Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Masalah Seporsi Nasi, Konflik Sepuluh Negara
0
Suka
63
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi itu aku bangun dengan tekad mulia: makan nasi padang yang selama ini cuma bisa aku lihat di feed Instagram teman-teman. Bukan nasi biasa, tapi seporsi nasi padang lengkap dengan rendang yang katanya sih bikin lidah ketagihan. Sayangnya, tekad mulia itu langsung diuji oleh kenyataan pahit: dompetku cuma tinggal cukup untuk satu porsi nasi dan segelas teh manis.

Setibanya di warung langganan, aku sudah membayangkan lezatnya rendang yang meleleh di mulut, sambal hijau yang pedas menggigit, dan kuah gulai yang kaya rasa. Tapi siapa sangka, hanya seporsi nasi saja bisa jadi awal dari sebuah drama internasional yang rival rivalnya bisa bikin PBB ikut campur.

Aku minta seporsi nasi, tapi si penjual salah kirim piring. Alih-alih rendang, yang datang cuma sayur nangka. Dengan santai aku protes, tapi penjualnya bilang, "Maaf, Pak, hari ini rendangnya habis." Mendengar itu, aku yang dari tadi udah ngidam berat jadi kayak dikeluarkan dari zona nyaman.

Dalam kepala aku, konflik mulai terbentuk. Ini bukan sekadar nasi yang salah, ini adalah serangan langsung ke jantung perjuangan rakyat yang ngidam rendang. Bayangin saja, negara tetangga di timur tiba-tiba ngirim pasukan cuma gara-gara rebutan rendang ini!

Aku coba cari solusi lain: pesan sayur nangka sambil berharap rendang akan segera datang. Tapi tiba-tiba, dua orang di meja sebelah mulai ribut soal harga sambal. Mereka teriak-teriak kayak lagi debat PBB, soal apakah sambal harusnya gratis atau bayar tambahan. Aku cuma diam, tapi di kepalaku sudah mulai tergambar sidang internasional yang membahas soal sambal ini.

Sementara itu, ada seorang bapak tua di pojok warung yang ngeluh soal pelayanan yang lambat. Dia mulai menyuarakan protes seolah-olah dia adalah juru runding perdamaian dunia, berusaha meredam konflik yang mulai meletus di antara pelanggan.

Aku pikir, kalau begini terus, warung nasi padang ini akan jadi medan perang internasional dengan aku sebagai saksi mata utama. Seporsi nasi yang awalnya cuma urusan perut, berubah jadi drama politik berdarah-darah.

Tiba-tiba, datanglah seorang ibu-ibu dengan tumpukan piring kosong di tangan. Dia mulai menumpahkan curhatnya tentang harga yang naik, kualitas yang menurun, sambil sesekali membandingkan dengan warung sebelah yang katanya lebih ramah. Aku jadi ingat, ini kayak kritik dari negara-negara kecil yang merasa tersisih di panggung dunia.

Aku cuma bisa duduk sambil menghela napas, berharap nasiku segera datang dan masalah ini cepat selesai. Tapi malah aku ketawa sendiri membayangkan kalau di dunia ini, seporsi nasi bisa jadi sumber konflik internasional yang kompleks dan penuh intrik.

Setelah drama sambal dan sayur nangka itu, akhirnya aku dapat kabar buruk lagi: teh manisku habis. Aku cuma pesen segelas, tapi entah kenapa teko teh di warung itu kayak habis tersedot oleh sebuah lubang hitam. Aku tanya ke penjual, katanya “Teh habis, Pak.” Aku langsung mikir, ini bukan sekadar habis, ini sabotase sistematis buat melemahkan semangat pelanggan.

Aku pun mulai lihat-lihat sekitar. Ada bocah kecil yang lagi berantem sama kakaknya soal jatah kerupuk, kayak lagi perang saudara di timur tengah versi mini. Sementara itu, sekelompok ibu-ibu ngobrol serius soal drama sinetron terbaru, suara mereka jadi latar musik perang yang makin bikin aku bingung. Semua hal ini bikin aku merasa kayak duta besar yang dikirim ke zona perang, tapi cuma dengan modal dompet pas-pasan.

Tiba-tiba, piring nasiku datang! Tapi… isinya cuma nasi putih dan sambal. Eh, mana rendangnya? Penjualnya bilang, “Ini lagi, Pak, habis.” Aku hampir pingsan. Di kepala aku sudah tergambar konferensi darurat di PBB, bahas krisis rendang yang bikin guncang geopolitik.

Aku coba makan sambil mikir, gimana kalau ini ternyata bagian dari konspirasi besar? Mungkin ada lobby dapur yang ngatur siapa yang boleh makan rendang hari ini dan siapa yang harus puasa. Aku sampai pengen jadi whistleblower soal rendang ini!

Lagi asyik mikir, tiba-tiba meja di sebelah aku rusuh. Dua pria mulai debat soal siapa yang bener-bener pantas dapat potongan rendang terakhir di meja mereka. Suaranya makin keras, sampai ada yang mulai teriak-teriak kayak pemimpin oposisi. Aku pasang kacamata hitam, berusaha tetap cool sambil mikir, ini perang saudara versi kuliner.

Ketika aku lagi santai ngunyah sambal, tiba-tiba si bapak tua yang tadi berdiri sambil teriak, “Kita harus damai! Semua demi rasa!” Dia coba mediasi kayak diplomat PBB, tapi yang terjadi malah jadi lebih ramai. Aku mulai mikir, mungkin warung nasi padang ini adalah miniatur dunia yang sesungguhnya.

Selesai makan, aku berdiri dan siap bayar. Tiba-tiba ada anak muda datang dan bilang, “Eh, harga naik lagi nih, kemarin masih 20 ribu, sekarang 25 ribu.” Aku cuma geleng kepala. Ini kayak krisis ekonomi global yang terjadi di meja makan.

Aku keluar warung sambil mikir, hidup ini memang kayak seporsi nasi yang kadang salah piring, kadang salah sambal, tapi tetap harus dinikmati. Dan aku? Aku cuma pengen makan, tanpa harus jadi diplomat atau pejuang rasa.

Keluar dari warung, aku jalan pelan sambil mikir, kenapa hidup ini penuh drama cuma gara-gara seporsi nasi? Tapi eh, perjalanan aku belum selesai, karena tiba-tiba hujan turun tanpa ampun.

Aku keburu basah kuyup, dan seketika aku merasa ini kayak drama survival di hutan Amazon—beda cuma di sini bukan ular berbisa, tapi ojek online yang tiba-tiba minta tarif dua kali lipat karena macet.

Aku buka aplikasi ojek online, berharap dapat driver yang ramah. Tapi apa daya, yang muncul malah abang ojek yang ngomongnya cepat banget kayak komentator pertandingan bola. Dia tanya, “Pak, mau kemana? Jalan macet nih, bisa 45 menit baru sampai.” Aku cuma jawab singkat, “Ke kos, Bang.”

Tapi abang ojeknya mulai cerita, “Ini tuh udah kayak perang dunia tiga, Pak. Jalanan macet, orang saling klakson, bahkan ada yang sampai keluar mobil bawa panci, mau demo.”

Aku cuma bisa ketawa kecil, mikir dalam hati, “Ini bener-bener negara api menyerang versi Jakarta.”

Di tengah perjalanan, aku lihat sekelompok pengendara motor berebut jalan, saling salip, dan saling kode pake lampu sein. Aku pikir, ini bukan cuma balapan motor, tapi turnamen balap internasional tingkat dewa.

Sampai-sampai aku ngumpet di belakang truk sambil berharap jangan ada yang tabrakan.

Sesampainya di kos, aku basah dan bau keringat. Aku buka pintu kamar dan lihat... tanaman hias aku mati.

Aku ngerasa kayak gagal jadi presiden negara kecil yang baru diambil alih kekuatan asing.

Aku duduk, ngelus kepala, dan mikir, “Besok makan apa ya?”

Tapi jangan salah, drama hidupku masih berlanjut.

Tiba-tiba hpku bunyi, ada chat dari teman lama yang ngajak nonton film horor.

Aku langsung jawab, “Ngapain nonton horor, mending nonton drama nasi padang aja. Itu jauh lebih menegangkan.”

Temanku cuma balas, “Wkwk, Apa sihh kauu..”

Aku tutup hp sambil ketawa sendiri.

Karena di dunia yang penuh masalah ini, kadang yang kita butuhin cuma seporsi nasi dan sedikit humor buat bertahan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Masalah Seporsi Nasi, Konflik Sepuluh Negara
muhammad rio al fauzan
Cerpen
Bronze
Peduli Upil
Hekto Kopter
Flash
KUE 1.. 2.. 3..
Kiki Isbianto
Flash
Rindu
Aulia Khusna
Komik
KISAH THORURA
Voni lilia
Komik
Ron Macaron's
puguh rizki brajananta
Cerpen
Bronze
Selebritas RT Sebelas
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Pamanku dan Misi Mengganti Kostum Superhero
Muttaqin
Flash
Bronze
Antagonis Menggugat
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Paket Salah Kirim
kevin andrew
Komik
Bronze
The Daily of ARLO
Anindosta Studios
Komik
Gold
Si Jenaka Nasrudin
Kwikku Creator
Cerpen
Rapimnas Desa Gendeng
Muhammad Rizqi Fachrizal
Cerpen
Aku Dan My Oboss
Lavender Fla
Flash
AROMA
KOJI
Rekomendasi
Cerpen
Masalah Seporsi Nasi, Konflik Sepuluh Negara
muhammad rio al fauzan
Cerpen
Bronze
Beranak Dalam Kaos Kaki
muhammad rio al fauzan
Novel
Jakarta enggak Ramah, Tapi Aku Nekat Datang
muhammad rio al fauzan