Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mayat 50 Juta Rupiah
“ Hormat pada Bu Rubiyah…, geraakk !! “ teriak salah seorang tentara muda, pemimpin barisan, memberi aba-aba hormat pada Rubiyah, perempuan paruh baya, pemilik warung nasi. Lalu tentara lain dalam barisan berdiri dengan sikap sempurna dan mengangkat tangan mereka, menganggap seolah – olah Rubiyah adalah komandan di luar markas. Sesudahnya mereka tertawa lepas, karena Rubiyah jadi salah tingkah sehingga melahirkan gerakan tubuh yang kocak. Rubiyah dan barisan tentara sama – sama senang.
Begitulah, bahasa keakraban Rubiyah dengan barisan tentara.
Setiap pagi, para tentara yang berkaos putih tipis, memakai sepatu lars hitam, celana panjang berwarna hijau yang banyak kantongnya, serta potongan rambut cepak, rutin olah raga lari melintas rumah warga dan warung Rubiyah. Irama suara sepatu mereka terdengar khas : prak ! prak ! prak !
Belakangan, keakraban Rubiyah dengan para tentara sering jadi omongan warga di kampungnya. Mereka beri pujian kepada para tentara muda yang hormat dan menghargai orang tua macam Rubiyah. Lainnya, karena keakraban Rubiyah dengan para tentara itu pula, mereka merasa betul – betul aman dari gangguan apa yang disebut kelompok bersenjata yang selalu bersembunyi di hutan.
“ Itu kelompok separatis[1]…” kata Rubiyah mengutip istilah yang disebut oleh para tentara di lain waktu saat singgah di warungnya untuk makan siang, ngopi atau ngeteh. Dari obrolan mereka Rubiyah juga jadi tahu apa dan bagaimana soal separatis juga terorisme. Para tentara itulah yang maju menumpas segala yang menjadi kerikil buat negara dan bangsa.
“ Itu namanya… eehh… Operasi Militer Selain Perang atau OMSP [2]“ tambah Rubiyah sambil menyendok nasi untuk pelanggannya. Sesudah itu ia menuangkan air teh hangat ke sejumlah gelas. Sementara para warga yang duduk di warungnya kagum pada kecerdasan Rubiyah yang masih mampu menyerap pengetahuan pada usianya yang sudah tak muda lagi.
Tapi yang terjadi hari – hari ini, berbeda. Sudah sepekan Rubiyah menutup warungnya. Rubiyah bagai lenyap. Ia pergi dari rumah. Para warga hanya tahu, Rubiyah sedang dirundung musibah. Beberapa waktu sebelum Rubiyah pergi, ia menerima kabar kalau anak laki – laki satu – satunya, bernama Marka yang sedang merantau di kota, diculik oleh sekelompok orang tak dikenal. Para penculik itu, menghubungi telepon seluler jadul milik Rubiyah yang sering kali ngadat suaranya. Mereka minta uang tebusan 50 juta rupiah.
Dugh !! jantung Rubiyah berpacu cepat. Kepanikan dan kesedihan bercampur. Rubiyah bertekad untuk menuruti kemauan para penculik sekaligus pemeras itu meski Rubiyah sendiri bingung, dari mana ia bisa dapat uang sebanyak itu ? penghasilannya sebagai pedagang nasi tak seberapa, hanya cukup untuk membiayai hidup sehari – hari. Itu saja sudah cukup buat Rubiyah. Kali ini uang puluhan juta rupiah ? dari mana ? bermimpi memegang tumpukan uang sebanyak itu saja, Rubiyah tak berani. Ia takut rampok masuk ke rumahnya karena ia hidup sendiri setelah anak laki – lakinya merantau.
Marka, usianya 25 tahun, merantau ke kota dengan modal sepeda motor, satu setengah tahun lalu. Katanya, ia mendapat tawaran pekerjaan dari rekannya sebagai kurir pengantar ragam barang pesanan. Lalu enam bulan setelah merantau masalah timbul. Marka sempat cerita pada ibunya, betapa kerasnya hidup di tanah rantau. Ia pernah tersandung masalah dengan personil geng motor yang ramai membuat onar di jalanan.
Sejumlah personil geng motor memaksanya untuk ikut bergabung, tapi Marka menolak. Ia merantau bukan untuk menjadi rusak tapi ingin menggapai cita –cita. Marka ingin mendapat uang lebih banyak untuk membantu dirinya dan ibunya, Rubiyah. Ujungnya, Marka lolos dari buruan para personil geng motor setelah pamannya, Sulaiman yang berada di kota turun tangan bersama para rekannya.
Lalu kali ini, Marka dilanda persoalan apalagi ? Marka dituduh terlibat peredaran narkoba. Mulanya ia tak tahu kalau barang yang diantarnya itu adalah narkoba. Sebelumnya seseorang memaksanya untuk mengantar barang itu. Marka yang lugu itu mengantar begitu saja. Sampai satu ketika, sejumlah orang mengincar lalu menangkap dan menculik Marka lalu terakhir minta uang tebusan pada Rubiyah.
Para penculik itu, mengaku – ngaku sebagai aparat penegak hukum. Suara mereka keras dan lantang untuk meminta uang tebusan jika persoalan ini hendak diseleseikan di luar jalur hukum. Karena bernafsu mendapatkan uang, mereka tak segan – segan membentak – bentak Rubiyah yang tua.
Rubiyah yang kelimpungan, tetap mencari jalan. Ujungnya, Rubiyah jual cepat tanah di halaman depan rumahnya yang cukup luas dan bersinggungan dengan tepi jalan kampung. Pembelinya, seorang kaya di kampungnya yang simpati pada perjuangan Rubiyah. Maka melayanglah salah satu harta Rubiyah yang jumlahnya tak seberapa selain rumah. Untuk sementara ini, warungnya yang berada di tepi jalan, masih ada, tapi tinggal tunggu waktu untuk dirobohkan.
Rubiyah berada di kota. Ia membawa uang tunai 50 juta rupiah yang disimpan di tas hitam berukuran besar. Dibantu adiknya, Sulaiman, mereka berupaya keras menyelamatkan Marka. Mulanya, Sulaiman mengubungi para penculik Marka lewat ponselnya.
“Halo… pak, ini kami sudah siapkan uang 50 juta rupiah seperti yang bapak minta … “ kata Sulaiman
“ Ooo sudah ada… tunggu komando dari kami ya. Nanti kami utus orang untuk mengambilnya dan tentukan lokasi “ balas salah seorang penculik
“ Loh… pake utusan ? kami minta Marka juga disertakan pak. Jadi ada uang, ada Marka ! “ tawar Sulaiman, berani.
“ Kamu ini kok ngatur ! kami yang atur ! masih sayang dengan anak ini gak !? kalau enggak, ya sudah kami habisi ini anak ! “ suara penculik itu meninggi.
Sulaiman dan Rubiyah terdiam. Gentar. Tapi belakangan Sulaiman nekat bicara lagi.
“ Ehh.. anu pak.. begini… ini ada ibunya si Marka. Boleh ibunya bicara dengan Marka ? kangeng katanya… “ bujuk Sulaiman.
Terdengar para penculik berunding. Akhirnya, mereka mengijinkan Rubiyah untuk bicara dengan Marka.
“ Oke! Boleh ! sebentar saja yaa… ! “ jawab dari seberang.
Lalu ponsel itu didekatkan pada Marka.
“ Maakk.. ini akuu Maakk ! “ jerit Marka sambil meringis
“ Iyaaa nak ini ibuu…sabar kamu yah nak. Uangnya sudah ibu persiapkan “ Rubiyah beri harapan pada Marka.
“ Lekaslah Mak. Marka udah gak tahan ini disiksa … “ keluh Marka
“ Memangnya siapa mereka nak ? “ tanya Rubiah
Sekitar lima detik tak ada jawaban dari Marka. Lalu, Marka beranikan diri menjawab.
“ Mereka ini sama seperti anak muda yang tiap pagi lari - lari lewat warung kita Mak… yang bunyi sepatunya, prak ! prak ! prak ! “ jelas Marka
Lalu yang terjadi berikutnya, para penculik bertindak. Ia marah karena curiga pada kalimat Marka yang terkesan memberi kode.
“ Heh ! siapa itu yang biasa lari pagi lalu bunyi sepatu prak ! prak ! prak !?? tanya seorang penculik dengan bengisnya.
Tapi Marka tak menjawab. Akibatnya, siksaan berikut menimpa Marka. Telepon seluler masih dalam kondisi hidup sehingga Rubiyah mendengar jelas jeritan Marka dianiaya.
“ Markaaaaa… !! “ jerit Rubiyah memangil anaknya
Kemudian ponsel itu mati. Para penculik sadar akan teriakan Rubiyah. Akibatnya, buntu menghadang Rubiyah dan Sulaiman. Mereka berunding. Akhirnya, mereka putuskan untuk lapor polisi, meski itu melanggar kesepakatan antara Rubiyah dan Sulaiman dengan para penculik.
Di meja polisi, Rubiyah dan Sulaiman menceritakan kronologi kejadian. Para polisi yang dipimpin seorang Kasatreskrim, Komisaris Polisi atau Kompol Bagus Candra menggambar kasus ini untuk melacak keberadaan dan memastikan sosok pelaku.
“ Jadi, apa kata terakhir dari anak ibu yang bisa dijadikan tanda buat kami mencirikan pelaku ? “ tanya Kompol Bagus.
“ Anak saya bilang, pelakunya itu seperti orang – orang yang olah raga lari tiap pagi dan lewat depan warung saya dan suara sepatu mereka kompak bunyinya…. prak ! prak ! prak !… “ jelas Rubiyah
“ Siapa mereka yang sering olah raga lari ? lewat depan warung ? “
“ Ya.. mereka itu para tentara muda. Di kampung kami kan ada markas tentara “ sambung Rubiyah
“ Jadi, ibu menduga para penculik anak ibu itu,, tentara….? “
Rubiyah terdiam sejenak. Keningnya mengkerut. Ia seperti mencoba meyakinkan dirinya untuk menjawab kejaran pertanyaan polisi.
“ Ah, tapi rasanya saya gak yakin juga apa yang dijelasin si Marka. Apa iya tentara berlaku seperti itu ? para tentara, yang tiap pagi olah raga lari lewat warung saya, mereka itu baik – baik semua. Ramah pada warga. Santun pada saya sebagai orang tua. Gak yakin saya … “ kali ini Rubiyah beri kesangsian.
“ Jadi, kalau bukan tentara siapa ? “ Kompol Bagus bertanya lagi.
“ Ya entahlah. Aku yakin bukan tentara, …. juga bukan polisi, mungkin gadungan … “ kata Rubiyah
“ Para tentara itu akrab dengan Ibu ? “
“ Iyalah. Makan, ngeteh, ngopi ya di warung saya. Kerja mereka jelas. Memberantas gerakan separatis, teroris, masuk desa membantu rakyat. Nah, bukan menculik orang. Gak yakin saya… “ terang Rubiyah, lurus.
Kompol Bagus termenung. Pikirnya, Rubiyah begitu lugu dan polosnya. Sebab itu, keterangan Rubiyah tak semuanya jadi patokan. Mereka tetap harus kerja keras mengungkap kasus ini.
Tiga hari setelah pembicaraan terakhir, kabar tak sedap itu datang di telinga Rubiyah. Mayat Marka ditemukan mengapung di aliran sungai di tengah kota. Petugas membawa jasad Marka ke rumah sakit. Di kamar jenazah, Rubiyah histeris. Sulaiman sang adik memeluk kakaknya. Apa boleh buat, nasib berkata lain meski Rubiyah sudah menggenggam uang puluhan juta rupiah untuk tebusan dan berharap anaknya kembali dalam keadaan hidup.
Kini giliran polisi mengungkap siapa para pelaku penculikan. Polisi kerja cepat. Mereka menyadap nomor ponsel para pelaku yang selalu berhubungan dengan Rubiyah. Akhirnya, dapat ! Polisi meringkus tiga pelaku penculik Marka yang juga melakukan pemerasan pada Rubiyah.
Aparat menggelandang para pelaku ke ruang pemeriksaan. Kompol Bagus menengok hasil kerja anak buahnya. Kini, ia berhadapan langsung dengan para pelaku. Ia meneliti betul sosok tiga pelaku yang semuanya berbadan tegap dan berambut cepak. Selain itu, polisi juga menyita ponsel, baju seragam dan mobil yang diduga kuat digunakan pelaku untuk mendukung aksi kejahatannya. Kompol Bagus terdiam. Ia kembali ke ruangannya.
Di ruang kerjanya, Kompol Bagus teringat terus dengan sosok Rubiyah. perempuan paruh baya yang lugu dan sehari – harinya hanya berdagang nasi di warungnya serta punya cerita yang membuatnya terkesan, yakni : tentang barisan tentara muda yang sering olah raga lari pagi dan melintas di depan warungnya, lalu memberi hormat sebagai bahasa keakraban…
Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu.
“ Masuk … “
Salah seorang anak buah Kompol Bagus masuk.
“ Pak semua sudah siap… “
“ Ok.. .kita bawa para pelaku ke Polisi Militer .. “
Mahalawan
Jakarta, Jumat 1 September 2023
[1] Separatis menurut KBBI : Orang (golongan) yang hendak memisahkan diri dari persatuan, golongan (bangsa), untuk mendapat dukungan
[2] Undang-undang No 34 than 2004. Pasal 7 tentang tugas pokok TNI