala penuh harap.

Mama menyetujui rencana Mbak Kal itu, Mama bahkan langsung mencari tiket pesawat hari itu juga untuk keberangkatan kami nanti ke tempat Mbak Kala.

Mbak Kal mencium tangan Mama sekali lagi, lalu memeluk Mama sekali lagi juga, aku yang tidak biasa memeluk, menghampiri dan menarik Mbak Kal ke dalam pelukanku.

Entah bagaimana bisa, aku pun tidak tau. Yang jelas, aku sangat ingin memeluk Mbak Kala. Aku, adik laki-laki, yang biasanya merasa canggung untuk memeluk, justru ingin memeluk Mbak Kala lama-lama, erat-erat.

Mbak Kala juga mengeratkan pelukan, menciptakan rasa hangat dan nyaman yang entah mengapa justru membuatku haru.

"Semangat kerjanya ya, Mbak Kala tau kamu bisa kok, kamu jaga diri juga, jagain Mama ya."

Entah kenapa Mbak Kal mengatakan itu, tapi aku mengangguk mengiyakan, karena perasaan aku sudah berubah sendu sejak pelukan kami itu.

"Mbak Kal minta maaf kalau belum bisa jadi kakak yang hebat ya, harusnya ada kakak lain yang lebih hebat dan bikin kamu bangga."

Aku terkejut namun juga bingung, mengapa sampai bisa Mbak Kala mengatakan itu. Aku tidak pernah kecewa atas takdir Tuhan yang menjadikan Mbak Kala sebagai kakak perempuan pertamaku.

Aku menggeleng keras waktu itu, amat sangat tidak setuju atas apa yang Mbak Kal katakan, mata ku terasa panas, leher ku terasa tercekat, lidah bahkan terasa kelu, tidak sanggup membantah kalimat dari Mbak Kala.

Tapi demi Tuhan, aku merasa bahwa Mbak Kala adalah kakak yang hebat, kakak yang menyenangkan, bahkan menenangkan, dan tentu saja Mbak Kala membanggakan untukku.

"Kamu harus lebih hebat dari Mbak Kala ya, harus lebih bisa banggain Mama ya."

Setelah itu, Mbak Kal melepaskan pelukan, aku mengusap-usap mataku, menahan air mata yang sudah akan jatuh.

Mbak Kala menaiki mobil taxi itu, lalu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada aku dan Mama, senyum Mbak Kala juga terlihat lebih manis saat itu.

"Cepet pulang lagi, Mbak Kal."

Teriak aku saat mobil taxi itu baru saja menginjakkan gasnya, Mama yang mendengar teriakkanku mengangguk, mengiyakan apa yang aku teriakkan tadi.

"Iyaa, Mbak Kal cepet pulangnya."

Jawaban Mbak Kal itu harusnya terdengar biasa saja, ya? Hanya seperti jawaban singkat dari Mbak Kal yang menjawab teriakkan aku.

Tapi...

Itu kalimat terakhir sebelum semua bohong Mbak Kala aku ketahui.

Mbak Kala bohong soal kuatnya.

Mbak Kala bohong soal dirinya yang selalu baik-baik saja.

Mbak Kal bohong soal senyumnya yang selalu terlihat tenang.

Mbak Kala.. bohong...

Pikiranku mendorong lebih mundur lagi, mengingatkan lagi di saat Mbak Kala masih disini, bersama aku dan Mama.

"Mama kesininya besok aja, nanti adek nyusul juga."

Itu yang Mbak Kal minta, tepat tiga hari sebelum Mbak Kal jatuh di hadapan aku, di ruang tengah rumah kecil milik Mbak Kal.

Semua berubah panik waktu itu. Mama mencoba membangunkan Mbak Kala, namun tetap sigap berlari menghidupkan mobil, sementara aku reflek merengkuh Mbak Kal ke dalam pelukan.

Badan Mbak Kal begitu lemah saat itu, aku bisa merasa itu, tangan Mbak Kala jatuh terkulai.

Wajah Mbak Kal berubah pucat dengan cepat, aku mengeratkan pelukan, berharap Mbak Kal merasa nyaman aman dalam pelukan aku, berharap badan Mbak Kal bisa kembali hangat, melawan dingin yang menjalari badan Mbak Kal perlahan.

Aku benar-benar berharap Mbak Kal akan baik-baik saja.

Padahal selama tiga hari itu, kita masih saling melempar canda dan menimpali dengan tawa. Sampai pada, aku dan Mama berada di kamar Mbak Kala, berkumpul disana atas permintaan Mbak Kala.

“Nanti bawain semua baju Kala yang di lemari ya."

“Lho? Kenapa? Mbak Kal mau pindahan emangnya?”

Mbak Kala hanya tersenyum waktu itu, lagi-lagi. Aku sampai ikut bingung, menunggu Mbak Kal menjawab pertanyaan Mama.

“Lemari yang di rumah masih banyak space kosong soalnya.”

Aku tau itu sebuah candaan, tapi aku merasa tidak tenang, ada perasaan bingung yang lagi-lagi muncul.

“Nanti sekalian, bawa pulang mobil Mbak Kala, ya, Ar."

“Terus, Mbak Kal disini pake apa?”

“Kan Mbak Kal pulang, ngapain pake mobil lagi.”

“Mbak Kala ikut pulang tuh maksudnya gimana? Mbak Kala pindah dinas kerja?”

Aku menunggu jawaban Mbak Kal waktu itu, tapi justru Mbak Kal berlalu dari hadapan aku, lanjut memasukkan pakaian-pakaian Mbak Kala ke dalam koper dan tas.

Itu hari dimana aku terakhir melihat Mbak Kala yang masih sehat, masih terus melemparkan candaan, tawa yang terdengar renyah, dan tatap mata yang begitu teduh.

Aku rindu sekali kalau teringat itu.

Merindukan semua tentang Mbak Kala. Senyum manis Mbak Kala, raganya di rumah, tawanya yang selalu terdengar lucu, candaan singkat, dan bahkan omelan Mbak Kala aku juga rindukan sekarang.

Aku dan Mama masih ingin ada Mbak Kala, kemarin, sekarang dan sampai kapan pun.

Tapi nyatanya, kami harus merasakan duka ini Mbak Kala. Waktu itu, saat menunggu tindakan, aku sampai bolak-balik tidak duduk, perasaan gelisah menghantui aku begitu hebat.

Mama susah terlihat tidak tenang, cemas memikirkan Mbak Kala. Aku berdiri di samping Mama berusaha untuk menenangkan Mama.

Papa datang hari itu setelah mendapat kabar dariku, aku tau Mbak Kala tidak akan suka ini, tapi pikirku Papa harus tau, apa yang terjadi dengan Mbak Kala.

Barangkali ini akibat dari luka trauma yang Papa berikan pada Mbak Kala.

.. sudahlah, tidak usah ditanya apa dan kenapa.

Waktu itu, dokter begitu sibuk, bolak-balik, menggunakan banyak alat dan memaksimalkan usaha, berusaha sehebat mungkin untuk memenangkan perlombaan tarik-menarik dengan malaikat yang ingin membawa Mbak Kala pergi.

Pergi jauh, di tempat punya Tuhan, di atas-atas awan.

Pikiranku sudah tidak karuan, sudah jauh memikirkan Mbak Kala.

"Mbak Kala masih disini kan? Belum sampai disana, kan, Mbak Kal?"

Aku merangkul Mama erat-erat, aku tidak siap atas apa yang akan terjadi dengan Mbak Kala.

"Bu."

Dokter muda yang sepertinya lebih tua sedikit dari Mbak Kala itu, menemui aku dan Mama, keningnya berkeringat, wajahnya terlihat penyesalan bercampur kesedihan.

"Dok, bagaimana? Anak saya kenapa?"

Aku masih merangkul Mama, Mama bertanya dengan suaranya yang bergetar, aku menganggukan kepala, ikut penasaran dengan pertanyaan Mama. Dokter itu tidak langsung menjawab, ia menghela nafasnya dan menatap kami sebentar.

"Kala mengalami serangan jantung Bu."

"Kenapa dok? Kenapa bisa?"

"Ada gangguan pada katup jantung Kala, Bu. Jantung Kala memompa secara tidak normal, pun dengan degup jantungnya."

Rasanya saat itu, perasaanku tidak karuan, detak jantungku berdetak keras. Mama juga menggeleng tidak percaya. Karena, siapa yang mengira kalau Mbak Kala sakit, bahkan ini bukan sakit sepele, sakit yang besar bahayanya, besar ancamannya.

"Lalu, bagaimana anak saya sekarang dok?"

Mama masih berusaha bertanya, dengan suara yang masih terdengar bergetar, dengan tangan yang erat merangkul melingkar padaku.

Dokter itu terlihat berat untuk menjawab, Mbak Kal, ia menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan, dokter itu juga mengusap-usap matanya sendiri .

"Kami mohon maaf, Bu, Mas, penanganan kami sudah sangat kami maksimalkan."

Aku yang merangkul Mama waktu itu, merasa lemas seketika, tangisku sudah tidak bisa aku tahan, pun Mama sudah mulai histeris saat itu.

"Saya minta maaf, Bu, Mas, namun harus saya sampaikan, bahwa Kala, anak Ibu sudah pulang, waktu Kala sudah selesai."

Suara dokter itu terdengar bergetar Mbak Kal, matanya mulai basah, namun ia sebisa mungkin untuk tetap tenang menjelaskan pada aku dan Mama.

Jujur saja, aku tidak suka situasi ini, Mbak Kal. Rasanya saat itu juga aku ingin teriak sekencang mungkin, membanting semua barang yang ada di sekitar, menyalahkan dokter itu.

"Tapi saya yakin Kala sudah pasti berada di tempat yang paling indah, Bu. Kala orang baik, selama dua tahun ini, saya mengenal Kala bukan sebagai pasien tapi sebagai teman baik."

Dua tahun?

Aku salah dengar, kan, Mbak Kal?

Mbak Kala sudah dua tahun dengan sakit Mbak Kala itu, dan hanya Mbak Kala sendiri yang tau. Aku tidak kuat membayangkan bagaimana Mbak Kala menghadapi dan menyimpan semuanya sendiri.

Dokter itu tersenyum, dengan mengusap air matanya, sepertinya dokter ini mengenal Mbak Kal dengan baik.

Saat itu juga, perlahan marahku mereda, perasaanku perlahan reda, setelah dokter itu mendoakan Mbak Kal, dan mengatakan Mbak Kal adalah orang yang baik.

Aku juga yakin bahwa Mbak Kal sudah sampai di tempat paling indah itu, tempat yang disediakan Tuhan untuk orang-orang baik yang sudah harus kembali pada Tuhan. Orang-orang yang sudah waktunya untuk istirahat dari hantaman dunia dan isinya.

Hari itu juga, kita pulang, Mbak Kal.

Tapi sekarang rumah kita berbeda. Mama dan aku pulang ke rumah kita, dan Mbak Kala yang pulang berbeda arah dengan kami.

Hari demi hari, sebulan-dua bulan terasa begitu berat, Mbak Kal. Mama menyalahkan dirinya sendiri, aku pun begitu, bahkan Mama lebih banyak menyendiri. Banyak penyesalan yang selalu terucap dari Mama.

"Harusnya Mama tau keadaan, Mbak Kala, harusnya Mama tanya Mbak Kala setiap hari, setiap waktu, maafin Mama, nak."

Itu hanya sebagian kecil dari banyaknya kalimat penyesalan dan maaf dari Mama.

Mama benar-benar merasa bersalah, merasa sangat tidak pantas menjadi orangtua, benar-benar merasa menjadi orangtua yang paling gagal untuk Mbak Kala.

Setiap harinya benar-benar terasa berat, Mbak Kal, bahkan detik rasanya bergerak begitu lambat. Apalagi setiap menit, jam, dan hari yang harus kami lalui tanpa ada Mbak Kala disini.

Rumah benar-benar terasa kosong, benar-benar ada bagian yang hilang yang tidak akan pernah bisa digantikan dengan siapa pun dan apa pun.

Aku pun bingung harus bagaimana. Jujur saja, aku berduka, benar-benar terasa menyakitkan tanpa Mbak Kala.

Mbak Kala yang biasanya ada di kamar, suara nyanyian Mbak Kala dari dalam kamar, Mbak Kala yang biasanya duduk di teras rumah, memasak makanan permintaanku, dan semua hal-hal yang tadinya ada Mbak Kala di dalamnya, seketika hilang.

Tapi bagaimana aku bisa merasakan sedihku, kalau Mama jauh lebih berduka, jauh lebih sedih, jauh lebih hancur. Aku harus terlihat kuat untuk Mama, Mbak Kal.

Aku harus jaga Mama, seperti apa yang Mbak Kal lakukan dan seperti apa yang Mbak Kal katakan.

Sampai pada akhirnya, butuh waktu setahun lebih untuk Mama kembali bangkit, Mama berusaha pulih dari luka duka, aku pun begitu. Mama sampai meminta maaf, Mama bilang, ia terlalu terlarut dalam sedih, sampai lupa bahwa masih ada aku disini.

Padahal aku merasa sangat tidak apa-apa, Mbak Kal, karena sampai kapan pun, luka duka ditinggal Mbak Kala, tidak akan pernah reda.

Sekarang Mama sudah jauh lebih ceria, jauh lebih semangat sudah mulai banyak tersenyum dan bercanda, mengingat-ingat tentang Mbak Kala dan terkadang tertawa mengingat semua hal dari Mbak Kala.

Candaan yang sebenarnya berisi banyak kerinduan kepada Mbak Kala.

"Mbak Kal lagi apa ya, dek."

"Kalau ada Mbak Kal, pasti dia seneng."

“Kesukaan Mbak Kal nih.”

"Mama mau tidur di kamar Mbak Kal hari ini ya."

Dan banyak kalimat-kalimat lain yang berisi kerinduan pada Mbak Kala, selalu terdengar setiap hari di rumah, bahkan disaat kerabat-kerabat lain datang berkunjung, Mama masih terus membahas Mbak Kal.

Aku bersyukur sekali karena Mama sudah perlahan mulai tegar, mulai kembali semangat setelah Mbak Kal tinggal pulang.

Semuanya sudah dilalui, Mbak Kal, semua hari-hari terberat bisa kami lalui walau benar-benar terasa payah.

Aku menghela nafas beratku, mencoba tersenyum pada Mbak Kala.

Aku disini, di rumah baru Mbak Kala.

Tadi aku beli banyak bunga dan air, seperti biasa, pergi sendiri dan duduk mengobrol berdua dengan Mbak Kala.

Sudah sering sekali aku pergi sendiri begini, karena aku hanya ingin berdua dengan Mbak Kal, menceritakan semua hal yang telah terjadi selama Mbak Kala tinggal pulang.

"Mbak Kal, aku rindu sekali, lagi apa?"

Bunga warna putih, aku tadi tidak tau namanya, yang dua minggu lalu aku tanam mulai tumbuh subur di atas rumah baru Mbak Kal, kelopak-kelopal bunga mawar juga aku taburkan banyak-banyak dan air mawar juga sudah aku siramkan.

Rumah baru Mbak Kal terlihat indah, wangi dan rapi dengan rumput hijau yang tumbuh segar. Di dekat nisan Mbak Kala juga ditanami bunga mawar merah, karena kata Mama, Mbak Kala suka sekali dengan bunga mawar.

Kaladia Binari.

Tertulis pada batu nisan marmer hitam yang baru diganti dari nisan kayu setelah enam bulan kepergian Mbak Kala. Hatiku seketika terasa sendu, air mata rasanya mendobrak mata dengan keras, perasaan tiba-tiba berubah sedih bukan main.

Selalu, setiap kali aku mengunjungi Mbak Kala.

Seharusnya tidak secepat ini, Mbak Kala.

"Disana terlalu nyaman, ya, Mbak Kal? Sampai-sampai Mbak Kal mau pulang ketemu Tuhan secepat ini?"

Aku mengusap mataku, menutup wajahku sebentar, mencoba menahan tangis yang mulai turun. Aku menghela nafas beratku, mengusap-usap nama Mbak Kala.

“Rumah mulai hidup lagi, Mbak Kal, Mama berusaha terus buat semangat lanjutin hidup walaupun tanpa Mbak Kala.”

Aku mengusap lagi mataku, rasanya air mataku akan jatuh lebih deras, perasaan sudah terasa begitu abu-abu, pikiranku terus-terusan memutar semua kenangan bersama Mbak Kal, sampai..

...wajah Mbak Kala dengan senyum manisnya, muncul dalam pikiranku.

“Aku gak bisa, Mbak Kal, semuanya terasa berat, gak ada Mbak Kal disini, benar-benar hal yang paling berat dan sulit, aku benci ada di situasi ini."

Kepalaku tertunduk, dengan tangis yang entah dari kapan sudah tersendu-sendu, aku menepuk pelan rumput-rumput di atas rumah baru Mbak Kal.

"Mbak Kala, aku selalu berusaha untuk ikhlas, tapi rasanya benar-benar susah, benar-benar berat."

Jujur, aku tidak kuat Mbak Kal.

Aku benar-benar rapuh tanpa hadir Mbak Kala disini, harusnya bisa lebih kuat dan tegar seperti Mbak Kala.

Mbak Kala yang selalu bisa menjadi apa saja disaat apa saja dan selalu bisa mengusahakan apa saja untuk Mama, aku bahkan Papa yang sudah menuai luka-luka trauma pada Mbak Kala.

Rasanya seluruh hidup sampai habis waktu Mbak Kala, hanya untuk kami, tanpa pernah benar-benar Mbak Kala memikirkan diri Mbak Kala sendiri.

Mbak Kal simpan semua perasaan senang-sedihnya sendiri, bersembunyi di balik senyum manis dan sabar yang selalu Mbak Kala tunjukkan.

Aku menegakkan badanku, menghapus air mataku yang sudah terlalu membasahi, mataku lagi-lagi membaca nama Mbak Kala, pedih tidak dapat aku hindari, rasanya seperti luka berdarah yang disiram air asam dan ditaburi garam.

Belum lagi, rasa bersalah menghantui pikiranku, perasaan bersalah karena belum bisa sepenuhnya menjadi baik seperti Mbak Kala kepadaku.

Mbak Kal yang selalu mengusahakan semuanya untukku, tidak peduli aku menyukainya atau tidak dan bahkan tidak peduli aku menghargainya atau tidak.

Mbak Kala rela dihantam apapun hanya demi kami, Mbak Kala rela dihancurkan oleh apapun hanya demi kami, Mbak Kala rela menghabiskan waktu hanya untuk kami, Mbak Kala rela, dan selalu rela, agar senyum bahagia tidak pernah lepas dari bibir dan perasaan kami.

Sampai akhir, sampai selesai, sampai waktu Mbak Kala usai.

“Aku minta maaf, Mbak Kal, aku minta maaf.”

Menangis hingga berdarah-darah pun dirasa sia-sia, teriak-teriak hingga gila pun dirasa sia-sia juga. Mbak Kal tidak akan pernah kembali, dan rasa bersalah akan terus tinggal di dalam perasaan, dan kekal di dalam pikiran.

“Semoga aku bisa menjadi seperti apa yang kamu doakan, Mbak Kal, menjadi adik laki-laki yang akan menjaga dan mencintai Mama dengan sepenuh hati, sama seperti Mbak Kal, yang selalu berusaha mengusahakan semuanya, untuk Mama, aku, bahkan Papa yang menjadi luka bagi Mbak Kala.”

Aku mencium sebentar nisan hitam mengkilap yang tertulis Kaladia Binari itu, nama Mbak Kala, lalu memeluknya, menempelkan kepalaku sebentar disana, berharap meredakan rasa rindu yang berat ini dan menawarkan rasa bersalah yang terasa begitu pekat.

“Aku pulang ya, Mbak Kal, udah sore. Besok pagi, aku kesini lagi, kayak biasa sama Mama, besok juga katanya yang lain mau ikutan main kesini, kangen Mbak Kala katanya."

Aku menghela nafas beratku sebentar, dadaku benar-benar terasa berat, sebelum akhirnya berdiri dari posisiku, melipat kembali kursi kecil, menyimpan buku doa di dalam tas, dan mengusap nama Mbak Kala sekali lagi.

Mbak Kala pasti melihat ku dari surga, tersenyum dengan sangat manis disana, dan aku yakin bahwa Mbak Kala akan menjagaku lewat doanya pada Tuhan.

“Tunggu aku sampai kita bisa ketemu lagi ya, Mbak Kalaku, Kaladia Binari.”

****

Aku sadar bahwa Mbak Kal tidak akan pernah pulang ke rumah kami, justru Mbak Kal sudah pulang pada tempat yang paling indah yang Tuhan ciptakan, pulang ke rumah yang benar-benar nyaman, yang benar-benar tenang dan benar-benar rumah.

Mbak Kal sudah senang tenang sekarang, perasaannya juga lega, hatinya juga lapang, tidak ada lagi yang membebankan pikiran Mbak Kala, tidak ada lagi yang membuat Mbak Kala harus berusaha begitu keras, dan tidak ada lagi yang membuat Mbak Kala sedih maupun kecewa.

Doa selalu aku ucap berulang-ulang pada Tuhan, untuk memaafkan dan memberi ampun pada Mbak Kala, barangkali ada kesalahannya, menerima Mbak Kala, menjaga Mbak Kala dan menempatkan Mbak Kala pada surga yang paling indah, paling nyaman, paling sejuk, paling harum dan paling luar biasa.

Aku pun yakin Mbak Kal sudah sampai disana, tinggal dengan nyaman disana, dan penuh atas kebahagian, aku yakin senyum Mbak Kal merekah lebih cerah disana.

Aku bersumpah bahwa aku, adik yang paling beruntung di dunia, beruntung dan bangga karena menjadi adik dari Mbak Kala yang luar biasa hebatnya.

Tuhan, titip Mbak Kala ya.

Tertanda,

Arrvin.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Mbak Kal, pulang kemana?
alkaladia.
Cerpen
Mekarnya Mahkota Anggrek Larat
Angelica Eleyda Hitjahubessy
Cerpen
Bronze
Jalan Terjal Tiga Puluh
Karlia Za
Cerpen
Janji Manis Penguasa dan Caleg
Yovinus
Cerpen
Bronze
1: Kopi dan Para Pemikir
Nana Mangoenmihardjo
Cerpen
Tugas Nambah-Nambah
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Bronze
Paradoks Kehidupan
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Gara-gara Jemuran Tetangga
Ais Aisih
Cerpen
Umbra
leonheart
Cerpen
Bronze
Pukuc Kadit Odlas
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Beranak Dalam Kaos Kaki
muhammad rio al fauzan
Cerpen
Bronze
Gara-gara Uang Panaik
Kim Sabu
Cerpen
Lala si Perempuan Hebat
Firlia Prames Widari
Cerpen
Bronze
Pelangi Di Atas Tiara
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Persahabatan Antar Planet
Shinta Larasati Hardjono
Rekomendasi
Cerpen
Mbak Kal, pulang kemana?
alkaladia.
Flash
Bronze
Memenangi Perang Diri
alkaladia.
Flash
Belum Sampai.
alkaladia.