Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Masih Perlu Usaha
0
Suka
144
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Selembar kertas berwarna putih tersodorkan di atas telapak tangan Raja. Anak itu menerimanya dengan hati deg-degan, dan bulir-bulir keringat yang membasahi keningnya. Hatinya sudah diliputi rasa cemas, dan matanya tak sabar melihat isi tulisan kertas tersebut.

“Oke, semua sudah terima? Silakan dibuka!” kata sang kepala sekolah, Bu Ami.

Semua anak membalikkan kertas tersebut dengan waswas dan komat-kamit mengucapkan dzikir. Tak lama kemudian, lapangan sekolah dipenuhi teriak kegembiraan dan tangis haru dari para siswa. Mereka saling berpelukan, berterima kasih kepada guru kelas, dan mengucap syukur.

Raja memandangi kertas itu. Tangannya tergerak untuk menjatuhkannya. Bukan air mata yang keluar kali ini, melainkan desah kekecewaan.

“Aku tidak lulus. Bagaimana dengan orangtuaku?” gumamnya setengah berbisik, karena takut ada teman yang mendengar dan menanyainya.

Raja melirik ke sekeliling. Teman-teman sekelasnya berkumpul di satu tempat. Mereka berpelukan satu sama lain, juga bersama wali kelas Raja, Bu Ida.

“Akhirnya kita lulus. Yeeeey!” teriak mereka sambil berusaha menampakkan tawa.

Raja berjongkok, mencengkeram kertas putihnya dengan hati yang sedih. Mengapa aku tidak lulus? pikirnya. Kenapa hanya aku yang berbeda tingkat sekolah ini?

“Oke, anak-anak. Tenang semua. Selamat atas kelulusan kalian, dan bersiaplah melangkah ke jenjang baru yang lebih tinggi!” Bu Ami berseru di mikrofonnya.

Buat apa mengucapkan itu ke aku, Bu? Aku, kan, tidak lulus.

Raja tersenyum pahit. Dia perlahan-lahan berdiri, mengusap keringat, dan menjauh dari kerumunan teman-temannya. Dia tidak peduli dengan acara pelepasan burung sebagai tanda lulusnya anak-anak, atau pelepasan balon ke udara, atau take video apa pun. Raja hanya ingin kembali ke kelas, lalu pulang.

***

“Kok, bisa kamu tidak lulus?” tanya ibunya ketika Raja memberikan kertas pernyataan kelulusannya.

 “Tidak tahu, Bu. Tapi yang jelas, Raja sudah berusaha maksimal. Sepertinya dunia tidak peduli lagi dengan Raja,” balas Raja sambil mengunyah makan siangnya.

“Jangan begitu, Raja. Guru-guru juga punya hak untuk tidak meluluskan siswa. Mereka mungkin melihat nilai-nilaimu tidak memenuhi syarat, makanya kamu tidak diluluskan,” kata sang ibu berusaha menyemangati. “Sudah, tidak apa-apa. Kamu ulang saja satu tahun lagi di SD. Belajarnya juga ditingkatkan, ya, Nak.”

Raja diam saja, dan dengan malas-malasan melahap makanannya. Ibunya duduk di depannya, menunggu piring kotor sambil melihat layar ponsel.

“Teman-temanmu tidak ada yang tahu?” tanya sang ibu.

“Bukan tidak tahu, Raja memang sengaja buat mereka tidak tahu. Sehabis pengumuman, ketika yang lain asyik mengucap selamat tinggal, Raja langsung balik ke kelas. Terus pulang,” tanggap Raja dengan lesu.

“Lho, berarti kamu tidak ikut acara pelepasan burung sama balon?”

“Buat apa juga ikut. Kan, Raja tidak lulus. Kata Bu Ami, bila tidak seratus persen lulus, maka ada burung yang tetap tinggal di kandang dan ada balon yang takkan dilepas. Daripada semua itu bikin Raja malu di tempat, lebih baik Raja langsung pulang.” 

Ibunya mendesah, tahu bahwa sang anak kecewa berat dengan tragedi ketidaklulusannya. Sang ibu bingung bagaimana harus menghiburnya. Raja tampak baru saja mengalami sesuatu yang lebih buruk dari ini. Dan tak ada obat penyembuhnya sampai Raja selesai mengulang satu tahun di SD.

Setelah makan siang, Raja mengurung diri di kamar. Membaca buku pelajarannya yang telah lampau dan nantinya harus diulang, rebahan di ranjang, menonton video di ponsel, lalu menatap ke jendela. Air matanya perlahan turun. Aku memang berpisah dengan teman-temanku, tapi aku takkan berpisah dengan sekolah ini, begitu pikirnya.

***

“Tidak lulus, ya, Dik?” ledek Nisa, kakak perempuannya.

Yang ditanyai tentu saja memilih diam daripada menjawab dan mempermalukan diri. Nisa sendiri tidak kapok-kapok meledeknya.

“Mau ulang pelajaran lagi?” cecar Nisa. “Tidak malu dilihat adik kelas yang naik?”

Raja hanya menatap buku matematikanya dengan perasaan kesal. Seharusnya kakaknya yang sudah SMP ini menaruh rasa kasihan pada dirinya, bukannya malah meledek.

“Sudahlah, Mbak, jangan ganggu aku. Aku maunya diam,” kata Raja akhirnya sambil mencubit paha sang kakak.

Nisa tersenyum jahil. Dia tahu persis sang adik kecewa dan putus asa. Dia hanya ingin menggenjot semangat adiknya, tapi tidak tahu caranya dan malah meleset jadi ejekan.

“Sudahlah, Dik, jangan cemberut terus. Memang, tidak lulus itu tidak enak, tetapi kita juga ketemu hal positifnya. Kita masih punya waktu untuk mengenang sekolah itu. Nanti kalau waktunya perpisahan, kamu menangis mau kembali ke situ. Kan, jadinya aneh. Benar, kan, anak ganteng?” Nisa menjawil dagu Raja.

Bukan itu yang kupikirkan, Mbak Nisa. Aku memang senang kembali ke sekolah itu. Tapi aku tidak kuat tahan malu di hadapan guru-guru. Mereka pasti punya pertanyaan seputar itu yang bikin risih!

Raja masih diam. Kata-kata hanya berbicara dalam benaknya. Sambil menatap tulisan-tulisan di buku, Raja berusaha memasang sikap tidak peduli, yang membuat Nisa semakin bingung.

“Ngng… mau brownies?” tanya Nisa sambil beranjak dari ranjang. “Aku tahu kamu ingin camilan. Aku… aku ambilkan, ya?”

Dengan mulut masih rapat, Raja mengangguk. Nisa pergi ke dapur dan mengambil sepiring brownies cokelat. Mereka berdua memakannya di lantai supaya tidak mengotori seprai. Potongan brownies dan choco chips-nya yang lumer di mulut membuat Raja perlahan-lahan tenang. Melupakan kertas putih yang membuatnya kecewa berat.

***

Esok harinya, Raja merasa enggan pergi ke sekolah. Dia tidak mau bertatap muka dengan teman-temannya. Dia tidak mau mengikuti acara latihan untuk persiapan hari perpisahan nanti.

Dia tidak ingin mengikuti acara perpisahan itu. Ibunya pasti dipergunjingkan karena tidak mengajari anaknya baik-baik. Dan lambat laun, teman-temannya pasti mengetahui tentang ketidaklulusannya. Raja bingung memilih satu per satu.

“Masuk sajalah. Hadapi semuanya dengan tenang. Toh, nanti kamu bakal berpisah dengan teman-temanmu, kan?” usul Nisa saat dimintai pendapat.

Tapi guru-guru pasti tahu aku karena hanya aku yang tidak lulus. Dan ketika mereka tahu, mereka bakal menjauhiku.

“Aku malas ketemu mereka-mereka itu. Baru masuk, langsung diejek,” tolak Raja.

“Daripada kamu dimarahi, lho. Masuk saja, tapi konsultasi ke Bu Ida. Tanya apa yang sebaiknya kamu lakukan. Bu Ida pasti punya jawabannya.” Nisa terus mendorong adiknya untuk tetap masuk sekolah.

Akhirnya, Raja mengalah. Dia mandi, memakai seragam, sarapan, dan membawa bekal. Naik angkot bersama sang kakak. Setiba di sekolah, Raja buru-buru bersembunyi di kelas yang masih sepi. Kepalanya dibenamkan di lekukan siku.

Saat teman-temannya berkumpul, Raja berusaha tidak mendekati mereka. Maksud dia adalah supaya temannya tidak bertanya-tanya tentang kelulusannya. Raja hanya duduk di kursi, membaca buku di pojok baca, dan bolak-balik memainkan game di ponselnya.

“Anak-anak, waktunya ke aula buat latihan. Ayo naik ke atas,” ajak Bu Ida.

Semuanya menghentikan aktivitas masing-masing dan menaiki tangga menuju aula. Raja duduk tenang saja di kursi, menunggu pertanyaan menyambutnya.

“Lho, Raja, kamu tidak ikut naik?” Bu Ida tiba-tiba bertanya.

Tuh, kan, benar dugaanku. “Ngng… saya, kan, tidak lulus, Bu,” tanggapnya dengan suara pelan.

“Terus memangnya kenapa?” Bu Ida terus menginterogasinya.

Raja menegakkan kepala, berbicara dengan percaya diri. “Di acara perpisahan nanti, kan, ada pengalungan kalung kelulusan dan penerimaan ijazah. Saya, kan, kemarin dinyatakan tidak lulus, lantas saya berpikir, buat apa ikut acara perpisahan kalau tidak lulus?”

Bu Ida tersenyum kecil, lalu menjawab, “Oh, begitu. Ya, sudah, tinggal di sini saja. Sambil menunggu, kamu boleh… baca-baca buku. Kamu, kan, harus mengulang pelajaran lagi, jadi harus lebih giat belajar.”

Raja mengangguk, kembali ke ponselnya. Bu Ida meninggalkannya setelah membereskan meja yang berantakan.

Raja sendirian di ruangan itu. Dia merasa sepi. Hatinya juga tidak betah berada di ruangan kosong ini sendiri. Dia ingin bergabung, berkumpul, bercanda, dan tertawa dengan teman-teman lainnya. Namun, pengumuman kemarin membuat dirinya terpaksa tidak bisa melakukan ini semua.

Setelah bosan membaca buku dan bermain game, Raja memandang ke sekeliling. Tangannya bergerak mengambil sapu, dan mulai membersihkan kelas. Raja tahu, ini hal yang terakhir dilakukannya untuk teman-temannya. Karena sebentar lagi, dia tentu tidak bisa bertemu mereka.

Setelah bersih-bersih, Raja kembali ke bangku. Rasa kantuk mulai menyerang. Raja tertidur, kepalanya tergeletak di atas meja.

***

“Ja, Raja, bangun!”

Suara itu membangunkan Raja dari tidur nyenyaknya. Dia mengangkat kepala, mengusap air liur di sudut bibirnya. Teman-temannya mengerumuninya.

“A-ada apa?” Raja bertanya.

“Kamu ketiduran, ya? Sudah waktunya pulang, lho. Kenapa kamu tidak ikut latihan?” tanya Jihan, seraya menepuk bahunya.

Raja menggigit bibirnya, lalu menjawab, “Tidak ada apa-apa. Lagian, kalian mau apa kumpul di sini?”

“Ada surat dari guru-guru, Ja. Kami tadi dititipi surat ini, minta diberikan pada Raja. Mereka minta kamu baca, Ja,” terang Lionel sambil memberikan sepucuk surat pada temannya.

Raja menerima surat itu. Dia menimang-nimangnya cukup lama, lalu menoleh pada teman-temannya. “Kalian pulang duluan saja, aku masih mau di sini. Baca surat. Nanti aku juga pulang, kok,” katanya.

Teman-temannya tampak kebingungan dengan sikap Raja yang berbeda akhir-akhir ini. Wajah mereka tampak menuntut penjelasan, tapi memutuskan untuk tidak menanyainya lebih lanjut. Takut membuat Raja tersinggung.

Setelah memastikan semua temannya sudah pergi, Raja membuka lipatan surat itu. Lalu, menyimak satu per satu hurufnya dengan teliti.

Raja,

Bu Ida serta bapak ibu guru lain minta maaf karena ketidaklulusanmu. Tapi kami punya alasan kuat: nilai-nilaimu tidak mencapai batas. Karena itulah kami terpaksa tidak meluluskanmu.

Tapi kami mengakui, usahamu dalam belajar cukup dalam. Kamu semangat sekali bertanya pada guru. Pak Ikhsan, guru agama, sampai senang dengan murid yang aktif seperti kamu. Bahkan meskipun nilaimu anjlok, kamu tetap berusaha untuk menghadapi semua itu dengan tegar.

Kami minta maaf karena tidak memberi bantuan supaya nilaimu bisa maksimal. Kami juga harus mematuhi aturan dinas. Jadi kesimpulannya, kamu boleh mengulang satu pelajaran di SD ini. Dan saat perpisahan nanti, kamu tetap akan dapat hadiah yang kami janjikan pada murid-murid kelas enam.

Kami juga tidak akan membahas macam-macam tentang kelulusanmu tahun ini. Kami semua berjanji. Dan kami harap, kamu mau mengulang pelajaranmu di SD dengan sukacita, semangat belajar yang lebih tinggi, dan kepala tegak.

Salam,

Bapak-ibu guru

Raja tersenyum. Melipat surat itu lagi dan menyelipkannya di saku. Dia memakai tas, menata meja, lalu mematikan semua peralatan elektronik di kelas ini. Baru setelah itu, Raja pergi ke luar kelas dan ketika berada di luar gerbang, Raja berteriak sekeras-kerasnya:

“TERIMA KASIH ATAS PENGERTIANNYA, BAPAK IBU GURU!”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
ISTRIKU
Embart nugroho
Cerpen
Gibah Syariah
Adine Indriani
Cerpen
Cahaya di Tengah Jalan Buntu
Hendra
Cerpen
Masih Perlu Usaha
Kiara Hanifa Anindya
Novel
Dandelion
Chika Andriyani
Skrip Film
DI BALIK LAYAR
Didiiswords
Flash
Bronze
Cerita-Cerita Bis Ibukota
Silvarani
Flash
Pangestri, Sebuah Anak Panah Dari Raga Yang Menari
Foggy FF
Novel
Paruh Waktu
Nurmala Manurung
Flash
Mati Lebih Baik
Fajar R
Novel
Our Dreams Together
Emma N.N
Komik
ChocoBerry
Alice
Komik
Americano
njoo
Skrip Film
Growth: Story of the Inner Child
Azkiatunnisa Rahma Fajriyati
Cerpen
Bronze
Tergiur Bunga
Kinanthi (Nanik W)
Rekomendasi
Cerpen
Masih Perlu Usaha
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Bronze
Bertemu Ajak di Thailand
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Ceroboh
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Back to My Childhood
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Daging yang Menitipkan Rasa
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Belanja
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Kejadian di Pasar
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Kebahagiaan untuk Ninik
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Bronze
Mengapa Kita Perlu Membantu Proses Penyerbukan?
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Bronze
Perjalanan Menukar Rasa
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Lagu Persahabatan
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Bronze
Trend
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Bronze
Aku Ingin Mudik, Tapi Tidak Bisa
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Bronze
Jalan yang Kamu Pilih Adalah Jalan Menuju Kebaikan
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Lawakan Geri
Kiara Hanifa Anindya