Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Mawar Pertama
Kompleks perumahan Griya Arunika, sebuah enclave yang terletak di pinggiran kota, selalu membanggakan diri sebagai oase ketenangan. Dikelilingi oleh pepohonan rindang dan dikelola dengan ketat, Griya Arunika adalah definisi dari kedamaian suburban. Anak-anak bermain di taman tanpa pengawasan ketat, pintu-pintu dibiarkan sedikit terbuka di siang hari, dan gosip terbesar yang pernah beredar hanyalah tentang siapa yang paling cepat membayar iuran keamanan bulanan. Di sana, hiduplah Bu Ratna, seorang ibu rumah tangga paruh baya yang jadwalnya teratur seperti jam. Setiap pagi, pukul enam, ia akan menyirami anggreknya yang berjejer rapi di teras, dilanjutkan dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya, Pak Budi, seorang pensiunan guru yang hobi membaca koran pagi.
Pagi itu, Selasa yang cerah, Bu Ratna keluar dengan ember siraman aluminiumnya. Aroma embun dan tanah basah menyambutnya, seperti biasa. Namun, ada yang berbeda. Di ambang pintu rumahnya, tepat di atas keset "Selamat Datang" yang usang, tergeletak setangkai mawar merah segar. Kelopaknya masih berembun, seolah baru dipetik dari kebun yang baru saja disiram. Bu Ratna mengerutkan kening. Ia tidak memiliki kebun mawar, dan tetangga terdekatnya, Bu Wati, selalu memangkas habis mawar kuningnya begitu mekar. Siapa yang bisa meletakkan bunga seindah ini di depan rumahnya?
Ia membungkuk, mengambil mawar itu. Tangkainya berduri halus, tapi tidak menyakitkan. Aroma mawarnya kuat, manis, dan sedikit memabukkan. Sebuah sensasi aneh menjalari lengannya, seperti sentuhan dingin dari udara pagi yang lembab, namun lebih dalam, menusuk tulang. "Budi, lihat ini!" serunya, mengangkat bunga itu. Pak Budi yang sedang membaca koran di ruang tamu, hanya melirik sekilas dari balik kacamata bacanya. "Mungkin dari tukang kebun, Ratna. Dia kan suka merapikan tanaman di depan rumah," sahutnya, tanpa menaruh perhatian lebih.
Bu Ratna tahu itu bukan tukang kebun. Pak Joni, tukang kebun kompleks, hanya datang hari Kamis. Dan ia tidak pernah meninggalkan bunga. Rasa ingin tahu bercampur sedikit kegelisahan menggelayuti pikirannya sepanjang hari. Ia mencoba bertanya pada Bu Wati saat mereka bertemu di warung sayur Bu Sumi. "Bu Wati, apa ibu tahu siapa yang belakangan ini sering meletakkan bunga di depan rumah warga?" Bu Wati menggeleng. "Tidak ada, Bu Ratna. Palingan juga anak-anak iseng," jawabnya enteng, sibuk memilih terong ungu.
Bu Ratna pulang dengan mawar itu di dalam vas bunga di meja makan. Setiap kali ia melihatnya, perasaan tidak nyaman itu kembali. Ada sesuatu yang salah dengan bunga ini. Kelopaknya tampak terlalu sempurna, warnanya terlalu merah, dan wanginya terlalu intens. Malamnya, ia menceritakan kejadian itu kepada putra bungsunya, Rio, yang sedang menemaninya menonton televisi di ruang keluarga. Rio, yang masih remaja, hanya terkekeh. "Mungkin pengagum rahasia, Bu," godanya. Bu Ratna hanya tersenyum tipis, tapi hatinya tidak tenang.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, Bu Ratna beranjak menuju kamar tidur. Pak Budi sudah terlelap pulas. Ia memastikan semua pintu terkunci dan lampu padam, kebiasaan yang selalu ia lakukan. Di kamar, ia sempat melirik vas bunga di meja rias. Mawar itu seolah memancarkan cahaya redup dalam kegelapan. Sebuah bisikan samar, hampir tak terdengar, melayang di udara. Seperti gesekan daun kering, atau perhaps, bisikan dari dalam dirinya sendiri. Ia mengabaikannya, mengira itu hanya imajinasinya yang lelah.
Bu Ratna naik ke tempat tidur. Udara terasa dingin, meskipun pendingin ruangan sudah dimatikan. Ia menarik selimut hingga ke leher, mencoba menemukan kenyamanan. Bisikan itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, seperti desahan lembut yang merayap di sudut ruangan. Bulu kuduknya merinding. Ia memejamkan mata, berharap suara itu akan hilang.
Namun, suara itu tidak hilang. Ia perlahan berubah menjadi melodi aneh, sebuah dengungan rendah yang bergetar di telinganya. Seperti lagu nina bobo yang dinyanyikan oleh seseorang dengan suara serak, namun dengan nada yang mengerikan. Ia mencoba membuka matanya, tapi kelopak matanya terasa berat, seolah dilem. Ia merasa seperti terperangkap di antara tidur dan terjaga, dalam sebuah kabut yang kental.
Lalu, sebuah sensasi dingin yang familiar kembali. Dingin yang sama seperti ketika ia memegang mawar itu di pagi hari, kini merayap dari kakinya, naik perlahan, mengikat setiap sendi. Jantung Bu Ratna mulai berdetak tak beraturan, berpacu seperti drum yang dipukul tergesa-gesa. I...