Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Mata Cekung Mbah Kukung
3
Suka
1,492
Dibaca

Meriahnya hari raya sungguh terasa kali ini. Tangan-tangan bersalaman, mulut-mulut saling bermaafan, segala kesalahan dilupakan, makanan hari raya menjadi kudapan.

Di sebuah rumah joglo di pinggiran kota, suara orang-orang riuh rendah memenuhi hangatnya silaturahmi di pagi hari raya. Kejanggalan terjadi ketika sebuah mobil taksi berhenti di depan rumah itu. Sekian pasang mata menatap penasaran ke arahnya. Mereka berkumpul di pendopo[1] rumah joglo itu. Mengira kalau ada tamu yang datang dari jauh jadi mereka harus mengadakan penyambutan khusus. Tapi, mereka sedikit keliru.

Mbah Kukung, demikian dia minta dipanggil, kini duduk lesehan di pendopo bersama para keluarga muda. “Di mana Titin, Nak? Aku ingin bertemu. Aku saudara kandungnya.”

Mereka semua lalu saling tatap berganti-gantian. Tidak ada yang mengenal sang kakek meski sudah mengaku sebagai bagian dari keluarga. Tapi semua orang di rumah ini kenal Mpok Titin karena dia adalah ibu dan mertua mereka sendiri. Salah satu dari mereka berinisiatif untuk memapah Mbah Kukung menuju senthong[2] Mpok Titin yang juga sudah sepuh. Di hari-hari senjanya, dia hanya tinggal di senthong sepanjang hari raya.

Wanita sepuh itu terlihat tersenyum. Menyambut dengan keramahan hari raya. Kulit keriputnya kalah oleh senyumnya yang ramah.

Seruak harum minyak angin memenuhi kamar Mpok Titin, “siapa ini? Jauh-jauh datang,” tanyanya agak terbata-bata karena usia. Tubuh rentanya duduk di atas kasur berselimutkan kain sarung.

Dengan duduk di sebelahnya, Mbah Kukung sudah lebih dari siap mengutarakan maksud kedatangannya. “Ini kakak pulang, Dik,” meski matanya cekung karena lelah oleh perjuangan hidupnya, dia tetap tersenyum lembut. Menunggu respon dari wanita renta di depannya, “maaf, Dik. Baru sekarang bisa pulang,” Mbah Kukung meraih tangan adiknya. Kamar ini juga adalah kamar adiknya sejak dahulu.

Mpok Titin membiarkan benaknya mengingat. “Mas Kukung,” lirihnya tercekat. Tubuh rentanya menghambur memeluknya, “Aku kira kakak sudah mati di tanah Papua, aku kira kakak tidak akan kembali lagi,” derai haru air mata Mpok Titin mensyukuri kembalinya sosok Masnya yang sangat dirindukan.

“Anakku semua, kenalkan, ini paman kalian dari jauh.” Tutur Mpok Titin kepada anak dan menantunya di ruangan itu yang sedari tadi menyimak percakapan para jompo ini.

Keheranan mereka belum tuntas. Siang ini mereka semua mengobrol sambil minum kopi dengan Mbah di pendopo rumah joglo itu. Kadang, ada selingan takjub mendengar tuturan Mbah tentang perjalanannya menjadi guru di pelosok Papua sejak awal mula pulau itu menjadi bagian dari Indonesia. Ada yang berkelakar, kalau kenapa Mbah tidak menikahi saja salah satu penduduk lokal di sana. Semua orang mengangguk, mempertanyakan hal yang sama.

Buncahan rasa penasaran para keponakannya membawanya pada kenangan ketika Mbah Kukung muda yang bugar itu harus dibawa ke pos kesehatan untuk mengobati kakinya yang terluka lebar akibat jatuh saat berusaha menolong salah satu muridnya yang hampir jatuh dari atas pohon saat hendak mengambil buah mangga. Di ruang pengobatan, sudah ada dokter wanita yang juga seorang relawan siap untuk menjahit luka lebar di kakinya. Muncul tanya dari sang dokter akan penyebab luka itu. Jawabannya membuat wanita itu kagum. Mereka pun berkenalan. Tak hanya itu, mereka lalu menikah di tengah antah-berantah. Menjadi relawan bagi penduduk Papua.

Tak terasa, kopi di cangkir masing-masing hanya tinggal ampasnya. Siang itu kini beranjak sore. Mbah Kukung bangkit hendak kembali ke dalam salah satu senthong yang sudah disiapkan untuknya.

“Mas, kenapa belum menikah? Mau sampai kapan membujang?” tanya Mpok Titin. Dia sedang duduk menonton di depan televisi di dalem[3] rumah joglo itu sambil minum teh.

“Aku sudah menikah, Tin, hanya saja, istriku tidak bisa ke sini.”

“Kenapa?” Mpok Titin menyeruput tehnya.

Mbah Kukung terdiam. Pikirannya bernostalgia dengan kenangan di tanah Papua. Selayaknya jam yang jarumnya berjalan mundur. Berputar begitu saja. Kehidupan yang dijalaninya bersama Sri, relawan dokter yang memilih dirinya menjadi pasangan hidup sangatlah damai. Puluhan tahun hingga paruh baya usia mereka berdua. Sri saat itu menjadi direktur umum relawan kesehatan di Papua. Sementara Mbah Kukung menjadi guru paling aktif mengajar anak-anak Papua hingga sudut-sudut rimba.

Mbah Kukung berusaha tenang. Mpok Titin tidak bertanya. Seolah tahu kalau kali ini jawaban dari pertanyaannya sungguh berat. Mata cekungnya kini menatap kosong wajah Mpok Titin sambil duduk di hadapannya.

“Karena dia sudah tiada, Tin. Dia syahid.”

Tidak seperti adegan drama, Mpok Titin tidak langsung menyemburkan tehnya dari mulut karena kaget, dia sudah lebih dari sanggup mengendalikan diri. Di benaknya, kini dia menyadari mata kakaknya yang cekung seperti terus-terusan terjaga setiap malam itu memang pasti punya cerita. Sebagai janda yang punya banyak anak, dia lebih dari tahu rasanya ditinggal wafat pasangan hidup.

“Tidak, Tin, wajahku sembab seperti ini bukan karena sedih kehilangan dia. Apalagi karena terjaga setiap malam. Tapi karena aku masih merasa gagal mendidik anak-anak Papua di sana, Tin.” Mbah Kukung menatap dengan tajam wajah adiknya. Seolah dirinya bisa menerawang ke alam bawah sadarnya dan menarik langsung jiwanya. Tiba-tiba karisma seorang guru nampak jelas meski dirinya tidak lagi muda.

Dikarenakan suasana sore itu sudah terlanjur menegang. Bahkan udarapun nyaris enggan lewat. Pengap. Mbah Kukung menarik napas. Mencoba menciptakan rasa senggang demi memberi ruang pada kenangan lain di tanah Papua. Ketika murid-murid yang sudah dididik olehnya beranjak remaja dan memiliki kehidupan masing-masing. Beberapa memberikan rasa bangga. Beberapa masih bingung dengan dunia nyata.

Peran Mbah Kukung muda menjadi relawan guru saat itu tidak tertandingi. Semua perumahan penduduk mengenal dirinya karena dia selalu melawat ke rumah murid-murid yang pernah diajarinya. Hingga saat usianya yang sudah paruh baya, dia pergi ke rumah milik Pedo dan Elias, dua bersaudara yang juga pernah menjadi muridnya. Dalam perjalanan, dia terus berdoa. Dia juga mengingat kembali bagaimana karakter kedua anak didiknya itu yang sangat nakal. Mereka bahkan sering ketahuan membawa benda tajam seperti parang ke sekolah. Meski begitu, dia tetap berharap akan melihat anak-anak didiknya bisa menjadi orang. Hujan mengguyur jalanan. Motor yang dikendarainya masih cukup tangguh untuk sampai di lokasi.

Ketika sudah di ruang tamu rumah mereka, Mbah Kukung ternyata agak keliru memilih waktu. Kedua remaja itu, katanya, sedang berkumpul bersama teman-temannya di gedung bekas gudang penyimpan hasil kebun desa. Kata ibunya, mereka ikut pelatihan menembak. Mbah Kukung senang. Bangga dengan anak didiknya yang dia yakin ingin menjadi tentara. Tapi ternyata itu kekeliruan yang lain.

Di klinik relawan, sore itu, tengah terjadi keributan di ruangan dokter Sri yang tengah sibuk-sibuknya melayani pasien satu-persatu. Dua orang remaja yang didiagnosa oleh dokter Sri hanya mengidap sakit maag memaksanya untuk memberikan surat rujukan resmi ke rumah sakit di pulau Jawa agar mereka dapat terbang tanpa perlu mengeluarkan biaya apapun.

Dengan suara lantang, Sri dengan tegas menolak permintaan paksa itu. Meski demikian, dia tetap harus menghadapi luapan emosi dari dua remaja yang terus-terusan memaksanya dengan nada lancang. Tapi wewenang yang dipegang oleh Sri tetaplah dijalankan olehnya dengan bijak. Dia tidak goyah meski keduanya bersikukuh memaksa dirinya untuk memberikan selembar kertas surat rujukan itu.

Hingga nada mereka meninggi disertai umpatan dan luapan emosi ke mana-mana. Akhirnya, karena kesal, sebuah benda bermoncong hitam keluar dari saku celana salah seorang dari mereka. Suara tembakan terdengar merobek langit sore dari radius puluhan meter. Membuat para laki-laki di sekitar lokasi bersiap siaga. Yang perempuan hanya bisa kabur sejauh-jauhnya sambil berteriak ketakutan. Tangan remaja itu masih teracung lurus ke atas. Asap sisa bubuk mesiu melambai tipis dari moncong pistol itu. Tangan kekar remaja itu lalu menghadapkan ujung pistolnya tepat di dahi sang dokter.

Namun Sri tetap tidak bergeming. Seluruh pasien yang sudah bubar dari antrian dan bersembunyi menjadi tegang. Menjadikan kejadian sore itu layaknya sebuah tontonan. ”Kaka, sa tra akan main-main ini, cepat kasih sa itu surat rujukan! Sebelum kepala kaka pecah nanti deng ini pistol!”

“Kaka tidak akan kasih ade itu surat. Ade ini cuma sakit maag cukup ke klinik sini. De pe obat ada, lengkap.” Dahi Sri mengkerut. Dia benar-benar dalam keadaan genting.

“Dokter bodoh! Cepat kasih itu surat!” Bentak remaja itu.

Satu remaja lainnya berinisiatif untuk mencari surat rujukan itu di laci meja dokter Sri lalu meletakkannya di hadapannya. Sebuah pulpen disiapkan untuk memaksanya mengisi lembar surat rujukan itu. Dokter Sri tetap menolak. Dia tidak takut ditembak.

Kedua tangan Sri memegang pistol yang sudah menyasar dahinya. Perlahan menurunkan pistol si remaja. ”Tapi ade cuba pikir. Bagimana nasib keluarga kau kalo sakit? Adakah dokter lain tolong? Selain sini, klinik itu cuma ada di kota, jauh.”

Wajah remaja itu juga tetap emosi. Diam-diam, meski moncong pistol itu sudah tidak menyasar dahi sang dokter, kini dia membidik langsung ke arah jantungnya.

Tanpa suara. Butuh sepersekian milidetik hingga semua telinga yang mendengar nyaris tuli akibat pekak mendengar pistol yang baru melesatkan peluru. Darah segar sudah mengalir dari dada dokter Sri. Penduduk yang sadar langsung maju hendak mengamankan kedua remaja yang sangat brutal membunuh pahlawan kesehatan mereka. Namun mereka lupa, masih ada sisa peluru di pistol remaja itu dan kawannya.

Sore itu, penduduk Papua berduka. Sosok yang selama ini menjadi penyembuh bagi setiap penyakit dan luka mereka harus wafat dengan paksa di tangan saudara sendiri. Dan yang lebih tidak diinginkan, tiga orang penduduk lokal tewas.

Alih-alih berhenti, guyuran hujan sore itu semakin deras. Hendak membersihkan kembali sisa-sisa kekejian dari peristiwa itu. Menghanyutkannya dan meninggalkan kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkan. Juga hikmah di balik segala kejadian yang dilewatkan.

Sara, relawan yang bertugas sebagai apoteker di klinik itu bergegas menelepon Mbah Kukung tepat setelah kejadian. Mbah Kukung yang sedang berkeliling perumahan penduduk mendapati ponselnya berdering ditelepon oleh nomor istrinya. Meski suara yang kemudian berbicara dengannya berbeda dan memberinya kabar yang sangat dia tidak percaya.

Di klinik, ketika matahari nyaris tenggelam di ufuk barat, para relawan kesehatan yang semuanya berasal dari luar Papua itu berduka cita atas apa yang telah terjadi. Mereka semua berkumpul di salah satu ruangan yang disulap seperti acara layatan. Tidak perlu menunggu, jenazah langsung segera dimandikan dan dikafani oleh kawan-kawan Sri sendiri di klinik itu. Yang justru perlu ditunggu adalah suami Sri yang memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya berkeliling perumahan.

Baru ketika mega merah matahari sudah berpindah horizon dan lantunan adzan maghrib berkumandang, suara motor yang menderu sampai di depan pos klinik itu. Mbah Kukung hanya bisa melihat istrinya, Sri, sudah terbaring kaku untuk terakhir kalinya diselimuti kafan dan kain batik.

Air mata tak lagi bisa dibendung. Mbah Kukung memeluk istrinya sebelum besok pagi dimakamkan di tanah antah-berantah ini.

Rasa duka yang dirasakan Mbah Kukung ketika melihat istrinya sudah wafat tidaklah lebih sakit daripada ketika dia tahu bahwa kedua muridnya lah, Elias dan Pedo, yang menjadi pelaku pembunuhan empat penduduk sipil termasuk istrinya sore itu.

Dia menghadiri proses pengadilan yang dilaksanakan di pusat kota Papua. Mendengarkan putusan hakim yang kemudian memvonis kedua muridnya dengan hukuman penjara seumur hidup.

Semenjak Mbah Kukung menjadi guru relawan di Papua, baru kali itu dia merasa gagal mendidik muridnya. Elias dan Pedo, kini harus mendekam di jeruji besi. Mbah Kukung, meski awalnya membenci keduanya, namun dia mampu berdamai pada akhirnya. Menerima peristiwa itu dengan lapang dada. Membuang dendam yang masih terselip di hati dan nurani. Di lain sisi, dia juga menyadari bahwa dendam dan amarah hanya mempercepat fisiknya menjadi tua. Dan dia baru menyadarinya ketika bercermin dan melihat kedua matanya cekung seperti terjaga sepanjang malam.

Lebih gilanya lagi, Mbah Kukung menyempatkan diri mengunjungi kedua muridnya itu untuk memberi nasehat tanpa menceritakan kalau istrinya lah dokter yang sudah mereka bunuh itu.

Mpok Titin kembali menyeruput tehnya dengan cepat. Menghilangkan perasaan campur aduknya selama mendengar cerita kakaknya tadi.

Meski usia mereka berdua sudah senja, namun ikatan kakak beradik mereka masih sangat erat. Mpok Titin membantu melipatkan pakaian kakaknya. Mengeluarkan isi koper besar yang kakaknya bawa dari perjalanan. Namun, ada sepucuk surat terselip di antara pakaian dalam koper. Karena takut itu barang penting, Mpok Titin langsung memberikan surat itu kepada kakaknya di dalem rumah joglo itu.

Mbah Kukung baru mengingat satu hal. Itu adalah surat yang dititipkan kepada sipir lapas Papua kala dia hendak mengunjungi Pedo dan Elias tapi ternyata nihil. Mereka berdua sudah dipindah ke lapas yang lebih besar di pulau Jawa. Yang kebetulan lokasi lapas itu hanya sekitar satu jam dari rumah Mbah Kukung saat ini.

Keesokan harinya, dia langsung berangkat ke alamat lapas yang dimaksud. Di ruang kunjungan, dia sudah melihat kedua lelaki yang kini sudah dewasa, duduk di hadapannya didampingi seorang sipir. Dahulu, ketika umur mereka masih kecil, di dalam kelas, Mbah Kukung sering kewalahan melerai keduanya yang suka bertengkar. Mengingat hal itu, Mbah Kukung tersenyum dengan wajah teduhnya. Tidak, dia tidak membenci siapa yang sudah dia didik. Dia harus mengubah kondisi keduanya yang terlanjur salah jalan.

Masih dingin. Meski senyuman Mbah Kukung di ruangan itu hangat. “Nak, bapak guru minta maaf, karena su gagal didik kalian jadi orang baik-baik.”

“Kami tra benci bapak guru, cuma kami ini benci sama ini negara,” ucap Pedo dengan nada emosi.

Bukan tanpa alasan, mereka berdua harus menyaksikan sendiri Papa dan Mama mereka tewas berlumuran darah secara misterius di rumah mereka yang lama ketika mereka berdua baru pulang dari menjaga kebun jagung sepanjang malam bergantian dengan warga lain.

Beberapa hari sebelumnya, berkali-kali pegawai tinggi dari salah satu tambang emas menyuruh mereka untuk pindah secepatnya dari rumah itu. Katanya, tempat pemukiman itu termasuk rumah mereka telah menjadi milik negara secara resmi dan akan dipakai untuk membangun hotel bagi para turis yang ingin melihat-lihat tanah tambang di daerah mereka itu. Semuanya pindah kecuali mereka. Semuanya takut dan khawatir akan ancaman orang-orang putih itu kecuali mereka. Ujungnya, Papa dan Mama, mereka berdua tewas dengan luka tembakan misterius di dalam rumah mereka. Mereka masih kecil. Tapi sudah lebih dari dewasa untuk merasakan kebencian.

Semenjak itulah, mereka benci segala hal yang berhubungan dengan negara. Di mata mereka, negaralah yang sudah mengusir mereka dari tanah tempat tinggal mereka yang juga menjadi oknum pembunuhan Papa dan Mama mereka.

Oleh karenanya, mereka memutuskan untuk bergabung dengan Kelompok Bersenjata Papua yang lebih mirip mafia. Mereka sering membuat onar dan keributan hanya demi memuluskan tujuan. Buntutnya, mereka gagal melaksanakan perintah untuk menyelesaikan misi untuk terbang pulau Jawa. Pedo dan Elias menjadi kambing hitam dari peristiwa berdarah pembunuhan warga sipil itu. Mereka divonis seumur hidup.

”Sudah Pedo, Elias, kalian jang lagi benci negara ini. Justru orang macam kita ini yang harus membangun negara.” Mbah Kukung tetap tersenyum, “kalian ada kenal ndak, siapa nama dokter yang kalian tembak?” Nada Mbah Kukung sedikit tercekat saat hendak menanyakan hal itu. Tiba-tiba meluncur begitu saja.

Pedo dan Elias menggeleng.

”Sungguh, komorang dua ini tra pantas sekali untuk benci kita pe negara. Dari kecil, kita punya hutang budi sama tanah dan air yang kita pakai dari negara. Kalo negara jadi khianat itu bukan karena de pe negara. Tapi sapa yang pimpin itu negara.

Sama kayak komorang dua. Pak guru juga tra ada benci komorang dua. Karena tau kalo Pak Guru yang dulu ajari komorang. Meski sekarang pernah bunuh orang, sa yakin komorang dua bisa baruba. Biarpun yang kalian bunuh itu juga sa punya istri, tapi sa yakin kalo sa pe istri lebih bahagia ketika liat komorang baruba jadi lebih baik.”

Waktu itu langit sangat mendung meski tidak ada rintik hujan ataupun gemuruh petir. Rintik dan gemuruhnya sekarang tengah terjadi di dalam hati Pedo, Elias, dan Mbah Kukung. Semenit kemudian, sipir yang mengawasi percakapan itu meminta agar tahanan segera kembali ke dalam selnya.

 

[1] Teras

[2] Ruang istirahat; bilik

[3] Ruang utama

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Mata Cekung Mbah Kukung
Nabil Jawad
Cerpen
Off The Record
Nazila
Cerpen
Sobari
Soerja HR Hezra
Cerpen
Bronze
04 Dia Tabib
Bima Kagumi
Cerpen
Bronze
Masakan Ibu
Noveria Retno Widyaningrum
Cerpen
Rindu Suara Azan
aksara_g.rain
Cerpen
Bronze
Pelajaran Menulis Cita-Cita
Nana Sastrawan
Cerpen
Neli, Sang Pembantu Bisu
Shabrina Farha Nisa
Cerpen
Bermain bola bersama teman di lapangan
Alfin Rifa'i
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Topeng Keindahan
Cicilia Oday
Cerpen
Jas Hujan Biru
aksara_g.rain
Cerpen
Sibuk sedang Beristirahat
zain zuha
Cerpen
Esensi Asasi Afeksi
Rairaa
Cerpen
Disowned
Normal Temperature
Rekomendasi
Cerpen
Mata Cekung Mbah Kukung
Nabil Jawad
Cerpen
Jangan Seperti Ibu
Nabil Jawad
Flash
Aurora di Petala Langit
Nabil Jawad
Cerpen
Pantang Untuk Mencintai
Nabil Jawad