Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seorang Putri menari-nari di antara api, segala yang jadi abu dan debu, adalah bentuk adil dari sesuatu yang telah lama menyimpan benci.
Aku Malika. Aku suka segala hal tentang binatang, mau itu diceritakan dalam buku, digambarkan dalam kartun, atau dongeng-dongeng karangan Mama. Intinya, jika itu tentang binatang, aku suka. Kata Mama, kita juga binatang, binatang yang berakal, sedangkan binatang-binatang di luar sana hanya mengandalkan naluri. Tapi, mereka cukup pintar untuk membuat sarang, berburu, dan berkoloni. Mereka saling mencintai dan melindungi satu sama lain. Tapi, kata Bu Guru yang rajin datang ke rumah bilang tidak baik punya pikiran seperti itu. Aku anak nakal saat bilang kalau kita semua adalah binatang. Aku rasa dia terlalu sombong, saat kita saja lebih binatang dari binatang-binatang. Mama selalu bilang, beranilah seperti musang madu, kuatlah seperti gajah, cerdaslah seperti orang utan, liciklah seperti gagak, adilah seperti serigala, dan setialah seperti angsa. Artinya, kita amatlah kurang hingga mencontoh hal-hal yang baik dari mereka, sebab manusia tidak ada yang benar-benar bisa dicontoh. Kita saja lebih lemah dari binatang, karena hanya dengan memegang senjata, kita setara dengan binatang. Kita akan mati jika hanya mengandalkan tinju. Setidaknya itu yang dikatakan Mama.
Malam itu, setelah membaca dongeng tentang binatang dan minum segelas air hangat, Mama mengecup keningku dan memintaku untuk tidur. Aku menarik selimut, dan Mama mematikan lampu, lalu menutup pintu. Tentu saja, aku tak langsung tidur. Aku memiringkan tubuhku dan menatap keluar jendela. Pada kedipan pertama, aku melihat langit malam yang begitu menawan. Pada kedipan kedua, aku melihat bayangan seseorang melayang di luar jendela. Aku rasa aku sudah benar-benar mengantuk. Aku pandangi lagi bayangan itu; sekarang ia mulai melambai-lambaikan tangan. Dan pada kedipan ketiga, boom! Dia sudah ada di depanku, melayang di samping tempat tidurku. Aku berteriak dan memanggil Mama, tapi sepertinya tidak kedengaran.
“Halo, anak kecil yang manis.”
Entah mengapa, setelah aku mendengar suara sosok itu, segala ketakutanku hilang. Aku merasa sangat tenang dan nyaman. Aku menarik kembali selimut yang sempat aku kibaskan. Dalam posisi bersila, aku memundurkan tubuhku hingga bersandar di tembok. Aku mendongak, kembali mengamati sosok itu. Dia melayang, kepalanya hampir menyentuh langit-langit. Dia memakai setelan baju yang rapi: berjas hitam, dengan baju dalam putih berkerah. Di saku jasnya, ada mawar yang sangat wangi. Aku tahu itu wangi karena aromanya begitu semerbak mengisi ruang kamarku. Dia memakai celana hitam panjang dengan sepatu pantofel yang sangat mengkilap. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia memakai topeng kelinci berwarna putih, lengkap dengan telinga panjangnya.
“Kamu siapa?”
“Gadis manis bertanya, maka aku menjawab. Perkenalkan, aku Marzipan,” ucap sosok bertopeng kelinci, sedikit menunduk dan meletakkan tangan kanannya di dada sebelah kiri. Tampak sopan sekali. Lalu, ia perlahan-lahan turun dan mendarat tepat di samping kasurku.
“Mas Zipan?”
“Eh, maaf, Marzipan gadis manis,” ucap pria bertopeng mengoreksi. “Tapi, jika kamu mau panggil aku seperti itu, aku tak masalah. Apa pun untuk gadis manis.”
“Mas Zipan, mau apa datang ke mari?”
“Aku ingin menjadi teman untuk si gadis manis, dan tentunya masih banyak teman-teman yang ingin menjadi teman untuk gadis manis di luar sana,” ucap Marzipan, sambil menunjuk ke arah hutan.
“Wah, siapa saja teman-teman yang ingin jadi temanku itu?” tanyaku penasaran, dan entah kenapa aku cukup antusias. “Di sini, temanku hanya Mama dan buku-buku tentang binatang.”
“Oh, ada banyak! Ada Bunda Tariana, dia adalah serigala yang penyayang. Ada Paman Gorgoleo, dia buaya yang ramah. Bocah Tinimi dan Tonimo, mereka adalah anak rusa yang suka bermain. Dan masih banyak lagi yang ingin jadi teman gadis manis.”
Kata Mama, di tempat yang dimaksud Mas Zipan itu adalah tempat berkumpulnya binatang-binatang liar. Ada rusa, kanguru, burung elang, dan binatang-binatang bertaring. Mereka hidup di antara lembah-lembah dan perbukitan. Kata Mama, aku harus hati-hati dan tidak boleh sembarangan pergi keluar agar tidak bertemu binatang nakal. Makanya, untuk sekarang aku hanya bisa melihat binatang-binatang di dalam buku. Di kota ada, sih, kebun binatang, tapi Mama tidak punya cukup uang untuk membawaku ke sana. Kata Mama, pergi ke kebun binatang akan jadi kado ulang tahunku yang ke-8. Jadi, aku menolak ajakan Mas Zipan, karena satu tahun lagi aku pun akan menjumpai para binatang di kebun binatang bersama Mama (Aku bingung kenapa namanya kebun binatang. Apakah para binatang ditanam dan berbuah. Lalu, dari buah itu lahir binatang baru?).
“Tapi malam ini berbeda gadis manis.”
“Bedanya apa?”
“Binatang di kebun binatang tidak ingin jadi teman si gadis manis, tapi binatang-binatang di hutan adalah binatang yang sangat ingin jadi teman, mereka sangat menantikan kedatangan si gadis manis.” Ucap Mas Zipan, coba kembali meyakinkanku.
Rumahku berada di antara kota dan hutan. Di sini hanya ada satu rumah, dan itu adalah rumahku. Di rumah, aku tak punya teman. Punya sih satu, tapi itu hanya saat Bibi Rut datang berkunjung bersama Sisil. Sisil itu anaknya Bibi Rut. Saat mereka datang, aku akan bermain bersama Sisil seharian. Tapi, sudah hampir enam bulan mereka tak datang ke rumah. Makanya, di sini temanku hanya Mama dan buku-buku tentang binatang. Kata Mama, jadilah penurut seperti anjing. Tapi malam ini, aku memilih nakal seperti kucing yang merayap keluar di malam hari. Karena aku ingin bertemu teman yang ingin jadi temanku di hutan.
Mas Zipan menjentikkan jari, dan jendela pun terbuka. Ia lalu mengulurkan tangan kanan, mempersilakanku untuk meraihnya. Sopan sekali. Aku diperlakukan bagai tuan putri. Tangan Mas Zipan lembut dan terasa hangat. Aku berdiri, dan Mas Zipan menuntunku turun dari kasur.
“Apakah gadis manis sudah siap?”
“Tantu!” jawabku bersemangat.
Kemudian, tubuhku terasa sangat ringan. Kakiku yang semula menginjak ubin dingin sekarang sudah menginjak angin. Aku melayang bersama Mas Zipan. “Kita akan bersenang-senang dan kembali sebelum fajar,” begitu kata Mas Zipan. Aku cukup tenang mendengar itu, karena berarti aku sudah akan kembali di kasur sebelum Mama membangunkanku jam enam pagi.
Bintang-bintang yang kulihat dari jendela sekarang bertebaran seperti berlian yang tersebar acak namun sempurna. Aku dan Mas Zipan tadi terbang menembus awan. Saat melewati awan putih yang menggumpal seperti permen kapas, aku menjulurkan lidah untuk mencoba mencicipinya. Kupikir rasanya akan seperti permen kapas karena bentuknya mirip. Ternyata, tidak ada rasanya. Tapi, saat terkena kulitku, rasanya sangat sejuk. “Kata Mama, jadilah pemberani seperti elang, dan sekarang aku benar-benar jadi elang. Aku terbang. Sayang sekali Mama tidak ikut,” gumamku.
“Gadis manis, apakah kau lihat cahaya itu?” tanya Mas Zipan yang sedang melayang di sisiku, topeng kelincinya berkilauan samar di bawah sinar bulan.
Aku menoleh ke arah yang dimaksud Mas Zipan. Dari kejauhan, dapat kulihat cahaya yang terang sekali, bagai bintang-bintang. “Itu kota, kan? Bagus ya, bercahaya juga seperti bintang-bintang, tapi di bawah,” kataku.
“Kota memang indah saat malam, bercahaya warna-warni, tapi sebagai gantinya, alam mengambil keindahan bintang-bintang agar manusia kota tidak bisa melihatnya.”
Dulu sekali, Mama pernah bilang bahwa aku harus bersyukur tinggal jauh dari kota. Selain ada polisi, di kota juga banyak polusi. Polusi itu debu yang bikin kita batuk. Di kota, katanya juga tempatnya orang sibuk. Oleh karena itu, Mama kerjanya di kota, soalnya Mama suka sibuk sendiri. Kata Mama, aku juga tidak bisa melihat bintang kalau tinggal di kota. Dan sekarang, aku tahu alasannya kenapa Mama bilang begitu.
“Manusia membangun amat banyak, hingga merampas apa yang bukan jadi kepunyaan mereka. Manusia punya akal, tapi tidak cukup berakal untuk menyadari bahwa mereka adalah bagian dari alam, bukan penguasanya,” ucap Mas Zipan. Aku tidak begitu mengerti apa yang dimaksud Mas Zipan, tapi aku merasa itu sesuatu yang menyedihkan, karena hatiku sedikit ngilu saat Mas Zipan bilang begitu.
“Maaf ya.”
“Maaf, untuk apa gadis manis?”
“Maaf karena aku manusia, aku tidak baik.”
Mas Zipan tertawa. Tertawanya lucu sekali, terdengar seperti ku-ku-ku-ku-kuu, dengan tangan kiri menutupi mulut topeng kelincinya, sementara tangan kanannya masih erat menggandengku.
“Gadis manis memanglah manusia, tapi manusia yang baik. Jadi, tak usah minta maaf, Kukukuku.” kata Mas Zipan. Syukurlah, tentu itu membuatku tenang. Aku khawatir jika Mas Zipan tidak menyukaiku karena aku manusia.
Tak terasa, kami sudah cukup jauh terbang dan akhirnya sampai di tempat tujuan kami: hutan. Perlahan-lahan, kami mendarat. Saat berangkat tadi, aku lupa membawa sandal, dan sekarang kakiku menginjak rumput, tanah yang lembap, dan dedaunan kering. Pasti akan sangat kotor saat pulang nanti. Mama bisa ngomel-ngomel. Tapi, kata Mas Zipan, tak masalah. Aku bisa menyucinya di sungai nanti saat mau pulang. Aku kembali tenang.
Aku dan Mas Zipan berjalan bergandengan menyusuri hutan yang sepi. Jemarinya yang hangat menggenggam tanganku erat, seolah-olah memastikan aku tidak tersesat di tengah rimbunnya pepohonan. Aku menghirup napas dalam-dalam. Ternyata, aroma hutan itu seperti campuran dedaunan basah, tanah yang lembap, dan lumut. Suara langkah kami bercampur dengan suara-suara serangga dan gemerisik dedaunan yang bergerak pelan tertiup angin. Sebenarnya, aku sedikit takut. Tapi setelah Mas Zipan mulai bersenandung, aku mulai merasa aman. Rasa takutku pada hutan mendadak lenyap, meski di hadapan kami hanya ada jalur setapak gelap. Di dekatnya, segalanya terasa menenangkan.
“Gadis Manis, menurut kamu manusia itu apa?” tanya Mas Zipan. Sekarang dia tidak bersenandung lagi.
“Kalo kata Mama sih, manusia itu hewan,” jawabku. Mas Zipan hanya diam saja, tidak merespons apa-apa. Karena Mas Zipan diam saja, aku balik bertanya agar Mas Zipan tidak diam saja. “Kalo menurut Mas Zipan, manusia itu apa?” tanyaku.
“Em, manusia itu mungkin sama seperti yang kamu katakan. Mereka juga binatang, artinya makhluk bebas. Tapi, bedanya dengan binatang, mereka tidak tahu batas. Kebebasannya membawa ketakutan dan kecemasan bagi makhluk lain,” terang Mas Zipan. “Mungkin yang lebih tahu tentang apa itu manusia adalah sesuatu yang menciptakan mereka. Kita tidak akan pernah bisa menjelaskan apa itu manusia.”
“Aku tidak mengerti.” Jawabku.
“Kukuku, kelak kamu akan mengeri gadis manis.”
Aku kesal. Mas Zipan hanya tertawa, dia tidak menjelaskan dengan baik. Tidak seperti Mama. Ya, walaupun terkadang Mama juga tidak menjelaskan kebingunganku dengan cukup baik. Seketika, kekesalanku hilang saat aku melihat ada banyak kunang-kunang. Dulu, di dekat rumahku juga banyak kunang-kunang, tapi lama-lama mereka menghilang. Kata Mama, mereka pindah ke hutan. Dan ternyata benar, Mama tidak berbohong. Mereka di sini, terbang mengitari kami. Aku melompat-lompat kegirangan.
“Kita sudah dekat gadis manis.”
“Dekat apa?” tanyaku bingung.
Lalu, Mas Zipan menunjuk sesuatu di depan. Tampak di sana ada sebuah rumah yang menempel dengan tebing batu. Aku tahu itu rumah karena ada pintu dan jendela. Di sebelah pintu, tergantung sebuah lampu teplok dengan api yang redup-terang karena tertiup angin.
Mas Zipan mengetuk pintu sebanyak tiga kali saat kami sampai di teras rumah itu. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Dari baliknya, muncul seekor serigala yang mengenakan celemek. Dalam buku, dijelaskan bahwa serigala berjalan dengan empat kaki. Tapi yang aku lihat, dia berjalan dengan dua kaki. Mama bilang serigala adalah binatang yang nakal, tapi sepertinya tidak, karena dia dengan hangat menyambut kami. Dia melompat-lompat pendek sambil bertepuk tangan pelan. “Aau, halo! Lucu sekali gadis ini,” kata serigala itu, terdengar gemas. Ternyata, dia bisa berbicara.
“Permisi... Emm, di luar dingin sekali, Tariana,” ucap Mas Zipan tiba-tiba.
“Ow, hahaha, maaf Marzipan, aku terbawa suasana.” Lalu, serigala yang dipanggil Tariana itu membuka pintunya lebih lebar lagi. “Mari masuk, anak manis. Aku punya camilan dan teh hangat untukmu.”
Dapur Bibi Triana (aku mengailnya Bibi karena dia mirip seperti Bibi dari pada serigala), dipenuhi aroma harum kayu manis dan teh yang baru diseduh. Meja kayu tua dengan enam kursi di tengah dapur, penuh dengan goresan kecil, bukti ada banyak cerita yang telah terjadi di sana. Di atasnya, ada nampan perak dengan cangkir-cangkir porselen yang beruap dan sepiring biskuit. Rak-rak kayu di dinding dipenuhi botol-botol kaca berisi rempah-rempah, sementara di sudut ruangan, perapian kecil menyala dengan api yang menari, memberikan cahaya keemasan yang memeluk setiap sudut dapur. Panci dan wajan tergantung rapi di atas kompor besar yang tampak sering digunakan. Meski dapur ini milik seekor serigala, segalanya amat sangat tertata.
Mas Zipan menarik salah satu kursi dan mempersilakanku duduk. Dia kemudian ikut duduk di kursi sebelahku. Mas Zipan mengambil salah satu biskuit di atas meja, lalu memakannya. Aku kira dia akan membuka topeng kelincinya, tapi ternyata dia hanya membuka sebagian, menampakkan bibir dan separuh hidungnya. “Hemm! Biskuit kayu manismu tidak pernah gagal, Tariana. Ini enak,” ucap Mas Zipan.
Karena Mas Zipan bilang itu enak, aku pun mengambil satu. Bentuk biskuit itu bulat dan gepeng, masih hangat, dan aromanya benar-benar seperti kayu manis. Aku memotong sedikit biskuit itu, lalu melahapnya.
“Hemmm! Ini lebih enak dari buatan Mama.” Biskuit itu terasa renyah sekali, rasanya manis dan agak gurih.
“Hahaha, syukur jika kamu suka, hatiku jadi hangat,” jawab Bibi Tariana. Dia datang sambil membawa tiga mangkuk berisi cairan berwarna kemerahan. Kata Bibi Tariana, itu adalah sup daging. Katanya, itu daging dari hewan berkaki dua. Aku kembali berpikir. Kata Mama, serigala makanannya daging, seperti daging kelinci, daging domba, dan daging ayam. Jadi, wajar saja jika malam ini Bibi Tariana masak daging, karena dia memang makannya daging. Bibi Tariana bilang ini daging hewan berkaki dua. Sudah pasti ini ayam. Tapi potongan dagingnya cukup besar untuk sebuah ayam. Ah, mungkin saja ini daging kalkun.
Mas Zipan di sampingku tampak lahap menyantapnya. “Tolong siapkan satu mangkuk lagi, aku mau tambah,” katanya. Karena Mas Zipan tampak bahagia saat memakannya, aku jadi ngiler. Aku lekas mengambil sendok dan, hap! Satu potong daging yang berbalut cairan merah itu masuk ke dalam mulutku. Wow! Rasa gurih, asam, dan manis menari-nari di dalam sana. Tekstur dagingnya kenyal dan begitu empuk saat digigit. Aku belum pernah makan daging kalkun sebelumnya, jadi aku pikir rasanya memang seperti ini. Bibi Tariana memang hebat!.
Selesai makan, kami minum teh hangat bersama-sama. Meski teh hangat yang nikmat ada dalam genggamanku, pandanganku justru terfokus pada kursi di sekitar meja makan ini. Aku mengamati dan menghitung jumlahnya. Ada enam kursi di sana, padahal sepertinya Bibi Tariana tinggal sendirian. Di rumahku saja, kursi di meja makan cuma ada dua—satu punya Mama, satu lagi punyaku. Kadang jadi empat kalau Bibi Rut dan Sisil datang. Mejanya pun penuh goresan dan coretan, seperti coretan anak kecil. Aku tahu itu karena waktu umurku masih lima tahun, aku suka coret-coret meja dan tembok. Mama akan marah saat aku melakukan itu. Aku penasaran dan memutuskan untuk bertanya.
“Bibi Tariana, aku boleh tanya tidak?”
“Boleh dong, sayang.” Jawab Bibi Tariana, menaruh cangkir tehnya, lalu menatap hangat ke arahku.
“Kenapa Bibi punya enam kursi di meja makan ini? Apakah ada yang lain selain Bibi yang tinggal di sini?” Waktu aku bertanya seperti ini, senyuman dan tatapan hangat Bibi Tariana luntur dari wajahnya, berganti menjadi ekspresi sedih dan tampak ingin menangis. Aku khawatir sekali. Aku menatap Mas Zipan, mataku mengisyaratkan permohonan pertolongan.
“Ah, kursi hanyalah kursi, gadis Manis. Banyak atau dikit jumlahnya itu tidak penting, kukuku!” Ucap Mas, mencoba memecahkan suasana canggung.
“Mati... Mereka semua mati,” ucap Bibi Tariana. Wajahnya semakin tampak sedih, dan tatapannya kosong. “Suamiku dan keempat anakku telah mati setahun yang lalu di tangan manusia bertopi bundar...” Bibi Tariana mulai menceritakan kisah yang membuatku sangat sedih. Malam itu, teh kami yang semula hangat berubah menjadi dingin. Kala itu, ia dan suaminya sedang mengajari anak-anak mereka cara berburu. Namun, tak ada yang mengira bahwa hari itu mereka juga akan menjadi mangsa buruan manusia bertopi bundar, yang menenteng senjata bersuara seperti petir. Aku yakin, yang dimaksud Bibi adalah senapan pemburu. Semuanya mati karena senjata mengerikan itu, dan hanya Bibi Tariana yang berhasil selamat karena peluru dari senjata itu meleset. Sedih sekali rasanya mengetahui bahwa mereka berusaha berburu demi bertahan hidup, sementara para manusia di luar sana justru berburu hanya untuk kesenangan mereka semata. Kata Bibi, pemburu bertopi bundar itu masih ada di kota, hidup seolah-olah tak pernah melakukan dosa. Namun, Bibi yakin, suatu hari nanti alam akan menuntut balas. Jika bukan Bibi Tariana yang melakukannya, maka sesuatu atau seseorang akan melakukannya. Setelah Bibi Tariana selesai bercerita, aku segera memeluknya. Bibi pun membalas pelukanku. Pelukannya lembut sekali, bulu-bulunya yang harum menempel di pipiku.
“Maaf ya, Bibi.”
“Maaf untuk apa sayang?” Jawab Bibi Tariana masih dengan suara yang terisak.
“Maaf karena aku manusia, semoga Bibi tidak benci aku juga.”
Bibi Tariana mengusap air mata yang mengalir di antara bulu wajahnya, kemudian memegang pipiku dan mencoba tersenyum ke arahku. “Kamu tidak perlu minta maaf, sayang, karena aku tahu kamu adalah gadis kecil yang baik,” Bibi Tariana masih berusaha tersenyum. “Tapi kamu harus janji ya, saat besar nanti jangan jadi manusia jahat.” Aku hanya mengangguk, yang artinya ‘iya’. Aku akan mengingat janji itu. Kata Mama, setialah seperti angsa, dan aku akan terus begitu.
Tok, Tok, Tok.
Terdengar suara ketukan dari luar. Mas Zipan pun membukakan pintu. Saat pintu terbuka, tampak dua anak rusa yang malu-malu mengintip dari luar. Aku mulai melonggarkan pelukanku dengan Bibi Tariana. Mas Zipan menyuruh mereka berdua untuk masuk, tapi mereka hanya menggeleng. Aku pikir, mungkin mereka takut dengan Bibi Tariana, takut di-hap! Lalu, Mas Zipan memintaku mendekat. Aku pun, dengan malu-malu, melangkah ke arah mereka.
“Gadis manis, perkenalkan. Dia Tinimi dan dia Tonimo,” ucap Mas Zipan. Meski mereka punya nama yang berbeda, tetap saja di mataku mereka terlihat sama. Aku yakin, jika mereka berpindah posisi secara acak, aku akan langsung lupa yang mana Tinimi dan yang mana Tonimo. “Jika mau, kamu boleh bermain dengan mereka malam ini.”
***
Tinimo dan Tonimo (aku tidak tahu yang mana, yang pasti itu nama mereka) menarik kedua tanganku berlarian dengan dua kaki menuju tanah lapang. Mereka lebih kecil dan imut dariku, tapi lari mereka kencang sekali. Aku sampai tersandung beberapa kali. Di hutan begitu dingin, untung saja Bibi Tariana meminjamkan aku syal, yang aku lingkarkan di leherku. Katanya, itu terbuat dari bulu-bulunya yang rontok.
“Ayo kita main lari-lari.” Ucap salah satu dari mereka saat sampai di pinggiran tanah lapanng.
“Bukanya.. kita sudah berlari-lari tadi.” Ucapku, sambil mengatur nafas
“Beda. Salah satu dari kita harus jadi harimau, dan sebagian lagi harus terus berlari agar tidak diterkam.” Aku mulai mengerti, ternyata maksud mereka kejar-kejaran. Soalnya aku dan Mama suka melakukan permainan itu, dan setiap aku tertangkap, Mama akan bilang, "Huaaam!". Meskipun aku tahu itu mengasyikkan, aku menolak ajakan mereka karena aku sudah cukup kelelahan. Akhirnya, mereka bermain kejar-kejaran berdua, sementara aku asyik menonton mereka yang tampak asyik. Tiba-tiba, salah satu dari mereka menubrukku hingga terjungkal. Itu cukup lucu. Kita tertawa bersama.
“Malika, kamu harus ikut bermain.” Ucap salah satu dari mereka.
“Mau! Tapi main apa ya?”
“Main lompat sungai saja.” Usul salah satu dari mereka.
“Wah, itu seru, sih!” jawab salah satu dari mereka.
"Aku takut basah," jawabku menolak. Aku melihat sedikit kekecewaan di wajah mereka. Aku takut jika mereka merasa bahwa aku membosankan. Akhirnya, aku memberi usul permainan yang menyenangkan tapi tidak bikin capek. "Bagaimana kalau kita main petak umpet?" Mereka mulai tampak kembali antusias.
“Wah, permainan apa itu?" tanya salah satu dari mereka. Aku tidak pernah mengira kalau di dunia binatang tidak mengetahui permainan ini, padahal seru.
“Jadi, permainannya cukup mudah. Sebagian dari kita harus bersembunyi, dan salah satu dari kita harus mencari. Jika kita ketahuan di tempat kita bersembunyi, artinya kita tertangkap dan kalah," terangkan aku, berusaha menjelaskan sejelas mungkin. Mereka tampak merenung dan berpikir.
“Petak Umpet... itu sih mirip sekali seperti yang sering kita lakukan iya?”
“Iya mirip!”
Aku tidak langsung mengerti apa yang mereka maksud. Mereka pun langsung menjelaskan bahwa permainan petak umpet yang aku jelaskan tadi mirip seperti saat mereka bersembunyi dari manusia. Mereka akan berusaha mencari tempat seaman mungkin atau berlari sejauh mungkin dari jangkauan manusia agar tidak ditangkap. Kasihan.
“Oke, deh kami paham. Sekarang siapa yang jadi manusia?”
“Malika saja, Malika kan sudah jadi manusia. Dia tidak perlu berperan untuk jadi manusia.” Usul salah satu dari mereka.
“Gitu juga boleh!" jawabku bersemangat. Aku mulai berhitung, dan mereka kocar-kacir berlarian mencari tempat bersembunyi. Di temani cahaya bulan purnama, aku mencari mereka; di balik batu, di dalam rongga pohon tumbang, dan di antara rumput. Setelah sepuluh menit mencari, secara tidak sengaja aku berhasil menemukan salah satu dari mereka di dalam lubang besar. Lalu dia membantuku mencari. Setelah lima belas menit mencari, dengan putus asa, kami sepakat untuk menyerah. "Tonimo jago sekali!" celetuk rusa kecil di sebelahku, dan sekarang aku tahu yang satu ini namanya adalah Tinimi. Kami pun memanggil-manggil nama Tonimo, mengisyaratkan bahwa aku menyerah. Namun, ia tak kunjung muncul.
Khawatir, kami mulai mencarinya lagi, kali ini dengan rasa cemas yang kian besar. Langkah-langkah kami semakin cepat saat malam mulai terasa semakin dingin. Hingga tiba-tiba, terdengar suara lirih dari kejauhan. Suara Tonimo, terdengar seperti kesakitan. Tanpa pikir panjang, kami bergegas menuju sumber suara itu. Hati kami berdebar kencang, berharap dia baik-baik saja. Tapi sayangnya, dia tidak baik-baik saja sewaktu kami menemukannya. Kaki kirinya terjerat tali tambang kecil, dia tergantung dengan posisi kepala di bawah. Kakinya benar-benar terjerat kuat hingga sebagian bulu dan kulitnya terkelupas.
“Tonimo, bagaimana kamu bisa berada di sana?” Tanya Tinimi.
Aku tidak tahu. Aku sedang mencari tempat bersembunyi, dan tiba-tiba aku sudah di atas, huhu,” jawab Tonimo yang tampak sangat kesakitan. Aku yakin sekali, ini adalah jebakan manusia, karena aku pernah melihatnya di televisi. Aku bergegas menolong Tonimo, tapi jemari kecilku tidak kuat untuk melepas tali yang terpasang di bawah. Tinimi hanya membantu menenangkan Tonimo karena dia tidak punya jari untuk melepaskan tali. Kami takut sekali.
“Ya ampun, sepertinya kalian sedang dalam masalah ya? Kukuku.”
Suara Mas Zipan terdengar menggema di sekitar kami, lalu seketika ia muncul di antara kegelapan. Tanpa kami perintah, Mas Zipan datang mendekati Tonimo yang tergantung, lalu ia mulai menjentikkan jari. Seketika, tali yang menjerat kaki kecil Tonimo pun terlepas dengan sempurna. Tonimo jatuh tepat di pelukan Mas Zipan. Tonimo menangis dengan suara yang nyaring. Saat aku menangis, Mama akan datang memelukku, dan sekarang aku melakukan itu untuk Tonimo. Aku memeluknya dengan hati-hati.
“Lagi, dan lagi... ulah manusia," gumam Mas Zipan dengan suara berat. Tangannya tergerak cepat namun lembut, merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sepasang sarung tangan. Dengan hati-hati, ia berlutut di samping Tonimo, matanya menatap luka di kaki kecil rusa itu yang meneteskan darah. Perlahan, ia membalutkan sarung tangan itu di sekeliling luka agar tidak semakin memburuk.
“Malika, kenapa manusia suka melakukan ini ya?" tanya Tinimi yang tengah duduk di samping Tonimo. Aku benar-benar termenung. Aku sama sekali tidak kuasa untuk menjawab pertanyaan itu. Aku sedih, tapi bukan karena tidak bisa menjawab, melainkan karena aku bagian dari manusia yang tak pernah benar-benar memahami luka yang mereka tinggalkan. Jika bisa, aku ingin menjawab, mungkin manusia melakukannya karena tamak, karena merasa berkuasa, karena berpikir bahwa apa yang tidak berbicara tidaklah begitu berharga.
“Maaf ya.” Aku hanya bisa menjawab dengan mengatakan itu.
“Maaf untuk apa?”
“Maaf... karena aku manusia.”
Tinimi pun mendekat ke arahku yang tengah memeluk Tonimo. “Jangan bersedih, Malika. Kami mengenalmu. Kamu adalah manusia yang baik. Manusia jahat tidak akan mau bermain dengan kami, melainkan memburu kami, memotong tanduk, dan memenggal kepala kami untuk dijadikan pajangan.” Dadaku terasa sakit saat mendengarnya. Lalu, kami bertiga saling berpelukan.
Sangat menyedihkan sekali. Mereka masih kecil, sama sepertiku. Tapi bedanya, mereka akan tumbuh dalam ketakutan, sedangkan aku tidak, karena aku manusia. Tidak akan ada yang memburuku, atau bahkan memenggal kepalaku untuk dijadikan pajang. Aku ingin mereka aman. Aku ingin mereka selamat. Aku ingin mereka hidup dengan damai.
Mas Zipan meraih tanganku. Kami pun berpamitan dan terbang meninggalkan Tinimi dan Tonimo di sana. Ia membawaku ke segala tempat di mana aku dapat menyaksikan kesedihan dan penderitaan para hewan.
Di sungai, aku jumpai Paman Gorgoleo. Ia adalah buaya yang sedang sekarat karena sungai yang tercemar oleh limbah industri. Aku bertemu dengan Kakek Rino, dia adalah badak yang tak memiliki cula, sebab semasa muda culanya dirampas oleh manusia. Namun, ia tetap bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup. Lalu, aku bertemu Valola, seekor elang yang sayapnya patah sebab terkena senapan pemburu. Ia sangat marah sekali, bahkan dengan terang-terangan bilang jika ia membenciku karena aku manusia. Aku juga bertemu Butonto. Ia adalah orang utan dengan separuh kulit yang melepuh dan bulu-bulu yang hangus terbakar. Dan terakhir, aku bertemu Bomi. Bomi adalah gajah dengan gading yang baru saja dirampas. Darah segar mengalir dari lukanya. Ia sempat hidup beberapa saat yang lalu, tapi sekarang, di hadapanku, di pelukanku, ia telah pergi ke surga.
"Ini adalah wajah sejati manusia. Manusia menghancurkan tanpa memikirkan akibatnya. Mereka mungkin bisa mencoba memaafkan manusia, tetapi itu hanya akan membuat lebih banyak lagi kaum seperti Tariana, Tonimo dan Tinimi, Gorgoleo, dan para binatang yang lainnya menderita. Penderitaan akan terus berlanjut, gadis manis, tiada henti, hingga mereka semua akan lenyap dari muka bumi. Tidak ada pilihan di masa depan bagi para binatang selain menghadapi kepunahan.” Ucapan Mas Zipan membuat dadaku terasa begitu perih, dan kepalaku berputar begitu hebat.
Dengan pikiran kacau, aku duduk di atas batu besar di tepi hutan. Lututku kutarik hingga ke dada, dan aku hanya bisa menangis di bawah bintang-bintang. “Kenapa?” pikiranku terus berputar. “Kenapa manusia begitu tega? Kenapa aku harus melihat semua ini? Kenapa aku tak bisa berbuat apa-apa?”
Air mataku jatuh begitu deras, membasahi tanganku yang gemetar. Aku mencoba menarik napas, tapi rasanya udara yang masuk ke paru-paruku berubah menjadi duri-duri yang menusuk. Sesak. Pemandangan tadi terus menghantui: sungai hitam, cula yang dirampas dengan kekerasan, bulu dan kulit yang terbakar, jeritan marah Valola yang menusuk seperti belati, dan hembusan napas terakhir Bomi yang menyedihkan.
“Aku manusia...” bisikku. Kalimat itu terdengar begitu asing di telingaku sendiri. Manusia. Kata itu seolah menjadi kutukan sekarang. Sebuah identitas yang membawa rasa bersalah begitu besar hingga aku nyaris tak mampu berdiri. Aku menatap tanganku, tangan yang sama dengan mereka yang merusak, mencemari, merampas, dan membunuh.
“Mas Zipan, apa aku juga sama?”
“Kamu berbeda, Gadis Manis." Aku menatap tajam Mas Zipan yang berdiri di sampingku. Ia kemudian meraih tanganku, mengajakku berdiri. "Kamu akan jadi penyelamat bagi kami." Dari balik pepohonan, bayangan-bayangan mulai bermunculan. Satu per satu. Para binatang, mereka keluar dari kegelapan. Bibi Tariana, dengan tatapan matanya yang hampa namun penuh dendam, diikuti oleh Tonimo dan Tinimi, yang berdiri diam seperti patung dengan mata hitam kosong menatap lurus ke arahku. Lalu ada Paman Gorgoleo yang tubuhnya penuh luka, Kakek Rino yang kepalanya tak lagi memiliki cula, dan semua binatang yang ada di hutan. Mereka semua datang, berjalan mengitariku dan Mas Zipan di atas batu. Tangisanku sedikit mereda, namun segalanya berubah menjadi kelam.
“Lakukan!” ucap mereka secara bersamaan, suara mereka begitu menggelegar bagai petir. “Selamatkan kami!” Aku menutup telingaku, tapi suara mereka, semakin banyak, semakin keras, bergema dari setiap sudut. “Tuntaskan dendam kami!”
Suaranya semakin menyeruak hebat, ribuan binatang itu terus berteriak bersamaan. Aku melihat ke arah mereka. Mulut mereka kini bergerak, mengucapkan kata-kata yang sama.
“Lakukan. Selamatkan kami. Tuntaskan dendam kami. Bayar kebencian kami. Siksa mereka dengan jeritan dan kesakitan!”
Kalimat yang keluar dari mulut mereka membentur pikiranku bagai palu, berulang-ulang, tanpa henti, berpuluh-puluh kali. Gema yang mereka ciptakan telah mencabik-cabik kesadaranku. Aku hanya bisa tersenyum kosong, dan suara tawaku berubah menjadi, "Kikikiki!" Aku mungkin telah menjadi hewan, sebab aku rasa sekarang, aku sudah tak lagi berakal. Sekarang aku hanya punya satu naluri: hancurkan!
Mas Zipan memberiku sebuah topeng, katanya ini topeng anak singa. Aku mengenakan topeng itu, dan sekarang ada dua orang yang memakai topeng binatang: aku dan Mas Zipan. Para hewan masih mengucapkan kata yang sama, kali ini sambil menari-nari, berputar mengelilingi kami. Kemudian Mas Zipan mengeluarkan sebuah obor. Katanya, api yang menyala di atas obor itu adalah api yang ia curi dari neraka. Ia memintaku untuk mengakhiri penderitaan kaum hewan. “Kita ke kota sekarang,” katanya. Dan kami pun terbang.
***
Sekarang kami berada tepat, melayang-layang di jantung kota. lampu-lampu kota sangat berkilauan seperti permata di kegelapan, dengan jalan dan bangunan yang amat tertata rapi. Di ketinggian ini aku melihat beberapa manusia yang masih terjaga di malam hari. Ada anak kecil juga sepertiku yang bersiap menjajakan koran, ibu-ibu tua yang berjualan sup jagung dan gelandangan yang tidur di taman. Tapi kali ini, aku tidak melihat kekaguman terhadap kota, dan bahkan rasa iba terhadap manusia. Di ketinggian ini, aku hanya melihat target. Naluriku bilang mereka semua harus dimusnahkan, mereka semua harus membayar perbuatan mereka atas penderitaan para binatang.
Mas Zipan menggenggam tanganku, membantuku mengangkat obor lebih tinggi. “Mari kita selesaikan ini. Mereka harus merasakan apa yang mereka lakukan. Tidak ada jalan kembali.” Dan kami bersama-sama menjatuhkan obor itu.
Saat api menyentuh permukaan, api segera menjalar ke segala arah. Pagi belum menyapa, tapi kobaran api di kota ini telah membuat langit tampak jingga. Api membakar segala yang ada di sana; bangunan-bangunan megah runtuh, dan nyala lampu telah berganti menjadi nyala api. Suara jeritan manusia, retakan kayu, kaca yang pecah dan deru api menjadi musik indah yang membuat aku dan Mas Zipan ingin menari.
Di antara kobaran api, aku dan Mas Zipan berdansa bersama di atas permukaan yang terbakar. Tak sedikit pun api menyentuh kami. Aku sudah tak peduli lagi dengan semuanya. Bahkan dengan Mama. Aku hanya ingin para binatang bisa hidup dengan tenang. Aku akan menghapus manusia sebagai sumber penderitaan mereka. Naluriku menginginkan itu. Dan aku terus berdansa bersama Mas Zipan.
Matahari pun menyambut. Sekarang, segalanya tampak rata dengan tanah. Hanya ada abu dan sisa-sisa reruntuhan bangunan yang terbakar. Dari kejauhan, aku melihat gerombolan binatang berjalan mendekat untuk menjemputku. Beberapa dari mereka aku kenali, seperti Bibi Tariana, Tonimo, dan Tinimi bersaudara, serta yang lainnya. Mereka semua berlutut di hadapanku, menyanyikan lagu-lagu pujian yang indah dan penuh makna.
Mas Zipan mendekat dengan perlahan, memegang sebuah mahkota dengan kedua tangannya. Aku melihat mahkota itu terbuat dari tulang belulang dan duri. Ia menatapku dalam-dalam. “Ini bukan mahkota kehormatan, melainkan mahkota pengorbanan,” bisiknya. “Kau yang telah menanggung luka kaum kami, mendengar tangisan mereka, dan kini, kau telah menjadi mahdi bagi mereka.”
Mas Zipan, perlahan meletakkan mahkota itu di atas kepalaku. Aku merasakan duri-durinya menusuk kulit kepalaku, rasa sakit itu menjalar, dan darah segar mengalir dari sana, membasahi topengku. Aku menerima semuanya, baik itu rasa sakit, tanggung jawab, dan dosa-dosa para hewan.
Mas Zipan menatapku dengan penuh hormat. “Kau adalah penyelamat bagi yang tak bersuara, Malika sang Ratu para Binatang. Kau telah menjadi api yang menebus luka kami.”
Dan di tengah kota yang telah menjadi abu dan debu, aku berdiri dengan mahkota berduri yang menghias kepalaku. Rasa perih dan darah yang mengalir menjadi lambang tekadku, sebuah tekad untuk membalas dendam atas nama mereka yang telah dirampas kehidupannya. Aku bukan manusia lagi, aku adalah penebus dosa mereka. Aku adalah Ratu Para Binatang.
“Kata Mama jadilah kuat, dan berwibawa seperti singa si raja hutan, dan sekarang aku benar-benar seperti singa... Sayang, Mama tidak ada di sini, kikikiki!”