Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Mawar di Tanah Sunyi
1
Suka
16
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Keteguhan hati seperti mawar yang tumbuh di tanah keras: rapuh, namun tak pernah menyerah."

Di suatu sudut dunia yang terlupakan, di mana kaki manusia enggan melangkah dan angin lebih sering menggurat luka daripada membawa kesejukan, terhampar tanah keras dan kering. Tak ada taman di sana, tak ada kebun yang terawat, tak ada kehidupan yang tampak tumbuh subur. Semua tampak sunyi, seperti waktu yang berhenti berjalan. Namun, justru di tempat seperti itulah sebuah benih kecil jatuh. Entah dari mana datangnya, entah siapa yang menanamnya ia hadir begitu saja, membawa sesuatu yang tampaknya tak berarti.

Tanah itu tandus, penuh batu dan debu. Tak ada tangan yang menyiangi, tak ada pupuk yang menguatkan, tak ada air yang setia membasahi. Tapi benih itu bertahan. Ia mengendap dalam kegelapan tanah, dalam diam yang panjang dan dingin. Ia tidak tumbuh cepat, bahkan nyaris tak terlihat ada kehidupan darinya. Tapi di balik diamnya, ada doa yang tak terucap, ada tekad kecil yang bersemayam. Ia menunggu saat yang tepat, menanti sejumput kelembapan dari udara, meresapi sisa-sisa kehidupan yang tercecer.

Ketika embun pertama menyentuh permukaan tanah, benih itu merasakan denyut pertama kehidupannya. Dengan kekuatan yang nyaris tak tampak, ia mulai menggerakkan akar kecilnya. Ia menggeliat pelan, menembus celah-celah batu yang keras, menjalar ke dalam bumi untuk mencari sumber daya kehidupan. Meski tak cukup air, meski matahari hanya memberi panas tanpa belas kasih, benih itu tidak menyerah. Ia menyerap apa pun yang ada, dan dengan kesabaran yang tidak manusiawi, ia bertumbuh.

Hari demi hari berlalu. Musim silih berganti tanpa suara, dan tak satu pun mata memperhatikan. Tapi suatu pagi, tunas kecil muncul dari permukaan tanah. Hijau dan lemah, hampir tak terlihat. Tapi itulah kehidupan pertama yang berhasil menembus kerasnya bumi. Tunas itu berdiri goyah, menghadapi angin yang tak sabar, hujan yang kadang datang tanpa ampun, dan terik mentari yang membakar. Tapi ia terus berdiri. Ia tahu, di balik semua kesakitan itu, ada cahaya yang layak untuk diperjuangkan.

Tunas itu bertumbuh. Setiap helai daun yang muncul adalah hasil dari perjuangan panjang dan kesepian. Tidak ada yang memuji, tidak ada yang memberi semangat. Tapi di dalam dirinya, ada keyakinan bahwa ia tidak hidup sia-sia. Angin datang dan pergi, membawa serta serpihan dedaunan lain, tetapi tunas mawar tetap berdiri. Ia belajar dari angin yang memaksanya membungkuk, dan dari hujan yang membuatnya hampir rebah. Ia tidak membenci cobaan, karena tahu dari sanalah kekuatannya lahir.

Kelopak pertama mulai terbentuk. Mula-mula seperti garis tipis di pucuk batang, lalu perlahan membulat, membentuk kuncup. Dalam diam, kuncup itu menunggu waktunya sendiri untuk terbuka. Ia tidak terburu-buru. Ia tahu bahwa segala sesuatu yang indah memerlukan waktu dan kesabaran. Hari-hari berlalu dengan penuh tantangan. Kadang badai datang tanpa permisi, menerpa dengan kekuatan yang bisa mematahkan batangnya. Sebagian kelopak awal sempat robek, jatuh begitu saja ke tanah. Namun mawar itu tidak menganggapnya sebagai kekalahan. Ia menganggapnya sebagai pelajaran tentang kehilangan, tentang bertahan, dan tentang menerima.

Lalu, saat dunia sedang sibuk dengan hiruk-pikuknya, kuncup itu pun mekar. Perlahan, kelopak demi kelopak membuka, memperlihatkan warna merah yang tajam, menyala, seolah ingin mengingatkan dunia bahwa dari kesepian dan kesakitan pun bisa lahir keindahan yang tak terkira. Mawar itu kini berdiri penuh, dengan batang yang kokoh dan kelopak yang lembut. Ia tidak sempurna, karena ada luka di beberapa helai daunnya, tapi justru dari ketidaksempurnaan itu, ia menjadi istimewa.

Mawar mulai menyadari bahwa hidupnya bukan hanya untuk dirinya sendiri. Meski awalnya ia bertumbuh dalam sunyi, kini aroma harumnya mulai tercium oleh makhluk lain. Serangga kecil mulai mendekat. Angin membawa aromanya ke tempat-tempat jauh. Tanpa ia sadari, keberadaannya mulai memberi makna. Ia bukan hanya bunga yang mekar di tanah gersang, tetapi juga harapan bagi kehidupan yang lain.

Suatu malam, langit mendung. Petir menggelegar di kejauhan, dan hujan pun turun dengan derasnya. Di teras rumah tua yang tak jauh dari tempat tumbuhnya mawar itu, seorang petani duduk membungkus tubuhnya dengan selimut lusuh. Ia menatap ke arah mawar yang diterpa hujan dan angin malam, dan hatinya tergetar. Dalam dinginnya malam, ia berbisik, “Kau kuat, mawar kecil. Dunia tak selalu ramah, tapi kau ajarkan arti keteguhan.”

Mawar tak menjawab, tapi ia mendengar. Angin malam yang lembut membawa bisikan itu ke kelopaknya. Ia merasakannya, seperti pelukan hangat yang tak terlihat. “Aku tidak sendiri,” pikirnya. “Ada seseorang yang menyadari keberadaanku.”

Keesokan paginya, cucu sang petani datang berlarian, riang dan penuh energi. Ia terhenti di depan mawar yang masih berdiri anggun, meski habis diterpa hujan semalam. “Lihat, Kakek! Mawarnya masih ada! Masih cantik!” serunya sambil menyentuh kelopaknya dengan jari-jari mungil.

Petani tua tersenyum. “Ya, Nak. Mawar ini seperti kita. Kadang dunia menjatuhkan, kadang kita terluka. Tapi kalau kita terus berdiri, terus mekar, kita akan jadi lebih kuat dari sebelumnya.”

Mawar merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya kebahagiaan yang tak berasal dari dalam dirinya, melainkan dari hubungan yang tercipta dengan dunia di sekelilingnya. Ia tahu, keberadaannya kini membawa arti. Ia bukan lagi bunga di tanah sunyi ia adalah simbol kekuatan, ketekunan, dan harapan.

Musim terus berganti. Kelopak demi kelopak kadang gugur, tapi mawar tidak sedih. Ia tahu bahwa setiap gugur adalah awal dari kelopak baru. Setiap kehilangan membawa peluang untuk tumbuh kembali. Orang-orang desa mulai memperhatikan. Beberapa datang untuk sekadar melihat, memotret, atau duduk merenung di dekatnya. Mereka terpesona oleh keindahan yang tumbuh di tempat yang sebelumnya tak dianggap. Mawar telah mengubah cara orang memandang tempat itu tanah keras dan sunyi kini menjadi lambang keteguhan.

Suatu sore, sang cucu kembali duduk di bawah naungan mawar. Ia memandang kelopak merah yang mekar sempurna, lalu berkata, “Kakek, aku ingin seperti mawar ini. Meski hidup sulit, aku ingin tetap berdiri dan menjadi sesuatu yang indah.”

Petani menatapnya lembut, membelai kepalanya. “Kau bisa, Nak. Hidup memang tak mudah. Tapi jika kau setia pada dirimu sendiri, dan tak menyerah pada luka, kau akan tumbuh seperti mawar ini indah bukan karena tanpa luka, tapi karena bertahan melalui semua luka.”

Dan mawar itu, meski kelak akan layu dan kembali ke tanah, tahu bahwa ia tidak akan pernah benar-benar hilang. Setiap kelopak yang gugur akan menjadi bagian dari tanah yang menyuburkan benih lain. Setiap helai yang jatuh akan membawa harapan pada generasi berikutnya.

Mawar tahu: keindahan sejati bukanlah soal berapa lama ia mekar, tapi apa yang ia tinggalkan bagi dunia.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Sebuah Usaha Maya
Nandreans
Flash
Istri Pengarang
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Mawar di Tanah Sunyi
Zulia Ramadani
Novel
Bronze
The Sniper
Shafa Maurrizka
Novel
Ruang Kata
Firsty Elsa
Novel
Tubuhku Tak Salah, Tapi Dunia Menghakimi
Temu Sunyi
Cerpen
Sorotan dibalik Layar
slya
Cerpen
1 Hari Sebelum Lupa
Ainul Hidayah
Novel
Bronze
Orang Orang Di Atas Angin
Yovinus
Cerpen
SUNYI SEKALI
Hans Wysiwyg
Novel
Ikuti Saja Mau-Nya
Aniah sinta
Skrip Film
Absurd, Abstrak, dan Aling (Script)
KOJI
Skrip Film
Marriage Ark Made of Paper
Lindaw
Novel
Bronze
LANGIT BIRU
Safinatun naja
Novel
Bronze
Sinar untuk Genta
Rika Kurnia
Rekomendasi
Cerpen
Mawar di Tanah Sunyi
Zulia Ramadani
Cerpen
Mawar di Tanah Sunyi
Zulia Ramadani