Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Masculine Woman
1
Suka
1,551
Dibaca

Yanti mengeluarkan sebatang rokok dari dalam tas kumalnya seraya menunggu sosok Johan yang belum selesai juga kelas malamnya. Ia mencari pemantik api dan mulai menyulut ujung rokoknya, perlahan ia nikmati asap tembakau itu dalam kedua paru-parunya. Cuaca menjadi agak dingin karena baru saja hujan deras. Yanti merapatkan kemejanya dan duduk bersandar pada tiang lorong. Kampus begitu sepi tetapi inilah yang ia sukai selain udara dingin sehabis hujan. Damai. Tapi rasanya tidak akan pas tanpa secangkir kopi dari angkringan Mbok Jum. Biar tidak dianggap gila ia mulai menyetel lagu-lagu rock jadul 90’an yang sendu tetapi bikin semangat.

“Kuterima suratmu, dan kubaca, dan aku mengerti …”

Yanti menyanyikan lagu-lagu tersebut tanpa ragu, bermodalkan percaya diri karena ia juga mantan vokalis band kampus. Band-nya sendiri sudah bubar sebulan lalu karena tidak ada yang mau datang latihan. Perempuan berambut panjang itu menatap lampu lorong yang dikelilingi laron-laron, ia hembuskan asap rokoknya ke udara untuk mengganggu hewan bersayap tersebut karena bosan. Suasana ini mengingatkannya akan kukutnya studio mereka. Saat itu habis hujan juga dan Yanti yang sendirian jadi bosan juga kelelahan karena mengangkat peralatan band keluar dari kamar yang ia sewa. Perempuan itu lagi-lagi belum bosan mengganggu laron-laron itu.

Andai ia jadi laron, pikirnya. Tapi ia tidak akan terlalu banyak bisa berbuat dengan waktu sesingkat itu. Sayangnya ia jadi ingat satu hal, sepanjang hidupnya yang lebih lama daripada laron ia juga tidak pernah berbuat banyak. Lagi-lagi Yanti hanya bisa terdiam, betapa ia mulai iri pada mereka. Lahir, jadi larva, terbang, kawin, dan mati. Tidak ada tuntutan masyarakat seperti yang ia alami. Laron kawin tapi tidak perlu tata cara mengikat pasangan dengan segala tuntutannya. Yanti berpikir kalau mungkin saja laron itu jadi manusia mereka akan kaget dan meminta dikembalikan pada wujud asalnya. Kaget kalau tahu manusia memang seruwet itu.

Ndes, ngapain ngelamun? Awas kesambet.”

Yanti tertawa kecil mendengar suara Johan di belakangnya. Tidak perlu menoleh untuk mencari tahu, pasalnya Yanti sudah terbiasa membedakannya di antara ratusan ribu suara yang pernah ia dengar. Laki-laki tersebut menggandeng tangan Yanti tanpa basa-basi lalu mengajaknya menyusuri lorong gelap fakultas agama. Johan melepas peci putih itu dan memasukannya ke dalam tas selempang miliknya.

“Gimana rasanya jadi mahasiswa akhir teologi?” Tanya Yanti tanpa basa-basi.

“Jangan bahas itu deh!”

Yanti tertawa mendengar ocehan Johan. Hari ini Johan telah terjebak di perpustakaan cukup lama untuk menyelesaikan penelitiannya. Tak berapa lama berjalan mereka sudah sampai di parkiran, keduanya berada di atas motor masing-masing dan berpisah di sana karena kos mereka berbeda arah. Yanti dengan santai mulai menyalakan motor setelah rokoknya habis dan pergi dari sana. Ia tak perlu kawatir akan serangan klitih, lagipula klitih bakalan sungkem begitu melihat wajah Yanti, pikirnya. Jalanan terasa lebih dingin dibanding lorong setengah gelap tadi. Yanti jadi menyesal hanya memakai kemeja tipis, tapi ia mengabaikan saja dan berfokus ke jalanan.

Di antara pengendara dan jalanan, Yanti jadi teringat akan laron-laron tadi. Pikiran itu masih menghantuinya. Tanpa sadar ia berjalan dan tidak menyadari ada lubang besar di depannya, sekali gajluk Yanti langsung terkejut. Nyaris saja ia jatuh. Tapi makin lama berjalan Yanti merasa ada yang tidak beres, motornya terasa turun dan berbunyi. Perempuan berkacamaata kotak tersebut melirik ke belakang dan benar saja ia melihat bannya kempes. Ia mendesah pelan dan tetap menjalankan motornya untuk mencari bengkel. Tiba-tiba matannya menangkap plang warna kuning bertuliskan nama tempat tambal ban yang begitu familiar. Tanpa basa-basi ia langsung memutar setirnya ke seberang jalan.

“Yan.” Sapa Yanti pada sosok berbaju biru dekil yang hendak menutup pintu.

Mendengar seseorang memanggilnya, Yanto menoleh ke belakang dan melihat sosok perempuan berkemeja kotak-kotak tersebut. Ia tersenyum padanya, “Kenapa, Yan?”

“Bocor.”

“Oke.”

Yanto mempersilahkan Yanti untuk duduk di bangku panjang sementara ia sendiri menuntun motor astrea tersebut ke dalam. Dinyalakannya lampu kembali dan segera ia mengeluarkan peralatan bengkelnya. Sambil duduk dan memeriksa ban Yanto mengajak Yanti bicara, “Habis dari mana?”

“Kampusnya Johan.” Kata Yanti singkat, ia kembali mengeluarkan sebatang rokok dan menghisapnya.

Yanto tertawa kecil, “Udah jadi mantan masih aja ke sana, belum move on, ta?”

“Nggak.” Yanti menghembuskan asap rokoknya ke udara, “Bosan aja.”

“Terserahmu lah, Yan.”

Setelah itu mereka terdiam satu sama lain, hanya suara dari motor yang sedang diperbaiki dan pengendara jalan yang sekali-sekali lewat. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana sunyi sekali.

“Kabar si Reni gimana?” Tanya Yanti membuka pembicaraan kembali.

“Alhamdulillah baik, sekarang lagi mengandung anak ke dua.”

Yanti tersenyum cerah, “Oh? Si Sekar mau punya adek nih ceritanya?”

“Iya, masih jalan dua bulan.”

Yanti bersyukur melihat perubahan Yanto yang dulunya begundal jadi lebih baik, pastilah istrinya di rumah begitu keras mengubahnya, pikir Yanti. Sementara mereka asyik bersendau gurau tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Untungnya kanopi bengkel ini begitu luas sehingga mereka selamat dari guyuran air. Tak lama kemudian Yanto berdiri dan membereskan peralatannya ke dalam. Motor Yanti ternyara sudah selesai.

“Berapa?” Tanya Yanti.

“Halah nggak usah dipikir, buat kali ini aja.”

“Oke, makasih, Yan.”

Yanto tersenyum, “Sama-sama juga, Yan.”

Lelaki berkaos dekil tersebut duduk di bangku panjang yang sama di sisi lainnya, tangan dekilnya meraba ponsel dan berkata akan pulang telat pada istrinya karena hujan deras.

“Asem, kalau sampai dia tahu di sini ada dirimu bisa mampus.” Kata Yanto sambil menghela napas panjang sengaja berbohong pada Reni.

“Wah, jangan bawa-bawa diriku lah, semprul! Aku pulang aja kalau gitu!”

“Emang mau hujan-hujanan? Nggak takut basah?”

Yanti sejenak mengingat kalau dia sedang membawa laptop di tasnya, ia pun duduk kembali di kursi panjang.

“Lagian aku ini penasaran soal si Johan.” Yanto memainkan sebatang rokok dengan jarinya ditambah mukanya begitu serius, “Aku ada kopi di dalam, mau nggak?”

“Yaudah, kopi susu aja.”

Yanto melangkah kembali ke dalam meninggalkan perempuan berambut panjang tersebut di sana. Yanti terus menatap hujan yang makin deras saja. Ia berpikir lucu sekali dapat terjebak di sini, sendirian pula, dan mengapa bannya harus bocor pula? Mengapa bisa-bisanya ia menemukan tempat ini? Pikiran Yanti kalut. Ia tak sanggup bicara tentang Johan pada mantan yang ia tinggalkan demi dirinya, Yanto Komarudin. Tak lama kemudian keluarlah sosok berbaju dekil itu dengan wajahnya yang culun seperti biasa. Yanto membawa dua gelas kopi di tangannya, satu untuknya dan satu untuk Yanti. Mereka kembali berbasa-basi, tetapi muncul sebuah ide jahil di kepala Yanti.

“Yan, bisa nggak buat malam ini dirimu kupanggil Yang aja?” Celetuk Yanti tanpa diduga.

Yanto menatap Yanti dengan wajah luar biasa kaget, sejenak seolah-olah mereka kembali pada beberapa tahun sebelumnya.

Siang-siang terik di bawah rindangnya pohon lapangan voli SMP Sawah Ijo terdapatlah dua muda-mudi yang sedang duduk berteduh. Hari itu baru saja diadakan pertandingan voli antar kelas. Di antara ramainya warga sekolah keduanya duduk di sana tanpa seorang pun menyadari bahwa mereka sudah resmi pacaran sejak beberapa hari lalu. Mereka tidak bermesraan, tidak pula mengobrol asik, Yanti hanya bersandar sementara Yanto telentang di atas rerumputan. Yanti si gadis tomboy itu tidak seperti kawan sekelasnya yang memang cantik, garis mukanya yang tegas ditambah rambut nyaris cepak membuat Yanto merasa sedang berpacaran dengan teman lelakinya. Namun, ia tidak tahu mengapa dirinya begitu tertarik dengan Yanti. Tiada obrolan pasti selama mereka di sana. Yanti sibuk memandangi lapangan yang kosong sambil meminum es teh cekek.

“Hei, boleh gabung nggak?” Seorang gadis berambut panjang diikat tinggi datang dan duduk berselonjor di tempat antara jarak yang mereka ciptakan.

Yanto lantas mengangkat lengan yang sedari tadi ia gunakan untuk menutupi matanya demi melihat sosok yang mengacaukan kencannya ini. Matanya menangkap siluet teman sekelasnya, Reni, sedang duduk di antara mereka. Ia melirik pada Yanti yang seolah tak peduli dengan kehadiran Reni di antara mereka.

“Kalian emang hobi mojok gini ya?” Tanya Reni dengan muka penasaran sambil menoleh pada Yanti.

Dengan ekspresi santai gadis berambut cepak tersebut membalas, “Tu, Yanto yang hobinya ngikut aku, biar ketularan jadi pemain voli hebat juga makanya dia dekat-dekat.”

“Dih! Aku sudah hebat dari dulu ya!” Balas Yanto tak kalah sengit.

Yanti tertawa renyah mendengar balasan tersebut, Reni juga ikut tertawa. Obrolan yang semula tak ada menjadi penuh ketika Reni hadir. Gadis itu memang suka bicara dengan siapa pun, seakan-akan mulutnya tak habis tenaga, ia yang terus mengoceh sementara keduanya diam mendengarkan. Tiada yang tak betah berlama-lama bersama gadis secantik Reni, termasuk mereka berdua.

“Tadi aku beneran penasaran lho, kalian itu akrab banget, bisa-bisanya kamu Yan betah sama orang pendiam kayak dia.”

“Yan yang mana?” Mereka bertanya nyaris bersamaan.

Reni tertawa lagi, “Ih, bisa barengan gitu ya, maksudku itu si Yanti, bisa betah banget sama kamu Yan, eh, Yanto. Jodoh banget deh bisa Yanti dan Yanto gitu.”

Yanti meringis, “Sialan banget.”

“Kok sialan?” Yanto bangkit dari telentangnya.

“Udah-udah, sori.” Kata Reni sambil menengahi.

Bersamaan dengan Reni yang pergi dari sana bel sekolah berbunyi lagi dan tandanya pertandingan akan dimulai kembali. Yanti segera berdiri tanpa sepatah kata lalu berjalan menuju gerombolan tim voli putri. Dalam sekejap jantung Yanto mau copot, ia kira Yanti akan marah tapi gadis itu asik melenggang tanpa peduli pada dirinya.

"Bagaimana?" Tanya Yanti yang menyadarkan Yanto yang terdiam sambil memegang kopinya di tengah suara guyuran hujan.

Mendengar kalimat Yanti barusan Yanto pun menyeruput kopinya perlahan, lalu ia tatap mata Yanti dengan dalam dan berkata, “Check in yuk.”

Asu.”

Yanto tersenyum geli, “Makanya jangan sok mancing bego!”

Yanti tertawa kencang.

"Kamu mau aku cerai, ya?"

Perempuan berambut panjang berantakan tersebut pura-pura tak peduli padanya. Yanto menghela napas panjang, udara dingin kota Jogja mulai membuatnya merinding, di tambah kehadiran Yanti di sini makin merinding pula dirinya. Sudah lima tahun lalu ia tak bicara intim dengan Yanti begini. Namun, entah takdir Tuhan yang terlalu lucu sehingga mereka harus terjebak berdua lagi. Kali ini berbeda, mereka bukan merajut cinta kembali tetapi pertemuan dan pembicaraan ini masih dibilang sangat mesra. Di tengah hujan, kopi, rokok, dan peralatan bengkel, mereka tak sanggup menolak takdir ini.

Telinga Yanto kembali mendengarkan curhatan-curhatan Yanti dengan khidmat. Lagi-lagi soal si Johan, Yanto nyaris malas untuk mendengar nama itu, tetapi Yanti tetap menceritakannnya dengan berbunga-bunga. Lelaki playboy tersebut menarik hati Yanti yang terkenal tak bisa bermanja dengan lelaki, termasuk dirinya. Meski kesal tapi Yanto masih penasaran tentang daya tarik Johan yang dari fisiknya saja tak seberapa. Istrinya, Reni juga mengetahui siapa itu Johan dan menilai Johan tak cukup ganteng untuk standarnya, namun tak habis pikir mengapa Yanti tak dapat lepas dengannya. Sama, Yanto juga tak habis pikir mengapa bisa tertarik pada Yanti yang begini keadaannya.

“Dia jadi editor foto-fotoku, sekarang aku lagi bujuk dia buat nerbitin beberapa fotoku di koran, satu kali pun dia masih nggak mau nerima fotoku, gimana dong?” Tanya Yanti.

“Aku kan bukan wartawan, aku nggak tahu seperti apa kerjaanmu itu.” Jawab Yanto sekenanya, “Tapi kalau sampai dia berbuat kayak gitu kamu nggak mau keluar dari sana?”

“Rumit bos situasinya.”

Yanto kembali menyeruput kopinya, “Yang bikin rumit itu dirimu, Yan, udah tahu Johan begitu masih juga malas lepas.”

“Kuat peletnya.”

“Pelet? Tak kirain kamu nggak percaya yang begituan.”

Yanti menghela napas, “Namanya juga mencairkan suasana.”

“Alasan. Yan… Yan.., mau sampai kapan hubunganmu yang nggak jelas itu sama dia selesai? Aku tahu dirimu paling nggak suka dinasihati. Tapi aku nggak sedang nasihatin soal gaya hidupmu itu, cuma sebagai sahabat aku nggak mau kamu sampai digituin.” Lelaki berkaos kumal itu duduk mengangkat kakinya ke atas bangku, “Aku sudah berkeluarga, Yan, yang pasti-pasti seperti diriku saja juga isinya keruwetan, tapi lebih jelas penyelesaiannya. Kalau kamu tidak segera ambil pilihan yang ada kamu malah menghancurkan diri sendiri.”

Yanti terdiam mendengarkan nasihat dari Yanto, baru kali itu ia tidak membantah, seperti dirinya telah bertemu pertapa bijak saat di tersesat di Hutan Lali Jiwo. Pulang, katanya. Tidak ada lagi yang harus dicari. Yanti sendiri melihat sosok Johan bukan seseorang yang istimewa sebenarnya, hanya saja ia kembali terbius dan terbius sosoknya itu. Mungkin benar candaan sebelumnya, ia kena pelet. Tapi Yanti terus saja menepis, Tuhan saja tidak begitu ia kenal dan percaya apalagi jin, setan, iblis, dan malaikat. Secara logika ia tidak merasa dipelet atau dipergunakan.

“Ruwet, Yan.” Kata Yanto, “Aku cuma bisa ngomong segitu saja, sisanya tinggal kamu eksekusi.”

Yanti tertawa kecil, “Sori, Yan.”

“Begitulah, nyatanya kamu memang lebih ruwet dari kata ‘terserah’-nya si Reni.”

“Asu!” Yanti tertawa terbahak-bahak.

Bersamaan dengan habisnya kopi di kedua gelas, entah mengapa hujan jadi ikutan mereda. Yanti berdiri dan berpamitan pada Yanto, ia menyalakan motor astreanya kembali dan pergi membelah gerimis tanpa memakai jas hujan. Percakapan tadi rupanya masih belum dapat menamparnya dari kenyataan tentang Johan, hubungan tanpa status mereka, dan tentu saja pekerjaannya. Di sisi lain Yanto segera menutup bengkelnya tanpa sepatah kata. Ia tak mau memikirkan keruwetan isi kepala Yanti seperti dulu, perempuan cerdas itu memang pikirannya lebih susah dimengerti.

Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Milan
Bentang Pustaka
Novel
Shan and Ri
Nisa Nuraeni
Cerpen
Masculine Woman
Noer Eka
Novel
Bronze
ME & MR.PRESIDENT
Fissilmi Hamida
Novel
The Innocent of Us
Lenny
Novel
Bronze
Farel
Vania
Novel
Kutemukan Cinta Di Gerbong Kereta
yhantlies92
Flash
MENUNGGU DI BANDARA EL-TARI
DENI WIJAYA
Cerpen
The Lost Boy
Rama Sudeta A
Novel
Anae
Luminous Lia
Cerpen
Cintaku Di Kampus Biru '97
DENI WIJAYA
Cerpen
Bronze
Payung Yang Kita Bagi Saat Hujan
Bumi Bercerita
Novel
Milch
Desi Puspitasari
Cerpen
Bronze
Keputusan
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Gadis dari Galaksi Lain
Nuel Lubis
Rekomendasi
Cerpen
Masculine Woman
Noer Eka
Cerpen
Thalasophobia
Noer Eka
Cerpen
Kisah Pembunuh Berantai
Noer Eka
Flash
Mysterious Email
Noer Eka
Cerpen
Beruntungnya
Noer Eka
Cerpen
Kursi Pojok
Noer Eka
Cerpen
Tentara Yang Sendirian
Noer Eka
Cerpen
Tragedi Berak
Noer Eka
Cerpen
LARI!
Noer Eka
Flash
Two Killers
Noer Eka
Flash
Karena Aku Bosan
Noer Eka
Cerpen
Telepon Iseng!
Noer Eka
Cerpen
Dalam Tidur
Noer Eka
Flash
Hantu Kesepian
Noer Eka
Cerpen
Penguasa Lautan
Noer Eka