Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Mawar Putih Untuk Maya
0
Suka
1,052
Dibaca

Didit perlahan membuka gagang pintu rumahnya yang tidak dikunci. Nyaris tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki ruang tamu. Temaram lampu 110 watt di teras rumah, kini berganti lampu ruang tamu yang lebih redup. Seharusnya lampu neon di ruang tamu lebih terang dari lampu di teras rumah, namun rupanya malam itu, seperti beberapa malam sebelumnya lampu tidak dinyalakan. Hanya lampu lima watt berwana merah yang terletak di salah satu sudut ruangan saja yang terlihat menyala. Didit yang sebetulnya tidak terbiasa dengan cahaya gelap, langsung menyentuh sakelar di dinding. Seketika lampu neon di langit-langit ruang tamu menyala. Diletakannya tas kerja di meja tamu, lalu dibukanya kaos kaki kemudian memasukannya ke dalam sepatu yang tergeletak di ambang pintu.

Melihat lampu di ruang tamu menyala, Maya, Istri Didit yang tengah menonton televisi langsung beranjak menyambut suaminya.

“Sudah pulang Kak?” Sapa Maya, sambil mencium tangan suaminya. Panggilan Kakak masih belum berubah sejak mereka berpacaran hingga kini di usia pernikahannya yang menginjak tahun ke tiga.

Segurat senyum terukir di bibir tipis Maya, menyambut sang suami yang baru pulang kerja. Namun entah mengapa, beberapa hari terakhir ini Didit merasakan senyum itu hambar. Sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya.

Didit membalas senyum istrinya, lalu mengecup keningnya dengan penuh rasa sayang. Ia lalu masuk ke kamar, membuka kemeja kerja lusuh yang dikenakannya sepanjang hari, kemudian menggantungnya di balik pintu.

Selesai berganti pakaian, direbahkanya tubuhnya di kasur.

“Itu bukan senyum istriku yang kukenal selama ini,” batin Didit.

Pikirannya masih berkutat dengan perubahan sikap istrinya selama beberapa hari terakhir ini. Entah mengapa, ia merasa ada yang berbeda dengan istrinya. Ia merasa Maya seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Namun tiap kali Didit menanyakan hal itu, istrinya tidak pernah mau menjawab. Ia hanya tersenyum. Dengan senyuman datar, seadanya.

Sambil berbaring, Didit berusaha keras mengingat-ngingat apa yang telah dilaluinya selama dua minggu ini. Pikirannya membuka kembali setiap hal yang terjadi dalam dua minggu terakhir. Mencari-cari kesalahan yang mungkin ia lakukan atau hal-hal yang terlewatkan yang membuat istrinya bad mood. Namun semakin dalam dia menyelami memorinya, semakin hal itu tak terjawab.

“Kak, teh nya mau dibawa ke kamar atau di sini aja?” suara Maya tiba-tiba memecahkan kepingan-kepingan kejadian yang coba dirangkai Didit di kepalanya.

“Di situ saja Yang,” jawabnya. Sambil beranjak dari kasur.

Ditemuinya Maya di ruang televisi yang baru saja meletakkan segelas teh hangat di lantai beralaskan karpet coklat dengan gambar harimau di bagian tengahnya.

Tidak menunggu lama, Didit langsung menyeruput teh di gelas yang masih mengepulkan asap itu, sementara Maya kembali ke dapur untuk mengambil nasi serta lauk pauk untuk makan.

Makan malam itu mereka lalui seperti malam-malam sebelumnya. Begitu biasa, diselingi sedikit cerita-cerita tentang apa yang dialami Didit seharian tadi di sekolah, tempatnya mengabdi sebagai guru honor selama 15 tahun. Sesekali Maya juga bercerita tentang kesibukannya di rumah sepanjang hari. Didit coba menangkap kata demi kata yang keluar dari mulut sang istri. Coba mendalami, mencari-cari siapa tahu terlontar kata yang menjadi kata kunci atas perubahan sikap istrinya dua minggu ini. Namun nihil. Ceritanya masih sama seputar kegiatan ibu rumah tangga biasa. Mengantri di tukang sayur keliling bersama ibu-ibu tetangga lain, memasak di dapur, mencuci dan menyetrika pakaian, mengurus rumah. Hanya itu.

“Kamu uda solat Isya Yang?” tanya Didit, saat Maya membenahi piring-piring bekas makan mereka ke dapur.

“Aku lagi ngga solat,” jawab Maya singkat.

Didit mengangguk. Sebetulnya pertanyaan itu ia lontarkan hanya untuk memastikan saja, apakah perubahan sikap istrinya itu karena dia sedang hamil. Namun jawaban Maya tadi sangat meyakinkannya, bukan itu.

Selepas makan malam, mereka menonton tv. Namun tidak lama kemudian, Maya pamit masuk kamar untuk tidur lebih dulu. Sebuah kebiasaan yang baru-baru terjadi. Didit hapal betul, biasanya Maya belum mau masuk kamar jika tidak bareng dengannya.

Setelah Maya masuk kamar, Didit memilih untuk tetap di ruang tv. Dikeluarkannya laptop dari dalam tas kerjanya. Setelah memijit tombol power, beberapa saat kemudian layar laptop berkedip-kedip, lalu menyala sepenuhnya. Kini ada dua layar elektronik yang menyala. Laptop di lahunan Didit, dan televisi yang diletakan di atas meja beberapa meter di depannya. Mata Didit berpindah-pindah antara layar laptop dan layar tv, namun pikirannya tidak sepenuhnya terpaut dengan apa yang dilihatnya di kedua layar elektronik itu. Pikirannya masih berkutat memikirkan hal yang sama, tentang perubahan sikap Maya, wanita yang telah jadi pendamping sah nya selama hampir tiga tahun ini.

Selama Didit mengenalnya, tidak pernah ia melihat sikap istrinya yang seperti sekarang ini. Akhir-akhir ini ia lebih pendiam. Lebih acuh, dan berbicara hanya seperlunya saja. Kini hubungan rumah tangganya jadi terasa datar.

“Entah apa yang tengah diinginkannya,” batin Didit. Ditariknya nafas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya seperti ingin membuang semua penat yang dialaminya akhir-akhir ini.

Dengan jaringan internet yang sudah terhubung di laptopnya, Didit lalu membuka facebook. Namun betapa kagetnya ia, ketika yang muncul di layar laptop bukanlah dinding facebook miliknya, namun dinding facebook milik Maya. Rupanya istrinya itu lupa untuk logout (keluar) dari akun FB nya saat ia memakai laptop Didit untuk membuka FB kemarin.

Kesibukan Didit di sekolah, mengerjakan administrasi dan ditambah jam mengajar yang padat seharian tadi, membuatnya tidak sempat untuk online. Alhasil, ia pun baru menyadari malam ini bahwa FB istrinya itu masih terbuka di laptopnya.

Mata Didit seketika langsung cekatan menyapu setiap hal yang tampil di layar laptop. Dari notifikasi yang muncul, ia tahu bahwa ada beberapa pesan yang belum dibaca. Jarinya lalu mengarahkan pointer mouse, membuka kotak pesan masuk.

Disusurinya pesan-pesan yang masuk. Beberapa obrolan hanya berisi hal-hal yang biasa saja. Tidak istimewa. Hingga akhirnya, pandangannya tertaut pada satu hal yang membuat matanya seolah hendak loncat keluar. Obrolan lewat pesan FB antara Maya dengan Dila. Didit sendiri sangat mengenal Dila. Ia adalah adik mantan pacar Maya yang telah meninggal. Beberapa kali ia pernah bertemu, baik sebelum maupun sesudah mereka menikah.

“Aku kangen diperlakukan romantis,” tulis maya di pesan pribadinya kepada Dila.

“Emank Kak Didit nggak romantis ya teh?” jawab Dila.

“Ya gitu deh...”

“Emank kenapa teh?”

“Ya... gak apa2. Cuma kangen aja kaya dulu. Pengen ada orang yang kasih bunga mawar. Perasaan uda tiga taun gak pernah lagi ada laki-laki yang kasih teteh bunga.”

“Kak Didit belum pernah kasih?”

“Boro2. Sejak pacaran, terus nikah, ga pernah sekali pun dia kasih teteh bunga. Kalo lagi gini, jadi kangen almarhum kakak kamu La. Sering banget kasih teteh bunga. pengen banget kaya dulu lagi. Ada yang kasih bunga mawar putih seikat. L ”

“Ga boleh gitu juga teh. Uda punya suami masa kangen ama orang lain. Mungkin belum kali teh. Tar kapan2 kak Didit juga pasti ngasi teteh bunga.”

“Iya. Teteh berdo’a banget. Mudah-mudahan satu hari nanti kak Didit kasih teteh bunga yang banyaaaaakkkk... banget..... hhhheheee....”

“Yauda teh. Aku off dulu ya. Mau ngerjain tugas kuliah. Dah teteh cantik...”

“Iya... Daaaah.... met belajar yaaa....”

Deg..., jantung Didit seperti dihentak benda keras. Ternyata apa yang telah dilakukannya selama ini masih kurang di mata istrinya. Perhatian yang diberikan, kerja keras banting tulang untuk kebutuhan istri dan rumah tangganya, ternyata masih kurang. Ada satu hal yang belum pernah diberikannya kepada sang istri. Bunga mawar kesukaannya.

Kini perasaan Didit jadi lebih tidak karuan lagi. Antara puas karena sudah tahu sebab musabab kenapa istrinya sering terlihat bad mood akhir-akhir ini, sekaligus ia juga merasa sangat bersalah. Ia merasa sebagai suami ia belum cukup peka untuk merasakan dan mengetahui apa yang diinginkan istrinya. Ia bertekad, besok sepulang ngajar, ia akan memberi kejutan pada Maya. Akan membelikan seikat mawar putih untuk istrinya itu.

Keesokan paginya. Didit tidak terlalu menanggapi senyum datar istrinya saat sarapan dan melepasnya pergi bekerja. Pagi itu, dikecupnya kening Maya lebih lama dari biasanya. Ia ingin menunjukan betapa ia sangat menyayangi sang istri. Dalam hati, ia tersenyum lebar. Disimpannya rapat-rapat rencana untuk memberikan kejutan dengan seikat mawar putih sore nanti.

ZZZ

Sore hari selepas adzan ashar. Sebuah sore yang sangat biasa, seperti sore-sore kemarin. Ketika Maya sedang duduk-duduk di teras depan rumah, sambil membersihkan foto pernikahan mereka yang dipenuhi debu di hampir tiap bagian bingkainya, tiba-tiba hp nya berdering. Telepon dari sekolah tempat Didit mengajar.

“Selamat sore Bu, ini saya, Ridwan,” ucap suara di seberang telepon. Suara bernada berat, milik sahabat Didit, yang sudah sangat dikenal Maya.

“Iya. Ada apa Pak Ridwan?” jawab Maya.

“Mohon maaf Bu, Pak Didit…,”

“Pak Didit kenapa Pak?” buru Maya. Perasaannya mulai tidak enak mendengar kata-kata dari orang yang meleponnya menggantung.

“Pak Didit masuk rumah sakit Bu!” ujar Ridwan dengan suara bergetar.

“Pak Didit kecelakaan bu. Tadi siang ia pamit pulang lebih awal. Katanya, mau ke pasar dulu. Mau beli kejutan untuk ibu. Namun malang, bu. Di jalan terjadi sebuah tawuran pelajar. Pak Didit berusaha melerai, dan…” suara di seberang telepon semakin bergetar.

“Pak Didit tertusuk celurit salah satu pelajar. Ibu segera ke sini bu!”

Betapa sebuah kejutan yang amat besar untuk Maya. Melebihi kejutan yang direncanakan Didit, suaminya, pagi tadi. 

Saat itu juga dunia seolah berhenti berputar bagi Maya. Senyap. Segala hal, setiap benda, yang biasanya mengeluarkan bunyi, seolah mendadak diam saat itu. Sepeda motor yang berlalu lalang di jalan depan rumah, anak-anak yang berlarian saling kejar-kejaran, burung kesayangan Didit di sangkar yang digantung di langit-langit teras rumah, burung-burung gereja yang hinggap di pohon jambu air di halaman rumah tetangga, seolah semua berhenti mengeluarkan suara. Senyap. Segala sesuatunya menjadi senyap, sebelum akhirnya tubuh Maya limbung, jatuh tersungkur ke lantai.

 ZZZ

Kelopak mata Maya perlahan terbuka menangkap cahaya lampu neon yang berpendar di ruang tengah rumahnya. Kepalanya terasa berat. Ingin rasanya ia kembali menutup mata dan melanjutkan tidurnya. Namun bau kapur barus yang menyengat masuk ke hidungnya begitu menusuk. Ditambah riuh orang-orang disekitarnya, dan sayup-sayup suara orang mengaji, membuat ia akhirnya memutuskan untuk bangun. Dengan kepala yang masih pusing, ia berusaha menjawab keanehan yang dialaminya saat ini. Ia mencoba merangkai kejadian demi kejadian sebelum ia pingsan.

Butuh sekitar satu menit hingga akhirnya segala macam ingatan di kepalanya kembali utuh. Dan betapa pilu perasaan Maya, saat ia telah menyadari sepenuhnya bahwa Didit, suami yang sangat disayanginya, kini telah meninggalkan ia untuk selamanya.

Ketika kesadarannya kembali utuh. Maya berteriak-teriak sejadinya. Memanggil-manggil suaminya yang kini sudah terbujur kaku di ruang tamu dikelilingi warga sekitar yang datang untuk melayat. Sebuah sayatan selebar 30 senti terbentuk di perutnya, hasil dari sabetan celurit siswa SMA yang terlibat tawuran siang tadi.

ZZZ

Keesokan paginya, di depan sebuah tanah kuburan yang masih basah, Maya masih terus menangis. Ia terus-menerus memanggil nama Didit, suaminya yang selama dua minggu terakhir ini dicuekkannya. Beberapa orang kerabat dan sahabat terlihat masih setia mengapit di kanan kirinya.

Tanah kuburan itu. Ya tanah kuburan itu yang kini menjadi tempat sang suami untuk selama-lamanya. Tanah kuburan yang masih basah, yang di bagian atasnya ditaburi berbagai macam bunga khas kematian. Tepat pada bagian nisan yang dibuat seadanya dengan sebilah kayu, tersandar satu ikat bunga mawar. Mawar putih yang beberapa hari terakhir ini sangat diinginkan Maya.

Diambilnya mawar itu. Lalu didekapnya erat-erat. Hati Maya begitu remuk. Dipanggilnya nama Didit dengan lirih. Namun seberapa keras pun nama itu dipanggil, ia tidak akan pernah menyahut lagi. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Angkringan Jomlo
anifah setyawati
Cerpen
Mawar Putih Untuk Maya
Galih Priatna
Flash
Aurora di Petala Langit
Nabil Jawad
Cerpen
Eternal Love From The Eternal Spring City
Aspasya
Cerpen
Jaenudin
Steffi Adelin
Novel
Bronze
Stuck On You
Venny Lestari
Novel
The True Star
Nanda Jia
Skrip Film
Deeba
Lisnawati
Cerpen
Gara-Gara Kondangan
anaibeterbangan
Cerpen
Bronze
Home
Rama Sudeta A
Novel
Bronze
A Born Beauty
Yohana Ekky Tan
Novel
A Collection of Love Short Stories
Jean Aira
Skrip Film
Jembatan Cinta
Kelana Kaheswara
Novel
Bronze
Dan Eden
Mashdar Zainal
Komik
A lucky girl
Tsur_Kun
Rekomendasi
Cerpen
Mawar Putih Untuk Maya
Galih Priatna
Cerpen
Hari ketika aku tak terlihat
Galih Priatna