Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Saat Abdul, mahasiswa pasca sarjana itu mengatakan bahwa aku hanya pantas untuk diabaikan, air mataku langsung menetes. Itulah ucapan yang sebenarnya tentangku. Rupanya, cinta yang dia katakan hanyalah omong kosong.
Betapa bodohnya aku selama ini, percaya saja dengan mulut manisnya. Mengapa dia tega melakukan itu padaku? Atas dasar cinta yang dia bisikkan, begitu mudahnya aku tergoda. Hingga mahkota kebanggaan wanita pun terenggut tanpa paksaan.
Jika aku tak memiliki cinta untuknya, mungkin peristiwa itu tak akan terjadi. Sayangnya, aku jatuh cinta padanya. Senyumannya telah memikat hati. Saat dia meminta kasih sayang, tak ragu-ragu kuberikan.
Selanjutnya, dia selalu meminta melakukan perbuatan terlarang itu. Aku pun tak kuasa menolak ajakannya. Keindahan dan kenikmatan telah kami rasakan hingga lupa diri. Entah, cinta apa yang ada pada kami. Mungkinkah sebuah kegilaan? Secara, aku dan dia tetap beribadah dan tak lepas dari zikir. Beberapa kali kami salat berjamaah di kontrakannya.
Apakah Allah telah menutup hati kami? Hingga ibadah salat yang bisa mencegah perbuatan keji dan munkar tak mempan lagii. Sebab aku dan dia terlalu menikmati kedahsyatan cinta. Cinta berbalut nafsu tanpa kesucian.
Setelah beberapa kali melakukan perbuatan dosa, suatu hari aku menolak dengan satu alasan. Abdul mendadak pergi. Saat itu, kehancuran baru mulai terasa. Aku tak bisa menegakkan wajah lagi pada dunia. Rasa malu pun menghantuiku.
Hidupku porak-poranda, hancur lebur, dan luluh lantak. Menyesali keadaan tak akan mengubah utuhnya keperawanan. Sekali terkoyak, selamanya akan robek. Beruntungnya, aku tidak mengandung anaknya. Sungguh suatu ucapan ironis, mengapa hal itu suatu keberuntungan? Betapa besar dosaku. Mungkin bagaikan buih di lautan.
"Aku pergi. Jangan cari aku."
Itulah kata terakhir dari Abdul, pacarku yang telah mengambil semuanya. Meskipun aku memohon padanya agar tetap tinggal dan bersamaku, tetapi dia tak menghiraukan sama sekali.
"Kamu, hanya pantas untuk diabaikan," ucapnya lagi saat kutahan lengannya.
"Abdul! Tega, kamu, ya! Aku sudah habis-habisan! Kamu kejam!"
Cinta dan kesenangan seketika berubah menjadi benci dan amarah. Abdul berlalu meninggalkanku. Langkahnya sangat mantap. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Belas kasihan pada gadis yang dicintainya tak ada lagi.
"Jangan ikuti aku! Kamu tidak hamil, 'kan?"
"Tapi, aku sudah memberikan semua, Abdul ...."
"Salah sendiri! Makanya, jadi perempuan jangan murahan! Baru dibilang 'I love you' sudah kelepek-kelepek!" ucap Abdul sambil menyeringai.
Kini, tinggal aku sendiri yang meratapi nasib. Kekasih pergi, calon suami sirna, keperawanan pun hilang. Tak ada sesuatu lagi yang berharga dariku. Bagaikan sampah, aku dibuang oleh Abdul.
Pemuda berjanggut tipis itu meninggalkanku. Dia pulang ke negaranya. Janji akan membawaku serta ternyata bohong belaka. Jika imanku sudah tipis, rasanya pembuluh nadi di pergelangan tangan ini sudah tergores.
Selama beberapa bulan aku menghindari pertemuan dengan teman-teman. Rasanya malu dan tak pantas bergaul dengan mereka. Berkali-kali mandi dengan sabun terwangi pun tak membuat tubuh menjadi bersih. Bayangan Abdul saat itu begitu melekat. Bagaimana caranya mempersembahkan kesucian pada suamiku kelak, jika diri ini sudah berbuat keji. Air mata pun selalu menetes ketika teringat masa laluku.
Aku menyesali perbuatan terlarang itu. Perbuatan dosa yang pernah terjadi bersama Abdul. Aku bertaubat dengan sisa-sisa asa yang ada. Seorang teman kudatangi agar membantu dan mengajari bertaubat nasuha. Dia membimbing dan menunjukkan tata caranya dengan penuh perhatian.
Selain itu, aku menyibukkan diri dengan bekerja. Kebetulan ada promosi jabatan di luar negeri. Tak ada salahnya menerima tawaran promosi di perusahaan tempatku bekerja demi melupakan Abdul. Mantan kekasih yang telah menghancurkan impian.
Usai berpamitan dengan kedua orang tua dan adik-adik, aku berangkat ke luar negeri. Hidup di negara orang rupanya tak mudah. Makanan yang dikonsumsi harus dipilih-pilih. Tak semua makanan siap saji dapat dinikmati. Selama dua tahun di luar negeri, aku lebih sering memasak agar makanan terjamin kehalalannya. Amalan itu yang masih bisa kujaga, dengan harapan Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun memberi hujan ampunan atas dosa-dosa yang telah lalu.
Teman dari negara sakura pun mulai banyak. Dua di antara mereka ada yang menaruh hati padaku. Sayangnya, kami berbeda keyakinan. Aku tak menerima cintanya. Lagi pula, bayangan Abdul justru tak pernah bisa lepas dari ingatan.
Setelah dua tahun bekerja di negara matahar terbit tersebut, aku kembali ke tanah air. Ayah, Ibu, dan adik-adik berrencana akan menjemput di bandara. Merekalah, satu-satunya alasan agar aku segera bangkit dari kepedihan cinta. Mereka hanya tahu, aku gadis alim yang kini berhijab dan bercadar.
Pesawat yang take off dari bandara Haneda pun landing di Bandara Soekarno Hatta. Tas besar kuambil setelah lolos pemeriksaan. Aku segera keluar dan menuju ruang penjemputan.
"Assalamualaikum, Habibati."
Salam dari seseorang yang suaranya sangat familiar terdengar begitu dekat. Aku menoleh ke kanan. Ternyata ada seorang lelaki berpakaian gamis ala negeri matahari terbenam. Dia membawa setangkai mawar di tangan. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Kututup mulut ini, mata pun seperti berkaca-kaca. Rasanya seluruh persendian lemas. Aku terduduk di dekat dorongan tas bandara.
Pemuda itu serta merta berlari dan langsung menbantuku berdiri. Air mata mulai menetes, begitu kuperoleh kekuatan lagi untuk menegakkan kaki.
"Abdul!"
"Yes, it is me. Will you marry me?" ucap Abdul.
Sementara itu di dekat kami sudah ada Ayah, Ibu, dan adik-adikku. Rupanya mereka datang ke bandara bersama Abdul.
Ketika aku memikirkan bagaimana Abdul bisa bersama keluargaku, pemuda itu berbicara sambil menatapku.
"Kamu belum jawab, Habibati."
Kupandang wajahnya. Bibir tebal, alis hitam, dengan mata yang menatap tajam seketika menggetarkan dada.
"Kamu adalah cintaku," jawabku hampir berbisik.
Ucapan hamdalah pun terdengar serempak dari mulut Ayah, Ibu, dan adik.
"Akan kutebus dosaku padamu. Semoga Allah mengampuni kita," tegas Abdul.
Hari itu, saat sampai di rumah, penghulu sudah siap beserta para saksi. Tanpa berganti pakaian layaknya pengantin, Abdul sudah tak sabar mengajakku duduk di pelaminan. Suara "sah-sah" pun menggema di ruangan. Cintaku kini tak jadi layu. Ternyata perpisahan adalah pertemuan yang menyatukan dua hati.
"Mengapa kamu pergi saat itu? Meninggalkanku sendiri. Aku hampir kehilangan akal sehat jika imanku tercerabut."
"Aku pergi ... karena ingin taubat. Saat bersamamu, aku kehilangan jati diri."
"Abdul, kamu adalah pemimpin yang dirindukan setiap wanita, terutama aku. Tak jarang laki-laki pergi begitu saja setelah puas mendapatkan yang diinginkan. Kalau kamu, lihat, berani mengakui kesalahan, menyadari kekeliruan, lalu menebus semua dosa dengan menikahiku. Aku bahagia menikah denganmu, Abdul."
Kudekatkan tangan ke wajahnya dan merapikan rambut ikal yang bergeser ke dahi. Serayu memainkan helaiannya dari jendela yang terbuka. Malam itu, kami berharap mendapat pahala sebanyak-banyaknya dan memohon dosa kami terampuni dalam luapan cinta yang suci.
"Kamu hanya pantas diabaikan oleh laki-laki selain suamimu," bisik Abdul di telinga kananku.
Malam begitu sunyi. Namun, berbalik kondisinya dengan hatiku. Genderang cinta mulai bertalu-talu menyuguhkan kenikmatan cinta.
Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (An-Nur: 26).
Semoga dosa-dosa kami luruh dalam dekapan cinta.
Tamat
Jakarta, 18 April 2022