Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Berkali-kali mencoba mendengarkan setiap ketukannya, Shoji merasakan ada sesuatu yang tersirat dalam timbre musik yang baru saja didengarnya. Milik seorang komponis yang baru dikenalnya di platform Langit Nada. Lantas ia mengetikkan pesan di ruang komentar.
"Melodimu terdengar seperti setengah cerita yang belum selesai. Apa kamu sengaja membuatnya menggantung?"
Yura membaca komentar dari seseorang bernama Shoji, itu sambil tersenyum kecil. Ia baru saja mengunggah potongan improvisasi piano di platform musik favoritnya, tanpa banyak ekspektasi.
Menurutnya, komentar ini berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang menarik perhatian Yura dalam cara orang ini menggambarkan karyanya—seolah ia benar-benar memahami maksud tersembunyi di balik nada-nada itu.
"Aku tidak yakin cerita itu pernah selesai. Melodi ini hanya refleksi dari perasaan yang sulit aku ungkapkan." Jawab Yura mencoba memancing reaksi Shoji.
Tapi butuh beberapa menit sebelum balasan datang lagi.
"Terkadang melodi memang lebih jujur daripada kata-kata. Aku merasakan kehilangan dalam lagumu. Benarkah?"
Entah mengapa jawaban itu membuat jantung Yura berdegup lebih cepat. Bagaimana orang ini bisa menangkap sesuatu yang bahkan sulit ia ungkapkan kepada dirinya sendiri?. Setelah ragu sejenak, ia mengetikkan balasan.
"Kau benar. Aku kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Musik adalah caraku mengingatnya."
Tak ada balasan apapun di layar kaca, mendadak hening sejenak, sebelum Shoji membalasnya lagi.
"Aku tahu bagaimana rasanya. Aku kehilangan ibuku beberapa tahun lalu. Sejak itu, musik menjadi satu-satunya tempat aku bisa berbicara tanpa takut dihakimi."
Yura menatap layar, merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan lega menemukan seseorang yang memahami perasaannya tanpa perlu banyak penjelasan. Lantas Ia membalas dengan hati-hati.
"Mungkin karena itu, kita bertemu di sini—melalui melodi yang berbicara lebih banyak daripada kita."
Balasannya itu membuatnya sejenak berpikir, apakah itu berlebihan?. Karena lama setelahnya Shoji tak langsung membalas. Tapi beberapa menit kemudian ketika pesannya akhirnya muncul, Yura merasa lega.
"Mungkin. Kamu memainkan melodi-melodi yang membuatku ingin mendengar lebih banyak. Apa kamu mau berbagi lagi?"
Tanpa sadar, Yura tersenyum. Ini baru awal, tetapi ada sesuatu tentang Shoji yang membuatnya ingin terus berbicara—melalui kata-kata, nada, atau bahkan hening yang dipenuhi makna.
“Sorry, aku Shoji—meskipun mungkin kamu sudah melihat namaku di layar, setidaknya akan lebih baik aku memperkenalkan diri.” Balasnya disertai emotikon kedipan mata.
“Trims Shoji, aku Yura”, balasku akhirnya untuk berbasa-basi, dengan tambahan emotikon yang sama.
***
Pagi itu, Yura menerima lagi pesan dari Shoji.
"Selamat pagi, Yura. Aku baru saja menyelesaikan lagu baru. Aku ingin tahu pendapatmu."
Shoji mengirimkan tautan karya terbarunya itu. Yura memutar rekaman itu, mencoba menutup matanya, meresapi nada-nadanya, membiarkan melodi mengalir. Lagu itu terasa seperti percakapan tanpa kata, menyentuh hati Yura dengan kehangatan yang tak terjelaskan.
"Shoji, lagumu indah. Sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu, tapi kamu memilih melodi untuk menyampaikannya."
"Kamu benar. Aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku karena kamu selalu mendengarku. Sejak bertemu denganmu di platform ini, aku merasa tidak lagi sendiri."
***
Yura merasakan kehangatan menjalar di hatinya. Setelah percakapan itu, malamnya Yura mencoba memainkan melodi Shoji, menambahkan sentuhannya sendiri. Lantas merekam hasilnya dan mengirimkan kepada Shoji.
"Aku mencoba memainkan lagumu dengan sedikit perubahan. Aku ingin tahu apa pendapatmu?"
Shoji mendengarkan rekaman itu dengan seksama. Lantas di akhir lagu itu, ia tersenyum dan membalas.
"Kamu membuatnya lebih hidup, Yura. Aku tidak tahu bahwa laguku bisa menjadi seindah ini. Terima kasih."
Yura merasakan sesuatu yang aneh menjalar dihatinya saat membaca balasan itu. Ia menyadari, Shoji adalah sosok yang membuat hari-harinya berbeda. Namun, perasaan itu juga menimbulkan gejolak lain di hatinya, karena lama ia tak pernah merasakannya.
Meski mencoba menepisnya, Yura tak bisa menyangkal ketika di sebuah kesempatan, ada rasa aneh yang mengusik hatinya itu muncul, melihat Shoji membuka obrolan dengan seorang komponis lain seperti dirinya. Ia tahu itu tidak adil, tapi ia merasa cemburu.
"Shoji, kamu kenal dekat dengan Sarah. Apakah kalian sering bekerja sama?"
Shoji membaca pesan itu dengan dahi berkerut.
"Kami hanya berbagi ide." Namun percakapan maya itu membuat Shoji berpikir sesuatu yang lain.
“Sorry, aku bercanda, its OK just kidding”, balas Yura mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menutupi kegugupannya, dengan jawaban Shoji.
Yura akhirnya terjebak kata-katanya sendiri.
***
"Yura, aku membuat lagu duet untuk kita. Aku memainkan bagian pertamanya, dan aku ingin kamu melengkapi bagian kedua."
Yura membuka rekaman itu. Melodi Shoji terdengar seperti panggilan yang menunggu jawaban. Yura menambahkan harmoni pada nada-nada kecil itu menjadi seperti dialog hati. Dan mengirimkannya kembali kepada Shoji. Baru beberapa menit kemudian, pesan balasan masuk.
"Ini sempurna, Yura. Aku berharap suatu hari kita bisa memainkan ini bersama, di satu piano yang sama."
"Aku harap begitu. Maybe someday."
Yura tiba-tiba merasakan perutnya seperti diremas, ketika membayangkan sesuatu tentang dirinya. Sesuatu yang ia tahan didalam hati tersembunyi di sana, tapi semakin dipikirkan semakin terasa menyakitkan.
***
Malam itu, Yura memandangi layar laptopnya dengan hati yang berdebar. Shoji baru saja mengirimkan pesan suara, suaranya hangat seperti biasa.
"Yura, aku memikirkan lagu kita sepanjang hari. Melodimu selalu menjadi tempat aku pulang. Itu sangat berarti buatku."
Yura memejamkan mata, meresapi kata-kata Shoji. Di satu sisi, ia merasa begitu dicintai. Namun, di sisi lain, sebuah bayangan menghantui pikirannya—rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Semalaman Yura memikirkannya membuatnya tak bisa tidur, seperti sebuah mimpi buruk.
Ia menyentuh pergelangan tangannya, merasa gugup. Bagaimana jika Shoji berubah setelah tahu?. Bagaimana jika Shoji pergi, seperti dulu suaminya pergi meninggalkannya tanpa kata? .Pikiran itu membuat Yura bimbang.
Bahkah ketika esok paginya Shoji mengiriminya pesan seperti biasa, Yura merasakan perutnya langsung mulas, keringat dingin tiba-tiba muncul membasahi keningnya.
"Selamat pagi, Yura. Aku berharap kau punya hari yang indah. Jangan lupa makan sesuatu yang manis, seperti lagu kita."
Pesan sederhana itu selalu membuat hati Yura hangat. Tapi pagi ini, beban pikirannya yang terlalu berat untuk ia simpan sendiri membuatnya cemas. Ia tahu, jika ia terus memendam ini, ia hanya akan membuat dirinya dan Shoji terjebak dalam kebohongan.
Butuh berjam-jam mencoba berdamai dengan hatinya sendiri, sebelum Yura akhirnya mengumpulkan keberanian, mengetik pesan panjang untuk Shoji. Tapi ia ragu untuk mengirimkannya. Ia menghapus, menulis ulang, lalu menghapus lagi. Hingga akhirnya ia memutuskan bahwa kata-kata tertulis tak akan cukup.
Malam harinya, Yura mengirimkan pesan suara. Suaranya gemetar, namun ia mencoba terdengar setenang mungkin.
“Shoji, aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang sangat penting. Bisakah kita melakukan VC malam ini?"
Tak butuh waktu lama, karena dalam hitungan detik Shoji memmbalasnya.
"Tentu saja, Yura. Kau terlihat serius. Aku akan meneleponmu sekarang."
Ketika panggilan video tersambung, Yura melihat wajah Shoji, berusaha menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikiran yang gugup.
"Ada apa, Yura? Kau terlihat cemas.?" Something wrong with u, are u alright?” cecarnya membuat Yura tambah panik.
Yura menunduk, mencoba memilih kata-kata yang tepat.
"Shoji, aku... ingin kau tahu sesuatu tentang aku. Entah mengapa aku ingin mengatakannya, mungkin ini tidak penting, tapi aku tidak bisa terus menyembunyikannya dari kamu."
Shoji terdiam, tak menjawab mencoba menunggu.
"Aku pernah menikah, Shoji. Aku juga punya seorang anak laki-laki. Namanya Arka, dia baru tiga tahun."
Yura berhenti sejenak, memperhatikan reaksi Shoji. Wajah Shoji terlihat terkejut, tapi tidak ada tanda kemarahan atau penolakan. Yura melanjutkan.
"Suamiku meninggalkanku bahkan sebelum Arka lahir. Aku membesarkannya sendirian, dengan bantuan ibuku. Aku tidak pernah memberitahumu karena aku takut... kita mungkin tak akan berteman lagi setelah ini, bahkan mungkin kamu akan pergi setelah tahu."
"Yura, aku tidak akan menghakimimu karena masa lalumu. Kita semua punya cerita yang tidak selalu mudah."
Yura terkejut mendengar jawaban yang tak pernah diduganya.
"Kamu... tidak marah?"
"Tentu aku terkejut., tapi bagaimanapun aku menghargai keberanianmu untuk jujur. Yang lebih penting, aku ingin tahu satu hal—apa aku masih memiliki tempat di hatimu setelah semua ini?"
Yura merasa air mata tiba-tiba menggenang di sudut matanya.
"Tentu saja, Shoji. Aku senang kamu bisa mengerti. Tapi aku tahu jika kamu akan butuh waktu untuk menerima ini."
Shoji menggelengkan kepala. "Aku tidak butuh waktu, Yura. Aku hanya butuh kau jujur dan menjadi dirimu sendiri. Tentang Arka... aku ingin mengenalnya suatu hari nanti. Jika boleh."
Sesuatu seperti terbang dari dalam rongga dadanya, beban yang mendekam dalam hatinya. Yura nyaris tercekat tak menduganya.
***
"Yura, aku menulis melodi ini untuk Arka. Aku tidak tahu apakah ia akan menyukainya, tapi aku berharap dia akan menerimanya."
Bocah kecil itu tertawa, bertepuk tangan kegirangan saat Yura memainkan melodi itu didepannya. “Lagu ini dari teman mama”, ujar Yura kepada puteranya, sambil merasakan hatinya yang penuh diliputi buncahan rasa. Mengetahui bahwa Shoji pada akhirnya benar-benar ingin menjadi bagian dari dunia mereka.